Share

08. Angry vs Fear

Sharon membanting map coklat yang berisikan surat kontrak itu dengan kasar. Amarah memuncak di puncak kepala. Teriakan Grace pun ia abaikan, ia memijit pangkal hidungnya, ternyata pria itu serius ingin mengajaknya melakukan hal yang memalukan seperti ini.

Grace membuka pintu, menghela napas saat melihat sahabatnya tersandar dengan muka masam. “Sepertinya aku sudah tahu secara garis besar cerita rumitmu.”

Sharon membaringkan tubuhnya di atas sofa, menutup matanya dengan lengan, Grace masih berdiri di ambang pintu, menatap kasihan ke arah Sharon. Saat melihat semua adegan menarik--menurutnya itu, Grace langsung mengerti perasaan sahabatnya itu saat kembali dari liburan natal yang dilanda kegundahan dan rasa amarah. Amarah yang tidak tahu ditujukan untuk siapa dan untu apa. Tapi, ia ingin tahu apa isi hati Sharon, lalu memancing perdebatan.

“Kau kelihatan kecewa, apa kau berharap pria itu mempunyai perasaan yang sama denganmu?”

Kalimat Grace membuat jantung Sharon berdetak dengan kencang. Masih mempertahankan posisinya Sharon memilih mengabaikan Grace, membiarkan Grace berpikir semaunya.

Tapi, apakah benar yang dikatakan Grace?

“Kurasa benar, kau menyukai pria itu,” pancing Grace, sengaja agar Sharon berbicara.

Benar saja, Sharon bangkit dan memprotes pernyataan Grace, “jangan konyol, aku tidak pernah berpikir seperti itu,” bantah Sharon.

Grace tersenyum lebar, menikmati perdebatan yang akan segera terjadi ini, “lalu mengapa kau marah? Itu sama saja dengan menunjukkan dirimu kecewa.”

Sharon menatap Grace yang mendekat, ia merasa perkataan Grace ada benarnya, mengapa ia bersikap kekanak-kanakan di hadapan pria yang ia benci itu?

Grace berhenti tepat di depan Sharon yang menunduk, menatap sepatunya seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana. “Kau ingin balas dendam?”

Sharon mendongakkan kepalanya, senyum licik Grace membuatnya mengernyitkan dahi, “balas dendam apa—“

“Sstt ...” Grace meletakkan telunjuknya di depan bibirnya.

“Jangan berpura-pura bodoh, aku sudah bisa membaca situasimu, Sharon.”

Membiarkan Grace dengan pikiran jahatnya, Sharon setia menunggu apa kalimat yang akan disampaikan Grace selanjutnya, ia tidak membantah sedikit pun karena Grace selalu tahu apa yang terjadi, itu berlaku sejak dulu, layaknya seorang cenayang.

“Cara membalas dendam itu gampang, ikuti saja cara mainnya.”

**

Selama empat jam hanya termenung dan tidak bersemangat saat bekerja, Grace memutuskan untuk memberikan satu hari libur untuk Sharon. Awalnya Sharon menolak, tapi mendengar rencana yang telah di susun Grace ia mengalah, mengganti pakaiannya dan berjalan menuju halte bis.

“Kau baca apa saja yang tertulis di dalam dokumen itu, lalu pahami, hubungi aku secepatnya.”

Sejujurnya, mendengar fakta bahwa dirinya kecewa akibat perlakuan Benedict membuatnya sangat berpikir keras, ia menganggap dirinya seperti seorang wanita yang gampang menaruh hati kepada orang asing secepat itu. Lalu, apa pikiran Benedict tentang dirinya, pasti pria itu juga menganggap dirinya wanita yang aneh.

Bis menepi perlahan tepat di depan Sharon, ia melangkah masuk lalu mencari tempat duduk di samping jendela. Ia mengeluarkan earphone bermaksud ingin menjernihkan pikiran dengan lagu klasik.

Suasana hati Sharon sangat tidak baik, ia mengakui jika dirinya mempunyai temperamen yang buruk serta labil. Ia menyandarkan kepala di samping jendela, menatap jalanan sore yang ditimpa cahaya jingga. Setelah berdebat di dapur panti asuhan, lalu bertemu kembali di restoran, dan perlakuan baik Benedict yang membuatnya sedikit goyah.

Teringat kembali perkataan Grace, “itu hanya makanan biasa! Jangan terbawa perasaan, Sharon bodoh.”

