“Ya, kalau begitu ayo kita bergegas cepat untuk keluar dari kerajaan ini” ucap Askara dengan lembut, sambil memegang erat tangan Ayu. Dalam kehangatan genggaman tangan mereka, terpancar keinginan yang kuat untuk tidak kehilangan satu sama lain. “Tangan Askara ternyata lebar dan kuat ya, sekaligus hangat” ucap Ayu dengan penuh kekaguman di dalam batinnya. Dengan langkah yang cepat, mereka berdua melaju maju, namun terhenti oleh pemandangan yang mengejutkan. Di depan gerbang keluar Kerajaan, terhampar ratusan prajurit yang menghalangi jalan mereka. Dalam cahaya yang redup, mata mereka memancarkan warna merah menyala, taring-taring mereka terlihat mengancam, dan napas mereka mengeluarkan hembusan yang mengguncangkan jiwa. “Jadi, dimana Maharaja Siluman Kera Wanara Madya Wengi dan kenapa kalian para manusia berhasil keluar dari Istana Kerajaan?” tanya salah seorang siluman kera dengan suara yang menggema di seantero kerumunan. Tampak jelas bahwa dia adalah salah satu pemimpin atau peti
“Perkenalkan namaku Wanara Apyu Sang Pendekar Tombak Api” ucap Apyu dengan lantang. “Namaku Wanara Apah Sang Pendekar Trisula Air” ucap Apah. “Namaku Wanara Bantala Sang Pendekar Gada Bumi” ucap Bantala. “Namaku Wanara Anila Sang Pendekar Busur Angin” ucap Anila. “Namaku Wanara Graksa Sang Pendekar Pedang Petir” lanjut Graksa. “Lalu, siapakah dirimu wahai Pendekar Manusia?” tanya Graksa dengan mata yang menajam. “Aku adalah Askara Diwapati Vajra” jawabnya dengan singkat, namun penuh kekokohan. Kemudian, dengan gerakan yang elegan, pedangnya meluncur ke arah mereka, membelah udara dengan keberanian yang membara. Dalam sekejap, gelombang angin dahsyat meluncur dengan kecepatan tinggi, menghantam mereka seperti ombak ganas. Tubuh-tubuh mereka terhempas beberapa meter ke belakang. "Apakah ini sebuah ajian?" tanya Apah dengan kebingungan yang memenuhi dirinya. Bagaimana mungkin, tanpa kata - kata atau mantra yang diucapkan, hanya dengan gerakan, dia mampu memunculkan kekuatan yang
Deg Dalam keheningan yang tegang, denyut jantung pemuda itu berdegup dengan kecepatan yang mengguncang. Ketika ia merasakan adanya ancaman yang mendekat dari arah depan dan langit, kekhawatiran yang dalam melanda hatinya. Dan benarlah firasatnya, ketika kepulan asap tiba - tiba mengaburkan pandangannya, menghancurkan kejernihan cakrawala. Di tengah kabut yang mencekam, terlihat jelas ujung tombak yang meluncur dengan kecepatan kilat, menuju Askara yang terhunjam dalam pertempuran. Dari langit, terlintas pemandangan yang menakutkan tebasan pedang yang mengancam untuk memenggal kepala Askara. Namun, dengan kecermatan dan ketajaman penglihatannya, pemuda itu mampu melihat dengan jelas serangan itu sebelum terjadi, seolah matanya telah menyulap waktu menjadi teman setia. Dalam keanggunan gerakan yang memukau, Askara dengan lincah menghindari serangan mematikan itu. Tubuhnya meliuk dengan keanggunan, melesat melalui bahaya yang memburu. Keberanian dan ketepatan gerakannya menunjukkan
“Uhuk, bedebah! Kanuragan dan inti pusara kekuatanku kian melemah sepanjang aku mengeluarkan beberapa ajian tingkat tinggi, kini aku tidak tahu lagi harus bagaimana” ucap Askara, kemudian dia mengelap darah yang mengalir dari kening pemuda itu, akibat terjatuh dari ketinggian. “Memang benar kekuatan mereka sangatlah hebat, jika aku dalam kondisi prima mungkin aku bisa mengalahkan mereka semua” gumam Askara, matanya menatap tajam keatas. Dengan mata penuh keberanian, dia menatap tajam ke arah keempat panglima kerajaan siluman kera yang menatapnya dengan pandangan penuh keangkuhan yang merendahkan. ….. ….. ….. Raut wajah Ayu meringis kesakitan akibat patahnya tulang pergelangan tangan, sementara matanya tetap terfokus menatap tajam ke arah keempat panglima yang mengarahkan pandangan mereka ke retakan yang terbentang di bawah. “Tak dapat di pungkiri, mungkin kita akan mati di tempat seperti ini. Kekuatan dan kanuraganku sudah habis, aku tidak bisa membantu Askara sekarang ini” gumam
