Share

Bab 2

Author: Syaard86
last update Last Updated: 2024-07-12 16:00:55

Bima dan Sandara menatap Bu Laras dengan wajah terkejut, tidak menyangka akan permintaan yang baru saja diutarakan oleh wanita paruh baya itu.

"Bima nggak mungkin menikah dengan perempuan ini!" tolak Bima tegas, alis berkerut menahan emosi, seolah menyalahkan Sandara yang duduk di sampingnya.

"Sama, gue juga nggak mau nikah sama lo!" balas Sandara seraya meremas saputangan yang ada di tangannya, kesal.

Diam-diam, Bu Laras tersenyum tipis. Masalah yang menimpa anak semata wayangnya bersama gadis yang tiba-tiba masuk kedalam kehidupan mereka memberikan peluang untuk mewujudkan keinginannya agar Bima segera menikah. Terlebih lagi Bima bisa terlepas dari kekasihnya yang bekerja sebagai model dan Bu Laras sangat tidak menyukainya. Ia menatap keduanya bergantian, berusaha menenangkan suara hati yang semakin keras.

"Kenapa nggak mungkin, Bima? Kamu harus bertanggung jawab atas ucapanmu. Sudah tersebar berita bahwa kalian berdua menikah, kini waktunya untuk membuktikannya demi menjaga nama baik keluarga," tegas Bu Laras, berusaha menyadarkan anaknya.

Mendengar penjelasan Bu Laras, Leo - asisten Bima - angguk-anggukkan kepala, menegaskan dukungannya. "Bos, apa yang dikatakan Nyonya Laras benar. Berita ini sudah ramai di media sosial dan di antara masyarakat. Bos harus menikah dengan Nona Sandara demi nama baik keluarga dan perusahaan kita," bisik Leo, menyakinkan.

Bima merasa terjepit, frustasi yang meluap membuatnya tak memiliki pilihan lain untuk menjaga nama baik keluarga dan perusahaannya.

"Baiklah, aku akan menikah dengannya," ucapnya dengan suara yang tegas. "Siapa nama kamu?"

Mendengar hal itu, Sandara terkejut, bola matanya membulat. Namun, ia segera menjawab, "Sandara."

"Kita bicarakan masalah ini!" tegas Bima, menarik Sandara keluar dari dalam mobil mamanya saat gadis itu hendak protes.

"Lepas!" bentak Sandara, berusaha menepis cengkeraman tangan Bima. Namun, Bima tak serta merta melepaskannya, malah membawanya masuk ke dalam mobil sport miliknya.

"Gue nggak mau nikah sama Om! Lagi pula kita nggak ngelakuin apa-apa!" teriak Sandara sambil memegangi tangannya yang memerah akibat cengkraman kuat Bima, saat ia sudah duduk di dalam mobil Bima.

"Siapa juga yang mau menikah sama kamu. Kamu itu bukan tipe saya!" Bima melirik sinis ke arah Sandara. Teriakan Bima itu membuat Sandara semakin geram.

"Sial! Kalau bukan demi nama baik keluarga dan perusahaan aku sudah membuangmu jauh-jauh!" gumam Bima kesal, sambil menggertakkan gigi.

Atmosfer dalam mobil itu menjadi mencekam, menggambarkan betapa kompleks dan emosionalnya situasi yang sedang dihadapi keduanya.

Bima melonggarkan dasinya dan membuang nafas berat. "Saya akan memberikan sejumlah uang sama kamu, tapi kamu harus mau menikah denganku. Bagaimana?" Ucapan Bima membawa kesan pengejekan yang menyiratkan dominasi.

Mendengar kata 'uang', Sandara terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia sangat membutuhkan uang itu untuk melunasi hutang keluarganya.

"Kalau gue punya uang, gue nggak perlu takut dikejar debt collector lagi. Gue bisa hidup tenang," gumam Sandara dalam hati, matanya menerawang jauh.

"Om tampan, lo bayar gue?" tanya Sandara dengan nada ragu, mencoba meyakinkan diri sendiri kalau ia tak salah dengar.

"Seratus juta," ucap Bima datar, menatap Sandara dengan ekspresi dingin. Sandara menarik nafas dalam-dalam, terkejut sekaligus tergoda. Ia membeku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Dua ratus lima puluh juta!" tambah Bima, mengeluarkan senjata pamungkasnya untuk membuat Sandara mau menikah dengannya.

Sandara semakin terkejut, dadanya berdebar semakin kencang. Seumur hidupnya, ia belum pernah memiliki uang sebanyak itu.

Dalam benaknya, ia sudah mulai membayangkan betapa bahagianya jika memiliki uang sebesar dua ratus lima puluh juta, sambil melupakan rasa hina yang dibawakan tawaran tersebut.

