Share

7. Perjanjian

Aroka berjalan cepat menuju istana utama dengan diiringi beberapa pengawal kepercayaannya. Ia hendak menyampaikan pesan langsung kepada baginda raja dan ratu. Dilihatnya wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan utama sang Ratu, sedang berjaga di depan ruang singgasana.

"Madia, Pangeran memberi titah yang ingin beliau sampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu," lapornya.

Saat itu, Madia wanita kepercayaan sang Ratu sedang berjaga dengan beberapa pelayan yang menemaninya.

Madia mengangguk. Kepala pengawal kepercayaan Kouza masuk ke dalam ruang singgasana kerajaan. Dengan penuh khidmat dan hormat, Aroka membungkuk sebelum menyampaikan pesan dari sang Pangeran.

"Hormat Baginda, hamba membawakan pesan dari Pangeran untuk disampaikan kepada Baginda Raja dan Ratu"

"Sampaikanlah," jawab Baginda Raja.

"Pangeran mengatakan bahwa hari ini beliau ingin mengadakan pernikahan dengan Kisha, Sang Pembebas."

Raja Zais dan Ratu Shila tampak terkejut dengan pesan yang disampaikan Aroka.

"Kisha?" tanya Raja Zais 

"Benar yang mulia, kemarin pangeran menemukan Kisha"

Raja Zais memukul tepi kursi singgasana dengan geram.

"Bagaimana bisa kabar itu tidak kau sampaikan kepadaku?!" teriak Raja Zais. "Dan sekarang pangeran ingin mengajukan pernikahan?!" serunya tak percaya.

"Maaf yang mulia, pangeran memiliki alasannya sendiri untuk tidak langsung menyampaikan kabar tersebut. Nona Kisha tidak dalam kondisi yang baik kemarin setelah kedatangannya."

"Kisha sudah muncul? Benarkah? Lalu bagaimana dengan Putri Raia ayah? Bukankah utusan Kerajaan Seas beberapa hari yang lalu sudah memberi kabar bahwa mereka menyetujui pernikahan Kouza dengan putri mereka untuk memperkuat kerjaan kita?" protes Pangeran Kouga, sang putra sulung.

"Jika memang ia adalah Kisha, Kouza memang bisa langsung untuk segera menikahinya bukan? Karena memang itu takdirnya. Tapi kita lihat saja dahulu wanita seperti apa Kisha itu. Bukankah Mera bisa menilainya? Jika memang benar, Kisha bisa menjadi selir Kouza."

Seorang wanita cantik berambut panjang memasuki ruang singgasana dengan anggun dan ikut bergabung. Ia menimpali ucapan ayahnya. Ia adalah Putri Keira, anak kedua Raja Zais. 

"Ayah, jika memang itu keinginan Kouza untuk segera mengadakan pernikahan, bukankah kita harus memeriksa wanita yang akan menjadi pasangannya? Apa memang benar dia adalah Kisha yang selama ini ditunggu-tunggu?"

"Ayah tidak boleh terburu-buru menyetujui permintaan Kouza. Ayah bisa mengutus pelayan agar wanita tersebut menghadap kita dahulu. Kita sudah mengikat janji dengan Kerajaan Seas, jika kita membatalkan pernikahan Kouza dengan Putri Raia, akan terjadi peperangan yang tidak dapat kita hindari!" timpal Pangeran Kouga melanjutkan ucapannya.

"Kouza bahkan belum mengetahui ayah telah mengikat janji dengan Kerajaan Seas. Menurut ayah apa Kouza akan menerima begitu saja perjanjian pernikahannya dengan Putri Raia?" Keira mengambil tempat duduk di sebelah Kouga.

Raja Zais menghembuskan napas perlahan. Tampak berpikir. Zais mengerutkan keningnya, berusaha mencari jalan keluar.

"Rajaku, biarkan aku menemui Kouza untuk mengetahui apa yang ia inginkan, dan menyampaikan secara perlahan tentang perjanjian pernikahannya dengan Putri Raia" tawar Shila dengan tenang.

Zais tampak mempertimbangkan ucapan istrinya tersebut.

