"Satya mana, Kak?" "Sebentar lagi datang, tadi dibawa Moris. Pegawai baru di butik, yatim-piatu yang tidak lagi sekolah. Kakak berencana mau nyekolahin dia, sekalian kuliah," jawab Arini menuju meja makan. "Ma sya Allah, Kak. Kakak baik banget." "Biasa aja. Berlian abis lulus nyambung ke mana?" tanyanya dengan nada biasa. "Pengennya kuliah, Kak. Tapi, belum izin ke abang." Berlian memperhatikan gerak-gerik Arini. Pagi ini terlihat normal. Walau sorot matanya terlihat jelas datar--luka dalam yang sukar terdeteksi. {Apakah hari ini ada jadwal Kak Arini kontrol, Bang} Berlian mengirim pesan pada Burhan. {Siang nanti kakak cek up, abang udah call sama Psikolog Morela. Dia tidak akan tau dibawa ke psikolog. Morela memberi keterangan asam lambung pada cek up lalu. Jangan sampai ketauan. Ingat, Ber!} {Siap, Bang} "Kamu chatingan sama siapa, sama pacar?" tanya Arini mendadak duduk tepat di samping Berlian. "Eh, eng ... enggak, Kak. Berlian belom punya pacar," jawab Berlian grogi mema
Kakek Arini mantan birokrat yang ditipu oleh Kamandanu. Rusdi meninggal karena dibunuh, sampai hari ini, kasusnya dipeti es-kan. Jansen Kamandanu tidak mengetahui sama sekali kalau Arini adalah cucu Rusdi. Karena bagi Jansen Arini hanya sosok gadis miskin yatim-piatu, untuk itu, ia tidak mau tau latar belakangnya. Kamandanu berpikir bahwa cara berpikir Ilham dan Ronald sama saja dalam urusan jodoh--rendahan. *Di rumah Arini.Setalah Satya dinyatakan boleh pulang dan seharian rawat intensif di rumah. Berlian turut menemani Arini. "Kak, bukankah Satya harus dibawa lagi ke rumah sakit sebelum magrib?" tanya Berlian memulai strategi. "Ya, Alhamdulillah kamu ingat ya, Ber. Kamu ikut kakak, gak ada yang nemenin, Nih," pinta Arini sambil membereskan pakaian yang akan dibawa ke rumah sakit. "Gi mana kalau dokternya kita suruh kemari, saja," ujar Berlian memberi pendapat. Berdoa dalam hati semoga Arini mengaminkan. Karena ini jalan satu-satunya agar Morela datang setiap hari ke rumah Ari
"Mama!" "Sehat kamu, Nak!" "Alhamdulillah. Mama sama siapa ke sini?" "Tu, sama anak mama paling ganteng sedunia." Arini terdiam di tempatnya berdiri. Burhan yang pagi ini tidak bekerja, sama-sama seperti orang bego. Diam ambigu. Seolah merasa tidak nyaman dengan kedatangan Ilham dan Meli. Arini yang masih memakai mukena, membuat Ilham menyipit mata. Ada Alquran kecil di tangannya. "Ini, eh ... Burhan ngajarin Arini ngaji, ternyata suara Burhan itu merdu. Tiap magrib dia ngaji. Arini pengen diajarin ngaji juga. Udah lama ngak pegang Al-qur'an rasanya gamang." Tanpa diminta, merasa ingin menjelaskan. Arini bercerita. Meli tersenyum mengelus pucuk kepala Arini. Tentu saja Meli tidak tahu betapa Burhan menikmati tingkah absurd hasil depresi Arini. Menikmati dalam artian begitu sulit menyelami. Berbagai cara ia coba. Tidak hanya psikolog, Burhan sengaja selalu menghidupkan suara-suara alunan Al-Qur'an setiap Subuh hingga menjelang berangkat kerja. Ayat-ayat rukiyah. Ternyata hasiln
"Apa ini?" Arini membuang kertas ke wajah Rian. Surat penandatanganan pembelian bayi sebesar lima ratus juta. "Kau siapa ikut campur urusanku?" teriak Rian menuding Arini. Burhan berlari tergopoh-gopoh, ia panik menelusuri seluruh cctv rumah sakit karena kehilangan Arini yang ternyata sudah sadar. Berlian membersihkan diri di kamar mandi. Setelah itu langsung pamit pulang. Perawat jaga ikut berlarian kawatir. Meli sampai terjatuh di tangga. Di depan lobi rumah sakit dengan begitu lantang, wanita yang baru siuman itu menampar keras wajah Rian. Mantan adik kandung mertuanya. Burhan bingung. Ada apa ini? Baru saja ia melihat sendiri bagaimana Arini menangis terisak, menyebut-nyebut nama Satya. Lalu, mendadak meminta gorengan. Meli datang menggantikan Burhan menjaga Arini. Burhan pergi untuk membeli gorengan. Sekembalinya dia, Arini sudah menghilang. Meli yang heran dan pertama kali melihat adegan Arini kumat,
