“Dimana Kak Larasati? Aku mau melihatnya terlebih dahulu, bisa saja kamu curangi aku, setelah kau mendapatkan keris ini” balas Askara dengan mata yang menatap lekat kepada Aryo.
Aryo mendengus kesal, “Bawa perempuan itu kemari cepat!” perintah laki - laki itu kepada anak buahnya.
“Baik, Mas Aryo” ucap salah dari mereka, kemudian dia segera bergegas pergi untuk membawa Larasati kehadapan mereka.
Tak berapa lama kemudian, terdengarlah teriakan perempuan yang memecah keheningan, penuh dengan rintihan kesakitan. Suaranya meresap ke dalam jiwa, memberi kesan betapa perempuan itu dipaksa untuk mengikuti laki - laki yang kejam. Rambutnya ditarik dengan kasar, seolah - olah perempuan itu hanyalah hewan ternak yang tak berdaya.
“Aww, sakitt! Tolongg, jangan tarik rambutku dengan kasar!” teriak perempuan itu mengaduh kesakitan, disertai dengan tangisan yang tersedu - sedu.
“Jangan bawa Kak Larasati seperti itu, bedebah!” teriak Askara dengan nada yang penuh dengan amarah, matanya memerah, ketika dia melihat Kak Larasati dibawa dengan biadabnya, seolah - olah perempuan itu bukanlah manusia melainkan seekor hewan.
“Ha ha ha! Sudahlah tidak usah mempermasalahkan hal kecil seperti itu, jadi kita fokus ke transaksi kita saja, aku mau keris itu dan kamu boleh membawa lacur ini” ucap Aryo.
“Kalian benar - benar bajingan! Biadab kalian semua. Demi untuk mendapatkan keris ini, kalian dapat memperlakukan orang seenaknya saja” ucap Askara, lalu mengancungkan kerisnya keatas.
“Sudahlah anak muda jangan kebanyakan drama jadi ayo mulai transaksinya, lempar keris itu kemari lalu kami akan mendorong perempuan ini ke kamu” balas Aryo dengan nada kesal.
“Baiklah, kita mulai secara serentak. Satu” ucap Askara.
“Dua”
“Tiga”
Askara melemparkan keris itu menuju Aryo, namun mereka tidak mendorong Larasati ke arahnya. Ternyata, kata - kata yang dilontarkan kepada pemuda itu tidak ditepati oleh mereka.
“Kenapa kalian tidak memberikan Larasati kepadaku?” tanya pemuda itu dengan penuh rasa curiga.
“Tentu saja tidak akan pernah aku memberikan Larasati kepadamu, sebab tubuh perempuan itu terlalu menggiurkan untuk aku lepas” jawab Aryo lalu mereka semua tertawa terbahak - bahak.
“Kurang ajar!” teriak pemuda itu.
Askara melesat cepat kearah Aryo. Pemuda itu meninju wajah laki - laki itu dengan kuat, kemudian dia menginjak lengan Aryo dengan kuat, sehingga terdengar bunyi retakan tulang yang sangat jelas.
“Tulangmu sudah aku patahkan, bedebah!” ucapnya dengan nada lantang.
Dia ingin mengambil keris legendaris itu, tetapi dihalangi oleh Soka. Laki - laki itu mengarahkan pistol ke kepalanya, membuat Askara berhenti bergerak seketika.
“Ya, seharusnya kau diam sedari tadi, karena….” perkataan Soka terhenti seketika, karena keris legendaris itu tiba - tiba bergerak dengan sendirinya tanpa diketahui olehnya, kemudian melesat cepat kearah leher laki - laki itu.
Seketika itu juga dia mati, karena tertusuk keris di lehernya.
“Soka!” teriak Aryo, lalu menatap tajam kearah Askara.
“Bedebah kau!” umpat Aryo kepada Askara, dengan nada amarah dan penuh akan kebencian.
“Kau tahu sebenarnya kau yang lebih bedebah daripada diriku ini, dan kau sepertinya tidak mengetahui bahwa jika keris itu sudah menyatu denganku. Walaupun kau rebut keris itu dariku, keris itu akan tetap kembali kepadaku” balasnya, kemudian keris itu bergerak kembali lalu terbang kearah Askara.
Pemuda itu menggenggam keris yang mengarah kepada dirinya dengan kuat, “Lalu, keris ini juga memiliki kemampuan bisa bergerak dengan sendirinya atau mengikuti perintah pemiliknya dari ucapan atau pikiran” ucapnya kembali.