Sandara menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca seiring dengan keputusannya. "Baiklah, gue mau nikah sama Om," ucapnya setelah memikirkan semuanya dengan matang. Terutama tentang uang sejumlah dua ratus lima puluh juta yang ditawarkannya.

Sudut bibir Bima terangkat membentuk senyuman licik, kemudian ia pun melajukan mobilnya menuju apartemen mewah yang ia miliki.

Sesampainya di sana, Sandara tak bisa menahan kagum. "Wow, bagus banget apartemennya," gumamnya, menatap ke sekeliling apartemen yang dipenuhi barang-barang mewah milik Bima. Dinding berlapis marmer dan lukisan mahal melengkapi suasana elit di dalam ruangan tersebut.

Bima memasuki ruang kerjanya namun tak berapa lama ia kembali keluar dan duduk di di sofa, mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyodorkannya kepada Sandara.

"Tanda tangani surat kontrak pernikahan kita," ucapnya dengan nada datar. Dihadapannya terpampang perjanjian pernikahan kontrak yang telah ia siapkan sebelumnya.

Sandara menatap perjanjian itu, ragu sejenak, namun akhirnya ia membulatkan tekadnya. Tanpa berpikir panjang, Sandara pun menandatangani perjanjian pernikahan kontraknya dengan Bima.

"Sebentar lagi, orang-orangku akan datang ke sini. Bersiap-siaplah, kita akan menikah," ucap Bima dengan nada datar, tanpa ekspresi gembira di wajahnya.

"Se-sekarang?" tanya Sandara, matanya terbelalak karena biasanya orang menikah akan menyiapkan segalanya dengan cermat, bukan mendadak seperti ini.

"Ya, dan kamu sudah tanda tangan," jawab Bima sambil mengepalkan tangannya, tetap santai.

Tak lama, bel apartemen berbunyi. Leo datang bersama dua orang MUA yang siap mendandani Sandara. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, Sandara sudah selesai dipoles dan mengenakan gaun pengantin yang anggun. Bima pun tampak gagah mengenakan setelan jas berwarna senada. Begitu tampan hingga membuat Sandara terpesona seketika.

"Tidak sabar ingin menjadi istriku, ya?" celetuk Leo, menggoda Sandara sembari mengajak mereka ke kediaman mewah keluarga Bima untuk melangsungkan pernikahan.

Begitu sampai di rumah mewah itu, Bima dan Sandara di sambut senyuman hangat Bu Laras. Begitu juga dengan papa Sandara, Sudiro Hutomo dan mama tirinya, Ajeng sudah duduk di sana sedari tadi.

Ajeng terkejut melihat rumah mewah milik keluarga Bima, ia tak menyangka anak tirinya mendapat suami kaya raya, senyum licik pun terpatri di wajah wanita itu.

Sandara duduk di samping Bima yang duduk tenang di depan Pak Penghulu. Pria tampan itu mulai mengucapkan ijab qobul dalam satu tarikan nafas.

"Bagaimana, para saksi? Sah?"

"Sah!" jawab mereka bersamaan.

Dalam sekejap, Sandara resmi menjadi istri Bima.

Setelah pernikahan selesai, Bima dan Sandara kembali ke apartemen mereka. Begitu sampai di rumah, Sandara berniat untuk tetap memperlakukan Bima dengan baik. Sandara menyiapkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya.

Namun, alih-alih menerima cangkir kopi itu dengan senang hati, Bima malah berlalu begitu saja.

"Tidak perlu berlagak sebagai istri, ingat pernikahan kita hanyalah pura-pura," ucap Bima meninggalkan Sandara dan memasuki ruang kerjanya.

"Iih, apaan sih marah-marah mulu. Heran, nggak jelas banget!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 142

    Sandara menggigit bibirnya, ragu untuk melangkah dan membantu asisten yang sedang mengemas pakaian di dalam kamar. Bima, dengan tangan terbuka, menghalangi Sandara. "Sayang, duduk saja di sini, biarkan bibik yang menangani semuanya," ujarnya lembut, sambil menunjuk ke sofa empuk di sudut ruangan. Bu Laras menoleh, menghela nafas ringan, dan tersenyum mengerti. "Nggak apa, Dara, kamu cukup tunjukkan saja pakaian mana yang ingin kamu bawa. Biar bibik yang mempersiapkan semuanya," katanya, suaranya menyiratkan keinginan agar Sandara tidak terlalu memaksakan diri. Sandara menarik napas panjang dan kembali menempati tempatnya di samping sang mama mertua, yang sudah terlihat antusias dengan persiapan. "Ma, nanti perlengkapan buat di rumah sakit taruh di tas besar ini saja ya. Jadi kita nggak perlu repot cari-cari lagi saat waktunya tiba," saran Sandara, matanya berbinar memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Bu Laras, mama mertuanya mengangguk, dan bibik kembali sibuk deng

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 141

    Hari itu, Sandara bersiap dengan gaun pesta yang anggun tapi terhambat oleh perutnya yang membuncit karena kehamilan. Dia mendekati Bima yang tengah duduk termenung di tepi ranjang, penuh penantian. "Sayang, bisa tolong aku?" rayunya lembut, tangan mungilnya mencoba meraih resleting di bagian punggung bawah gaunnya namun sia-sia. Bima menoleh, matanya berbinar saat melihat punggung istrinya yang terbuka dari resleting yang belum tertutup. Dengan senyuman, dia bangkit dan perlahan menarik resleting itu sambil berbisik, "Kamu memikat sekali hari ini, sayang." Sementara Sandara tersenyum, merasa berbunga dengan pujian dan sentuhan penuh cinta dari Bima."Dan kamu terlihat begitu seksi." Bima berkata sambil tersenyum, segera membantu Sandara menaikkan resleting gaun yang elegan itu. Sandara merasa lega sekaligus tersipu, cintanya pada Bima semakin dalam. Dengan perlahan, Bima membantu Sandara berdiri dan membenarkan gaunnya.Mereka berdua kemudian berangkat ke tempat Alin dan Leo akan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 140

    Leo dan Alin, yang beberapa saat lalu masih terkurung dalam pelukan hangat, tiba-tiba terpisah seperti dua kutub yang terdorong oleh kekuatan magnet. Wajah mereka semakin memerah saat Bima, dengan ekspresi yang tidak terima, memberikan teguran yang tajam. "Nggak sengaja Bos," kata Leo, suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan suasana. Namun, Bima hanya mencibir dengan tatapan yang skeptis. "Mana ada berpelukan tapi nggak sengaja," balasnya, nada suaranya meninggi penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, Leo hanya bisa tersenyum kikuk, senyum yang tampak dipaksakan untuk menyembunyikan kebingungannya. Alin, di sisi lain, menunduk dalam-dalam, rasa malu menggelayuti dirinya. Hatinya berdebar, khawatir atas apa yang baru saja terjadi dan bagaimana persepsi Bima terhadap situasi tersebut. Ia bahkan tidak berani mengangkat kepala untuk menatap Bima atau Sandara, takut akan pandangan yang mungkin akan semakin menambah rasa bersalah di hatinya. Keduanya, meski tak terucap, sali

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 139

    Sandara terdiam, duduk di kursi roda yang didorong oleh Bima di sepanjang jalur pemakaman yang dipenuhi oleh deretan batu nisan. Wajahnya yang pucat dan lelah semakin membuatnya terlihat rapuh. Pada tangannya yang satu, masih terpasang jarum infus yang meneteskan cairan ke dalam pembuluh darahnya, sebuah pengingat dari sakit yang dia derita tidak hanya secara fisik tetapi juga emosional.Mata Sandara memandang tanpa fokus ke arah makam ayahnya yang baru saja ditutupi tanah. Air mata terus menderas tanpa henti, menciptakan jalur basah di kedua pipinya. Alin dan Bu Laras, yang telah seperti keluarga sendiri, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.Bu Laras, dengan lembut, mengusap punggung Sandara, mencoba memberikan kenyamanan sebisa mungkin. "Sayang, kamu yang sabar. Ayah kamu sudah di tempat yang nyaman," katanya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi sendiri.Alin, dengan mata yang juga berkaca-kaca, merangkul bahu Sandara. "Sabar ya Dar. Lo masih punya gue," bisiknya

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 138

    "Bos jangan membuat kami iri dong. Kasihanilah kami," ucap Leo dengan mendramatisi keadaan.Bima tak menghiraukan ucapan asistennya itu, ia bahkan mencium bibir Sandara sekilas. Ia begitu takut kehilangan Sandara. Dua kali sudah Reva telah mencoba membunuh wanita yang akan menjadi ibu dari anaknya itu.Bima menatap Leo dengan tatapan yang sinis. "Jangan pura-pura, Leo. Kenapa kamu nggak langsung nikahi Alin aja? Bukannya kamu naksir berat sama dia," ujarnya, dengan nada menyudutkan. Leo tergagap, pipinya memerah terbakar malu, hatinya dipelintir ketidakberdayaan saat dia berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alin yang saat itu juga tak berani menatap mata mereka berdua. Ia malah menundukkan kepala, pipinya menyala seperti membara. Sandara, yang juga di situ, melirik Alin, tersenyum kecil melihat reaksi sahabatnya itu. "Ada apa nih? Kok kayak yang sedang dimabuk asmara?" candanya, suaranya perlahan tetapi cukup terdengar. Bima tertawa terbahak-bahak, menambahi ejekan. "Lihat tuh,

