Share

Bab 9

Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga totokan itu hanya lewat di depan matanya.

Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.

Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terlihat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik, sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkat 5.

Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Bu Tong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Bu Tong ini bergerak sangat cepat dan juga indah.

Menghadapi gerakan cepat ini, Cio San mulai terdesak. Ia sudah tidak bisa lagi menghindar seperti tadi. Ia tidak mencoba menyerang karena sibuk terus mempertahankan diri. Karena kalah cepat, Cio San memilih langkah-langkah mundur sambil mengelak sebisanya. A Pao yang merasa dirinya diatas angin, semakin mendesak Cio San yang terus merangsek mundur.

Sesekali tubuh Cio San terkena serangan totokan jari A Pao. Tapi karena memang mereka belum terlalu menguasai penyaluran tenaga ke jari-jari, hasil serangan ini hanya cukup menyakiti saja, namun tidak sampai menimbulkan akibat yang fatal.

Cio San lalu berkata, “Suheng, saya mengaku kalah, seranganmu hebat sekali.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat. A Pao yang masih penasaran karena belum bisa menjatuhkan anggota ‘15 Naga Muda’ tidak menghentikan serangannya.

“Ah...” Cio San hanya mendesah. Sudah sering ia menerima perlakuan seperti ini. Banyak sekali anggota Bu Tong ‘Biasa’ yang ingin menjajal dan mengalahkan anggota ‘15 Naga Muda’. Dan yang selalu menjadi sasaran adalah Cio San. Ini mungkin karena dia dianggap yang paling lemah dan paling ketinggalan ilmunya. Bagi murid ‘Biasa’, menjatuhkan salah seorang anggota ‘15 Naga Muda’ itu adalah sebuah kehormatan, maka ‘dijajahlah’ anggotanya yang paling lemah.

Sudah amat sering Cio San mengaku kalah, namun mereka selalu ingin menjatuhkannya dulu. Bagi sebagian orang, memang jauh lebih menyenangkan memukul jatuh lawan, ketimbang mendengar dia minta menyerah saja.

Sering juga Cio San babak belur karena dihajar mereka. Apa daya? Dia memang paling lemah dan merupakan sasaran empuk bagi mereka yang iri akan kedudukan ‘15 Naga Muda’. Tapi Cio San memang tidak pernah mengeluh. Perlakuan seperti itu malah semakin membuatnya rajin berlatih. Terkadang ia ditertawai orang, karena dianggap tidak pantas menjadi bagian ‘15 Naga Muda’. Kadang ia malah terluka, karena serangan-serangan mereka selalu dilancarkan dengan niat melukai, bukan dengan niat berlatih.

Dalam ‘15 Naga Muda’, ia sendiri juga mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ia selalu dimarahi dan dikerasi oleh guru-gurunya karena kemajuan ilmunya yang lambat. Kadang-kadang gihu dan sekaligus guru pengawasnya, Tan Hoat, bahkan kehilangan kesabaran dengan menghukumnya. Memang bukan hukuman berat, cuma sekedar membersihkan dapur, atau mengurusi ternak-ternak babi milik Bu Tong. Cio San pun juga tidak mendendam terhadap gurunya itu, karena ia tahu gurunya bermaksud baik, untuk memacunya lebih bersemangat latihan.

Kadang juga, ia melihat pandangan ‘menghina’ dari sesama anggota ‘15 Naga Muda’. Para anggota ini menilai Cio San tidak pantas menjadi murid unggulan seperti mereka dan sering memperlakukannya dengan tidak baik. Seperti menertawainya, mengatakannya dengan berbagai perkataan yang menyinggung, bahkan juga mengerjainya saat latihan. Seperti mempelorotkan celananya saat ia latihan kuda-kuda, menyiraminya dengan kotoran babi dengan alasan ‘tidak sengaja’, dan lain-lain.

Cio San tidak pernah melaporkan perlakuan ini kepada guru-gurunya. Ia menganggap itu hanya candaan belaka. Sering ia tersenyum dalam menghadapi semua itu. Tapi kadang ia juga menangis sendirian saat sedang mandi atau saat tidur. Ia malu memperlihatkan kelemahannya. “Seorang laki-laki harus sanggup menghadapi cobaan apapun dalam hidupnya”, begitu kata ayahnya dahulu.

Kekuatan dan ketabahan hati Cio San ini, malah membuat orang semakin tidak suka padanya dan semakin ingin mengerjainya. Mereka tahu, Cio San tidak akan mengadukannya kepada guru-guru mereka. Perlakuan mereka terhadap Cio San semakin tidak mengenakkan. Ia bahkan lebih sering berlatih sendirian. Karena sepertinya, kawan sesama ‘15 Naga Muda’ sudah tidak lagi menganggap dirinya.

Semua kejadian tidak mengenakkan ini, sekejap mata terlintas dalam pikirannya saat ia menghadapi serangan A Pao. Tidak terasa matanya berkaca-kaca, air matanya meleleh. Pemusatan pikiran terhadap pertarungan pun buyar seketika.

Seluruh serangan A Pao pun tepat mengenai sasaran. Cio San terjatuh dan mengeluh kesakitan. Ulu hatinya terasa sakit sekali. Dalam sekali serangan, A Pao menyerang lima titik di tubuhnya. Hasilnya, ulu hati Cio San seperti ditendang 10 kuda.

Nafasnya tersengal-sengal. Tapi murid-murid lain malah menertawainya.

“Anggota ‘15 Naga Muda’ menangis saat diserang. Hahahahha…” Mereka berteriak sambil tertawa. Suara teriakan, hinaan, dan tawa itu terasa jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit di ulu hatinya. Ia hanya menutup mata, air matanya mengalir.

Sesudah itu dia pingsan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status