Share

4 ☆ Kontrak

Kara kembali ke kediaman Bara dengan pikiran yang kacau. Dia bahkan sempat melewatkan satu pemberhentian lantaran melamun, memikirkan cara lain untuk mendapatkan uang selain setuju dengan tawaran sang majikan.

Pergulatan batin dirasakan Kara selama beberapa hari.

"Sepertinya aku tidak punya pilihan lain," gumam Kara lirih, dengan wajah sendunya.

Sampai akhirnya, dia yang sudah berada diambang keputusasaan hanya memiliki satu pilihan, yaitu menerima tawaran dari majikannya.

Hari telah larut, jam dinding pun sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kara yang sudah menyiapkan tekad untuk membicarakan hal itu dengan Bara, terlihat duduk di sofa menunggu kepulangan sang majikan sambil menahan kantuknya. Hingga akhirnya, suara pintu terbuka pun terdengar.

Kara terkesiap dalam hitungan detik. Dia langsung bangkit berdiri sambil berkedip beberapa kali, mencoba membuat matanya yang sudah berat kembali terbuka secara sempurna.

"Ayolah Kara, kau pasti bisa!" seru Kara dalam hati.

Kenyataan bahwa dia masih terlalu gugup untuk berbicara denhan Bara, membuat ia hampir melewatkan kesempatan. Bara yang acuh saat melihat Kara berdiri menyambutnya, hanya berjalan melewati gadis itu begitu saja.

Melihat majikannya lewat tanpa memperdulikan keberadaannya, Kara buru-buru memanggil Bara untuk membuat pria itu menghentikan langkah kakinya.

"Tuan, tunggu sebentar," ucap Kara.

Wanita yang masih mengenakan baju kerja itu langsung mendekat saat melihat Bara menghentikan langkah kakinya dan berbalik. Kara berjalan mendekat tanpa ragu, seakan hatinya telah siap untuk mengutarakan maksudnya.

"Kau membutuhkan sesuatu?" tanya Bara.

Ruangan gelap tanpa adanya lampu utama yang menyala, hanya menyisakan dua lampu sudut yang memberikan sedikit penerangan. Namun meski begitu, wajah keduanya masih tidak bisa terlihat dengan jelas satu sama lain.

Kara yang mempunyai indra penciuman tajam, serta dapat mengingat aroma woody bercampur apel, jelas mengetahui jika pria yang sedang ia dekati adalah sang majikan.

"Ah itu ... Apa Anda lelah?" tanya Kara yang langsung merutuki kebodohannya sendiri dalam hati, "Bodoh! Kenapa aku malah bertanya pertanyaan konyol seperti itu?"

Kara hanya bisa menelan salivanya kasar ketika salah mengawali pembicaraan. Bara sempat menghela napas kasar lalu bersedekap tangan, berusaha memperhatikan wajah gadis belia yang ada di hadapannya itu. Wajah yang tidak bisa ia lihat dengan jelas lantaran pencahayaan yang minim, membuat ia sedikit kesal.

"Sedikit. Cepat katakan saja apa keperluanmu, jangan berbelit-belit!" ketus Bara.

Karena merasa tidak enak lantaran sudah mengganggu sang majikan membuat Kara mengurungkan niatnya. "Kalau begitu selamat beristirahat, Tuan."

Perkataan Kara membuat Bara bertambah kesal, lantaran waktu berharganya terbuang sia-sia. "Jika tidak ada hal penting, maka jangan katakan saja selamanya!"

Bara lantas berbalik hendak melanjutkan langkah kakinya, namun Kara yang merasa perkataan Bara akan berlaku selamanya, mencoba berbicara sekali lagi tanpa basa-basi.

"Tentang itu—" perkataan Kara tertahan beberapa detik, sebelum akhirnya dia sampai ke inti pembicaraannya. "Kissng partner."

Mendengar hal itu, Bara lantas menoleh kembali. Saat itu barulah ia tersadar, jika wanita yang berdiri di hadapannya tadi adalah Kara. Wanita yang membuat phobia anehnya tak berkutik.

"Akhirnya dia membahas ini," ujar Bara dalam hati, "Buatkan segelas kopi dan bawa ke ruang kerjaku!" titahnya pada Kara.

Bara kembali melanjutkan langkah kakinya menuju ke ruang kerjanya yang ada di lantai dua. Sedangkan Kara sempat tertegun beberapa saat, sampai akhirnya ia tersadar bahwa majikannya sudah memberi izin untuk membahas hal itu.

Secangkir kopi dengan sedikit creamer kesukaan Bara telah selesai dibuat. Kara yang tidak mau membuang banyak waktu lagi pun, bergegas pergi ke ruang kerja sang majikan. Dia sempat menghela napas panjang, sebelum akhirnya masuk setelah Bara mengizinkannya.

Lampu yang menyala terang benderang, membuat manik matanya menangkap sosok sang majikan dengan jelas. Pria itu terlihat gagah saat berdiri sambil memegang sebuah tablet. Dengan kemeja putih yang lengannya terlipat sedikit, serta kancing bagian atas yang terbuka. Entah mengapa, membuat Kara terdiam sejenak di tempatnya.

"Taruh di meja dan duduklah!"

Perintah Bara membuat Kara tersadar dari lamunan sesaatnya. Dia pun segera menaruh cangkir kopi di atas meja, lalu duduk seperti yang diperintahkan sang majikan.

"Apa kau punya harga untuk ditawarkan?" tanya Bara tanpa basa-basi, dengan mata yang masih fokus menatap tablet di tangan.

Kara sangat ingin menjawabnya pada saat itu, namun entah mengapa lidahnya mendadak kelu. Aura mengintimidasi yang keluar dari pria itu membuat nyalinya ciut seketika, bibirnya kelu dan tak bisa berkata-kata.

"Tidak ada? Baiklah, aku akan memberimu 15 ribu dollar untuk sekali layanan. Bagaimana?" tanya Bara, kemudian memandang Kara.

Gadis yang sedang duduk tegak itu tertegun dan memikirkan tawaran Bara dengan baik. Yah, karena kesepakatan ini adalah jalan satu-satunya agar dia bisa melunasi hutang sang Ayah.

"Berapa lama? Berapa lama Anda membutuhkan layanan dari saya?" tanya Kara untuk memperhitungkan uang yang akan dia dapat.

Bara menaruh tabletnya di atas meja kerja,alu pergi ke arah Kara dan duduk di depannya. "Tidak yakin. Setidaknya sampai phobiaku membaik."

"Dia tidak yakin?" batin Kara was-was, "Bagaimana jika phobianya sembuh hanya dalam satu bulan? Bukankah waktunya kurang untuk mendapatkan 200 ribu?"

Kara mencoba mencari cara memanfaatkan keadaan, agar dirinya tidak terlalu rugi dengan kesepakatan di antara mereka. Setidaknya, dia butuh jaminan agar hutangnya lunas.

"Bagaimana jika kita membuat kontrak. Setidaknya dua atau tiga bulan, agar kita bisa sama-sama untung dalam segi manapun."

Bara menyandarkan punggungnya, menatap Kara dengan seksama. Dia sendiri merasa jika kontrak merupakan hal yang penting untuk kerja sama mereka. Setidaknya, mereka akan punya batas waktu yang pasti.

"Oke, tidak masalah. Aku akan membuatnya lima bulan. Selama itu, kamu akan memberiku service setiap minggunya."

Dua sudut bibir Kara terangkat samar, bersamaan dengan hela napas panjang. Satu rencananya telah berhasil, sekarang hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk bisa mendapatkan keuntungan.

"Saya tidak masalah dengan itu, tapi saya ingin pembayaran di awal."

Bara jelas terkejut mendengar permintaan pembantu rumah tangganya. Dia tidak menyangka, jika gadis yang dia kira angkuh itu ternyata juga materialistis.

"Aku tidak menyangka, jika dalam masalah ini kau sangat pandai mengambil keuntungan."

Kara terkejut, "Tidak! Bukan seperti itu maksud saya."

"Bukan? Lalu apa itu? Memeras?" Bara terdengar lebih ketus dari sebelumnya.

"Setidaknya, Anda bisa memberiku setengah pembayaran di awal. Hal ini hanya untuk berjaga-jaga saja, Tuan. Lagi pula, bukankah ini tujuan dari sebuah kontrak?"

Kedua manik mata Bara terbelalak. Memikirkan, bagaimana seorang maid bisa mengetahui tujuan adanya kontrak? Ini memang mirip seperti sebuah kerjasama 'Give And Take' yang bisa merugikan salah satu pihak jika tidak dipikirkan baik-baik.

Dua pasang mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat. Bara menangkap sorot mata penuh keyakinan dari lawan bicaranya. Seakan-akan dia tidak akan menolak tawaran ini, lantara dia sendiri juga butuh.

Bara tersenyum dan berucap dalam hati, "Wanita ini, bisa menilai keadaan dengan sangat baik. Dia pandai memposisikan dirinya agar tidak mendapatkan kerugian dari berbagai aspek. Sungguh, maid yang cerdas!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status