Share

Bab 10

Saat siuman, ia merasa perutnya sakit sekali. Cio San kini sedang berada di biliknya sendiri. Ia terbaring diatas tempat tidurnya. Ada bau ramuan obat. Mungkin juga bau ini yang membuatnya tersadar. Di samping tempat tidur Cio San, Tan Hoat, sang gihu duduk disebuah bangku kayu kecil.

Raut wajahnya kelam sekali. Biasanya, tidak seperti ini wajah gihunya. Tan Hoat baru kembali dari tugas perguruan. Selama beberapa tahun ini, Tan Hoat memang sering sekali turun-naik gunung untuk menunaikan tugas perguruan. Melihat ada gihunya di samping, Cio San merasa senang sekali.

Namun gihunya bertanya dengan ketus, “Kau sudah siuman?”

“Iya, Gihu,” jawab Cio San. Ada rasa tidak enak di ulu hatinya ketika ia berbicara.

“Orang-orang bilang kau menangis karena menerima serangan A Pao?”

Cio San menutup matanya. Ia tidak menangis karena serangan A Pao. Ia menangis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh saudara-saudara seperguruannya sendiri. Tapi bagaimana ia menceritakan ini kepada gurunya? Selama ini, gurunya tidak pernah tahu akan perlakuan mereka terhadapnya. Jika kemudian ia bercerita, bukankah nanti akan dianggap mencari-cari alasan? Apalagi jika nanti dia bercerita dan semua orang itu menyangkal, maka hasilnya akan lebih parah lagi. Ia akan semakin tersudut.

“Iya, Gihu,” Cio San menjawab pelan.

Gihunya juga hanya berbicara dengan pelan, namun kata-katanya menusuk sekali.

“Kau.... kau membuatku malu. Kau membuat semua murid Bu Tong-pay malu. Seorang laki-laki lebih baik mati di dalam pertempuran, daripada menangis ketakutan dalam perkelahian.”

“Maafkan teecu (murid), Guru.., teecu...” Cio San juga sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Suhu (guru) sekaligus gihunya itu berdiri lalu keluar dari bilik itu. Berjalan dengan gontai.

Cio San hanya menghela nafas. Ia menangis lagi. Ia sudah mempermalukan gurunya.

Ia tidak pernah menangis karena rasa takut. Ia tidak menangis karena kesakitan. Tidak. Ia menangis karena kemarahan. Karena diperlakukan tidak adil.

Ya! Benar!

Ia menangis karena melihat ketidakadilan. Ia lalu teringat ayahnya lagi yang dulu pernah berkata, “Laki-laki hanya pantas meneteskan airmata karena melihat penindasan.”

Cio San berpikir, apakah memang ia menangis karena alasan itu? Semakin lama ia berpikir, akhirnya ia tersadar. Yang dimaksudkan ayahnya adalah ‘penindasan’ terhadap orang lain. Jika penindasan itu terjadi kepada dirinya, maka itu bukanlah penindasan. Tapi itu karena ia tidak mampu membela dirinya sendiri.

Kesadaran berpikir seperti ini, bagi anak berumur belasan tahun sebenarnya boleh juga dibilang ajaib. Biasanya anak-anak itu lebih suka mencari pembenaran dan membela diri. Tapi Cio San sudah mulai paham bahwa, jangan-jangan ia memang hanya mencari pembenaran.

Dalam hati, ia menguatkan dirinya. Ia harus menerima resiko karena kelemahannya sendiri. Apapun nanti hukumannya, harus ia terima dengan berani. Ia tidak boleh menangis lagi. Ia tidak boleh membuat gihunya kecewa dan marah lagi seperti tadi. Dan yang lebih penting, ia tidak boleh LEMAH lagi!

Akhirnya ia tersenyum. Senyum pahit yang selalu dilakukannya. Tapi senyum seperti itu terkadang memang bisa mengobati luka hatinya. Luka hati siapa saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status