“Ada apa ini? Bukankah manusia itu sudah kita bunuh, itu adalah serangan terkuat kita. Harusnya dia mati, apa lagi aura kehidupan sudah tidak ada beberapa saat lalu dan sekarang aura kehidupan didalam timbunan itu muncul kembali, sebenarnya siapa dia?” tanya Apah, mengemukakan pertanyaan dengan kebingungan yang mendalam, meragukan nasib Askara, apakah pemuda itu telah meninggal atau masih bernyawa. Deg Mata mereka terbelalak ketika Askara tiba - tiba muncul dari dalam perut bumi, menampakkan tubuh yang dipahat indah dengan otot - otot six - pack yang memikat. Mereka terperanjat bukan kepalang, karena bagaimana mungkin manusia yang tubuhnya hancur berkeping - keping kini bangkit kembali tanpa cela, seolah - olah serangan dahsyat sebelumnya tidak pernah terjadi, dan kehancuran tubuh tadi hanyalah ilusi semata. “Mengerikan, bagaimana mungkin manusia bahkan makhluk lain sekalipun jika tubuhnya bercerai berai dan musnah tidak akan pernah bersatu kembali dan sudah di pastikan bahwa dia
Dengan matanya yang penuh kesaktian, Askara mendeteksi gerakan yang datang dari sisi kanannya, sebuah senyum mengembang di bibirnya. Dengan kecepatan yang memukau, ia berhasil menghindari serangan itu, lalu tanpa ragu ia menangkis serangan Apyuh dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya. “Ajian : Mahawu Rahayu Saka Sida Jangka (Hempasan api yang mengemuka dari dunia bawah)” ucap Apyuh, bilah pedangnya mengeluarkan api yang membara dari ketiadaan. Pedang pusaka itu terhunus dengan ganas ke arah Askara, dan setiap kali senjata itu menyentuh sesuatu, baik itu makhluk hidup ataupun benda mati, maka bilah pedang itu akan mengeluarkan ledakan - ledakan beruntun menggelegar. Nyaris saja Askara menghadapi kematian kedua kalinya, jika bukan karena kemampuan luar biasa yang terkandung dalam matanya yang sakti. Dia menghindari ledakan dengan sangat cepat, kemudian dia merapal mantra hanya dengan hitungan detik. “Wrahaspati Sakti Prabawa (Kekuatan yang memancar seperti Wrahaspati)” ucap
Senyum sinis terukir di bibir Askara saat kata-kata umpatan dari Bantala melambung menghampirinya. Namun, sebelum langkahnya terlalu jauh, Apah tiba-tiba muncul dan mencegahnya. Trisula sakti yang dipegangnya bergerak dengan kejam menuju Askara, namun dengan kecerdikan yang melampaui batas, pemuda itu menghindari setiap serangan mematikan yang dilancarkan oleh siluman kera tersebut. “Pergilah kau!” ucap Askara dengan nada yang meninggi, kemudian dia menendang siluman tersebut dengan kuat. Sehingga, mengakibatkan Apah terpental beberapa meter. “Kau akan aku bunuh!” teriak Bantala, dia menyerang Askara menggunakan sepasang kakinya, tetapi dengan lihainya dia mampu untuk menghindari dan menangkis serangan Bantala. Tubuh Bantala tergenggam erat oleh tangan Askara, lalu dengan cepat ia merapal mantra yang bergetar di udara. “Anugraha Kalama Dewa (Keberlimpahan yang memusnahkan roh)” begitu tubuh Bantala dipegang oleh Askara, seketika itu pula roh siluman itu lenyap seakan - akan terbaka
“Ajian : Kalacakraka Rantaka Jagad (Cakram yang berputar, menggerakkan jagad semesta)” serunya, menggelorakan kekuatan yang tersembunyi. Dan tepat pada saat itu, langit menyahut panggilan pemuda itu dengan menggulirkan cakram yang berputar dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Cakram itu menciptakan angin yang berputar-putar dengan ganas, melingkupi segala penjuru, mengungkapkan kekuatan yang menggerakkan jagad semesta secara spektakuler. Cahaya cemerlang memancar dari cakram yang memutari angkasa, menciptakan perpaduan sempurna antara putih dan biru. Dengan penuh ketenangan, Askara menunjukkan arahnya ke langit dengan jari telunjuknya yang anggun. Dalam keheningan, kata-katanya terucap dengan gemulai, "Hancurkan mereka berdua." Dan seketika, jari telunjuknya menuntun cakram itu menuju sasaran dengan kecepatan yang melampaui batas kewajaran, menyerang dengan ganas dan tak terhindarkan. Zung “Apa itu Apyuh?” tanya Apah, ketika dia melihat cakram berputar sangat cepatnya yang men