Sandara terdiam duduk dengan lesu di ruang tamu apartemen milik Bima yang sepi. Wajahnya terlihat pucat dan matanya berkaca-kaca, mencoba mencerna apa yang baru saja diutarakan Bima. Benar apa yang dikatakannya, mereka hanya menikah pura-pura saja, dan Sandara melakukannya hanya demi uang.
"Tampan sih tampan tapi galak plus ngeselin banget!" gerutu Sandara kesal dengan sikap Bima padanya. Di saat tengah rasa kesalnya pada Bima, tiba-tiba saja ponselnya bergetar. Sandara segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja samping, dan wajahnya semakin merah padam saat melihat nama 'mama tiri" yang tertera di layar ponselnya. "Mau apa lagi dia nelpon? Apa uang kemarin belum cukup juga?" gumam Sandara kesal. Dengan ragu, Sandara mengangkat telepon tersebut. Suara mama tirinya di ujung sana terdengar tajam, "Sandara, sekarang karena kamu sudah menikah dengan pria kaya itu, cepat minta uang darinya untuk membayar hutang kita!" Sandara menelan ludah, wajahnya terlihat tegang, berusaha merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawab mama tirinya itu. Mama tirinya yang merasa tidak sabaran pun kembali bersuara dengan nada tajam, "Cepat pulang dan minta uang dari suamimu itu, anak bodoh! Atau kamu mau melihat papamu mati karena dikejar-kejar para debt collector?" "Baik aku akan pulang!" Sandara langsung mematikan sambungan telepon dengan panik, hatinya berdegup kencang. Mama tirinya selalu saja mengancamnya, menggunakan papanya sebagai senjata yang paling ampuh untuk mengendalikannya. Meskipun dirinya merasa tidak enak untuk meminta uang pada suami kontraknya. Namun, membayangkan wajah ayahnya yang akan dipukuli oleh para debt collector membuat Sandara menghela napas sejenak dan memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruang kerja Bima. "Om, boleh bicara sebentar?" ucap Sandara sambil menempelkan sebelah pipinya di daun pintu. Mendengar suara Sandara, Bima langsung menghentikan pekerjaannya dan membuka pintu ruang kerja. Sandara yang tak menyangka pintu akan terbuka begitu cepat, terdorong maju dan kepalanya menabrak dada bidang Bima. Bima terkejut dengan insiden tersebut, sementara Sandara merasa malu dan langsung menyengir menatap wajah Bima yang datar tanpa ekspresi. "Om, gue ada urusan mendadak. Boleh nggak gue minta pembayaran kontrak di awal dulu? Cukup tiga puluh juta dulu malam ini" ucap Sandara dengan nada memelas. Bima menatap Sandara dengan pandangan tajam, seolah mencoba membaca apa yang tersimpan di hati gadis itu. Setelah beberapa detik, Bima menghela napas panjang dan mengangguk pelan. "Makasih Om" ucap Sandara setelah menerima bukti transfer uang dari Bima dan dengan segera meninggalkan Bima. "Pasti uang itu untuk bersenang-senang, pantas saja dia menerima penawaran kontrak ini dengan mudah" gumam Bima dengan nada sinis setelah Sandara menutup pintu apartemennya. Meskipun sebenarnya Bima acuh tak acuh dengan segala tindakan Sandara, istri kontraknya, ia tidak bisa menepis kekhawatiran tentang kemungkinan nama baik perusahaannya tercoreng. Dengan nada berat di hati, Bima menghubungi Leo, asistennya, untuk meminta bantuan agar mengawasi Sandara. "Halo, Leo. Ikuti Sandara, dia baru keluar apartemen. Jaga-jaga kalau dia berbuat hal yang bisa merusak Reksasena. Dia tadi minta 30 juta, siapa tahu buat apa," perintah Bima dengan suara datar namun tegas. "Baik, Bos. Saya akan mengikuti dan melaporkan pada Bos," jawab Leo patuh, dengan rasa was-was membayangi pikirannya. Setelah memutuskan panggilan, Leo bergegas keluar dari apartemennya yang terletak di lantai bawah, mengatur strategi untuk mengawasi gerak-gerik Sandara. Melirik jam tangan, Leo memastikan waktu yang tepat untuk keluar dan melihat Sandara sedang menaiki sebuah taksi. Dengan gesit dan penuh kehati-hatian, ia mengikuti mobil taksi itu, berusaha untuk selalu menjaga jarak agar tidak terlihat mencurigakan. Di sisi lain, Sandara berbicara kepada sopir taksi, "Pak, tolong berhenti sebentar di ATM ya, saya ingin mengambil uang dulu." Setelah taksi berhenti, Sandara dengan langkah tegap segera melangkah ke mesin ATM. Matanya menatap layar, menunggu konfirmasi bahwa uang yang Bima transfer telah masuk ke rekeningnya. Begitu selesai mengambil uang, senyuman lega menghiasi wajahnya. "Gue bisa langsung kasih nih uangnya ke debt collector biar nggak dikejar-kejar lagi," gumamnya sembari menggenggam erat uang tunai tersebut. Sandara lalu kembali menaiki taksi yang telah menunggunya, langkahnya lebih ringan karena beban terasa berkurang. Begitu taksi berhenti di depan rumah, Sandara langsung membayar ongkosnya dan bergegas turun. Dia tidak menyadari bahwa ada seseorang yang mengikutinya dari jauh. Begitu pintu rumah terbuka, Sandara disambut oleh Ajeng, ibu tirinya, yang sedang menatapnya dengan marah. "Pulang juga kamu anak bodoh. Apa yang sudah kamu lakukan, Dara? Kamu bisanya hanya bikin malu saja. Masuk ke toilet pria, memalukan!" umpat Ajeng sambil menunjukkan layar ponsel yang memperlihatkan berita tentang insiden Sandara yang viral di media sosial. Wajah Ajeng tampak merah padam karena kekesalannya, meskipun berita tersebut sudah dihapus. "Mana uangnya?" tanya Ajeng dengan wajah berang. "Uang apa? Emangnya gue ini bisa nyetak uang?" jawab Sandara dengan santai, mencoba menyembunyikan perasaan sedih yang terpendam. Ajeng semakin naik pitam, "Dasar anak bodoh! Aku kan sudah bilang minta saja sama suamimu yang kaya raya itu. Dasar anak tidak berguna!" umpatnya sambil menatap Sandara dengan kesal. Namun, Sandara tidak menghiraukan mama tirinya itu. Ia berlalu pergi begitu saja menuju ke kamarnya. "Lihat saja, anak bodoh! Kamu akan menyesal!"Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng
Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan
Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali
Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya
"Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,
Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi
Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan
Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu
Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk