Ilham dipecat, padahal ia salah satu pewaris perusahaan. Tentu saja hal yang tidak masuk akal. Faktanya lelaki itu memang dipecat. Semua permainan dari Rian si ambisius.Paman kandung Ilham itu dibantu Mira untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. *Kehadiran Mira yang direncanakan Rian, telah berhasil mengacaukan rumahtangga Arini dan Ilham.Wanita tak tahu diri itu acap kali mengganggu kenyamanan Arini di rumahnya sendiri, sejak Ilham mengiyakan tentang kesepakatan kerjasama di Franve.Mira sengaja melontarkan kalimat-kalimat bagai penggosok perkakas keluar dari bibirnya untuk Arini setiap mengantar tugas dari Pram untuk Ilham."Tanya saja sama suamimu. Kami berdua sering ketahuan bersama, Pak Rian cemburu padanya, kau tau, Arini? Putra bungsu keluarga Penang itu sangat mencintaiku. Ia lebih memilih aku daripada keponakannya. Makanya Ilham dipecat dari Perusahaan Plastik Penang. Aku kasian padanya, tak tega hidupnya yang biasa bergelimang harta harus dicemooh para kolega sendiri. K
Cerai adalah bom yang mengguncang Arasy.Kata yang paling Allah laknat adalah cerai. Jika ada solusi lain, mengapa harus bercerai? Emosi, bujukan setan, rayuan hormon egoisme telah menang melawan gumpalan kecil bernama hati. Petaka pertama di rumahtangga Arini-Ilham. (Ada yang cerai. Apa aku harus potong tumpeng?)Status baru memenuhi beranda Mira. Arini melotot tak percaya. Belum lima menit dari ia keluar rumah, Mira sudah mengetahui. Bertabungan talak seharusnya membuat Ilham berhati-hati. Sebab setan, iblis ada di mana-mana. Akhirnya kabar talak itu pun sampai ke telinga Mira. Wanita itu bahagia bukan main, selama ini sangat penasaran karena tidak pernah berhasil menggoda Ilham. Kesempatan baginya telah datang, dengan berani, ia datang ke rumah Ilham. Kebahagiaan menyelimuti hati Mira, demi mendengar tabungan talak rasanya ia sanggup memindahkan Monas ke Kalimantan saja. Setelah sebelumnya Mira tahu betul rumahtangga incarannya itu sedang tidak baik-baik saja sejak kedatangan
Slideshow perjalanan talak tiga Arini. Perempuan itu terus bercerita. Entah mengapa lidahnya mendadak mengeluarkan kata-kata tanpa jeda. "Ceritakan semua padaku, Nyonya. Jangan malu! aku berjanji akan membelamu, luahkan semua yang ada di hatimu. Aku siap mendengar apapun itu. Burhan mendengarkan cerita kisah pilu itu sambil menatap istrinya. Sesekali ia fokus melihat jalanan.Arini memejam mata. Membayangkan kejadian setelah pertengkaran antara ia dan Ilham. Ilham pergi dari rumah. Di tengah jalan Mira datang dengan skenarionya."Kau tidak bosan jika aku bercerita tentang bosmu Ilham itu bagian dari laki-laki jahannam?" tanya Arini sinis. "Bukankah kau dibayarnya untuk meniduriku lalu kembali menceraikan?""Bagaimana jika aku tidak mau bercerai dengan Nyonya? apa Nyonya mau hidup bersamaku?" tanya Burhan menatap dua manik mata Arini, intens. Wanita itu berdecih. Membuang pandangannya ke samping jendela mobil."Kau mau hidup denganku selamanya? hanya lelaki bodoh yang ingin hidup de
"Kalian tinggal di sini saja, Nak. Paman sudah beli rumah di pinggiran, walaupun sederhana tapi Alhamdulillah sangat nyaman. Jangan menumpang di rumah Meli, walaupun Paman tau, dia sangat menyayangimu." Ketika talak dua jatuh untuk Arini. Lian sang paman yang menyembunyikan catatan dosa tentang kakek Ilham alias Jansen akhirnya harus menceritakan liciknya keluarga Penang pada Arini di sore itu. "Jadi-jadi, se- sebenarnya pabrik tekstil itu milik Kakek Rusdi, Paman?" tanya Arini kaget, ia seakan tak percaya ternyata keluarga Penang sungguh licik. Sekian tahun bersama sama sekali ia tak menyangka Lian menyembunyikan kisah masa lalu keluarga suaminya."Iya, Nak. Jansen sangat lihai. Kakek Ilham itu berdarah dingin demi harta. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hajatnya tanpa peduli kemanusiaan bahkan nyawa sekalipun," ungkap Lian menunduk. Kaca-kaca bening menaungi pelupuk matanya. "Kalau paman tau mereka begitu, mengapa papa dan paman sendiri menerima pinangan Ilham, tidak mung
