Langkah kaki Askara terdengar mantap menyusuri lorong kantor pagi itu. Setelan jas hitam yang dikenakannya tak sedikitpun menunjukkan gelagat bahwa pria itu tengah menjadi buah bibir. Tapi sorot mata para karyawan yang menatap diam-diam cukup jadi bukti. Kabar tentang pertunangannya dengan Arina telah menyebar luas seperti api menjilat jerami.Sesampainya di ruangannya, pintu belum sempat tertutup rapat saat suara familiar menyelinap masuk.“Bos besar datang juga akhirnya,” Damian bersandar santai di ambang pintu, ekspresi jail sudah terpasang sejak awal. “Gimana rasanya jadi hot topic se-kantor, Mas Tunangan?” Ucapnya dengan penekanan di akhir kalimat.Askara mengangkat alis, tak membalas, hanya menjatuhkan map di meja lalu duduk dengan tenang.Damian tertawa pelan. “Serius, Ka! Nenekku—nenek kita, maksudku—sudah nanya tiga kali semalam. Katanya, ‘Damian, kamu tahu nggak siapa perempuan yang bisa bikin Askara akhirnya serius?’” Ia menirukan suara nenek mereka dengan lebay, membuat As
Apa maksud Askara?Kepala wanita itu terasa sudah cukup pening pagi hari ini. Bukan hanya karena dia baru ingat hari ini ada kelas pagi, tapi juga karena teka-teki yang Askara ciptakan. Bersamaan dengan kehangatan dan juga cukup banyak sorotan yang mengiringi. Siapa yang harus tahu batasnya?Arina menggeleng lanjut berjalan. Dia baru saja melangkahkan kaki ke halaman kampus ketika tatapan itu menghantamnya lebih dingin dari hembusan angin pagi. Bu Widya, dosen yang belakangan ini terlihat sangat sentimen padanya, berdiri tak jauh dari pintu lobi fakultas dengan tangan terlipat di depan dada. Mata sang dosen menatap tajam dari ujung kepala hingga sepatu yang Arina kenakan."Hm, pagi yang... dramatis ya, Bu Arina," sindirnya, senyuman kaku terpahat di wajahnya. "Tapi semoga hari ini tidak ada adegan tambahan, kampus ini kan tempat belajar, bukan panggung sinetron."Arina tidak membalas. Hanya menghela napas pelan, menundukkan kepala sedikit sambil tetap menjaga langkahnya tetap tegap.
Arina terbangun perlahan ketika cahaya matahari yang hampir menyelinap masuk lewat celah tirai mulai menari-nari di kelopak matanya. Tubuhnya terasa hangat, lebih hangat dari biasanya. Saat kesadarannya terkumpul, ia menunduk — dan mendapati sepasang tangan kokoh melingkari pinggangnya erat, seolah menjaganya agar tak pergi ke mana-mana.Itu tangan Askara.Lelaki itu masih terlelap di belakangnya, napasnya teratur dan wajahnya terlihat jauh lebih tenang dibanding biasanya. Entah sejak kapan Askara memeluknya seperti ini, tapi jelas ia telah melakukannya sepanjang malam, menjaga Arina dalam diam, bahkan tanpa sadar.Untuk beberapa detik, Arina hanya memejamkan mata lagi, membiarkan detak jantungnya berdentum pelan menyesap kenyamanan yang asing namun menenangkan. Seakan-akan, di antara cahaya pagi yang baru menapak masuk, ia menemukan secuil rasa aman yang tak pernah ia duga berasal dari Askara.Wajahnya mendadak memerah kala ingatan tentang semalam muncul lagi. Ciuman dan bahkan sentu
Jemari besar Askara menari di wajah Arina, membelainya lembut saat sekaligus membawanya bergerak lebih dekat guna menyatukan ranum keduanya. Bibir mereka bersentuhan lembut. Cukup lembut untuk mengirimkan sengatan-sengatan listrik pada sekujur tubuh keduanya. Dimulai dengan kecupan tipis, perlahan meningkat menjadi sedikit lebih menuntut dan panas. Jarak yang terus terpangkas dan tubuh keduanya yang kini merapat saling mendamba kehangatan. Suara decapan ikut memenuhi heningnya malam. Sepasang insan yang kini berusaha saling mendominasi. Intensitas pergerakan yang awalnya lembut dan bergerak menjadi semakin liar. Askara dengan mudah mengangkat tubuh Arina dalam gendongannya untuk dia boyong kembali masuk ke dalam rumah. Menggeser pintu kaca di balkon dengan sebelah kakinya dan langsung mendudukkan kembali wanitanya itu diatas tubuhnya yang terduduk di sofa.Arina diatasnya, mengalungkan lengannya di leher Askara. Meraup oksigen sebanyak yang dia bisa dalam waktu singkat hanya karena
Arina membalikkan badan untuk entah ke berapa kalinya malam itu. Tubuhnya terbaring di atas kasur king dengan lapisan pillow top super tebal yang terkenal bisa menopang tubuh sempurna dan memanjakan tulang punggung. Bahkan jika orang lain yang berbaring di sana, mungkin sudah terlelap dalam hitungan menit, tenggelam dalam empuknya busa premium yang berlapis lateks alami. Namun tidak dengan Arina.Bukannya merasa nyaman, ia justru gelisah. Bau sprei baru dan aroma ruangan yang masih asing menusuk hidungnya, membuatnya sadar bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Rumah Askara terlalu besar, terlalu sunyi, terlalu mewah—semua terasa tidak akrab.Namun mungkin ini semua bukan hanya soal tempat. Ada yang mengganjal di dadanya, pikiran yang terus berputar hingga membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tidak mau mengakuinya, tapi kehadiran Askara—dan semua kemungkinan yang mungkin terjadi di antara mereka—membuat hatinya kacau.Rasanya seperti ada yang kurang.Hingga akhirnya, A
Menginjakkan kaki lagi di rumah yang kemarin baru saja dia jajaki. Arina terdiam sebelum memasuki pintu rumah. Kenapa dia hanya diam saja saat Askara memboyongnya kesini dengan alasan yang tidak sepenuhnya jelas?Pria itu sedang membuka kunci rumah saat Arina pada akhirnya tersadar dari lamunannya. Menatap punggung lelaki yang berdalih ingin menjaganya tapi justru menciptakan ruang bagi mereka untuk kikuk lagi. Berdiri disini, sama dengan pertanyaan kepalanya kemarin, mengapa dia menurut dengan begitu mudahnya. “Ayo masuk.”Askara memberi komando. Pria itu menoleh kearah Arina sebentar guna memastikan wanita itu benar-benar mengikuti arahannya. Anehnya, memang benar Arina menurut. Seperti dicucuk hidung dan kepalanya. Entah apa yang sebelumnya telah Askara perbuat padanya. Aroma ini lagi. Semakin terasa familar makin harinya. Sekarang Arina sudah tahu ini wangi siapa, Askara tentu saja. Pria itu meletakkan tas Arina yang dia tadi bantu bawa di meja ruang tamu. “Duduk sebentar! Ak