Alva dan Haru berpisah saat tiba di tujuan. Sebuah bangunan yang penuh dengan kemewahan. Bukan tanpa alasan, karena bangunan itu adalah sebuah klinik yang berdiri kokok di antara sawah dan perumahan warga. Belum sempat Alva mendorong pintu klinik, pintu itu tiba-tiba terbuka. Seorang pria dewasa muncul dari sebalik pintu tersebut. Matanya langsung terbelalak saat melihat wajah Alva.
“K-kau… kenapa kau di sini? Apa jangan-jangan kau dokter yang dikatakan oleh si Haru?”
“Hmm… ya...tapi bagaimana kalau dokter izinkan aku masuk dulu sebelum bercerita panjang lebar?”
“Ba-baiklah...ikuti aku!”
Mereka berjalan menuju sebuah ruangan. Ruangan khusus yang memiliki papan nama “dr. Adi,”. Alva menyeringai saat membaca papan nama tersebut.
“Silahkan duduk! Aku akan mengambil dokumennya dulu,” pria bernama Adi tersebut berpindah ke rak buku dan mengambil sebuah dokumen. Lantas dia menyerahkannya kepada Alva.
“Kau...anggota lingkar hijau’kan?”
selamat membaca
Setelah Alva meninggalkannya pergi, Bian hanya bisa berkeliling rumah tanpa ada sesuatu yang jelas bisa dia kerjakan. Sebenarnya dia sudah menawarkan jasa kepada si ibu. Tetapi wanita itu menolak dan hanya memintanya untuk menemani anaknya di rumah. Beberapa saat yang lalu dia masih bersama Hari di pondok kecil belakang rumah namun kini laki-laki itu entah ke mana perginya. Karena dia lelah berada di dalam rumah, dia pun memutuskan untuk keluar untuk mencari Hari. Seketika Hari memutar kepalanya saat terdengar suara langkah kaki mendekat. Bian memandanginya dengan wajah datarnya. Hari yang sudah menebak watak gadis itu sejak awal langsung menerima kehadirannya dengan kembira. “Duduklah di sampingku! Kau mencariku’kan?” ajaknya dengan penuh percaya diri. Bian segera membungkuk dan duduk di samping laki-laki yang sudah turun dari kursi rodanya. “Aku lebih suka menyelesaikan sovenir ini di tempat ini. Karena aku tetap bisa melihat Haru dan ibu yang sedang bersaw
“Aku sudah mendengarnya. Kau yang akan menjadi dokter penggantinya’kan?” pertanyaan dari Hari membuat Alva terdiam. Dia tahu Hari hanya ingin memastikan kebenaran, hanya saja dia merasa jika Hari sedang menyudutkannya. Hari tidak melanjutkan pembicaraannya. Dia tetap menunggu jawaban dari pria yang ada di hadapannya tersebut. Mulut yang terasa berat untuk menjawab terus membungkam Alva dalam perasaan bersalah. Padahal niatnya adalah untuk membantu pria tersebut, tetapi setelah merasakan kerapuhan jiwa Hari dia menjadi bingung dengan keyakinannya. Dengan gerakan yang secara tak sadar ia lakukan, Alva mendekati laki-laki itu lalu menyentuh bahu kirinya. Sebuah kebiasaan spontan yang ia lakukan. Senyuman manis yang selalu ia lontarkan kepada siapapun. Senyuman yang ia gunakan untuk menghadapi kondisi yang ia sendiri belum tahu cara menghadapinya. “Aku tahu, Kak Hari adalah salah satu dari orang hebat yang kutemui selama ini. Manusia yang
Hari yang paling mendebarkan pun tiba. Suara debar jantung yang kuat benar-benar membuat telinga bisa mendengarnya. Namun, itu bukanlah alasan bagi mereka untuk tidak tersenyum. Mereka hanya bisa tersenyum untuk saling menyemangati dari rasa khawatir dan ketakutan. Si ibu sibuk mencari Alva untuk menunjukkan rasa hormatnya.“Ada apa Bi? Apa terjadi sesuatu dengan Kak Hari?” tanya Alva yang baru saja keluar dari ruang gantinya. Kini dia sudah mengenakan pakaian khusus operasinya dengan segala persiapannya. Bahkan rambut panjangnya dia ikat seperti sanggul agar tidak mengganggu.“Dia tidak apa-apa. Hanya saja…Bibi mau mau mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih sekali,” si ibu sedikit membungkukkan badannya. Hal itu membuat Alva terkejut.“Tidak-tidak perlu. Ini sudah kewajiban saya. Bibi sebaiknya juga bersiap ya. Apa pun hasilnya semoga kita semua bisa menerimanya.”“Ya. Aku sudah menunggu hari ini se
Hari keempat tiba. Hari yang dijanjikan Alva untuk segera berangkat dari tempat tersebut. Sebelum pergi Alva menyempatkan untuk bertemu dengan dokter pemilik klinik si Dokter Adi.“Tidak apa-apa, aku benar-benar berterima kasih. Aku akan merawat Hari semampuku.”“Jika…seandainya terjadi sesuatu segeralah mencari dokter untuk membantumu. Jika perlu tambahlah pekerja di sini. Ya ampun…apa yang aku katakan kepada seniorku sendiri…aku minta maaf.”“Tidak apa-apa. Akan segera kuusahakan. Terima kasih masukannya. Oh iya… kau akan segera pergi?”“Iya…temanku itu sudah tidak sabaran. Tetapi sebelum pergi aku akan melihat Hari sebentar dan pamitan. Aku pamit dulu.”“Ah…iya…terima kasih atas bantuanmu. Semoga kita bisa berjumpa lagi.”Lokasi pun berganti di kamar Hari. Si ibu sedang menenteng sebuah bungkusan lalu memberikannya kepada Bian.