Bertahun-tahun pacaran, bukanlah tolak ukur seseorang untuk bisa mempertahankan rumah tangga. Bahkan setelah tujuh tahun mengarungi bahtera bersama, ikatan sakral bisa saja teberai. Selama tujuh tahun, rumah tangga Arini dalam kondisi stabil. Tidak ada riak kecil, apalagi besar. Hidupnya tenang. Walaupun Ilham memiliki karakter tak bisa membendung emosi. Arini selalu mampu meluluhkan suaminya. Tenang, tapi, hambar begitu kondisi kehidupan yang mereka jalani. Bagi Ilham memberi fasilitas untuk Arini sudah merupakan kebahagiaan. Arini kerap termenung sendirian, tak ada suara tangisan bayi untuk menyemarakkan hidupnya. Saudara satu-satunya tinggal jauh terpisah. Sebatang kara itu menyakitkan. Terkadang manusia tidak mengerti ada kebutuhan bercerita pada diri tiap wanita. Ilham tidak mengerti, sang istri butuh sesuatu selain daripada uang dan ranjang. Kekurangan yang sukar disatukan. Kehambaran di tujuh tahun rumahtangganya, membawa petaka lebih mudah menyusup ke tengah area. Hadirnya
"Apa kamu lupa dengan Arini, Ilham?" Meli menelpon Ilham setelah mendengar kabar dari Kayla bahwa Ilham berhasil mengerjakan sempurna pekerjaannya dan pergi bersenang-senang dengan Mira. Kayla termakan omongan Pram. Bahwa yang selingkuh dengan Mira itu ya--Ilham. Bukan dirinya--Pram. Kayla yang mengenal Meli dengan baik langsung menelpon, memberi kabar bahwa Ilham pergi bersama Mira. Panas dingin hati Meli mendengarnya. Menit itu juga, sigap menekan tombol angka di layar--menelpon putra tercinta. "Arini juga sudah lupa dengan Ilham, Ma," jawabnya malas berdebat. "Ini sudah dua bulan Ilham, hentikan keegoisanmu, lepas sebulan lagi Arini sudah tiga kali suci kau tidak lagi bisa mengucapkan kata rujuk padanya. Arini tidak akan pernah kembali, selamat atas ketololan kamu sebagai imam di rumahtangga." "Huh, mama, berhentilah mengurusi rumah tangga Ilham." "Apa kamu bilang?" Ah, Ilham mengatup mulutnya, menyesal melemparkan kalimat itu pada mamanya. "Ya, maaf. Ilham hanya ingin ... eh,
"Di kafe jaya ada tempat istirahat melepas lelah, kita bisa sejenak satu ranjang?" "M-maksud kamu?" "Ishh kamu gemesin tau, baru dibilang kalimat ranjang aja, udah merah gitu mukanya." Mira mengusap pipi kanan Ilham. Mengerling nakal. "Ngapain ngomong gitu?!" tanya Ilham sedikit kasar. "Ish, makin gemes. Kamu tu tipe suami ideal tau, Arini kok cembuker amat sih." Mira pura-pura senyum paksa. Padahal hatinya jengkel minta ampun menyebut nama Arini. "Huh. Ya iya. Kamu juga, Kirain apaan ngomong gitu, bikin kaget aja." Ilham melungsur nafas lelah. "Kamu juga bikin kaget teriak gitu cuma nanya maksud. Biasa aja deh, Ham. Kita lagian udah sama dewasa. Masa becandaan gitu dianggap seriusan sih." "Aku spontan teriak, kaget." "Kalo iya emang kamu mau gitu kita satu ranjang," tantang Mira memainkan alisnya. Ilham memilih tidak menjawab pertanyaan Mira. Melihat rona muka Ilham yang memerah, Mira Tersenyum tipis. Salam hati ia berujar. 'aku berhasil'Lampu kerlap-kerlip khas sebuah kafe
"Sungguh kau kejam, Ilham!" Hanya itu. Ia gegas menggendong Satya. Berlari kencang. Air mata Arini masuk ke dalam. Cukup baginya semua. Ini lebih perih dari luka sayatan dalam pada daging kulitnya. Sakit sekali. Perih. Air mata berusaha ia cekat tak merembes keluar. Ngilu di sudut terdalam jantungnya. "Arini!" teriak Ilham mengejar, lelaki itu kebingungan. Arini menghilang. Ia menarik rambutnya. Frustasi. Mira tersenyum tipis berdiri di tempatnya. "Jangan dikejar! wanita kalau cemburu gak bakal bisa kamu buat reda dengan ngejar gitu. Biarin dia sendirian dulu. Entar kalo hatinya udah tenang baru deh kamu minta maaf. Aku juga bakal bantuin jelasin ke Arini. Namnya juga perempuan. Sensitif. Udahlah. Gak usah dipikirin." Mira menepuk bahu Ilham. Mulai dengan jurus lainnya melumpuhkan saraf Ilham semakin tak berdaya. * Tidak ada lagi harapan kebersamaan. Pupus semua kenangan. Cinta yang pernah mereka semai. Best couple yang pernah mereka raih. Tinggal cerita di hari tua. Sejak detik