Share

Bab 19

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-18 09:51:49

Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.

“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.

Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.

Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.

Saat ilmu Bu Tong-pay mengajarkannya untuk menyalurkan tenaga ke kaki, ia mulai merasa terengah-engah. Tapi saat ia teringat bahwa jantungnya lemah, maka ia malah mengalirkan tenaga itu ke jantung, bukan ke kaki. Karena di dalam buku, untuk menguatkan jantung, ia harus menyalurkan tenaga “Yin” ke dalamnya.

Ini adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Namun entah kenapa, ilmu silat Bu Tong-pay itu sangat cocok dengan teori yang diciptakan sendiri oleh Cio San. Sebagian besar, ini mungkin karena keberuntungan belaka, karena Cio San sama sekali tidak paham tentang ilmu silat.

Tetapi sebagian besar, juga dikarenakan daya pikir serta keberaniannya untuk mencoba hal yang baru. Secara tidak langsung, sebenarnya Cio San sedang menciptakan perubahan-perubahan di dalam ilmu Bu Tong-pay.

Ini terjadi dari hari ke hari, setiap kali ia berlatih ilmu silat. Saat merasa terengah-engah atau letih, cepat-cepat ia mengubah gerakan atau penyaluran tenaga ke tempat-tempat di mana ia pikir sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Dalam beberapa hari saja, ilmu Cio San sudah maju sangat-sangat pesat.

Suatu hari ketika sedang makan siang, ia melihat ada bayangan lagi. Kali ini ia mengenalnya dari kejauhan. “Itu pasti Liang-lopek. Ah, akhirnya ia datang juga,” ujarnya sambil tersenyum.

“Hoy, Cio San…!” A Liang berteriak dari jauh. “Bagaimana kabarmu? Hahahahahaha…”

“Liang-lopek, apa kabar?” kata Cio San sambil memberi salam.

“Hey, buat apa kau banyak aturan seperti ini? Pakai salam Bu Tong-pay segala. Aku ‘kan bukan murid Bu Tong-pay”

“Haha, Liang-lopek memang bukan murid Bu Tong-pay. Tapi Liang-lopek adalah ‘tetua’ Bu Tong-pay.”

“Huah?! Gila kau. Jika didengar 4 Tianglo Bu Tong-pay, kau pasti dihajar mereka. Hahaha…”

Senang rasanya di saat sepi ada sahabat yang datang menemani. Karena kedua orang ini memang sudah seperti sahabat. Padahal umur mereka berdua sudah seperti kakek dan cucu.

Rupanya A Liang membawa juga makanan dari dapur sehingga mereka berdua duduk menikmatinya sambil bercerita. Lama sekali mereka bercerita. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari diatas gunung selama hampir sebulan ini. Sedangkan A Liang menceritakan keadaan perguruan.

“Eh, ngomong-ngomong, sudah kau baca belum buku yang kuberikan?” tanya A Liang.

“Sudah, Lopek. Sudah saya tamatkan.”

“Heh? Sudah tamat? Memangnya kau bisa membaca huruf-huruf aneh di buku itu?”

“Bisa, Lopek. Bukankah dulu saya sempat cerita kalo mendiang Ayah pernah mengajarkan huruf-huruf kuno kepada saya?”

“Masa sih? Aku lupa... ahhahahhahaha…,” lanjutnya, “Coba kau ceritakan apa saja isinya. Mungkin saja aku jadi lebih mahir memasak. Hahahahaha..”

“Buku itu selain resep masakan, banyak sekali resep obat-obatan, dan juga pengetahuan tentang obat-obatan.” Sambil berkata begitu, Cio San bangkit dari duduknya dan pergi mengambil buku itu di dalam gubuknya.

“Coba kau ceritakan padaku tentang isinya,” pinta A Liang.

Cio San lalu menceritakan banyak sekali resep-resep masakan yang unik. Buku itu memang selain berisi tulisan aksara Tionggoan juga memuat huruf-huruf asing. Sehingga memang A Liang tidak pernah menguasai isinya.

“Sebenarnya ini huruf apa sih? Apa memang huruf kuno Tionggoan?”

“Sebenarnya ini huruf gabungan Tionggoan dan huruf dari daerah barat. Jaman dulu, dari sebuah negeri barat ada agama baru yang dibawa oleh seorang Nabi. Setelah Nabi itu wafat, pengikutnya lalu menyebarkan agama itu ke seluruh dunia. Kehidupan pemeluk agama itu sangat maju. Mereka menciptakan ilmu-ilmu baru. Seperti ilmu berhitung, ilmu sastra, ilmu perbintangan, dan lain-lain. Mereka juga menciptakan ilmu silat yang sangat hebat. Mereka selain menyebarkan agama, juga menyebarkan ilmu-ilmu ciptaan mereka itu,” jelas Cio San.

“Ah, kau seperti seorang guru saja. Haha…. Tapi aku pernah mendengar cerita itu. Jadi menurutmu, apakah huruf-huruf di buku ini adalah huruf-huruf dalam aksara mereka?”

“Bukan, Lopek. Ini adalah huruf gabungan aksara Tionggoan dan aksara kaum barat itu. Kaum barat itu adalah kaum yang hidup di gurun pasir, dan sangat menyukai sastra. Mereka juga adalah pengelana. Mereka berkelana menyebarkan agama baru itu sampai ke Tionggoan. Mereka lalu tinggal menetap dan berbaur dengan penduduk asli kita. Bahkan mereka menganggap diri mereka sebagai orang Tionggoan. Sehingga mereka pun menggabungkan aksara Tionggoan dengan aksara asli daerah asal mereka. Maka terciptalah aksara yang ada di buku ini.”

“Darimana kau tahu?”

“Dari mendiang Ayah. Beliau yang bercerita kepada saya,” lanjutnya, “Kata Ayah, ilmu mereka tinggi sekali. Bahkan ketinggian ilmu mereka itu sulit diukur. Musuh-musuh mereka berusaha mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Maka, untuk menjaga kerahasian, mereka menyimpan ilmu-ilmu tersebut ke dalam puisi-puisi yang sukar dimengerti. Sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa mengerti.”

“Benarkah katamu itu?” tanya A Liang.

“Itu kata Ayah,” jawab Cio San. “Dan sebenarnya Kakek dan Ayah sendiri adalah penganut agama dari barat itu,” lanjutnya.

“Benarkah? Jadi kamu bisa aksara barat itu juga?”

“Sedikit-sedikit, saya paham. Cuma saya belum pernah melihat sedikitpun bacaan dengan aksara asli agama itu. Kalau ada, pasti menarik sekali.”

“Wah, hebat sekali kau ini.” A Liang berkata sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.

Lama mereka bercengkerama. A Liang menceritakan keadaan Bu Tong-pay selama beberapa hari ditinggal Cio San. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari di puncak gunung ini. Tak terasa waktu berlalu sehingga A Liang berkata, “Sudahlah, aku turun dulu yah. Kalau terlalu sore, nanti bisa kemalaman dan terlambat mengurus makan malam untuk perguruan kita. Kau jagalah dirimu baik-baik,” kata A Liang.

“Baik, Lopek. Terima kasih sudah mau repot-repot mengunjungi saya di sini.”

“Alah… Aku malah merasa bersalah tidak mengunjungimu sejak dari awal kau dikirim ke sini.”

“Terima kasih banyak, Lopek. Saya baik-baik saja di sini. Kalau nanti Lopek ada waktu berkunjung lagi, mudah-mudahan kita bisa main khim dan bernyanyi.”

“Hahaha.., aku suka itu. Nah, aku pulang dulu. Kau baik-baik lah. Selamat tinggal.” Ia menepuk pundak Cio San, lalu bergegas pergi.

“Selamat jalan, sampaikan salam buat para Suhu, serta para Suheng dan Sute.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status