Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.
Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.
Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.
Hal inilah yang melahirkan berbagai macam ilmu silat di dunia ini. Semua disesuaikan dengan keadaan fisik, bahkan mungkin juga keadaan alam sekitar.
Cio San mencapai pemahaman ini dalam waktu sebentar saja dan pada umur yang sedemikian muda, sebenarnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Memang daya pikirnya yang tajam, membuatnya sanggup memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan orang.
Keadaan ini memang diciptakan Tuhan untuk ‘menyeimbangkan’ kekurangan fisik yang dimilikinya.
Setelah memahami keadaan dan kenyataan bahwa ilmu Bu Tong-pay yang diajarkan kepadanya itu sebenarnya kurang cocok, Cio San mulai memikirkan hal baru lagi. Yaitu bagaimana cara agar ilmu itu menjadi cocok baginya!!
Anak sekecil ini sudah berani mengotak-atik ilmu silat, adalah sesuatu yang berbahaya. Karena jika salah berlatih, bisa menyebabkan kegilaan, cacat seumur hidup, bahkan juga kematian. Herannya, Cio San pun juga memahami hal ini walaupun tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.
“Jika seseorang menggerakkan aliran darah dan tenaga melalui tempat yang tidak seharusnya, maka hal ini akan menyebabkan seluruh kerja tubuhnya menjadi kacau. Ini pasti sangat berbahaya bagi orang itu,” begitu pikir Cio San dalam hati.
“Maka sebelum menggerakkan aliran darah dan tenaga, seseorang harus mengerti dulu arah gerak normal aliran itu. Kemana seharusnya aliran itu bergerak, bagaimana cara kerjanya, dan lain-lain.”
“Sebelum aku bisa mengubah ilmu silat Bu Tong-pay ini agar sesuai dengan tubuhku, maka aku harus memahami tubuhku terlebih dahulu.”
Pemahaman ini adalah pemahaman terbesar dari para ahli silat. Seorang yang mengenal tubuhnya sendiri, pasti akan mampu mengendalikan tubuh itu seperti yang ia mau.
Memang hebat daya pikir Cio San yang bisa sampai pada pemahaman ini, tanpa seorang pun menunjukkan kepadanya. Selama ini di Bu Tong-pay, ia hanya diajarkan teori gerak. Ia diharuskan meniru apa yang sudah ditunjukkan oleh gurunya. Sebab mengapa harus bergerak seperti ini, atau seperti itu, mengapa begini, mengapa begitu, tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.
Jika banyak bertanya, maka ia akan dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Kenyataan bahwa ia tidak sanggup menguasai apa yang diajarkan kepadanya, adalah lahir dari hal seperti ini. Bahwa ia hanya diajarkan bergerak, tanpa mengetahui makna gerakan-gerakan itu. Padahal fisiknya berkembang berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Memahami hal ini, Cio San bertekad untuk mempelajari dulu keadaan tubuhnya sendiri. Jika ia sudah benar-benar paham cara kerja organ tubuhnya, maka ia bisa saja ‘mengubah’ sedikit ilmu silat Bu Tong-pay yang diajarkan kepadanya, agar sesuai dengan keadaan tubuhnya.
Buku pemberian A Liang itu sebenarnya adalah kumpulan buku-buku unik. Ada mengenai resep masakan dan obat-obatan. Bab yang membahas obat-obatan juga memiliki pembahasan tentang tubuh manusia. Tentang aliran darah dan berbagai macam fungsi organ tubuh.
Hal ini membuat Cio San semakin bersemangat mempelajari isi buku yang diberikan A Liang kepadanya. Karena ternyata, di dalamnya berisi pengetahuan tentang tubuh manusia juga. Cio San membaca kitab itu dengan lahap sampai ia tertidur.
Pagi-pagi Cio San terbangun. Ia lalu berlatih silat sebentar, sesuai dengan yang dipesankan gurunya. Memang waktu terbaik untuk berlatih silat adalah saat pagi-pagi sekali. Sinar matahari sangat membantu untuk menguatkan tulang dan menyehatkan tubuh.
Setelah berlatih, dia mulai menanak nasi yang lantas ditinggalkannya untuk pergi mandi dan menangkap ikan. Setelah nasi matang dan ikan sudah diolah, ia pun makan pagi.
Sambil makan, buku pemberian Liang-lopek itu tidak lepas darinya. Semangat sekali Cio San mempelajari isi buku. Sampai siang ia terus membaca buku itu. Kadang-kadang ia mempraktekkan apa yang ada di dalam buku itu. Berpikir sebentar, memperhatikan titik-titik yang ada pada tubuhnya. Mengingat-ingat fungsi titik-titik itu.
Kegiatan itu berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Tak terasa Cio San sudah melalap habis isi buku itu dalam waktu 3 hari!
Hari keempat, setelah berlatih silat, Cio San melihat bayangan orang dari kejauhan. “Rupanya akan ada tamu,” pikir Cio San.
