Share

Bab 20

Author: Norman Tjio
last update Last Updated: 2022-11-18 09:53:40

Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.

Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.

Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jika ia menyalurkan tenaga ke tempat-tempat yang sakit itu, perlahan-lahan ia bisa menghilangkan rasa sakit itu.

Selain berlatih silat, Cio San kini mulai belajar memasak. Ia mencobai berbagai resep yang ada di buku itu. Mulai dari yang gampang-gampang dulu. Di atas puncak Bu Tong-san, hampir semua bahan untuk resep-resep bisa ditemukan. Memang tidak semua bahan itu ada. Kadang-kadang, dengan daya pikirnya, Cio San bisa mengganti bahan masakan yang tidak ada dengan bahan-bahan lain.

Ia berburu rusa dan kambing gunung. Juga berbagai jenis burung untuk dimasak. Ia memetik daun-daun dan tanaman untuk bumbu masakan. Kadang, malah ia mencampur-campur sendiri resepnya. Hasilnya kadang enak, kadang mengecewakan. Kalau sudah begitu, Cio San hanya bisa tertawa-tawa sendiri memuntahkan hasil masakannya yang rasanya tidak karuan.

Selain memasak, ia juga belajar membuat resep-resep obat-obatan. Kadang-kadang, ia malah mencampurkan resep obat dan resep masakan. Walaupun rasanya tidak begitu enak, Cio San percaya hal itu bisa membuat tubuhnya lebih sehat.

Dan memang benar, keberaniannya mencoba masakan dan obat-obatan membuat tenaganya semakin bertambah kuat. Resep-resep kuno itu ternyata sangat berkhasiat.

Beberapa hari kemudian, A Liang datang lagi. Kali ini selain berbincang-bincang sambil makan, A Liang mengajarkan cara bermain khim. Awalnya, Cio San memang kesulitan, tetapi dasar berbakat, diajari sebentar saja sudah bisa. Bakatnya terhadap sastra dan musik mungkin menurun dari ayahnya, yang memang mahir sekali.

Sambil bernyanyi diiringi petikan khim dari Cio San, A Liang memberikan petunjuk dan pengarahan, “Nah, di bagian ini jangan terlalu keras, lembutkan sedikit.” Atau, “Kurang cepat, ikuti hentakan iramanya.”

Setelah berjam-jam, akhirnya Cio San menguasai juga lagu yang diajarkan A Liang. “Aduh, susah sekali lagu ini, Lopek. Kita beristirahat sebentar,” keluh Cio San.

“Haha, baiklah. Tapi permainanmu sudah lebih baik dibanding awal-awal tadi, pintar juga kau,” puji A Liang.

“Yang pintar itu gurunya. Mulai sekarang saya akan memanggil Lopek sebagai ‘Suhu’..”

“Hush..! Ngawur..! Murid Bu Tong-pay tidak boleh mengambil guru luar seenaknya. Walaupun sudah lama mengabdi di Bu Tong-pay, aku ini cuma tukang masak, mana boleh dipanggil guru,” sahut A Liang.

“Tapi, bukankah orang yang mengajarkan sesuatu kepada orang lain, sudah sepantasnya dipanggil ‘Suhu’?” kata Cio San sambil tersenyum.

“Halah.., tidak mau. Aku tidak mau dipanggil suhu,” kata A Liang ketus.

“Baiklah, Lopek. Tapi bagaimanapun, aku tetap menganggap Lopek sebagai Suhu. Dan akan mengabdi layaknya murid terhadap Suhu, walaupun Lopek tidak mau dipanggil sebagai Suhu. Terimalah salam teecu yang tidak bisa berbakti ini....” Dengan tulus Cio San berlutut dan bersoja.

Belum sampai kepalanya menyentuh tanah, A Liang sudah menghalanginya. “Hey, jangan terlalu banyak aturan seperti inilah. Terserahlah kau menganggapku apa. Tapi kuminta, jangan berlaku seperti ini jika ada orang lain. Hukuman Bu Tong-pay bisa membuatmu tinggal selamanya di sini,” ia berkata sambil tersenyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca.

Entah kenapa, A Liang suka sekali dengan anak ini. Cio San memang memiliki watak yang menyenangkan. Yang menyebabkan ia dibenci oleh murid-murid Bu Tong-pay lain, sebenarnya bukanlah karena wataknya. Melainkan posisinya sebagai anggota ‘15 Naga Muda’ Bu Tong-pay lah yang membuatnya dicemburui. Murid-murid lain menganggap kemampuan silatnya tidak pantas untuk menjadi anggota ‘15 Naga Muda’.

Cio San sendiri memang bisa membawa diri. Tutur-katanya sopan dan menyenangkan. Ironisnya, seringkali tutur-kata kita yang sopan bisa membuat orang lain yang sudah tidak suka kepada kita, akan semakin tidak suka.

A Liang yang sederhana dan tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap ini, menjadi sayang dan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Walaupun mereka baru saja akrab akhir-akhir ini, tapi A Liang serasa memiliki cucunya sendiri. Ia memang tidak pernah menikah sepanjang hidupnya. Sehingga keberadaan Cio San, mungkin membawa perasaan tersendiri di hatinya yang tidak pernah memiliki anak atau cucu.

Setelah beristirahat cukup lama, mereka berdua mulai bermain khim lagi. “Kali ini kau harus memperhatikan syair yang kunyanyikan. Konsentrasi kini harus kau bagi untuk memainkan khim dan mendengarkan syair. Ini lebih susah, tapi nanti kau pasti bisa,” kata A Liang.

“Baiklah, Lopek.”

A Liang lalu bernyanyi. Cio San mulai mengiringi, kali ini ia memperhatikan liriknya. Pertama-tama petikannya menjadi kacau saat ia membagi konsentrasi. Tapi lama kelamaan ia sudah mulai bisa mengiringi. Saat mendengarkan syair, tak terasa air matanya mulai meleleh.

Lagu itu sungguh sedih. Menceritakan kesepian seseorang. Entah siapa yang dirindukan. Tak terasa perasaan rindu itu menyusup ke hati Cio San. Ia teringat kedua orangtuanya. Air matanya pun meleleh.

Di atas gunung. Petikan khim dan nyanyian syahdu. Angin membelai. Daun-daun berguguran. Ranting pohon bergesekan. Suara-suara keheningan.

Entah tebing terjal ini memang sepi, atau hati yang sepi. Dua orang berhadap-hadapan. Namun masing-masing pikiran, kelana dalam kenangan.

Seorang tua, dan seorang anak belasan usia. Masing-masing meneteskan airmata, karena kenangan yang berbeda. Entah apa di pikiran mereka.

Saat nyanyian dan petikan berhenti, pohon dan angin pun serasa mati. Tak ada derak, tak ada gerak.

Kedua orang ini tersenyum. Ketika air mata telah habis tercurahkan, yang tersisa adalah senyum ketulusan. Mereka berdua bukannya saling silang senyuman, melainkan tersenyum pada masing-masing kenangan.

Jika kesepian datang melanda, di tengah dingin puncak tebing tinggi, maka apa lagi yang bisa menghangatkan hati, kecuali indahnya memori?

Cio San sedang mengenang ayah-bundanya. Terngiang ia atas petikan lagu indah dan tiupan merdu seruling sang ayah. Teringat dia kepada belaian lembut ibundanya. Yang menyuapinya, yang menggendongnya, yang menghiburnya.

Entah A Liang teringat kepada siapa atau apa. Namun 70 tahun hidupnya, jelas tak mungkin tanpa kenangan indah.

Lama sekali kedua orang ini terdiam. A Liang lah yang memecah kebisuan, “Aku belum pernah mendengar permainan khim seindah ini. Kau mungkin ditakdirkan menjadi ahli khim nomer satu. Baru belajar beberapa jam saja, kau sudah bisa membuat orang lain menangis mendengar petikanmu.”

“Menangis karena terlalu jelek, Lopek?” Cio San bercanda namun air matanya masih tetap mengalir.

“Teruslah belajar, tak berapa lama kau akan menjadi ahli khim ternama. Kau mungkin akan dipanggil ke istana hanya untuk bermain khim,” kata A Liang.

“Benarkah, Lopek? Wah, teecu (murid) akan berusaha sebaik mungkin, Lopek.”

“Jika saat itu tiba, aku akan senang sekali jika bisa berada disana menontonmu bermain. Hahaha…,” lanjutnya, “Ingat, jangan sebut dirimu ‘teecu’ kalau ada orang lain ya. Bahaya.” Mimik mukanya bersungguh-sungguh.

“Baik, Lopek.”

“Sudahlah, aku mau pulang. Dalam beberapa hari ini aku akan datang lagi. Kita belajar lagu baru. Siap?”

“Siap, Lopek,” jawab Cio San sambil tersenyum.

“Baiklah, sampai jumpa.” A Liang pergi dengan riang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status