Share

5 ☆ Bahaya

Sang Mentari mulai naik dari peradabannya, setelah membuat setengah dari bumi gelap tanpa cahaya. Dia menyisingkan sinar yang begitu terang hingga membuat mata silau.

Namun anehnya, burung-burung justru menyambutnya dengan kicauan merdu. Bahkan angin pun begitu, dia bergerak sepoi-sepoi menebarkan bau embun yang sangat khas.

Waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi, tetapi para maid di kediaman Bara sudah terlihat sangat sibuk, termasuk Kara. Gadis itu terlihat sangat amat sibuk membersihkan tempat tidur yang ada di kamar tamu. Meski tidak terpakai, selimut dan sprei tetao diganti setiap minggunya.

Bara yang kebetulan sudah selesai bersiap untuk bekerja, sedang berjalan melewati kamar tamu. Pandangan matanya tiba-tiba terfokus pada Kara. Dia bahkan menghentikan langkah kakinya untuk bisa menatap gadis itu sedikit lebih lama.

Baju maid yang berupa dress hitam, berpadu dengan renda putih di beberapa bagian seolah memperlihatkan tubuh sexy Kara. Kaki putih mulus nan bersih, dengan rambut yang digelung rapi seakan menambah kemolekannya.

Bara larut dalam pemandangan yang sedikit menggoda hasratnya. Entah mengapa, pria itu justru menelan kasar salivanya sambil mengendurkan dasi yang tadi sudah terpasang rapi. Lalu, dia berdehem sambil menyimpan kedua tangannya di saku celana.

Sungguh, tingkahnya sangat lucu jika Kara melihatnya. Namun sayangnya, gadis itu masih fokus dan tidak menyadari keberadaan Bara.

Namun deheman berat pria itu membuat Kara menoleh ke arah sumber suara. Melihat sang manikan sudah berdiri di ambang pintu, membuat Kara menghampirinya dengan senyum ramah.

"Selamat pagi, Tuan Bara. Apa Anda membutuhkan sesuatu?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin memberimu ini. Di dalam ada uang senilai 150 ribu." Bara mengeluarkan dompet dan mengambil sebuah kartu dari dalam sana, lalu menyodorkan kartu itu pada Kara. "Masuklah ke ruang kerjaku, ada kontrak kerja sama kita di atas meja. Jika setuju, tanda tangani itu. Jika belum, kau bisa menghubungiku."

Kara yang sempat tertegun beberapa saat, langsung mengangguk setelah mendengarkan penjelasan lengkap dari Bara. Pria dengan jas hitam itu pun bersiap pergi setelah Kara menerima kartunya. Namun baru satu langkah, ia terhenti lagi.

"Malam ini, beri aku layanan pertamamu!"

Jantung Kara berdetak sedikit keras mendengar permintaan dari Bara. Meski dia telah mempersiapkan hati dan mentalnya, Kara tetap saja gugup saat Bara memintanya secara terang-terangan.

Setelah mengatakan hal yang ingin dia katakan, Bara melanjutkan langkahnya sambil menutup mulut. Dia bahkan mempercepat langkah kakinya, seperti pencuri yang hampir tertangkap basah.

"Sial! Kenapa aku bisa tergoda?" pikir Bara.

Senyum lega sempat terukir sesaat setelah manik mata Kara melihat Bara pergi. Yah, setidaknya dia sudah bisa membayar hutang judi sang ayah dan kembali bekerja dengan tenang.

Dia pun segera pergi ke ruang kerja Bara. Matanya langsung tertuju pada selembar kertas yang ada di atas meja. Segeralah dia baca isi kontrak yang poin-poinnya yang tidak banyak itu, lalu mencoba memikirkan keuntungan yang bisa dia ambil.

Butuh setidaknya 5 menit, hingga ia membubuhkan tanda tangan di atas namanya. Tanda tangan yang mengartikan, bahwa dia telah setuju dengan beberapa poin yang tertera.

"Baiklah Kara, sekarang saatnya kembali bekerja! Semangat!" seru Kara untuk menyemangati dirinya sendiri.

Rasa tidak sabar untuk segera melunasi hutang, membuat Kara bekerja dengan ekstra hari ini. Gadis itu sudah menyusun rencana untuk pergi sebentar sore harinya, sebelum Bara pulang ke rumah.

Kamar mandi dia gosok dengan mengerahkan kekuatan penuh, lalu mencuci dan menggosok baju. Dia bekerja sangat cepat, tetapi semua pekerjaannya bersih dan terbilang sempurna. Benar, inilah salah satu keahlian Kara yang disukai Helena.

Pukul 4 sore semua pekerjaan Kara telah selesai dengan sempurna, namun sejenak pun Kara tak berniat untuk beristirahat. Dia melepas celemek putihnya dan menggantinya dengan jaket rajut, lalu buru-buru pergi dengan sebuah taxi.

Tepat pada saat Kara akan masuk ke dalam taxi, Bara yang kebetulan pulang lebih cepat, secara tidak sengaja melihatnya. Tindakan Kara yang buru-buru, membuat Bara ragu untuk sesaat.

Pikirannya menjadi kacau untuk sesaat, dia mengira gadis kecil itu sedang buru-buru kabur setelah mendapatkan uang muka.

"Gadis itu, bukan ingin kabur kan?" batin Bara was-was.

Bara yang pada saat itu di antar oleh asisten pribadinya, langsung meminta pria bertubuh ramping itu pergi mengikuti taxi yang dinaiki Kara.

"Akan ku cincang, jika dia benar-benar kabur setelah mendapatkan keuntungan!" gumam Bara kemudian mengumpat beberapa kali, lantaran berhasil dibodohi oleh seorang pembantu.

Dari rumah Bara, perlu setidaknya 45 menit bagi Kara untuk sampai di tempat tujuannya. Kawasan dengan banyak gedung-gedung perkantoran sederhana.

Berbekal informasi dari salah seorang preman yang dia hubungi tadi siang, Kara datang sambil membawa kartu ATM yang diberikan oleh Bara.

"Kita sudah sampai, Nona."

Taxi berhenti di depan sebuah gedung 3 lantai dengan cat berwarna cream. Tidak ada papan nama yang terpampang di sana, namun supir taxi menjelaskan jika bangunan itu sudah sesuai dengan alamat yang diberikan Kara.

Namun Kara tidak langsung mendatangi gedung tersebut setelah turun dari taxi. Dia justru mendatangi sebuah toko buah yang ada di sudut jalan untuk mencoba bertanya.

"Ada urusan apa, Nona?" tanya wanita paruh baya pemilik toko buah itu.

"Oh, saya hanya ingin bertemu dengan seseorang. Dia memberiku alamat ini."

Kening wanita itu mengkerut, "Seseorang?" Dia memandang Kara dari atas hingga ke bawah dengan teliti, lalu dia mendekatkan diri dengan Kara dan bertanya dengan lirih. "Apa dia pria dengan bekas luka di atas alis?"

Kara mencoba mengingat kejadian satu minggu yang lalu. Dari beberapa preman yang mendatangi rumahnya dulu, memang ada 1 orang dengan luka di kening. Orang itu juga yang melemparkan secarik kertas bertuliskan nomor ponsel.

Kara mengangguk sebagai jawaban.

"Nak, apa dia menawarkan pekerjaan untukmu?" tanyanya lagi.

"Oh, bukan!" Kara menggeleng dengan cepat.

Belum sempat wanita penjual buah itu bertanya lagi, dua orang pria berjalan ke arah mereka. Tanpa basa-basi, mereka langsung bertanya pada Kara. "Hei, Nona! Kau cari aku?"

Kara langsung menoleh dan menatap dua orang yang tidak asing di ingatannya. Benar, mereka adalah orang yang mengeroyok ayahnya minggu lalu.

"Ya, aku datang untuk membayar!" ketus Kara.

"Kau datang dua hari lebih cepat rupanya. Kemari, ikut denganku!" Pria itu memberi isyarat agar Kara mengikutinya masuk ke dalam bangunan.

Kara yang merasa tidak nyaman dan sedikit was-was, merogoh saku dan menyodorkan kartu ATM.

"Tidak perlu, aku hanya datang untuk menyerahkan ini!" tegas Kara.

Dua pria itu saling memandang untuk sesaat. Sebelum akhirnya, salah seorang pria menjelaskan maksud mereka.

"Kau tetap harus masuk untuk menandatangani sesuatu, Nona!"

Namun Kara juga tetap kukuh pada pendiriannya, "Kalau begitu, bawa saja kemari."

Tindakan keras kepala Kara, sontak saja membuat dua preman itu menjadi sedikit geram.

