“Aku hanya akan ambil kerjaan ini selama dua tahun” kata Andrea sambil meremas tanganku. Aku mengangguk. Aku tak perlu susah payah meyakinkan suamiku bahwa aku tidak sanggup ikut dengannya ke London. Mungkin ia mengira suatu saat nanti aku akan berubah pikiran dan menyusulnya, sama seperti aku berubah pikiran tentang punya anak.
After 5 years together, he still hasn't realized that I rarely change my mind.
Aku mengantarnya ke bandara malam itu dan melepas kepergiannya dengan tersenyum. Andrea akan tinggal di hotel selama sebulan sampai ia menemukan rumah yang pas untuk jadi tempat tinggal. Perusahaan yang membayar semuanya.
Kalau dipikir-pikir, suamiku memang orang yang luar biasa. Selama lima tahun ini kariernya menanjak sangat pesat, jauh melampaui orang Indonesia lain yang kukenal yang bukan berasal dari keluarga berada.
Aku pernah baca di internet kalau dia adalah security expert terbaik di Asia Pasifik. Ayahku sebenarnya ingin Andrea menjadi penerusnya dalam menjalankan banyak perusahan beliau, karena kakak lebih memilih menjadi dokter dan aku penulis. Kami tidak tertarik untuk menekuni dunia bisnis. Namun Andrea tidak menyukai nepotisme dan beberapa kali menolak dengan halus.
Aku hampir tiba kembali di rumah ketika teleponku berdering, dan terdengar suara Andrea di ujung sana.
"I miss you already," ia mendesah pelan, "Aku sudah mau boarding. Nanti kutelepon kalau sudah mendarat di Heathrow."
Aku hanya membawa laptop dan beberapa pakaian lalu berangkat ke Indonesia. Aku tidak sanggup tinggal di apartemen kami di Beach Road tempat segala kenangan tentangnya bertebaran. Aku juga tak sanggup pulang ke rumah orangtuaku dan membawa kabar buruk tentang perpisahan kami. Akhirnya aku memutuskan pergi ke Sumba tempat kakakku membuka klinik bersama sahabatnya.
Kakak sulungku Johann memutuskan hendak menjadi dokter ketika adiknya, kakakku yang kedua, Wolfgang meninggal karena meningitis waktu berumur 14 tahun. Kami semua terpukul ketika dokter membawa kabar bahwa ternyata sakit kepala mendadak yang dirasakan Wolf itu adalah serangan virus meningitis di otaknya, dan ia meninggal tanpa sempat sadar dari koma. Who could have known?
Ayah dan ibu menjadi lebih protektif akan kami berdua, tetapi juga jadi lebih lunak dalam memperlakukan kami. Sebagai anak dari keluarga konglomerat, hidup kami sudah ditentukan sejak dari lahir. Johann, Wolf, dan aku sudah dijodohkan dengan anak-anak teman ayah, sesama konglomerat, untuk kepentingan bisnis, dan jalan hidup kami sudah tertulis, nanti kuliah di mana dan mengambil alih perusahaan di usia berapa.
Kematian Wolf membuka jalan kebebasan bagi kami karena ayah dan ibu menjadi sadar bahwa mereka tak ingin kehilangan Johann dan aku karena kami merasa terpaksa mengikuti jalan yang mereka tentukan. Johann dapat kuliah kedokteran, pacaran dengan gadis yang ia cintai, dan aku bisa fokus menjadi penulis dan menikahi Andrea yang berasal dari kalangan biasa.
Mengingat Andrea, aku menjadi sedih. Bertahun-tahun ia mencintai gadis yang bahkan tidak mau memperjuangkannya agar diterima oleh orangtuanya, sementara aku... keluargaku... kami menerima ia tanpa syarat.
"Eh, kok mendadak, Win?" tanya Johann saat menjemputku di bandara. "Ke sini mau mencari inspirasi menulis?"
Aku mengangguk saja. Aku tidak banyak bicara selama di perjalanan menuju klinik. Ia membuka klinik ini 4 tahun lalu ketika jalan-jalan ke Sumba dan jatuh cinta dengan daerah Lakey Peak. Penduduk desa di sekitar pantai itu sangat miskin dan kasus kematian ibu melahirkan serta anak balita yang cukup tinggi membuat hatinya tersentuh.
Dengan bantuan uang ayah dan dukungan teman-teman kuliahnya, ia mendirikan klinik itu dan menghabiskan setengah waktunya di sana. Setengah lagi di Jakarta mengurusi yayasan Dokter Berbagi, tempat ia membantu menyalurkan dokter-dokter muda yang mau mengabdi sukarela selama beberapa bulan di Indonesia Timur.
"Di sini nggak ada AC, tapi anginnya sejuk banget kalau lagi bertiup. Ke pantai juga tinggal jalan kaki, dan pemandangannya bagusss banget. Kamu pasti suka." kata Johann sambil mengangkut tas tanganku dan menaruhnya di kamar. "Serius kamu cuma bawa barang segini? Mau aku temenin belanja ke Bali, nggak?"
"Thanks, but I think I have enough." Aku menggeleng dan mencium pipinya, "Aku tidur dulu ya... Aku capek terbang pakai transit dua kali begini."
Dengan penuh pengertian Johann meninggalkanku sendirian. Aku pun memejamkan mata dan mencoba tidur. Aku sudah sangat banyak tidur belakangan ini.
Rasanya tubuhku sangat lelah dan selalu minta beristirahat. Waktu Andrea tiba di Heathrow dan meneleponku, aku juga sedang tertidur. Hanya kemauanku yang keras yang membuatku berhasil tiba di Sumba hari ini, tapi kemudian rasa lelah itu tidak tertahankan lagi.
Aku tidur cukup lama dan hampir tidak keluar kamar selama berminggu-minggu. Johann kemudian mengerti bahwa aku sedang mengalami depresi dan tidak menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu. Ia hanya memastikan bahwa makanan selalu tersedia dan aku tidak kekurangan suatu apa.
Aku melihat berkali-kali telepon masuk dari sebuah nomor Inggris tapi aku tak sanggup mengangkat telepon. Aku sungguh tidak ingin bicara dengan siapa pun.
Ketika akhirnya aku membuka email, ada beberapa email masuk dari Andrea yang mengkuatirkan keadaanku. Aku membayangkan bagaimana keadaannya di London. Tentu sekarang dia sudah pindah dari hotel ke rumah baru, mungkin dia akan mencari rumah yang dekat dengan gadis itu dan anaknya. Mungkin setiap weekend ia sudah habiskan dengan gadis itu dan anaknya.
Aku pernah mencari gadis itu di Facebook, tetapi sama seperti Andrea ia juga tidak menggunakan media sosial. Aku hanya tahu namanya Adelina Surya dan ia adalah anak tunggal keluarga Surya yang menguasai perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Ia sudah 7 tahun bermukim di Inggris dan sekarang bekerja sebagai seorang redaktur majalah lifestyle di sana. Hampir tidak ada informasi yang bisa kutemukan tentangnya online.
***
"Aku sayang banget sama kamu, Andrea," bisik Ludwina ke telinga Andrea, "Aku ingin menghabiskan setiap hari mencintaimu."Andrea membantu Ludwina membuka pakaiannya dan dengan sangat hati-hati mencumbu istrinya. Ia sungguh merindukan tubuh Ludwina dan bercinta dengannya. Ia selalu menahan diri setelah mereka berkumpul bersama karena takut membuat Ludwina sakit, tetapi hari ini istrinya yang berinisiatif untuk bercinta dan ia tidak akan mengecewakannya.Mereka bercinta dengan sangat lembut dan menikmati setiap detik kebersamaan itu, jauh lebih syahdu dari biasanya, karena mereka tahu setiap detik mereka bersama adalah sangat berharga.Andrea sangat lega melihat rona wajah kemerah-merahan Ludwina yang diliputi rasa bahagia saat mereka tidur malam itu. Ia berharap dapat membekukan momen itu selamanya.***Bu Inggrid, Pak Kurniawan dan Johann kaget setengah mati ketika akhirnya Andrea memberi tahu mereka tentang penyakit Ludwina. Atas permintaan istrin
Mereka tiba di coffee shop langganan mereka dan barulah Andrea meletakkan Ludwina di kursi. Ia memesan kopi favorit keduanya lalu duduk di samping Ludwina sambil menggenggam tangannya. Ia tak mau melepaskan gadis itu sama sekali. Takkan pernah lagi!"Kamu mau berapa lama di New York?" tanyanya saat mereka sedang menikmati kopinya. "Aku mesti beli baju banyak kalau kita akan lama di sini.""Aku nggak tahu..." jawab Ludwina. "Aku mesti ketemu dokterku untuk konsultasi lagi besok.""Oke, aku ikut ya." kata Andrea cepat.Ludwina mengangguk.Mereka tidak membahas penyakit Ludwina sampai keduanya tiba di hotel. Andrea merasa lebih baik jika ia mendengar langsung dari dokter. Ia tak ingin membuat istrinya stress dengan berbagai pertanyaannya.Setelah memastikan Ludwina beristirahat, Andrea pergi ke toko terdekat dan membeli pakaian. Ia menolak ditemani karena tidak ingin Ludwina menjadi kelelahan. Setelah kembali ke hotel ia memesan makanan dan mer
Karena Ludwina tidak mengangkat ponselnya, Andrea akhirnya menghubungi Johann untuk mencari tahu keberadaan istrinya. Dari Johann ia mengetahui bahwa Ludwina sudah berangkat ke New York. Andrea segera memesan penerbangan ke sana tetapi kemudian ia sadar bahwa visa Amerika yang ada di paspornya baru saja kedaluwarsa.Ia ingat 5 tahun lalu mengajukan visa Amerika karena berniat traveling ke sana bersama Ludwina tetapi mereka malah menikah di Bali dan baru berangkat setahun kemudian. Visa yang diperolehnya valid untuk 5 tahun dan baru berakhir minggu ini.Sungguh mematahkan hati. Ketika akhirnya ia mengetahui apa yang terjadi dengan Ludwina, Andrea tak bisa segera menyusulnya.Andrea buru-buru pulang ke Inggris dan mengajukan visa Amerika lewat kedutaan Amerika Serikat di London. Ia sangat gelisah dan tidak bisa tidur sambil menunggu visanya diproses. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari Ludwina dengan bekerja, tetapi tidak berhasil."Joe, aku perlu bicar
Sebenarnya Ludwina patah hati saat meninggalkan Andrea di pantai. Ia tak pernah melihat suaminya menangis sebelumnya dan hatinya tercabik-cabik saat ia harus menampilkan wajah dingin dan pergi meninggalkannya begitu saja.Ini demi kebaikan Andrea, berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri.Ludwina segera memintaconciergememesankan taksi untuknya dan kembali ke Hotel Kanawa. Setibanya di sana ia segera masuk ke kamar dan mengurung diri. Tubuhnya merasa sangat lelah dan ia tak mampu bertemu siapa pun. Telepon dari Mbak Ria, editornya, pun harus ia tolak. Ia hanya mengirim SMS bahwa ia akan datang ke sesinya di UWRF besok dan hari ini ia ingin beristirahat dengan tanpa gangguan.***Andrea sebenarnya tergoda untuk datang ke UWRF dan melihat Ludwina lagi. Tetapi setiap mengingat betapa gadis itu masih belum memaafkannya, Andrea merasa sakit dan mengurungkan niatnya. Sepanjang hari ia hanya mencoba menghilangkan ke
Ludwina yang tiba di Hotel Hilton keesokan harinya mengira guest relation officer yang menemuinya juga mengenalinya sama seperti beberapa penggemar yang ia temui di Central Park. Ia mengikuti saja ketika staf itu membawanya ke kamar cantik menghadap laut yang ditinggali Andrea.Ia sebenarnya sudah check in di Hotel Kanawa milik ayahnya, sehingga ke Hilton hanya dengan membawa tas tangannya. Ia ingat bahwa hari ini adalah ulang tahun pernikahannya dengan Andrea. Mungkin ia akan menerima untuk makan malam bersama Andrea terakhir kalinya sebelum meminta dokumen perceraian itu dari suaminya dan mengakhiri pernikahan mereka.Ia melihat bunga dan prosecco dengan pita merah di kamar itu. Hatinya seketika terasa sakit, ia masih ingat dengan jelas malam itu ketika Andrea melamarnya. Ia melihat dua kemeja Andrea yang dibelikannya sebelum suaminya itu berangkat ke London dan pertahanannya runtuh.Ludwina kembali menangis untuk kesekian kalinya. Tadinya ia sudah mampu bersi
Suasana menjadi syahdu dengan hujan rintik-rintik di luar jendela. Andrea lalu mengeluarkan sebotol wine dan dua gelas serta segelas jus untuk Ronan. Ia menuangkan wine untuk dirinya dan Adelina. Ia menyerahkan gelas berisi wine kepada gadis itu. Adelina menerimanya dengan sepassang mata masih berkaca-kaca."Sore-sore begini pas sekali untuk minum wine. Lumayan bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik." Andrea mendentingkan gelasnya ke gelas Adelina dan meneguk wine-nya. "Minumlah... biar kau merasa baikan."Adelina mengangguk dan menyesap wine-nya. Wajahnya yang suram perlahan-lahan tampak mulai cerah."Wine makes adulting bearable(Wine membuat orang dewasa bisa bertahan hidup)." katanya dengan senyum mulai menghiasi wajahnya. Keduanya tertawa kecil. Andrea mengangguk juga, membenarkan."Aku tahu kamu perempuan kuat, tapi kalau kamu merasa sedang sedih dan ingin berbagi, tempatku dan segelas wine selalu siap menunggu," kata Andrea kemu
SEPTEMBER 2018.Sudah setahun Ludwina dan Andrea berpisah. Andrea sudah mulai menerima kenyataan bahwa mungkin Ludwina tidak akan pernah memaafkannya, tetapi ia sungguh sangat ingin bertemu istrinya satu kali saja, untuk berusaha meyakinkannya...Email dari panitia international cyber security conference di Bali tiba pada suatu pagi. Mereka mengundang Andrea untuk menjadi salah satu pembicara di acara bergengsi itu. Ia sudah dikenal sebagai pakar security terbaik di Asia Pasifik dan panitia sangat bangga bahwa di acara mereka akan hadir seorang pakar dari Indonesia.Tanggalnya bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke-5. Seharusnya bulan depan mereka mengadakan pesta, untuk memenuhi janji kepada Bu Inggrid yang dulu sangat ingin merayakan pernikahan mereka secara besar-besaran.Tiba-tiba kerinduan Andrea kepada Ludwina terasa menyesakkan... Ia hampir meneteskan air mata saat mengingat pernikahan mereka di Bali l
Setelah enam bulan di London, Andrea masih belum menerima balasan dari email-emailnya. Ia tetap setia mengirim email setiap hari Minggu, tetapi kini ia sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa Ludwina tidak akan membalas.Kondisi perusahaan sudah stabil dan ia sudah bisa mengambil cuti. Andrea sangat tergoda untuk membeli tiket dan menyusul Ludwina di mana pun gadis itu sekarang berada. Ia menemukan akun instagram atas nama Ludwina dan setiap beberapa hari Ada foto yang menunjukkan keberadaan gadis itu. Mungkin sekarang Ludwina sudah kembali seperti Ludwina yang dulu, yang senang pamer foto travelingnya saat masih belum bersama Andrea.Kalau ia mengikuti keberadaan Ludwina dari akun instagramnya, ia tidak melanggar janjinya untuk tidak menguntit istrinya karena informasi yang dibagikannya di Instagram dibuat publik, demikian pikir Andrea meyakinkan dirinya sendiri"You want to take some leave(Kau mau ambil cuti)?" tanya Joe siang itu ketika An
Ludwina tidak mengira bahwa novel sejarah yang ditulisnya mendapatkan sambutan sangat baik. Ini membuatnya sedikit terhibur. Ia sudah tidak memiliki akun di media sosial, tetapi ia banyak membaca review positif di internet dan berbagai artikel yang memuji ceritanya. Hal ini membuatnya semakin bersemangat menulis.Setelah menenangkan diri di Italia, Ludwina memutuskan untuk ke Belanda untuk meneliti sumber-sumber sejarah untuk novel lain yang sedang ditulisnya. Ia sangat tertarik mengeksplor sejarah Indonesia pasca Perang Dunia 2 saat orang-orang keturunan Belanda, atau indo, dipaksa pergi dari Indonesia karena dianggap sebagai keturunan penjajah, padahal banyak dari mereka lahir dan besar di Indonesia, dan tak pernah mengenal negeri Belanda.Ludwina meminum banyak obat tetapi ia masih menolak kemoterapi karena ia tidak mau keluarganya mengetahui penyakitnya. Penampilannya setelah kemo akan sangat kentara dan ia tidak ingin mereka curiga karena tubuhnya akan menjadi san