Share

Hati yang terlanjur luka

"Luka yang tertinggal di tubuh bisa disembuhkan oleh obat, tapi luka yang tertinggal di hati hanya mampu disembuhkan oleh waktu."

Faiqa Eiliyah

Hari ini Karina dan Nayra selesai barter tanaman bunga. Beberapa hari yang lalu Karina menyarankan agar Nayra mau menanam tanaman hias yang ada kembangnya, tapi dia menolak. Alasannya tanaman hias yang berbunga ada masa matinya dan harus diperbaharui lagi, cenderung manja karena harus disiram tiap hari.

Tapi Karina mematahkan argumennya dengan mengatakan, kalau untuk melihat keindahan yang luar biasa memang perlu sedikit usaha. Lelah itu akan terbayar ketika warna warni dari kelopak bunga itu memenuhi tamannya.

Sebagai gantinya Nayra juga meminta agar Karina merasakan simplenya menanam tanaman hias daun, selain nggak manja. Dia juga tahan segala cuaca dan tak perlu rajin disiram.

Karina bahkan sempat ngakak menggoda Nayra kalau tanaman hias daun itu, Tuhan ciptakan untuk para pecinta tanaman hias yang pemalas. Dia tak marah sama sekali, justru membenarkan ucapan Karina dengan kikikan gelinya.

Karina tidur di kamar membiarkan Ayub nonton dan main HP di ruang keluarga, setelah mewanti-wanti kalau mau apa-apa harus membangunkannya dulu. Juga mengingatkan, kalau pintu rumah jangan dibuka untuk orang yang tidak dikenal. Ayub sudah paham akan hal seperti itu sejak lama.

Sejak tanggung jawab menjaga ibunya dan rumah ini, ia rasa menjadi tanggung jawabnya. Kadang Karina merasa betapa beruntungnya dia. Karena Ayub benar-benar sosok yang penuh dengan tanggung jawab bahkan di usianya yang masih sangat belia.

Karina tak tahu, berapa jam lamanya ia tertidur. Karena saat separuh kesadarannya masih menggantung. Dia merasa ada hembus napas di depan wajahnya. Karina masih berpikir dengan setengah sadar dan berpikir kalau mungkin Ayub yang baru saja sampai dan ingin mengecup pipinya sebelum ia tidur di sampingnya seperti biasa.

Lama Karina menanti kecupan di pipi, hingga sengaja tak membuka mata. Setelah lama menanti dan kecupan itu tak kunjung datang. Karina akhirnya membuka mata dengan perasaan kesal, matanya membulat sempurna saat melihat wajah Raka suaminya berada begitu dekat dengan wajahnya.

Karina menarik wajah dan tubuh menjauh, Raka yang kaget dengan respon istrinya mengernyitkan kening bingung. Seperti ada yang berubah dengan wanitanya itu. Meski dia sebenarnya menyadari, kalau dirinyalah yang telah berbuat curang pada pernikahan mereka.

Karina bangun untuk duduk dengan posisi menyamping darinya, sementara Raka bergeming di tempat, masih menatapi istrinya penuh rasa khawatir.

"Sayang, kau tak merindukanku?" lirihnya.

Karina membatu di tempat, mendengar suara yang selama ini selalu dia rindukan. Rindu yang membuatnya secara perlahan ... membangun benteng-benteng di sekitar hati, agar selamat dari serangan rindu yang kadang datang menyerbu secara membabi buta.

Mungkin karena benteng-benteng itu pula, hingga Karina sama sekali tak bereaksi melihat suaminya tiba-tiba ada di depan mata.

"Sayang!" panggilnya menyentuh pucuk hijab Karina. Karina berdiri dan beranjak keluar, "Ayub mana?" tanyanya seolah bertanya pada diri sendiri.

Raka mengintari tempat tidur dan berdiri menghadang langkahnya, Karina berhenti berjalan dan menatap mata Raka. Ada rasa malu pada diri Karina melihat suaminya yang sekarang, dia semakin tampan dan mapan tentunya.

Sementara ia sebaliknya, Karina semakin kurus. Karena sejak kepergian Raka nafsu makannya berkurang, kadang dia hanya sekedar makan agar Ayub ikut makan bersamanya. Karina tak pernah menikmati makanan yang ada di depannya karena perasaan kecewa dan berbagai prasangka yang terus datang mengusik ketenangannya.

Karina menundukkan kepala, ada butiran bening jatuh berhamburan di lantai kamar mereka. Raka meraih tubuh ringkihnya dalam pelukan, memeluknya begitu erat.

"Ayub di luar, dia sedang mencoba sepeda barunya di taman belakang," bisiknya.

Karina masih menangis, merasa dirinya sudah tak pantas untuk suaminya. Karina merasa Raka sudah bukan miliknya, dia sudah terlalu jauh meninggalkankannya hingga hatinya patah tak tertata.

"Kau benar-benar berubah, kau tak merindukanku!" sindir Raka.

Tubuh Karina menegang mendengar sindiran itu, tanpa sadar Karina mendorong Raka sekuat tenaga. Hingga ia terjengkang jatuh ke lantai dengan tatapan shock.

"Kau?" geram Raka dengan emosi tertahan.

"Ya, aku tak pernah merindukanmu. Hingga menangis tiap malam menantikan telpon darimu, tapi kau selalu sibuk hingga tengah malam. Padahal kau selalu pulang sebelum jam delapan malam, kan?" sindir Karina dengan nada dingin, tapi penuh emosi di setiap kalimatnya.

"Aku tak pernah rindu. Hingga hanya membalas like pada komentar istriku di foto yang mengatakan 'Makin ganteng saja, rindu!' " sindir Karina lagi dengan memperjelas fakta tentang foto yang pernah Raka unggah ke f******k beberapa minggu yang lalu.

"Aku juga tak pernah rindu, hingga meskipun putraku masih rindu ... aku tetap memutuskan telponnya dengan alasan mau istirahat di jam delapan malam!" bentak Karina membuat Raka menunduk. Menyesali semuanya, hingga membuat wanitanya yang dulu selalu menatapnya penuh kerinduan, kini menatapnya penuh kebencian.

"Kenapa? Kenapa kembali, Kak? Mau membuktikan kalau kau tak melakukan apa-apa di sana yang bertentangan dengan pikiranku?"

"Mau meyakinkanku kalau kau baik-baik saja dan tidak sedang tergoda dengan perempuan lain?"

"Atau kau kembali ke sini untuk menceraikanku demi memilih wanita itu? Kau jangan bungkam karena meskipun kau tak berbicara, sikap dan perubahanmu berbicara padaku! Felling seorang Istri itu kuat, asal kau tahu itu!!" pekik Karina padanya dengan berurai air mata.

Raka yang bahkan belum bangkit dari lantai menatap Karina dengan jantung yang berdenyut sakit. Dia sadar kalau dia sudah menyakiti wanitanya itu. Dia mencoba bangkit dan berdiri, dengan pandangan tak pernah lepas dari Karina.

"Ma ...!" Karina mematung di tempat mendengar suara Ayub memanggilnya, dengan segera dia menghapus air mata dan menjawab panggilan putranya.

"Ya, Sayang, apa kamu butuh sesuatu?" tanya Karina dengan suara serak dan nyaris tak terdengar.

"Catty ada di sini, apa aku boleh menaruhnya di keranjang sepedaku? Ayah membawakan sepeda baru untukku!" ujarnya.

"Tentu, Sayang. jika itu membuatmu senang, lakukan!" saran Karina tanpa berani menoleh ke arah pintu di mana Ayub berdiri, Karina takut buah hatinya melihat jejak air mata di pipinya.

Karina menoleh ke arah pintu kamar, memastikan kalau Ayub benar-benar sudah pergi dari kamar. Berharap dia tak mendengarkan amarahnya tadi. Karina maju beberapa langkah lalu duduk di sisi tempat tidur.

"Maaf atas penyambutan yang tidak mengesankan!" lirihnya.

Raka tetap bergeming, saat Karina mengangkat wajah menatapnya. Mencari kebenaran di matanya, dan ya, yang Karina temui hanyalah seonggok penyesalan di sana. Seakan membenarkan semua tuduhan yang dia lontarkan tadi, hati Karina hancur seketika. Musnah sudah harapannya untuk mempertahankan rumah tangga.

Karina bangkit melewatinya hendak membasuh wajah di kamar mandi, tepat saat Raka mencekal dengan menggenggam tangannya erat.

"Maaf kalau kakak sudah menyakiti perasaanmu, sungguh sebanyak apapun wanita yang lalu lalang atau mungkin mencoba mampir dalam hidup kakak. Kalian tetap prioritas utamaku!" tekannya.

Karina menghentakkan tangan dan berlalu menuju kamar mandi, membasuh wajah, lalu mematung di kamar mandi manatap wajahnya yang semakin tirus sejak berpisah dari suaminya.

Lama Karina mematung menatap pantulan wajahnya sendiri di depan cermin dengan rasa tak percaya diri. Karina menarik napas dan menghembuskannya sekuat tenaga. Karina sudah bertekad, apa pun yang akan  terjadi itulah yang terbaik.

Dia melangkah keluar dari kamar mandi, dengan langkah gontai tak bertenaga. Karina mengangkat wajah saat melihat Raka masih di sana, di pinggir tempat tidur mereka dengan pandangan terpaku pada lantai.

Karina mengintarinya, membenahi bantal bekas tidurnya tadi. Sampai Raka berdiri memberinya kotak kecil. Karina sudah bisa menebak apa isinya. Dia membuka kotak itu perlahan di depan suaminya, terlihat satu stel perhiasan emas, kalung, gelang, cincin, dan anting yang memiliki bentuk dan motif yang sama.

Karina menimang benda-benda itu di depannya, sementara Raka menatapnya lekat. Karina menaruh kembali benda-benda itu di kotaknya, lalu mengangkat wajah pada suaminya dengan senyum terulas lebar. Raka membalas senyum Karina dengan tangan bergerak membelai jilbabnya.

"Meskipun kau bawakan aku sekarung benda seperti ini, tetap tidak akan bisa menggantikan sekantong emping melinjo yang kau belikan dengan penuh cinta kasih. Dari awal aku tak pernah mencari kemewahan darimu, alasanku memilihmu sebagai tempat berlabuh karena melihat kesempurnaan cinta yang kau tawarkan padaku sejak awal!" lirih Karina dengan bibir tersenyum lebar tapi air mata menganak sungai.

"Wanita-wanita di luar sana akan sangat menginginkannya, bahkan demi barang-barang seperti itu. Mereka rela melupakan kalau seseorang sudah memiliki istri dan anak!" sindir Karina lagi, yang menusuk tepat ke tengah jantung Raka.

Sekali lagi Raka berusaha meraih Karina dalam pelukannya. Memeluknya erat sambil mencium kedua pipi dan keningnya. Saat Raka mencoba menyentuh bibir wanitanya itu. Karina mendorongnya, memberi jarak antara tubuh mereka. 

"Tak semudah itu kau memperbaiki sesuatu yang sudah patah, hatiku sudah terlanjur terluka." Karina berlalu pergi meninggalkan Raka mematung di sana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status