Pria dengan bekas luka itu coba mendekati Kara dan berbisik. "Apa kau ingin mereka yang ada disini tahu, jika ayahmu punya hutang judi?"

Mendengar itu, Kara seolah tidak punya cara lain untuk ikut dengan mereka masuk ke dalam. Namun sebelum mengikuti mereka, Kara yang sempat melihat pisau kecil di antara buah-buahan, langsung mengambil dan menaruhnya di dalam tas.

Wanita penjual buah itu jelas melihat pisaunya diambil, tetapi ia tidak menghentikan Kara atau pun berteriak. Ekspresi wajahnya justru terlihat cemas, seolah dia tahu jika pria yang ada di seberang tokonya bukanlah orang baik.

Bangunan tiga lantai dengan cat cream yang terlihat cerah di luar, nyatanya tidak seperti bayangan Kara. Begitu dia masuk, bau alkohol tercium begitu pekat, membaur bersama asap rokok yang mengepul.

Ruangan tanpa pendingin udara dan hanya ada beberapa kipas, membuatnya semakin pengap. Kara yang baru saja masuk, langsung merasa tidak nyaman.

"Bos, dia datang!" ucap salah seorang yang membawa Kara masuk.

Manik mata Kara langsung tertuju pada salah seorang pria bertubuh kecil. Ya, dia ingat dengan baik kalau pria itulah yang membuat ibu dan adiknya bersimpuh dan menjadikannya korban.

"Maaf, saya tidak punya banyak waktu." Kara mencoba berbicara dengan sopan, meski ada gejolak amarah dalam hati. "Di dalam sini ada 200 ribu. Jadi, tolong beri saya surat lunasnya," lanjut Kara sambil menyodorkan kartu.

Pria bertubuh kecil yang sedang duduk santai di atas sofa, hanya memandang kartu di tangan Kara sesaat. Dia menyunggingkan bibirnya, lalu berkata dengan nada ketus.

"200 ribu hanya pokok. Kau masih harus membayar bunganya sebesar 50 ribu."

Mendengar itu, Kara tidak bisa lagi menahan emosinya. "Konyol! Hutangnya hanya 100 ribu dollar dan Anda meminta 200 ribu minggu lalu. Bagaimana bisa meminta 50 ribu lagi sekarang?"

Kara menjadi kesal lantaran merasa di permainkan.

"Ambil 200 ribu ini dan berikan aku tanda lunasnya. Atau masalah ini akan sampai di kepolisian!"

Ancaman Kara langsung membuat salah seorang dari mereka mengulurkan tangan dan meraih lehernya. Dia pun langsung melawan dengan menendang perut pria itu, hingga akhirnya dia berhasil bebas dari cekikan.

Setelah bebas, Kara mencoba kabur. Dia berlari secepat mungkin menuju pintu, tetapi seseorang berhasil menarik rambutnya.

Tubuh Kara terpelanting ke belakang dengan cukup keras. Tubuh yang menghantam lantai membuatnya kesulitan untuk berdiri dengan cepat.

Pria yang sempat mendapat tendangan dari Kara, langsung membalas dendam dengan menarik paksa baju yang dia kenakan. Satu persatu dari kesepuluh orang mendekat, mencoba bertindak kasar.

Kara teringat akan pisau di tasnya. Tapi belum sempat ia mengambilnya, salah seorang dari preman itu membekap mulutnya. Dua orang memegangi kedua tangan Kara dan dua orang lagi memegangi kakinya, sambil merentangkannya selebar mungkin.

"Bos, mau mencobanya dulu tidak? Sepertinya dia masih gadis."

Kara berusaha memberontak. Namun kelima orang yang memegangi tubuhnya terlalu kuat.

"Baiklah, ayo kita coba."

Pria yang sejak tadi duduk dan menonton, perlahan bangkit berdiri. Dia berjalan dengan santai mendekati Kara yang tidak berdaya sambil membawa sebuah tongkat kecil di tangannya.

Tongkat itu dia mainkan dan mulai menyentuh tubuh Kara. Dimulai dari leher, lalu semakin turun dan turun lagi. Sesampainya di kaki, tongkat itu ditarik naik ke atas dengan pelan, hingga membuat rok Kara ikut terangkat.

Namun, tiba-tiba saja ....

BRAK!!!

"Wah, wah, wah. Permainan apa yang sedang kalian mainkan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status