“Jadi..” ucapan Askara kembali terhenti, karena dia mendengar bunyi tembakan, lalu melesatlah peluru kearahnya.
Pemuda itu terbaring ke lantai seketika.
“Ha ha ha! Rasakan itu anak muda yang sombong, Soka dendammu sudah aku balas. Jadi beristirahatlah dengan tenang di alam sana” ucap Aryo.
“Terimakasih Aji, kau telah menyelamatkanku” ucap Aryo kepada laki - laki yang baru saja menembak Askara.
“Askara! Bangun lah Askara” teriak perempuan itu, ketika melihat pemuda yang baru saja berumur enam belas tahun terbaring bersimbah darah di lantai.
“Biadab kalian semua!” umpat Larasati kepada mereka yang berbuat kejam kepada remaja yang masih belia itu. Lalu perempuan itu menangis histeris.
Tetapi sepertinya mereka tidak memperdulikan teriakan, umpatan, dan tangisan dari perempuan yang baru saja diculik oleh mereka.
“Ya, sama - sama Mas Aryo. Aku juga mempunyai dendam yang sa…” sebelum Aji menyelesaikan perkataannya, kepala laki - laki seketika terpenggal dari lehernya, karena gelombang tak kasat mata yang melesat cepat kearah mereka berdua.
Kemudian, Aryo terhempas beberapa meter akibat dari gelombang tak kasat mata tersebut.
“Sepertinya, kalian sangat senang, karena mengira aku sudah mati” ucap Askara yang kembali hidup dari kematiannya, karena pemuda itu memiliki ajian Pancasona
Peluru yang terbenam di dalam tubuhnya, seketika keluar dari tubuhnya lalu terjatuh ke lantai, sehingga menimbulkan suara yang cukup nyaring di dalam gedung tua tersebut.
“Askara, kau kembali hidup?” tanya Larasati diiringi dengan tangisan.
“Ya, Kak Larasati aku kembali hidup dan lepaskan tanganmu dari Kakakku bedebah” ucap pemuda itu, membuat laki - laki yang menggenggam rambut dan tangan Larasati, seketika itu juga dia melepaskannya.
Larasati berlari tertatih - tatih, lalu memeluk erat tubuh Askara, kemudian perempuan itu menangis sejadi - jadinya di pelukan pemuda itu.
“Sudah Kak, jangan menangis lagi. Kakak sudah bebas, jadi ayo kita pulang Kak” ucap Askara dengan lembutnya untuk menenangkan Larasati dari tangisnya.
"Kalian pikir, bahwa kalian dapat dengan mudah bebas keluar dari gedung tua ini?" ucap Aryo. Di kepalanya terdapat luka akibat serangan gelombang yang tidak terlihat. Dari lukanya mengalir darah dengan cukup deras.
“Kau rupanya masih hidup Mas Aryo?” tanya Askara dengan satire.
“Dan kau juga rupanya masih hidup anak muda, kau juga berhasil membunuh satu anak buahku lagi” ucap Aryo dengan mata yang melirik kearah mayat Aji.
"Juga, kau ternyata memiliki ajian Pancasona" ucap Aryo dengan nada yang bergetar, dia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu memiliki ajian tingkat tinggi di kancah ilmu kanuragan, apalagi dia menguasai ajian itu di usia yang masih terbilang belia.
Askara sama sekali tidak menanggapi perkataan laki - laki itu, seolah dia tidak peduli bahwa musuhnya mengetahui ajian tingkat tinggi yang dikeluarkannya.
“Kakak Larasati pergilah dulu ke tempat yang aman. Aku akan menghadapi manusia ini sekali lagi” ucap Askara memberikan perintah kepada perempuan tersebut.
“Baik, hati - hatilah Askara dan tetaplah hidup” ucap Larasati, kemudian melepaskan pelukannya lalu berlari kecil keluar dari gedung tua tersebut.
“Kejar dia Joko!” teriak Aryo kepada anak buahnya yang masih tersisa satu yang masih hidup.
Mata tajam Askara melirik dengan tajam ke arah laki - laki tersebut, tanpa ragu ia melesat dengan kecepatan kilat untuk mengejar Larasati yang berlari sekuat tenaga. Dalam genggaman tangan Askara, keris itu berputar dengan kecepatan yang menakjubkan, lalu melesat cepat kearah Joko.
Tubuh Joko terlempar tak berdaya saat keris itu dengan cepat memenggal kepalanya. Darah segar memercik di udara, menciptakan pemandangan yang menakutkan di gedung tua itu. Untuk kedua kalinya, keris itu menjadi penjagal yang menuntaskan takdir kematian.
Keris itu kembali dengan lembut ke tangan Askara, seolah menjalin ikatan yang tak terpisahkan.
“Jadi, tinggal tersisa satu manusia bajingan di gedung tua ini” ucap Askara dengan nada yang dingin dan itu membuat Aryo sedikit merasa takut di dalam batinnya.
Glup
“Kurang ajar!” umpatnya kemudian menyerang Askara secara membabi buta.
Askara dengan lihainya dapat menghindari semua serangan yang diarahkan kepadanya oleh Aryo. Dia lalu membalas serangan Aryo dengan brutal, dia menendang tubuh laki - laki itu kemudian dia meninju wajahnya berkali - kali.
“Uhuk, kau kejam sekali kepadaku. Dasar bajingan!” umpatnya kemudian dia menyerang Askara dengan cara meninju wajah pemuda itu, tetapi sebelum dia dapat melayangkan tinju itu kepadanya.
Pemuda itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kerisnya kearah kepala laki - laki itu, kemudian kepalanya sudah terlebih dahulu terlepas dari tubuhnya.
“Menjijikan, sebenarnya kaulah yang lebih kejam dariku ini Mas Aryo. Benar - benar manusia yang memuakkan” ucapnya, kemudian dia pergi dari gedung tua itu dengan santainya.
“Askara!” teriak Larasati, kemudian dia kembali memeluk pemuda itu dengan erat.
“Ayo kita pulang Kak, semua sudah selesai. Kau sekarang sudah aman” ucap pemuda itu.
“Terimakasih banyak Askara, karena kau sudah membantu berkali - kali, tapi aku masih belum bisa membalas kebaikanmu itu” ucap Larasati.
“Jangan di pikirkan Kak, karena aku membantu kamu dengan ikhlas” balasnya.
“Jadi, ayo cepat kita pulang dari tempat yang menjijikan ini” ucap Askara, lalu Larasati hanya mengangguk.
Bersambung
Sorot mata Askara terpaku dengan sinisme dan ketajaman yang menusuk, memancarkan aura kepuasan yang sulit disembunyikan. Senyuman mencolok terukir dengan apik di bibir pemuda itu, memberikan kesan bahwa dia menikmati melihat musuhnya terbakar amarah karena tingkah lakunya. Dalam pandangan sinisnya yang tajam, mata Askara menembus ke dalam jiwa musuhnya, mencerminkan kepuasan tak terduga yang tersirat di dalamnya. Serentak, senyumnya yang menggoda memperkuat kesan bahwa ia benar - benar menikmati momen ketegangan dan kesal yang melanda musuhnya akibat ulahnya sendiri. Mata yang tajam dan sinis itu seperti memancarkan pesona tersendiri, mengejek dan menantang musuhnya dengan sikap yang begitu jelas. Setiap gerak wajahnya, dari sorot mata tajam hingga senyuman yang menantang, memberi kesan bahwa dia menikmati setiap detik dari situasi yang telah dia ciptakan. “Menghancurkan empat senjata pusaka yang berada di langit malam” ucap Askara, lalu ia mulai melafalkan mantra dengan cepat. Tib
Awan hitam melingkupi langit dengan kuasa yang mencekam, menciptakan suasana yang gelap dan misterius. Gemuruh guntur menggelegar di langit, saling bersahutan dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Di tengah keheningan menakutkan, tiga senjata pusaka yang dimiliki oleh perguruan Ratri bergetar dengan intensitas yang meningkat, seakan - akan merasakan beban berat yang mereka tanggung. Mereka bergetar karena menahan serangan penghancur yang tak terkira kuatnya dari keris Krastala, senjata yang telah menjadi legenda dan paling terkenal di antara semua senjata pusaka yang pernah ada. Ketika serangan penghancur itu mendekat, aura kekuatan yang menakutkan memancar dari keris Krastala. Gelombang energi yang menggetarkan ruang dan waktu terlepas dari bilahnya yang perkasa. Cahaya kebiruan yang melingkupi senjata itu memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan, seakan-akan menjadi penanda akan kehancuran yang akan datang. Namun, di hadapan serangan dahsyat ini, tiga senjata pusaka milik pergu
Dalam keheningan yang tegang, Jaya Danu melantunkan mantra dengan suara yang penuh kekuatan, menggugah energi magis yang tersembunyi di dalam dirinya. Dari pergelangan tangannya, sebuah cahaya berkilauan mulai memancar, tumbuh semakin besar hingga menyinari seluruh ruang lingkupnya. Cahaya itu kemudian meredup dengan perlahan, mengekspos sebuah senjata pusaka yang luar biasa sebuah tombak yang memancarkan cahaya kuning kemerahan yang begitu menggoda mata. Tombak itu menyimpan kekuatan yang tak tergoyahkan, bergetar dalam aura keperkasaannya yang menghebohkan. Kilauan cemerlang yang memancar dari senjata pusaka itu menembus kegelapan, mencerminkan keberanian dan kekuatan yang melebihi batas. Mata Jaya Danu menajam, melintasi sekelilingnya yang dipenuhi oleh puluhan pendekar berilmu tinggi, yang secara berhati - hati mengelilingi mereka. Dalam tatapan tajamnya, terpancar keberanian yang tersembunyi dan tekad yang tak tergoyahkan. Cahaya tombaknya melintas di sekitar tempatnya berpijak
Askara menghentikan mobil mewah buatan Eropa tepat di depan pintu rumah Lisa. Gadis jelita itu dengan anggun turun dari kendaraan, memancarkan pesona yang memukau. Mata lentiknya memandang wajah tampan Askara dengan tatapan hangat, seakan menyirami hati pemuda itu dengan kasih sayang yang tulus. Sorotan mata Lisa, yang mengalir dengan kelembutan dan keceriaan, mencerminkan kehangatan yang mengalir dalam setiap sudut hatinya. Tatapannya seperti sinar matahari yang menerangi ruangan, menghadirkan kilauan kebahagiaan di wajah Askara. Dalam pandangan mereka, terpancar keakraban dan kedekatan yang dalam, seolah mengikat dua jiwa yang telah saling memahami. Saat mereka bertatap muka, suasana terisi dengan sentuhan kehangatan. Lisa memancarkan aura yang mempesona, dengan setiap gerakan anggunnya yang menarik perhatian. Mata mereka terhubung dalam satu ikatan yang tak terucapkan, mengalirkan energi positif yang memancar dari hati mereka. “Jadi, apa kalian tidak mau mampir Askara dan Ayu, l
Dengan tatapan tajam yang menusuk kegelapan malam, laki - laki itu mengangkat tangan dan secara magis menggepakkan sepasang sayap anginnya. Seperti kilatan cahaya yang meluncur di antara bintang-bintang, ia melintasi langit malam yang terhampar dengan keindahan tak terkira. Setiap gerakan sayapnya menghasilkan suara angin yang berirama, seakan menyapa ribuan bintang yang bersinar dengan gemerlap di langit. Ia meluncur dengan kecepatan yang tak terbayangkan, menyusuri lapisan atmosfer yang melayang di antara cahaya bintang-bintang yang memancar. Tanah pun seolah berguncang dengan kekuatan energi yang dikeluarkan oleh sayap anginnya. Dalam sekejap, laki - laki itu mendarat dengan kelembutan yang sempurna di sebuah tempat yang menakjubkan. Di hadapannya, terdapat sebuah bangunan megah yang menjulang tinggi di tengah malam yang sunyi. Bangunan tersebut menawarkan kombinasi sempurna antara kemegahan dan keaslian tradisional. Dinding-dindingnya yang kokoh menggambarkan kejayaan masa lalu
Pemuda itu menatap dengan tajam ke arah bilah keris pusakanya, lalu dengan sangat lembut ia mengelusnya sambil membaca mantra dengan cepat. Bilah keris itu berpendar dengan intensitas merah menyala, dan dari sana mengalir keluar asap tipis yang mengambang di sekelilingnya. "Askara, kau akan mati di tempat ini!" ucap Arya dengan tegas, lalu dengan penuh ketegasan ia mengarahkan Naga tersebut untuk menyerang Askara. Dengan kecepatan yang luar biasa, Naga angin meluncur menuju pemuda itu. Moncongnya terbuka lebar, memperlihatkan putaran angin yang berputar dengan cepat di dalamnya. Jika ada makhluk hidup yang terjebak di dalamnya, tubuhnya akan terbelah menjadi beberapa bagian dengan kejam. “Kangsanaga Waskita: Genggahan Pambelah Wadra (Senjata pusaka: Tebasan yang membelah udara)” ucap Askara dengan penuh kekuatan, saat ia mengayunkan dengan lincah keris Krastala ke arah Naga angin tersebut, menciptakan tebasan yang membelah udara. Dalam langit senja yang mempesona, dua ajian yang