Share

Harapan yang didengar

Wanita yang berpangkat sebagai ibu tersebut terlihat kaget saat diberikan pertanyaan oleh Alva. Seketika Alva langsung merespon mimik wajah mereka.

“Maaf, saya tidak seharusnya bertanya itu. Maaf.. tidak perlu menjawab,” ucap Alva.

“Tidak apa-apa, aku saja yang berekspresi berlebihan. Toh kejadiannya sudah lama, mau ditangisi juga tidak akan mengubah masa depan. Ayah Hari dan Haru pergi lima belas tahun yang lalu, tepatnya saat anak-anakku masih berumur lima tahu. Tapi aku tidak punya waktu untuk bersedih, aku punya anak-anak yang harus kunafkahi,” setelah mendengar jawaban itu, Alva menjadi tersenyum. Selama dia mengembara dan menjumpai banyak orang hanya satu sosok yang membuatnya selalu terkagum-kagum. Seorang ibu yang bisa menjadi apa dan siapa pun untuk sang anak.

“Seorang ibu itu hebat ya,” pujinya senang. Hari, Haru dan ibunya seketika menolehkan wajah ke arah Alva yang terlihat senang.

“Ha..ha.. baru pertama kali ada anak muda yang memujiku. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus mampu menjadi ayah dan ibu bagi mereka. Tapi baru satu hal yang aku sadari. Anak-anakku sudah besar ya, padahal kemaren masih merengek minta susu padaku,” tiba-tiba sang ibu mencubit pipi anak laki-laki yang sedang duduk di kursi roda yang didorongnya. Seketika gelak tawa terdengar dari multut Alva dan Haru.

“Oh iya, kalian mau ke mana sebenarnya?” tanya si ibu.

“Rencananya mau ke Negeri Anggrek, tetapi untuk saat ini masih meraba-raba untuk ke sana sih he…he..,”

“Wah, Negeri Anggrek. Semangat ya, pasti kalian bisa sampai ke sana. Oh iya… ngomong-ngomong kenapa temanmu diam saja dari tadi?”

“Dia… hmmm… saya juga bingung mau bilang apa. Dia memang begitu..agak… menyebalkan.”

“Apa benar? hmmm… kurasa hanya butuh waktu sampai dia mau bicara. Tidak apa-apa… kau akan segera terbiasa mengungkapkan seluruh perasaanmu,” si ibu segera mengalihkan pembicaraannya kepada Bian. Bian hanya menoleh padanya tanpa menjawab apapun. Hal itu justru membuat si ibu menjadi tertawa.

“Ibu, tidak baik mengetawakan orang lain seperti itu,” ucap Haru pada ibunya.

“Ah..iya..iya… maaf ya. Habisnya kau terlihat lucu. Oh iya… kita sudah sampai. Selamat datang di rumah sederhana kami.”

Alva menjadi sedikit kesal saat mendengar ucapan sederhana yang diucapkan oleh wanita tersebut. Dikarenakan rumah yang dimilikinya adalah rumah yang terbilang mewah. Rumah yang besar dengan model bangunan yang lebih modern. Rumah itu pun terlalu luas untuk ditinggali oleh tiga orang dewasa. Apa karena  hal itu wanita paruh baya tersebut selalu menerima pengembara yang lewat?

“Kenapa? Apa terlalu besar rumahnya? Jangan dipikirkan, kalian bisa tidur di kamar masing-masing tanpa berbagi,” wanita itu spontan menjelaskan seolah tahu isi pikiran si Alva.

“Lagian aku sengaja tidak mengecilkan rumah agar ketika Hari atau Haru menikah dia bisa tinggal di sini dengan istrinya. Setidaknya dia punya sawah untuk digarap di sini,” sambungnya.

“Ibu… tidak lagi,” elu Haru yang sudah terbiasa mendengar ocehan yang sama si ibu.

***

Dimalam yang tak bisa dikatakan sepi karena suara kobaran api di tungku bakar, Alva masih sibuk dengan tugasnya. Mencatat perkembangan pengembaraannya disebuah buku yang selalu dibawanya. Dengan kaca mata yang hanya selalu dia pakai saat melihat buku atau saat mengobati pasien dan bertemankan lampu dari hasil pembangkit listrik tenaga air ia menulis ditiap lembar dibuku tersebut. Perkembangan penyakit dan solusi dari setiap pasien yang dia temui.

“Apa aku mengganggu?” suara si ibu datang menghampiri. Alva seketika melepas kaca mata dan menutup bukunya.

“Tidak Bi,” jawabnya singkat.

“Jarang sekali ada dokter yang melewati desa ini. Rasanya terakhir kali itu dua tahun yang lalu.”

“Benarkah?”

“Ya, apa mungkin karena di sini sudah ada klinik berdiri?”

“Ehm… mungkin saja. Di mana klinik itu?”

“Di dusun dua, lebih tepatnya di seberang sungai samping jalan tak jauh dari rumah ini. Tidak butuh lama untuk sampai ke sana.”

“Ehm… kalau aku boleh tanya… sebenarnya kau dokter apa? Aku dengar sekarang sudah ada pembagian dokter. Apa itu benar?” wanita itu melanjutkan ucapannya.

“Benar, saya sendiri sedang melanjutkan bagian bedah dan penyakit dalam. Kenapa?”

Wanita itu terlihat memainkan jarinya, sangat terlihat jelas jika ia sedang ragu.

“Hari.. kau sendiri sudah melihat bagaimana dia. Dia tidak bisa jalan lagi saat umurnya empat tahun. Sebenarnya aku tidak berharap lebih lagi untuk kakinya. Tetapi… dia memiliki penyakit bawaan,” wanita itu melirik Alva karena takut ucapannya tak didengar. Tetapi laki-laki itu benar-benar memasang telinga untuk mendengarkan keluh si ibu.

“Dia… jantung dia sedikit berbeda. Sebenarnya ada rencana untuk dioperasi, tetapi dokter yang dipinta untuk membantu tewas dalam perjalanan kemari. Karena itu rencana pengoperasian menjadi gagal. Jadi..ehmmm… aku sebenarnya malu untuk meminta langsung padamu… apa kau bersedia dan sanggup untuk menjadi dokter pengganti itu?” si ibu memandangi Alva dengan penuh harapan. Tanpa pikir panjang Alva langsung merespon pertanyaan si ibu.

“Dengan senang hati… tetapi sebelum saya menyanggupi itu. Saya harus memeriksa semua yang berkaitan dengan kesediaan tubuh Hari. Bagaimana? Semua itu juga tergantung persiapa yang sekarang.” Mendengar jawaban si dokter mata si ibu menjadi berkaca-kaca dengan penuh rasa haru.

“Terima kasih…terima kasih.. aku sangat berharap.. ak-aku akan segera mengabari dokter desa ini untuk menjumpaimu.”

“Tidak perlu.. saya sendiri yang akan ke sana untuk bertanya langsung,” jawabnya dengan enteng.

Waktu yang terus berlalu hingga kini berganti pada pagi hari lagi. Ya, suasana pagi yang digambarkan dengan matahari terbit dan kicauan burung. Atau juga bisa digambarkan dengan suara kokok ayam dan manusia yang mulai sibuk dengan aktivitasnya. Seperti halnya di rumah Hari. Suara kuali yang beradu dengan sudip besi pula terdengar riuh di dapurnya. Aroma makanan mulai menusuk ke paru-paru dan seketika suara alami yang dihasilkan oleh tubuh manusia terdengar begitu saja. “Aku lapar,” begitulah ocehan si perut.

Ternyata si ibu tidak seorang diri. Dia kini sedang dibantu oleh Bian di dapur. Gadis itu sedang sibuk membersihkan sayur sedangkan si ibu sedang menggoreng ikan untuk lauk pagi mereka.

“Awalnya aku kaget lo.. dokter itu mengenalkanmu kepada kami sebagai laki-laki. Tetapi setelah aku melihatmu hanya mengenakan pakaian tidur.. pfft….rasanya aku syok sendiri. Pantas saja rasanya aneh… seharusnya saat laki-laki sebesarmu itu, setidaknya tubuhnya sudah seperti putraku. Sedangkan yang kulihat saat melihatmu…benar-benar fisik seorang wanita. Bagaimana bisa dia mengiramu laki-laki? Apa dia salah ucap?”

“Tidak,” jawab Bian tanpa menoleh.

“Hmmm.. bahkan suaramu benar-benar suara perempuan. Apa dia benar-benar dokter? Aku jadi ragu..,” suara obrolan mereka berubah menjadi suara minyak yang menggelegak saat ikan dimasukkan ke dalam kuali.

“Seperti ini ya rasanya punya anak perempuan? Pagi-pagi ada yang membantu memasak… anak-anakku benar-benar menolak pekerjaan perempuan. Ya walaupun mereka semangat dalam kerja-kerja berat. Aduh… aku jadi tidak sabar untuk segera punya menantu,” wanita itu seketika menghayal hadirnya seorang wanita yang membantunya mengerjakan pekejaan rumah.

“Pasti rasanya menyenangkan bekerja bersama-bersama..,” sambung si ibu.

“Oh iya.. apa aku boleh minta bantuanmu? Apa kau keberatan untuk memanggil para lelaki untuk segera sarapan? Terutama si Hari, karena dia butuh bantuan untuk pindak ke kursi rodanya. Haru sedang ke rumah dokter jadi dia tidak bisa membantu. Tolong ya,” si ibu mengakhiri permohonannya dengan sebuah senyuman. Tanpa menjawab Bian langsung berdiri dan bergerak dari ruangan tersebut.

***

Di klinik pribadi si dokter. Dokter tersebut benar-benar terlihat syok saat bertemu dengan si dokter muda.

“K-kau… kenapa kau ada di sini?..,” tanya si dokter.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status