“Ya ampun, sejak kapan rambutku sudah sepanjang ini? Aku pikir rambutku sependek rambut Bian, ternyata sudah sebahu saja. Hmmm…aku harus segera memotongnya…jika aku ingat,” gerutunya. Setelah selesai membersihkan diri Alva segera bergantian dengan temannya itu. “Aku pikir dia tidak mau mandi. Em…setidaknya sekarang letihku sudah berkurang. Sebaiknya kami makan nanti saja,” pikir Alva. “Aku jadi penasaran kenapa dia tidak mau mandi bersama. Apa aku harus mengintipnya? Emmm…apa yang kupikirkan sih…ya ampun.” “Cepatlah kita harus segera bertemu desa berikutnya,” Alva mulai mendesak temannya itu, namun seketika dia terpikirkan sesuatu. “Eh, maksudku mandi saja sesukamu tak perlu terburu-buru,” tentu saja percakapan satu arah itu dia lakukan dengan bersorak. Karena secara pandangan mata lokasi mereka berada cukup jauh terlebih lagi suara berisik air terjun yang ikut mengoceh. Seusai membersihkan diri mereka segera melanjutkan perjalanan karena mere
Alva menunjuk seorang wanita yang bertubuh lebih besar dari Nila. Seorang gadis dengan kulit lebih putih bersih dan tubuh yang lebih terawat. Dia terlihat senang dengan jagung bawaan Nila. Sedangkan dilain sisi Nila sudah beranjak ke belakang rumah untuk menimba air. Air yang diambilnya lalu ia gotong ke dalam rumah. Mungkin untuk persiapan saat malam hari atau memang untuk mengisi bak air untuk mandi. Setelahnya seorang pria datang dan memerintahkannya untuk memindahkan sebuah karung yang terlihat sangat berat. Tanpa menolak dia langsung mengerjakannya dengan sigap.“Lihatlah gadis itu!”“Pantas saja Nila bekerja sendirian,” gumam Alva.“Aku tahu di beberapa daerah masih ada yang namanya kemiskinan pasca perang. Keluarga Nila sepertinya sengaja tinggal menjauh dari perumahan warga. Aku pikir awalnya karena dia memang tidak mampu membangun rumah di sana, tetapi setelah melihat ini aku seperti mendapat jawabannya.”
Sebatang pohon yang melintang menutup akses ke jalan setapak tersebut. Bukanlah hal yang mudah untuk memindahkan batang kayu di jalan yang ekstrim seperti itu.“Apa ada jalan lain?” tanya Alva.“Se-sebenarnya ada. Jalan utama.”“Apa? Jalan utama? Jadi kenapa kita melewati jalan ini?”“Karena jalan utama sudah tidak aman lagi, ada perampok yang selalu mengganggu siapa pun yang lewat. Nila takut, karena itu Nila lebih memilih jalan ini…tapi sekarang….”“Sudah tidak apa-apa. Tetapi untuk sekarang kita harus melewati jalan utama itu. Tenang saja kami akan melindungimu. Ayo tunjukkan kepada kami!”Nila pun menurut dan membawa mereka ke jalan yang sebenarnya.“Sudah berapa lama kau berjualan seorang diri seperti ini? Apa jualanmu selalu sebanyak ini?”“Sudah lama sih. Sebenarnya barang kali ini lebih sedikit. Biasanya Nila membawa dua keranjan
Suara senandung dari bibir Nila terdengar sangat merdu. Hal itu menandakan jika hatinya sedang bahagia. Semua dagangannya laku terjual tidak sampai satu jam. Ditemani oleh Alva dan Bian dikedua sisinya, dia sudah merasa seperti orang paling beruntung di dunia. “Jika waktu bisa dipercepat…aku ingin berjumpa dengan kalian lebih dahulu,” pikirnya. Toko-toko di pasar mulai ramai saat matahari sudah mulai bersinar dengan terang. Toko sepatu, pakaian, sayur, senjata tajam, maupun toko tambahan lainnya berjejer menunggu konsumen datang. Mengharap rezeki yang datang sedikit demi sedikit ditiap harinya. Perjuangan keras yang belum menghasilkan hasil yang seimbang. Namun, mereka tidak pernah berkeluh kesah. Mereka tetap membuka toko saat ayam memulai kokokan pertamanya saat fajar, dan tetap menutupnya saat matahari ke pengaduan. Terjual atau tidak itu semua tergantung dari nasib masing-masing. Nila celingak-celinguk melihat tiap toko. Entah apa yang dicarinya, ia tidak