Share

Bab 9

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-18 09:34:34

Saat serangan pertamanya berhasil dipunahkan, A Pao menggunakan tangan kirinya untuk mengincar sebuat titik di pelipis kanan Cio San. Melihat serangan ini, Cio San hanya memutar lehernya mengikuti aliran serangan, sehingga totokan itu hanya lewat di depan matanya.

Melihat dua serangannya gagal, A Pao semakin bersemangat untuk menyerang. Gerakannya semakin cepat, namun gerakan Cio San juga tak kalah cepat.

Setelah beberapa lama beradu silat, keringat mulai terlihat di dahi Cio San. Ia memang gampang sekali capek. Sistem kerja organ dalam tubuhnya memang kurang baik, sehingga membuatnya susah mengendalikan pernafasan, yang membuatnya mudah letih. Itulah juga sebabnya ia masih mengulang-ngulang pelajaran pernafasan tingkat 5.

Melihat lawannya sudah mulai kedodoran, A Pao melencarkan serangannya lebih cepat lagi. Bagi orang Bu Tong, gerakan kedua orang ini biasa-biasa saja. Tapi bagi orang luar, apalagi bagi orang yang tidak mengerti ilmu silat, kedua orang murid Bu Tong ini bergerak sangat cepat dan juga indah.

Menghadapi gerakan cepat ini, Cio San mulai terdesak. Ia sudah tidak bisa lagi menghindar seperti tadi. Ia tidak mencoba menyerang karena sibuk terus mempertahankan diri. Karena kalah cepat, Cio San memilih langkah-langkah mundur sambil mengelak sebisanya. A Pao yang merasa dirinya diatas angin, semakin mendesak Cio San yang terus merangsek mundur.

Sesekali tubuh Cio San terkena serangan totokan jari A Pao. Tapi karena memang mereka belum terlalu menguasai penyaluran tenaga ke jari-jari, hasil serangan ini hanya cukup menyakiti saja, namun tidak sampai menimbulkan akibat yang fatal.

Cio San lalu berkata, “Suheng, saya mengaku kalah, seranganmu hebat sekali.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat. A Pao yang masih penasaran karena belum bisa menjatuhkan anggota ‘15 Naga Muda’ tidak menghentikan serangannya.

“Ah...” Cio San hanya mendesah. Sudah sering ia menerima perlakuan seperti ini. Banyak sekali anggota Bu Tong ‘Biasa’ yang ingin menjajal dan mengalahkan anggota ‘15 Naga Muda’. Dan yang selalu menjadi sasaran adalah Cio San. Ini mungkin karena dia dianggap yang paling lemah dan paling ketinggalan ilmunya. Bagi murid ‘Biasa’, menjatuhkan salah seorang anggota ‘15 Naga Muda’ itu adalah sebuah kehormatan, maka ‘dijajahlah’ anggotanya yang paling lemah.

Sudah amat sering Cio San mengaku kalah, namun mereka selalu ingin menjatuhkannya dulu. Bagi sebagian orang, memang jauh lebih menyenangkan memukul jatuh lawan, ketimbang mendengar dia minta menyerah saja.

Sering juga Cio San babak belur karena dihajar mereka. Apa daya? Dia memang paling lemah dan merupakan sasaran empuk bagi mereka yang iri akan kedudukan ‘15 Naga Muda’. Tapi Cio San memang tidak pernah mengeluh. Perlakuan seperti itu malah semakin membuatnya rajin berlatih. Terkadang ia ditertawai orang, karena dianggap tidak pantas menjadi bagian ‘15 Naga Muda’. Kadang ia malah terluka, karena serangan-serangan mereka selalu dilancarkan dengan niat melukai, bukan dengan niat berlatih.

Dalam ‘15 Naga Muda’, ia sendiri juga mengalami hal yang tidak mengenakkan. Ia selalu dimarahi dan dikerasi oleh guru-gurunya karena kemajuan ilmunya yang lambat. Kadang-kadang gihu dan sekaligus guru pengawasnya, Tan Hoat, bahkan kehilangan kesabaran dengan menghukumnya. Memang bukan hukuman berat, cuma sekedar membersihkan dapur, atau mengurusi ternak-ternak babi milik Bu Tong. Cio San pun juga tidak mendendam terhadap gurunya itu, karena ia tahu gurunya bermaksud baik, untuk memacunya lebih bersemangat latihan.

Kadang juga, ia melihat pandangan ‘menghina’ dari sesama anggota ‘15 Naga Muda’. Para anggota ini menilai Cio San tidak pantas menjadi murid unggulan seperti mereka dan sering memperlakukannya dengan tidak baik. Seperti menertawainya, mengatakannya dengan berbagai perkataan yang menyinggung, bahkan juga mengerjainya saat latihan. Seperti mempelorotkan celananya saat ia latihan kuda-kuda, menyiraminya dengan kotoran babi dengan alasan ‘tidak sengaja’, dan lain-lain.

Cio San tidak pernah melaporkan perlakuan ini kepada guru-gurunya. Ia menganggap itu hanya candaan belaka. Sering ia tersenyum dalam menghadapi semua itu. Tapi kadang ia juga menangis sendirian saat sedang mandi atau saat tidur. Ia malu memperlihatkan kelemahannya. “Seorang laki-laki harus sanggup menghadapi cobaan apapun dalam hidupnya”, begitu kata ayahnya dahulu.

Kekuatan dan ketabahan hati Cio San ini, malah membuat orang semakin tidak suka padanya dan semakin ingin mengerjainya. Mereka tahu, Cio San tidak akan mengadukannya kepada guru-guru mereka. Perlakuan mereka terhadap Cio San semakin tidak mengenakkan. Ia bahkan lebih sering berlatih sendirian. Karena sepertinya, kawan sesama ‘15 Naga Muda’ sudah tidak lagi menganggap dirinya.

Semua kejadian tidak mengenakkan ini, sekejap mata terlintas dalam pikirannya saat ia menghadapi serangan A Pao. Tidak terasa matanya berkaca-kaca, air matanya meleleh. Pemusatan pikiran terhadap pertarungan pun buyar seketika.

Seluruh serangan A Pao pun tepat mengenai sasaran. Cio San terjatuh dan mengeluh kesakitan. Ulu hatinya terasa sakit sekali. Dalam sekali serangan, A Pao menyerang lima titik di tubuhnya. Hasilnya, ulu hati Cio San seperti ditendang 10 kuda.

Nafasnya tersengal-sengal. Tapi murid-murid lain malah menertawainya.

“Anggota ‘15 Naga Muda’ menangis saat diserang. Hahahahha…” Mereka berteriak sambil tertawa. Suara teriakan, hinaan, dan tawa itu terasa jauh lebih menyakitkan daripada rasa sakit di ulu hatinya. Ia hanya menutup mata, air matanya mengalir.

Sesudah itu dia pingsan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status