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 137

    Sandara terbangun dengan tiba-tiba, matanya membulat ketakutan saat melihat sosok perawat yang berdiri di hadapannya dengan bantal di tangan. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat saat mendengar suara serak itu."Aku adalah malaikat yang akan mencabut nyawamu!" seru Reva dengan senyum menyeringai di balik maskernya. Sinar mata Reva memancarkan kegilaan, membuat jantung Sandara semakin berdegup kencang."Reva!" pekik Sandara dalam kepanikan. Namun, ia tak bisa berbuat banyak. Tangannya yang terinfus dan tubuhnya yang masih lemah membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, berharap ini hanya mimpi buruk."Tidak Reva, pergi!" teriak Sandara, suaranya bergetar, mengusir Reva yang semakin mendekat. Air mata mulai mengalir di pipinya, ketakutan menguasai setiap inci tubuhnya saat dia menyadari situasi mengerikan yang sedang dihadapinya.Di dalam kamar mandi, Alin menghentakkan tubuhnya ke pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Keringat dingin mengucur deras di pelipi

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 136

    Bima berdiri tegap, pandangannya tajam menembus jendela yang mengarah ke ruang bawah tanah. "Leo, perintahkan anak buahmu untuk mengejar Ajeng segera. Setelah meninggalkan Pak Sudiro di dermaga pasti ia kehilangan arah. Dan jangan lupa, Reva harus kita tangkap. Dia membahayakan keselamatan Sandara," katanya dengan suara yang penuh otoritas. Rasa kecewa dan amarah terhadap Reva, mantan kekasihnya yang berkhianat, jelas terlihat di wajahnya. Leo, dengan ekspresi serius, mengangguk penuh semangat. "Siap, Bos!" jawabnya sambil mengepalkan tangan, siap menjalankan tugas. Sementara itu, di ruangan bawah tanah yang pengap, Bima menatap dingin ke arah Erdo yang tergeletak lemah. "Biarkan dia membusuk di sini," ucapnya tanpa belas kasihan, lalu berlalu dengan langkah berat. Di sisi lain, di ruang VVIP rumah sakit, keheningan menyelimuti ruangan ketika Sandara terlelap, hanya terdengar suara nafasnya yang lemah. Alin, yang duduk di sofa dekat tempat tidur, terlihat bosan sambil memainkan

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 135

    Setelah memastikan keadaan Sandara baik-baik saja, Bima berencana untuk meninggalkannya sebentar saja. Tapi ia takut kalau Sandara tak ada yang menjaganya."Ada apa Om?" tanya Sandara dengan mengerutkan dahinya melihat Bima yang tampak sedikit gelisah.Bima mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa sayang. Nanti kamu mau makan apa?" tanya Bima untuk mengalihkan perhatian Sandara.Sandara terdiam sejenak. "Apa boleh gue makan daging?" tanya Sandara dengan sedikit ragu mengingat kamarin ia baru saja di operasi."Tentu saja boleh, asal nggak berlebihan," jawab Bima dengan lembut sambil mengusap kepalanya panuh kasih sayang.Tak lama pintu ruangan itu di ketuk. Alin dengan senyum lebar masuk dan menghampiri sahabatnya."Hai, Dara. Gue minta maaf karena nggak percaya sama lo kalau lo liat Erdo waktu itu," ucap Alin penuh penyesalan. Menghambur memeluk sahabatnya.Sandara tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, gue baik-baik aja kok," jawab Sandara dengan membalas pelukan Alin."Alin, apa kamu nggak sibu

  • Kontrak Cinta Dengan CEO Dingin   Bab 134

    Sandara menunduk, bibir bawahnya terjepit antara giginya. Dia berada di persimpangan hati; sebentuk kebenaran mengetuk bibirnya—ia sedang mengandung. Bimbang menari di benaknya, rasa takut Bima takkan menerima ini menguar kuat. "Nggak ada Om, gue ***a bilang kangen doang," suaranya meredup, terdengar dari ujung bibir yang bergetar pelan. Bima, suaminya—meski hanya di atas kertas—menggenggam erat tangan Sandara. Raut mukanya memerah, peningkatan denyut jantungnya nyata sekali seakan ingin meluapkan kekesalan. Namun, pandangannya tertuju pada perban yang masih terlilit di lengan Sandara, sisa-sisa operasi yang belum lama. Napasnya dihela dalam-dalam, berusaha menenangkan amarahnya. Tanpa sadar oleh Sandara, saat dia pingsan sebelumnya, dokter telah memberi tahu Bima tentang kehamilannya. "Kamu yakin?" Bima mendorong sekali lagi, suaranya lebih halus, mendesak namun penuh pengertian, mencoba menggali kejujuran dari hati Sandara.Sandara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulk

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status