"Bu Meli, sudah pulang?" tanya Burhan celingukan ke arah kamar dan dapur tiada siapa-siapa."Iya, tadi malam pas kamu kerja, mama pulang, rencana mama, mau semingguan di sini. Katanya dua hari lagi, Ilham datang. Makanya, pulang lebih awal. Seingat aku, bukannya Mama Meli bilang enam bulan, ya.""Mungkin ada sesuatu yang tertinggal, atau urusan lain. Semua bisa saja terjadi, kan.""Iya, juga sih. Cuma--aneh aja.""Kamu gak senang Ilham datang?""Apa kamu pengen aku senang Ilham datang?" tanya Arini balik, tanpa melihat Burhan.Burhan diam. Selarik senyum tipis mengembang, raut berlesung yang baru saja menerobos jalan menuju dapur, membuat irama jantungnya bertalu bagai bedug magrib saat Ramadhan tiba."Masak apa? tumben! biasanya nunggu dimasakin." "Menik katanya mau bawa Bu Dena kemari, aku mau sekalian bawa Bu Dena jalan-jalan. Kami mau makan-makan di taman.""Kok, Menik gak ngasih tau, aku juga gak diajak.""Eh, kan, diundang spesial sama Nyonya Arini, kok kamu yang protes," jawab
Lian dan Asti saling pandang, menatap dari tempat duduk mereka, ekspresi Burhan yang senyum-senyum menghadap kaca. Memang seperti abege jatuh cinta."Ya, Aku sebenarnya udah lama mengenal Nina. Waktu masih bekerja dengan Pram. Sebelum Ilham memasukkan berkas ke bagian keamanan Pabrik Plastik. Aku terpilih menjadi kepala bagian keamanan di sana. memudahkan kami melakukan banyak hal mengetahui info perusahaan tersebut, termasuk ketika mereka menjual saham secara diam-diam tanpa diketahui pemilik modal. Aku yakin Arini mengetahui ini semua." Burhan berubah mimik suara, jika bersangkutan dengan Arini ia selalu bersemangat. Ini masalah kesumat yang bakal membawa mereka kaya."Aman terkendali, Nina sangat lihai, Yah. Ikut membantu kita." Asti menjelaskan. Selama mengenal mantan sekretaris Pram itu, Asti merasa orang yang cocok dipercaya. Tapi, Jansen sedari dulu bukan orang yang mudah memberi kepercayaan. Ilham menjadi Presdir bukan tidak jelas alasannya. Untuk itu waspada lebih baik."Ad
{Arini, mama di rumah, kamu di mana?.}{Arini di rumah sakit, Ma}{Siapa, yang sakit?}{Ibunya Burhan}{Kalau gitu mama ke sana.}{Gak usah, Ma. Arini udah mau pulang}{Lah, Kan. Bisa sekalian, mama otewe ke sana. Rumah sakit mana? Mama jemput pokoknya}Mama! Arini mencebik kesal, dengan berat hati mengirimkan lokasi rumah sakit tempat Dena dirawat. Meli menunjukkan terang-terangan jarak dan benci pada keluarga Burhan.Perbedaan kasta--kah sebabnya?Bukankah Meli merasakan hal yang sama ketika Jansen tidak menerimanya sebagai menantu hanya karena kasta sosial.Lalu, mengapa terkesan sombong kepada keluarga Burhan?Arini sadar, Meli terlalu menyayanginya. Kata sayang itu dulu sangat membuatnya merasa dihargai tanpa sarat.Tidak memiliki ibu, rasanya dunia Arini runtuh seketika, menemukan Meli sedari pacaran dengan Ilham hingga dinyatakan lulus menjadi seorang sarjana tanpa imbalan. Telah melupakan rasa saki
Arini berkali-kali menatap lamat dari kejauhan lelahnya mata Burhan. Kasihan. Ternyata jiwa childish bisa menghinggapi siapa saja. Apalagi menyangkut kehilangan seorang ibu. Untuk pertama kali, Arini tidak menyukai Meli. Mendengar kata tandatangan membuat lidah Arini menahan mengeluarkan kalimat hujatan, apalagi pertanyaan. Kesepakatan apa antara Dena dan Meli. Apakah mengenai Arini? Menangis di depan jenazah Dena. Beribu puzzle berada di kepala Arini. Ia bingung dengan semua. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Dena. Tapi, yang tertinggal hanya seonggok badan tanpa nyawa. Diabetes Melitus telah merongrong tanpa memberi celah untuk sehat. Sejatinya takdir ajal, hak veto Tuhan. "Jangan berpisah dari Burhan." Nasehat serupa perintah yang menjadi satu alasan betapa Arini bangga merasa dihargai. Selama ini ia memang dimanja oleh Meli, namun, Arini sangat merasa memiliki keluarga di tengah Berlian, Intan dan Menik yang lucu/ "Ibu ti