Entah sudah berapa kali ia menghela-membuang napas sejak duduk kesepian di dalam bis, ia melihat kembali menatap map coklat dan kartu berwarna hitam itu dengan gusar. Ia benar-benar merutuki dirinya hari ini karena bersikap layaknya wanita yang dicampakkan untuk kesekian kalinya.

Sharon turun dari bis begitu sampai di halte tujuannya. Malam ini, ia akan menghubungi Benedict, bertanya semua yang pria itu akan lakukan. Lebih baik ia pasrah mengikuti kemauan pria itu. Toh, mereka juga tidak saling mengenal, dan memangnya mengapa mempermainkan pernikahan? Tidak ada yang salah, bukan? Ini lagi kehidupan di zaman kerajaan.

**

“Terima kasih sudah meluangkan waktu Anda, Mr. Benedict,” ucap pria paruh baya sambil mengencangkan genggamannya, menatap kagum ke arah pengacara kondang yang bersedia menjadi bekerja dengannya.

“Jangan terlampau senang, Mr. Cortez, tentu Anda tidak melupakan syarat-syarat yang saya ajukan.”

Mendengar kalimat dingin dari Benedict, Cortez melepaskan tawa besarnya, seolah-olah ada sesuatu yang lucu terselip di dalam kalimat yang dilontarkan Benedict.

Benedict sedikit pun tidak tertarik untuk berhubungan lebih lanjut saat mendengar tawaran makan malam dari kliennya. Bukan dirinya tidak tahu sepak terjang pria beruban di hadapannya ini, bisnis gelap miliknya hampir menguasai seluruh daratan Eropa.

Setelah meninggalkan tempat pertemuannya dengan Mr. Cortez, Benedict memberitahu sopirnya untuk segera mengantarnya ke hotel. Sudah tiga hari ia berada di negara eksotis ini, cuaca terang yang sangat ia sukai menembus kaca jendela mobilnya.

Beberapa saat lalu bibinya kembali menelepon, menanyakan tentang persiapan pernikahannya, bibinya dengan senang hati menawarkan bantuan. Meskipun Benedict sudah mengatur seluruh persiapan pernikahannya, tetap saja sang bibi ingin menawarkan dirinya untuk membantu. Terpaksa ia mengalah, membiarkan bibinya melakukan apa pun semaunya.

“Aku setuju dengan semua syaratnya, senang berbisnis dengan Anda.”

Pesan yang tidak kunjung ia balas sejak tiga hari yang lalu itu sontak membuat sudut bibirnya naik, membuat senyuman tipis yang tak terlihat. Ternyata Sharon tidak terduga, tidak memprotes dirinya sama sekali perihal surat kontrak yang ia ajukan. Malahan langsung menyetujuinya dan bertanya kapan dirinya pulang karena tidak sabar ingin menjadi istrinya. Tentu saja, ia tahu jika Sharon sarkas, wanita seperti Sharon sangat mudah ditebak. Tapi biarlah, entah apa yang wanita itu sedang rencanakan.

“Tuan, tujuan Anda sudah sampai,” ucap sopir yang mengantarkannya selama di Barcelona. Benedict keluar dari mobil, memberitahu beberapa hal kepada sopir sebelum mengucapkan terima kasih. Begitu mobil berwarna abu-abu itu menghilang dari pandangannya, ia menapakkan kakinya di dalam hotel berbintang lima tersebut.

kebiasaan buruknya adalah selalu pergi sendirian, tidak merekrut asisten maupun sekretaris pribadi. Ia merasa tidak ada gunanya bergantung kepada orang lain, dan juga dirinya tidak mempercayai siapa pun termasuk dirinya.

Baru saja melangkahkan kaki di dalam kamar hotelnya, Benedict tersentak kaget saat melihat cermin besar yang menampilkan wajahnya hingga seluruh tubuh. Cermin besar tepat di belakang pintu masuk, Benedict merasakan jantungnya berdegup sangat kencang, ia mendongakkan kepalanya menghadap langit-langit kamar, mencari ketenangan di sana.

Dan keburukannya yang kedua adalah sangat menghindari cermin. Hanya cermin yang sangat membantunya saja yang ia gunakan. Bahkan untuk mencukur kumis ia lebih memilih ke salon.

Tidak ada satu pun orang yang tahu tentang ini, ia menyimpan rapat tentang segala hal yang menyangkut dirinya.

“Itu bukan keburukanmu, Ben, melainkan ketakutan. Ya, kau takut melihat dirimu yang dipenuhi rasa bersalah itu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status