"Baiklah Ratuku. Berhati-hatilah agar tidak membuatnya murka. Kita tidak ingin berurusan dengan roh kejam yang ada di dalam dirinya." Zais mengangguk.

"Dan pertegaskan agar Kouza menerima perjanjian pernikahan dengan Kerajaan Seas. Bagaimana pun dengan mempertimbangkan Raia adalah teman masa kecil Kouza, tidak mungkin ia akan menolaknya bukan?"

"Baiklah..." Ratu Shila hendak beranjak dari kursi singgasananya sampai  Madia, kepala pelayan ratu tergopoh-gopoh datang menghadap.

"Hormat Baginda Raja dan Ratu," Madia memberi salam dengan hormat.

"Ada apa Madia?" tanya Ratu.

"Putri Raia dari Kerajaan Seas telah tiba di istana" lapornya.

"Apaaa....?!" seru mereka serempak. Laporan Madia mengagetkan semua yang berada di dalam ruang singgasana.

"Bagaimana ini, Ayah?" Keira seketika panik.

"Tenanglah," balas Zais.

"Aroka, sampaikan pesan agar Kouza menyambut Putri Raia. Untuk masalah pernikahan dengan Kisha, aku akan pertimbangkan lagi."

"Baik, Yang Mulia..." Aroka undur diri dan bergegas menyampaikan pesan Raja Zais.

"Kita harus menyambut Putri Raia, Ratuku." ucap Zais kepada Shila.

****

Sementara itu, arak-arakan rombongan pengawal dan pelayan yang telah tiba di halaman istana Tarcha telah berjajar rapi. 

Tepat di tengah-tengahnya sebuah kereta kuda yang tampak mewah dan paling besar, turun sesosok perempuan bertubuh kecil dan berwajah anggun dengan jubah emasnya yang menjuntai.

"Selamat datang Tuan Putri Raia, kami akan mengantar Anda ke hadapan Baginda Raja dan Ratu." Seorang kepala pelayan istana membungkuk dan menyambut kedatangan Putri Raia.

Raia tersenyum bahagia, setelah beberapa hari perjalanannya, akhirnya ia sampai juga di kediaman Kouza. Kerajaan Tarcha. Tempat di mana dia akan menjadi ratu di masa mendatang dan berdampingan dengan Kouza.

Dengan langkah anggun dan pasti, Raia berjalan memasuki istana.

******

Kouza mondar-mandir dengan gusar di dalam kamarnya. Mengapa ayah tidak mengabulkan permintaannya? dan sejak kapan ia harus memenuhi perjanjian pernikahan dengan Raia? Kenapa tidak ada yang memberitahunya? Lihat saja ayah, apa kau bisa memaksaku nanti. Geramnya dalam hati.

"Apa Kisha sudah siap?"

"Belum, Pangeran, Nona Kisha masih mempersiapkan diri"

"Terlalu lama." Kouza dengan tidak sabar bergegas keluar kamarnya, hendak menuju ke ruang ganti.

"Pangeran, tunggu...! Bukankah Anda harus menyambut kedatangan Puteri Raia?"

"Aku tidak harus menyambutnya, sudah ada cukup banyak orang yang bisa menyambutnya di istana ini"

"Bagaimana jika Yang Mulia murka?"

"Maka pak tua itu akan lebih merasakan kemurkaanku."

Kouza membuka pintu ruang ganti dengan kencang. Dilihatnya Myan sedang berdiri dengan dikelilingi beberapa pelayan yang sedang membantunya mengenakan jubahnya. Jubah putih berhiaskan emas yang senada dengan pakaiannya. Pakaian untuk pernikahan khas kerajaannya.

"Apa masih lama?" tanyanya.

"Sebentar lagi, Pangeran" seorang pelayan menjawab yang sebelumnya membungkuk dan memberi hormat padanya.

Keterkejutan Myan berubah menjadi kekesalan ketika melihat Kouza menerobos ruang ganti begitu saja. "Apa kau tidak tahu seorang wanita membutuhkan waktu lebih lama untuk berhias dan mempersiapkan dirinya?" ucapnya kesal.

"Itu sudah cukup." Kouza menarik tangan Myan.

"Tidak perlu terburu-buru!" protesnya.

Kouza menoleh, mengamati Myan dengan seksama dan meraih dagunya, "Aku sudah melihat wajah polosmu, dan cukup melihat yang lainnya. Menurutku ini sudah sempurna," ucapnya sambil tersenyum menggoda.

Myan mengerjap, wajahnya kembali bersemu merah. Dengan gugup ia melihat ke sekitarnya. "Ap__apa maksudmu... tidak usah bicara yang tidak masuk akal." Ia tahu Kouza sedang menggodanya. Ia hanya tidak ingin para pelayan di sekitarnya menyalahartikan maksudnya.

"Kita harus bergegas," ucap Kouza sambil tersenyum. Ia menarik tangan Myan untuk segera keluar dari ruangan tersebut.

Myan tidak mengerti mengapa Kouza begitu tergesa-gesa. Ia berjalan sejajar dengan Kouza yang tak sedikit pun melepaskan genggaman tangannya. Myan terpaksa berlari kecil dan berusaha menyejajarkan langkah kakinya untuk mengikuti Kouza.

"Kita akan kemana?" tanya Myan.

"Menemui orangtuaku"

"Orangtua? Ma__maksudmu Raja dan Ratu?" Jelas terpancar kepanikan di wajah Myan.

Kouza mengamati perubahan wajah Myan. Ia tahu gadis itu pasti sedang terkejut dan panik. Walau begitu, raut wajahnya yang sedang gugup tidak menghilangkan kecantikannya.

Dalam hati Kouza sangat mengagumi penampilan Myan saat ini. Jika situasinya tidak mendesak, mungkin ia sudah menarik gadis itu ke dalam kamarnya dan sudah membuat acak-acakan rambutnya yang sudah tertata rapi itu.

"Jangan khawatir, mereka tidak akan menggigitmu. Kau tahu betul kan siapa di sini yang suka menggigitmu," lagi-lagi Kouza tersenyum menggoda Myan.

Myan membelalak. Refleks menatap Kouza dengan wajahnya yang bersemu merah begitu tahu maksud Kouza.

"Sekarang bukan waktunya untuk bercanda!" ucapnya sedikit kesal sambil memukul ringan lengan Kouza.

Kouza tersenyum puas. Sungguh mudah membuat gadis itu bersemu. Entah mengapa, ia sangat suka melihat perubahan ekspresi Myan yang gugup dan malu saat dirinya menggodanya.

"Kita sudah sampai" 

Kouza berdiri di ambang pintu yang besar. Menatap pintu tersebut dengan penuh keyakinan. 

Beberapa pengawal yang mengikutinya bergegas hendak membuka pintu. Kouza mengangkat tangannya, tanda agar mereka berhenti.

Samar-samar terdengar dari dalam ruangan suara ayahnya yang sedang bercakap-cakap.

"Putri Raia... akan aku pastikan segera waktu pernikahan untuk kalian, dan aku akan segera mengirim utusanku untuk menyampaikan pesan kepada Raja Izka"

"Tidak perlu terburu-buru ayah," suara berat tiba-tiba muncul dan memotong percakapan Zais. Dalam keterkejutannya, Zais melihat Kouza menerobos masuk saat pintu ruangan terbuka.

Ia sudah berdiri dengan gagah di ambang pintu masuk.

Raia ikut menoleh mencari sumber suara. Dan saat melihat Kouza berdiri di sana, wajahnya begitu berbinar-binar mengetahui kedatangan Kouza. Seakan tak dapat menahan kegembiraannya melihat Kouza yang sangat gagah dan tampan berdiri di depan matanya, tanpa sadar serta-merta Raia berhambur untuk menyambut kedatangan Kouza.

"Kou... za...." langkahnya terhenti seketika ketika dirinya semakin dekat, dan saat tiba-tiba dilihatnya ada sesosok wanita berdiri di belakang Kouza sedang menunduk.

Tenggorokannya seketika tercekat saat melihat Kouza menggenggam tangan wanita itu dari balik jubahnya, dan pakaian yang mereka kenakan....

*******

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status