Tak berapa lama bayangan itu semakin jelas, tampaklah Beng Liong.
Cio San senang sekali bahwa kakak seperguruannya ini datang berkunjung. Dari jauh mereka saling tersenyum.
“Ah, Liong-heng! Selamat datang di gubuk derita ini,” teriak Cio San sambil tertawa.
“San-te, bagaimana keadaanmu?”
Mereka berbasa-basi sebentar menanyakan kabar dan bercanda. Rasanya memang nikmat jika ada sahabat yang mengunjungimu di kala kau sedang kesepian.
Cio San yang saat sedang menanak nasi, meminta ijin sebentar untuk mandi. Tidak lama kemudian, dia pulang membawa dua ekor ikan yang lumayan besar.
Sambil menikmati nasi dan ikan bakar, kedua sahabat kecil itu mulai saling bercerita. Beng Liong menceritakan keadaan perguruan sedangkan Cio San menceritakan kegiatannya ‘melahap’ buku yang diberikan A Liang kepadanya.
“Pasti menarik sekali buku itu, San-te. Kuharap banyak manfaat yang bisa kau ambil.”
“Iya, Liong-heng. Di buku ini banyak sekali pengetahuan tentang bahan-bahan alam dan ramuan-ramuan. Awalnya aku mengira hanya berisi resep masakan, ternyata isinya lebih dari itu. Liang-lopek juga mungkin tidak tahu karena kebanyakan isi buku ini dari huruf-huruf kuno,” kata Cio San sambil menunjukkan buku itu.
Beng Liong melihat-lihat isi buku itu kemudian berkata, “Ah, benar. Ternyata banyak huruf-huruf kuno. Kau bisa mengenal seluruh huruf-huruf ini, San-te?”
“Bisa, Liong-heng...”
“Seluruhnya?”
“Seluruhnya.”
“Wah, hebat sekali kau, San-te.”
“Tidak juga, Liong-heng. Kebetulan saja aku memiliki Ayah seorang Siucai (Sastrawan), sehingga sejak kecil, aku memang sudah dikenalkannya pada huruf-huruf itu,” tukas Cio San sambil tersenyum.
Lama mereka membahas isi buku itu, sampai kemudian Beng Liong berkata, “Eh, San-te, bagaimana kalau kita berlatih silat?”
“Boleh, Liong-heng, tapi beri aku petunjuk ya. Ilmu silatku buruk sekali, hahahaha…”
Kedua orang itu lalu bersilat. Terlihat sekali bahwa memang Beng Liong sangat berbakat dalam ilmu silat. Gerakannya lincah dan mantap. Serangannya bertenaga dan cepat sekali. Tidak percuma dia dianggap sebagai murid Bu Tong-pay yang paling berbakat.
Cio San jelas kelabakan dalam menghadap serangan-serangan Beng Liong. Untunglah Beng Liong sendiri menahan diri sehingga tidak mendesak Cio San.
Sambil bersilat, kadang-kadang Beng Liong memberikan petunjuk-petunjuk tentang serangan dan tipuan-tipuan.
Cukup lama mereka bersilat, sampai kemudian Cio San mulai terlihat terengah-engah. Mengetahui kondisi ini, Beng Liong mulai melemahkan serangan-serangannya, sehingga lama-lama mereka sepakat untuk berhenti silat.
“Kau hebat sekali, Liong-heng. Baru 3-4 hari kita berpisah, kemajuannya sudah pesat sekali.”
“Benarkah?”
“Benar, Liong-ko. Serangan-seranganmu bertambah cepat. Bukankah tadi kau memainkan jurus-jurus yang baru saja kau latih 3 hari yang lalu?”
“Iya. Bagaimana kau bisa tahu? Oh…, aku ingat. Saat aku berlatih jurus-jurus itu, kamu datang untuk berpamitan, ya?”
“Benar, Liong-heng. Hehe.”
Mereka lalu beristirahat.
“San-te, gerakmu tadi kurang cepat, sehingga gerakan-gerakanmu mudah dibaca. Cobalah untuk berlatih meningkatkan kecepatan seranganmu.”
“Baik, Liong-heng, terima kasih atas petunjuknya.”
“Jangan lupa jurus-jurus itu harus kau hafal luar kepala. Sehingga ketika bersilat, kau bisa langsung menggunakannya dengan bebas. Jika kau menghafal seluruh jurus-jurusnya, perubahan serangan macam apapun dari lawan kita, bisa dihadapi dengan mudah. Ilmu silat Bu Tong-pay memang hebat sekali. Jurus-jurus dasarnya saja sudah bisa menghadapi serangan-serangan dahsyat ilmu lawan.”
“Benarkah, Liong-heng?”
“Benar, San-te. Makanya kau jangan malas berlatih. Jika kita semua rajin berlatih, aku yakin nama Bu Tong-pay akan semakin gagah di mata orang-orang Kang Ouw.”
“Baik, Liong-heng,” kata Cio San tersenyum.
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding