“Aku nggak akan menghabiskan waktu dengan wanita membosankan seperti dia. Pintar secara akademis tapi bahkan nggak bisa berciuman dengan benar.” Kalimat yang kekasihnya ucapkan membuat Arina sadar bahwa selama ini dia telah dipermainkan dan dikhianati oleh orang-orang yang dia percayai. Namun siapa sangka, Askara Danendra, seorang Konsultan Senior yang sempat menjadi narasumber dalam acaranya, mendadak mengejarnya secara ugal-ugalan?! -Estaruby 2025-
view more“Seberapa keras-pun aku berpikir, sepertinya memang nggak ada lagi yang bisa dilakukan selain putus. Kamu terlalu egois, aku nggak bisa lagi bertahan sama kamu.”
Arina memijit kembali pelipisnya yang berdenyut sakit. Sebenarnya bukan hanya pelipis, bahkan seluruh bagian kepalanya sudah menjerit berat. Dadanya kini juga ikut-ikutan sesak setelah sekelebat kalimat sakti itu lagi dan lagi berteriak tanpa puas mendengung di telinganya. Bahkan kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung secara lisan, tapi mengapa Arina seolah bisa mendengar semuanya dengan jelas?
Sekitar lima jam yang lalu ketika pesan itu dia terima via w******p. Sebuah pesan yang sepertinya merupakan keputusan sepihak mengingat setelah pesan itu dia terima, Arina bahkan tidak bisa memberikan dan mendapatkan respon balik. Pesan balasan tak dibaca dan telepon pun tak diangkat. Dia benar-benar diputuskan secara sepihak tanpa penjelasan lanjutan dan bahkan hanya melalui chat saja? Oh astaga!
Dia menyentuh pelan layar ponselnya, hanya untuk memastikan bahwa bahkan sampai sekarang tidak ada balasan terhadap pertanyaannya itu. Pada dasarnya, kekasihnya memang tidak berniat memberikan penjelasan apapun dan hanya ingin memutus jalinan mereka yang bahkan sudah tertaut tujuh tahun lamanya itu.
Arina menuang lagi cairan ke dalam gelasnya. Entah sudah berapa banyak yang dia tenggak dan berharap dapat meredakan kegaduhan dalam hati dan kepalanya. Namun sayang, bahkan mabuk pun sepertinya tidak bisa jadi solusi.
Bibirnya menyunggingkan senyum miring, tertawa miris setelah mengingat kembali bagaimana lima jam lalu dia menyalahkan dirinya sendiri atas keputusan sepihak yang kekasihnya ambil ini. Arina berlari dan mengemudi gila-gilaan dari kampus menuju apartemen sementara tempat Jefan—kekasihnya sejak di masa kuliah itu tinggal. Mengusap air mata sembari terus menerus menghubungi nomor Jefan seperti orang gila. Dia bahkan diblokir lebih awal.
Hubungan mereka ini tak bisa dia sepelekan. Arina menghabiskan masa-masa mudanya dengan menjadi kekasih dari seorang Jefan Gutomo dan menghadapi banyak hal bersama. Keluarga sudah sama-sama saling kenal dan bahkan sudah ada percakapan menuju hubungan yang lebih serius. Tapi bagaimana bisa Jefan justru memutuskannya secara sepihak tanpa ada penjelasan apapun begini?
Memutar kembali memori dimana ia telah sampai di apartemen Jefan dengan nafas terengah dan hati yang minta penjelasan. Tapi sampai disana, ia justru harus mendapati dan mendengarkan percakapan gila yang sama sekali tidak pernah dia duga sebelumnya.
“Aku nggak akan buang-buang waktu lagi dengan wanita membosankan seperti dia! Wanita yang hanya pintar secara akademis tapi bahkan tidak bisa berciuman dengan benar!”
Sebuah kalimat pedas yang entah mengapa Arina yakini ditujukan padanya.
Ranjang Jefan berdecit. Diatasnya dua tubuh polos sepasang insan tengah beradu saling memuja kenikmatan. Arina tanpa sadar mematung, pantulan dari sebuah cermin mahal disana sudah cukup membuatnya melihat dengan jelas siapa yang ada disana dan apa yang tengah dilakukan.
Wanita yang tengah bergerak diatas tubuh kekasihnya itu kembali melenguh dan menimpali, “Jadi sekarang kita sudah tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi? Maksudnya, aku akan segera menjadi Nyonya Jefan Gutomo, kan?”
Jefan yang berada dibawahnya menggeram lagi, “Tentu. Posisi itu memang seharusnya sejak awal milik kamu. Aku sudah mengatakannya bahkan saat malam pertama kita tiga tahun yang lalu, kan?”
Arina menggigit bibirnya sendiri, apa yang dia dengar ini? Kekasihnya dan wanita diatas ranjang yang dengan berat hati masih dia sebut sebagai sahabatnya ternyata berselingkuh dibelakangnya selama tiga tahun ini? Mengapa Arina sama sekali tidak menyadarinya? Apakah dia benar-benar sebodoh itu?
“Kamu yakin nggak akan menyesal meninggalkan dia demi aku?”
Jantung Arina berdegub lebih kencang daripada biasanya. Kakinya gemetar sepertinya tak sanggup mendengarkan jawaban menyakitkan dari Jefan. Namun entah mengapa dia masih diam membatu disana.
“Ck! Wanita egois seperti dia yang mengagung-agungkan prestasi akademisnya. Bertingkah seolah sulit didapatkan dan meletakkan dagunya tinggi-tinggi. Dia hanyalah tropi yang kuraih dari hasil penasaranku dan rasa tertantang untuk memiliki seseorang yang kelihatan tak butuh siapa-siapa itu. Egonya terlalu tinggi dan bahkan tidak bisa bersikap manis kepada lelaki. Siapa yang suka tipe wanita kolot dan kaku seperti dia? Aku memacarinya hanya karena dia kelihatan sulit diraih.”
“Bajingan!” Umpatnya pelan.
Arina menandaskan cairan yang terasa bak membakar tenggorokan itu dengan cepat. Wanita dua puluh tujuh tahun itu lantas bangkit dan berjalan sempoyongan keluar dari area yang berisik ini.
Arina tidak ingat pukul berapa saat ini, tapi yang pasti sudah masuk tengah malam dan teman-temannya yang tadinya juga disini bersamanya sudah sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Arina merasa kelelahan. Bahkan kakinya terasa seperti jelly yang menumpu pada jalanan yang dia tapaki saat sedang berusaha keluar dari tempat yang bahkan sebelumnya tak pernah terpikirkan akan dia sambangi begini.
Melintasi lorong, Arina sempat terhuyung saat dia menabrak tubuh keras yang entah milik siapa itu. Syukurnya pinggangnya dengan cepat ditahan sehingga Arina tidak sampai harus mendarat mencium lantai.
“Anda baik-baik saja?”
Arina bahkan tidak dapat membuka matanya dengan jelas saat suara dalam tersebut itu terdengar sangat dekat dan memastikan keadaannya. Wajah lelaki itu tidak jelas terlihat dari penglihatannya, namun aroma lelaki itu jelas membangkitkan sisi lain dalam dirinya.
“Aku nggak akan menghabiskan waktu dengan wanita membosankan seperti dia. Pintar secara akademis tapi bahkan nggak bisa berciuman dengan benar.”
Kalimat itu lagi-lagi menyerang kepalanya. Wanita itu menyeringai tipis. Alih-alih menjawab, dia justru dengan santai mengalungkan kedua lengannya di leher lelaki bertubuh tinggi dengan wajah samar tersebut. Bahkan entah punya kekuatan darimana untuk menyudutkan lelaki tersebut ke tembok.
“Hi, tolong biarkan aku memastikan sesuatu,” ujarnya lantas reflek menjinjit kakinya dan menyatukan bibir mereka.
Entah pengaruh alkohol atau bukan, yang jelas Arina mengecup, melumat dan bahkan menggigit pelan bibir lawan mainnya yang hanya diam saja itu. Arina bahkan tidak ragu untuk menekan ciuman tersebut agar makin dalam dan intens. Mengabaikan panas di sekujur tubuh mereka yang mulai membara.
Semakin lama semakin dalam hingga hampir saja orang asing itu ikut membalas kecupan panasnya. Tapi sebelum itu terjadi, Arina dengan setengah kesadarannya ingat untuk melepaskan diri. Bahkan masih ingat untuk menghapus sisa lipstik yang belepotan di sudut-sudut bibirnya.
Dia tersenyum sembari memegang kepalanya yang semakin pening, “Aku tidak seburuk itu, kan? I am not a bad kisser!”
Arina membalikkan badan untuk entah ke berapa kalinya malam itu. Tubuhnya terbaring di atas kasur king dengan lapisan pillow top super tebal yang terkenal bisa menopang tubuh sempurna dan memanjakan tulang punggung. Bahkan jika orang lain yang berbaring di sana, mungkin sudah terlelap dalam hitungan menit, tenggelam dalam empuknya busa premium yang berlapis lateks alami. Namun tidak dengan Arina.Bukannya merasa nyaman, ia justru gelisah. Bau sprei baru dan aroma ruangan yang masih asing menusuk hidungnya, membuatnya sadar bahwa ini bukan kamarnya sendiri. Rumah Askara terlalu besar, terlalu sunyi, terlalu mewah—semua terasa tidak akrab.Namun mungkin ini semua bukan hanya soal tempat. Ada yang mengganjal di dadanya, pikiran yang terus berputar hingga membuat jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia tidak mau mengakuinya, tapi kehadiran Askara—dan semua kemungkinan yang mungkin terjadi di antara mereka—membuat hatinya kacau.Rasanya seperti ada yang kurang.Hingga akhirnya, A
Menginjakkan kaki lagi di rumah yang kemarin baru saja dia jajaki. Arina terdiam sebelum memasuki pintu rumah. Kenapa dia hanya diam saja saat Askara memboyongnya kesini dengan alasan yang tidak sepenuhnya jelas?Pria itu sedang membuka kunci rumah saat Arina pada akhirnya tersadar dari lamunannya. Menatap punggung lelaki yang berdalih ingin menjaganya tapi justru menciptakan ruang bagi mereka untuk kikuk lagi. Berdiri disini, sama dengan pertanyaan kepalanya kemarin, mengapa dia menurut dengan begitu mudahnya. “Ayo masuk.”Askara memberi komando. Pria itu menoleh kearah Arina sebentar guna memastikan wanita itu benar-benar mengikuti arahannya. Anehnya, memang benar Arina menurut. Seperti dicucuk hidung dan kepalanya. Entah apa yang sebelumnya telah Askara perbuat padanya. Aroma ini lagi. Semakin terasa familar makin harinya. Sekarang Arina sudah tahu ini wangi siapa, Askara tentu saja. Pria itu meletakkan tas Arina yang dia tadi bantu bawa di meja ruang tamu. “Duduk sebentar! Ak
Suara derap kaki Jefan terdengar tergesa memasuki kamar, disusul dengan genggaman kuat pada lengan Nindy yang membuat perempuan itu terpaksa mengikutinya. Tanpa sepatah kata, Jefan menyeret istrinya melewati lorong rumah hingga tiba di kamar mereka. Pintu ditutup keras hingga menimbulkan suara dentuman."Apa kamu gila, Nindy?" desis Jefan dengan rahang mengeras, menatap Nindy penuh amarah. "Melabrak Arina di kampusnya? Kamu tahu berapa banyak orang yang melihat? Apa kamu sengaja mau mempermalukan aku di depan semua orang?"Nindy menepis tangannya, menatap Jefan dengan mata memerah. "Aku melakukan itu karena aku sakit hati! Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kamu masih menemui dia, masih memikirkan dia! Kamu suamiku, Jefan, bukan laki-laki Arina!"Wanita itu memegang perutnya, "Kamu bahkan nggak peduli lagi pada anak kita?"Jefan menyisir rambutnya dengan cepat dan kasar."Tutup mulutmu!" bentak Jefan, menunjuk wajah istrinya. "Kamu memalukan! Kamu kira dengan bertindak sembrono seperti it
Geram masih memenuhi jiwanya. Nindy mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Selain karena upayanya untuk menghancurkan reputasi Arina dihalang-halangi, dia juga salah fokus dengan lelaki yang mengaku sebagai tunangan Arina. Siapa pria yang dengan gamblang membela Arina di depan umum seperti tadi? Di tengah kericuhan, Nindy masih sempat melirik kemeja slim fit dari Tom Ford dan Patek Philippe Nautilus berbalut rose gold yang melingkar di tangannya. Tak ketinggalan sepatu kulit oxford hitam dari John Lobb yang mengilap. Pria itu jelas bukan dari kalangan biasa. Seolah mencerminkan gaya seorang pria kaya yang tak perlu banyak bicara untuk menunjukkan posisinya.Apa sekarang? Setelah menikahi kekasih Arina yang dia pikir sudah paling kaya raya dan tampan itu, sekarang justru wanita itu dekat lagi dengan pria kaya lainnya? Bukankah hidup Arina benar-benar sangat beruntung?Apa yang dimiliki seorang Arina sampai hidupnya selalu dikelilingi pria-pria kaya yang memujanya seperti itu? Apa sp
Askara meraih tangan Arina dengan gerakan tegas, menuntunnya masuk ke dalam mobilnya tanpa banyak kata. Tidak peduli dengan bagaimana keramaian kampus menatap dan berbisik kearah mereka. Tangannya sedikit gemetar menahan emosi yang memuncak usai melihat Nindy melabrak Arina-nya di depan umum, menumpahkan hinaan yang bahkan tak layak diulang.Begitu pintu mobil tertutup, suasana hening hanya terisi desah napas keduanya yang masih berkejaran. Askara menatap Arina dengan sorot protektif yang sulit diterjemahkan. Sementara Arina, masih terkejut dan malu dengan insiden barusan, mencoba menarik tangannya yang masih digenggam erat.Hening tak bertahan lama. Arina kembali menatap Askara dan menyuarakan keheranannya."Apa maksudmu tadi, bilang aku ini tunanganmu?" tanya Arina dengan nada tertahan, campuran bingung dan tersinggung. Matanya menatap tajam, menuntut jawaban.Askara menunduk sejenak, meremas jari Arina. "Supaya dia berhenti merendahkanmu. Supaya semua orang tahu kamu bukan siapa-si
Matahari bersinar terik ketika Arina baru saja selesai mengajar. Ia berjalan pelan menuju parkiran kampus sambil menenteng map berisi berkas-berkas tugas mahasiswa. Sejujurnya, kepalanya masih sangat pening memikirkan insiden tadi pagi. Saat tiba-tiba dia terbangun di sofa yang sama dengan seorang Askara Danendra. Omong-omong tentang tadi pagi, setelah Dinara pergi dari rumahnya, gadis itu hanya mengirimkan pesan dengan emoticon kedip pada Arina. Jelas meledek Arina yang menurut Dinara tumben sekali membawa laki-laki ke rumahnya apalagi sampai menginap. Jefan saja dulu tidak pernah.Setelah Dinara pergi, Arina dan Askara benar-benar canggung. Askara langsung pamit pulang sementara Arina tentu saja harus bersiap untuk ke kampus. Mereka benar-benar tidak ada adegan sarapan bersama atau semacamnya.Hari ini mestinya sudah cukup drama, tapi sepertinya Arina harus siap menghadapi drama lagi ketika dari kejauhan ia melihat seseorang berlari cepat ke arahnya.Nindy. Wajah perempuan itu mer
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments