Share

Kesumat

Meli dan Ronald sangat paham bagaimana watak Ilham. Tidak suka bekerjasama, emosian, ego tinggi. Tidak ingin terlihat lemah. Makanya Ilham akrab dengan perusahaan Franve, karena itu satu-satunya perusahaan yang tidak terlibat bisnis dengan keluarga Penang. "Arini," suara bariton seseorang menyapa.

Meli dan Ronal saling pandang. Rian mencebik licik. Berlalu sebelum Arini berbuat lebih mengerikan. "Awas kalau sampai terjadi sesuatu pada lelaki tadi, lehermu taruhannya," ancam Arini pelan tapi tajam tepat ke telinga Rian sebelum Ilham datang mendekat. Rian mematikan power ponselnya setelah celotehan Karin panjang lebar. Mengapa juga keponakannya itu jadi terkesan menyukai Burhan?

Bukan cuma Rian yang kesal, tapi Arini tak kalah sinis menatap kesal pada Karina.

Rian.tidak jadi menelpon anak buahnya. Ia berdecak gusar. Ancaman Arini ternyata berefek. Manusia yang tadinya hendak menonton gratis drama adu jetos.terutama anak-anak Arya, Bagas dan lainnya. Mundur teratur.

Kibasan tangan Rian mengendalikan acara kembali tenang.

Mereka semua tidak ingin Jansen Kamandanu mengetahui ada ribut-ribut lalu membatalkan pembagian hasil perusahaan.

Pembagian yang memang diadakan sekali setahun berketepatan dengan hari ulang tahun sang nenek.

Ilham mendekati Arini, Lelaki itu tidak tahu sama sekali apa yang baru saja terjadi. Ia berpapasan dengan Burhan sebelum masuk ke dalam.

"Kau datang?" tanyanya tanpa curiga.

"Hanya mengantar Nyonya," jawab Burhan singkat, langsung berlalu. Walaupun berteman sejak kecil, tapi, Ilham tidak pernah akrab berdekatan apalagi selalu bersama Burhan. Kerap dibantu, menerima sumbangan amal dari keluarga Ilham. Membuat Ilham merasa Burhan bukan circle bagian hidupnya.

Keluarga Burhan memang berdiri pada garis bawah keluarga Ilham. Sedari dulu.

"Ada apa ini, Om?" tanya Ilham menatap Rian yang menyeka sudut bibir. Melirik Meli. Ibunya hanya mengedikkan bahu.

"Cuma insiden kecil, tidak ada masalah." Ronald menepuk pundak Ilham. Tersenyum semringah.

"Tidak ada masalah, Nak. Hanya salah paham sedikit. Silakan bersama Arini." Ronald Menarik tangan Meli berlalu.

"Sebentar, mengapa bibir Om Rian berdarah?" tanya Ilham pada Arini, heran.

"Sudah papi bilang, Om Rian cuma kena insiden kecil, udah, gak usah diurus." Ronald mengambil alih menjawab.

"Arini kamu gak kenapa-napa, kan, sayang?" Ilham memindai tubuh Arini takut terjadi sesuatu. Arini menggeleng. Sorot bahagia menguar dari bola mata Ilham. Saat menyadari Arini datang lebih awal di pesta kakeknya itu, ia merasa wanita itu masih mencintainya.

Menatap Arini yang begitu mempesona malam ini, di hati kecilnya menyesal sekali menganggurkan diri untuk datang sendiri.

Ilham berpikir kalau Arini datang karena masih mencintainya. Padahal karena permintaan Meli dan juga kesumat yang mengakar di hati Arini Wanita itu kini tidak lagi bisa membedakan antara cinta dan dendam.

Tanpa sadar Ilham memangkas jarak antara dirinya dan Arini, menyentuh lembut lengan sang mantan istri.

Arini hendak menepis, tapi, ia takut mengacaukan acara. Akhirnya ia memilih diam saja, padahal sangat ingin menepis, rasa itu telah menguap, hatinya telanjur hambar.

Saat tangan Ilham membimbingnya ke kursi panjang dengan bahan jati berukir naga meliuk.

Arini tetap diam. Kadang reaksinya jutek, jika ia tidak mampu mengontrol emosi.

Kadang Arini sengaja lembut dan mendayu, memancing naluri. Hal itu sengaja ia lakukan untuk mengejek Ilham, bukan karena keinginan.

Ia sendiri sudah tidak mengenali dirinya lagi. "Terimakasih sudah hadir di acara ini," ucap Ilham hati-hati. Wanita itu balas menatapnya, malas. Tanpa respon, pun tanpa ekspresi.

Wajah sendu Arini membuat hati Ilham menyesal telah menyakiti. Arini lagi-lagi diam. Hening--sehening hatinya.

Rian mencelos kesal setelah melihat kedua pasang manusia duduk bersama. Berarti kabar yang Mira berikan hoax. Artinya Ilham dan Arini tidak bercerai. Fix. Hati Rian panas bukan main, ingin segera mendamprat Mira, si mata-mata yang tiada guna.

Padahal ia sangat paham karakter Arini yang legowo namun posesif. Sedangkan Ilham si santai pemilik ego tinggi, dan emosi yang sukar dikendalikan. Kecuali dengan diam dan kesabaran. Tapi, perempuan seperti Arini tidak mungkin hanya akan diam dan sabar saat si emosian smart itu masuk dalam perangkap Mira. Rian harus membayar mahal untuk sebuah kata yang terlontar.

"Mira, awas kau! kau harus kubuat berhitung tentang jumlah malu ini," umpat Rian kesal.

Meli dan Ronal kembali ke tempat duduk. Setelah melihat Arini berdampingan dengan Ilham tampak mesra. Mereka merasa telah berhasil menyatukan keduanya.

"Lihat, Pi anak, kita. Semoga awal yang baik. Aku takut Arini jatuh cinta pada Burhan," bisik Meli pelan di telinga Ronald.

"Siapa Burhan?" tanya Ronald bingung, dan Meli telanjur ceplos mengatakan. Awalnya Ronald hanya tahu Ilham dan Arini berkonflik.

Ia pikir itu hal biasa dalam berumah tangga.

Akhirnya Meli terpaksa bercerita. Ronald tampak merenung setelah mendengar cerita istrinya. Ronald sama sekali tidak mengetahui perihal nikah muhallil yang dilakukan putranya. Meli sengaja menyembunyikan. Toh, mereka akan kembali menjadi suami istri setelah drama ini. Begitu pikir Meli. Ia takut, putra tercinta dan suaminya terlibat perang mulut.

"Jadi pemuda yang meninju Rian tadi namanya Burhan? Dan dia seorang Muhallil."

“Ya Benar.”

"Ya, aku takut bukan hanya Burhan yang tidak ingin bercerai dari Arini. Tapi, lebih dari itu. Mereka satu rumah. Bayangkan! Jika Arini yang jatuh cinta, apa jadinya Ilham nanti. Aku tidak bisa membayangkan," ucap Ronald, membuat Meli mendesah pelan, resah.

Sesak memikirkaan nasib putra semata wayangnya yang salah langkah.

"Aku juga tidak tahu apa jadinya jika Ilham tidak lagi bisa rujuk pada Arini. Keegoisannya sebagai lelaki dengan memasukkan Mira dalam kehidupan, kini, harus ia sesali."

"Harusnya anak kita seperti Papi. Semarah apapun mama. Seribu kali dalam sehari meminta cerai, Papi selalu tersenyum menanggapi, karena papi tau sejatinya wanita memang sangat mudah mengucapkan kata talak. Untuk itu Allah memberi hak veto pada diri tiap lelaki, bukan wanita." Ronald ikut mendesah panjang. Memijit pelipisnya kecewa.

"Kalau wanita yang punya hak veto talak, dijamin seluruh pernikahan di dunia ini isinya janda dan duda. Menikah hanya untuk bercerai," tambah Ronald kemudian.

"Ma sya Allah sekali hukum Tuhan ya, Pi." Meli menggenggam tangan Ronald. Keduanya hening.

Menatap anak dan mantan menantu dari kejauhan.

Di kursi yang terpisah. Arini yang sebelum berangkat masih berbicara sayang pada Ilham. Kini tampak diam. Pikirannya melayang.

'Di mana si bodoh itu? Apa dia memata-mataiku sampai begitu berani datang ke sini?'

"Kok diam, sayang, apa kamu diganggu seseorang?" tanya Ilham memangkas jarak pada mantan istri.

"Siapa yang berani mengganggu istri seorang Ilham Arya Penang? bukankah semua orang di sini mengetahui kalau aku masih menjadi istrimh." Arini menyunggingkan senyum mengejek. Jawaban Arini benar. Siapa yang akan mengganggunya di luaran? tentu saja tidak ada yang berani.

Tentu hanya keluarga Penang sendiri yang berani mengganggunya, seperti Rian. Itu yang dimaksud Arini. Tapi Ilham tidak membaca signal yang diberikan.

"Bicaralah dengan biasa, Sayang! Mas mohon, jangan rentangkan jarak antara kita, kamu kerap berubah-ubah. Mas seolah tidak mengenal kamu," ucap Ilham menggenggam lembut tangan Arini.

"Aku harus bicara apa, Mas?" Akhirnya Arini membalas kalimat Ilham--jutek. Ia begitu jijik melihat mantan suaminya itu. Entah menguap ke mana semua cinta sempurna yang pernah mereka miliki. Memanggil Ilham dengan sebutan Mas- membuat mual dirinya.

"Setidaknya katakan kamu mencintaiku, seperti yang sering kamu lakukan dulu," ulas Ilham lagi. Menunduk menahan retinanya agar tidak berkaca, entah mengapa. Malam ini ia terlihat begitu menyesal. Takut kehilangan.

"Oh ... itu. Aku tidak ingin menjadi munafik. Mengaku mencintai ternyata mengkhianati," ucap Arini datar tanpa ekspresi. Menyindir telak.

"Arini, aku menyesal atas semua yang terjadi, aku menyesal melepaskan kalimat talak di awal, dan andai kamu tidak mengucapkan sarat pra nikah," ucap Ilham merangkul Arini lebih dekat. Menyesali pernah ingin memberi pelajaran pada Arini, justru itu bagian dari yang ia sesali sampai kini.

"Mas, sudahlah! Tidak perlu menyesal. Mungkin memang sudah sampai di sini takdir jodoh kita. Aku yakin suatu hari Mas akan menemukan cinta yang lain selama aku masih belum bercerai dari Burhan, yang mungkin bisa mengerti sifat Mas yang begitu gaul serta bebas kepada teman wanita," Arini melepas genggaman tangan Ilham.

"Apa yang kamu katakan? Aku tidak pernah mencintai wanita lain. Burhan segera menceraikan kamu. Aku sampai tidak kuat membayangkan kalian tidur berdua sebelum ia benar-benar menjatuhkan talak. Mengapa hukum agama rumit sekali."

"Ingat, Mas! Rujuk setelah talak tiga itu tidak seenak makan nasi cepat saji. Tersedia secepatnya. Padahal banyak prosedur yang harus dilalui. Hukum agama tidak rumit, justru menjagaku dari bajingan-bajingan syahwat seperti kalian." Ilham tersedak. Mata Arini berubah nyalang lagi. Wajah yang dulu begitu cantik kini terlihat guratan-guratan lelah bergaris kerut. Sepertinya Arini tidak peduli akan make up lagi. Pelajaran hidup telah membuatnya melempar cinta sejauh mungkin.

"Arini, maafkan aku!" Ilham meraih tangan mungil itu. Ada yang menganak di pipinya. Arini memejam mata lelahnya. Ingin menepis segera tangan Ilham, namun urung ia lakukan. Ia lelah dengan semua drama ini.

"Sudahlah jangan minta maaf melulu, aku sudah memaafkan. Tapi, apa yang kamu lakukan bagai menancap paku pada sebuah papan, meskipun paku itu lepas, copot dari tancapannya, tetap meninggalkan bekas. Papan itu sudah bolong. Andai ditambal, dia tidak akan serupa bentuknya." Arini memanggil aku-kamu. Lupa pada panggilan 'Mas'

Demi melihat sepasang mata sedang mengarah ke mereka. Suara mereka bisa membuat orang lain curiga. Ia harus membiarkan Ilham berdekatan dengannya.

Terutama paman bungsu Ilham. Yang sejak Arini menginjak kaki di rumah Ilham, masih berpakaian sekolah abu-abu. Rian telah jatuh cinta padanya. Sorot mata dari sudut pintu membuat Arini kembali menggenggam tangan Ilham. Berbicara dengan begitu mudah seolah tanpa beban padahal hanya acting semata demi nama baik Ronald. Ilham terdiam. Hatinya bagai tersayat. Istrinya yang dulu tidak lagi ditemukan.

Di hadapannya Arini seperti bunglon, orang lain yang kerap berubah wujud sesuai lingkungan. “Aku mencintai kamu Arini, dulu dan sekarang. Tidak akan pernah berubah,” bisik Ilham mendekat ke telinga Arini.

“Aku juga mencintai kamu, Sayang,” balas Arini sengaja sedikit keras. Ilham mengerut kening, heran. Ia melihat sekeliling, mengapa Arini jadi berubah lagi.

"Mas, ingat! Ini kulakukan demi Mama, bukan kamu," tegas Arini berbisik pelan, sadar ia mengucapkan itu agar lelaki seperti Rian tidak curiga kalau ia dan Ilham sudah bercerai.

Kalimat Arini barusan memudarkan senyum yang sempat menghiasi wajah Ilham kala tangannya digenggam kembali oleh Arini lalu mengucapkan cinta. Seluet tidak nyaman, mampir di jiwa Arini. Hatinya sangat teriris sembilu. Ia merasa begitu tak berharga dengan mudah ditalak dan dirujuk berulang kali.

Di sisi yang berbeda, luka itu masih terbebat cinta.

Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar. Apakah Ilham merasa bosan? Ia tidak pernah mengatakan apapun tentang kebosanan. Atau memang ia menginginkan buah hati darah daging sendiri. Arini tidak bisa mengabulkan itu semua.

Sisi lain hati Arini tak bisa menampik. Beberapa hari tak bertemu Ilham, rindu itu pernah menghampiri sangat ia sesali. Rindu yang tidak seharusnya ada. Cinta sejak belasan tahun lalu. Amblas seketika hanya karena hasutan setan. Semat best couple yang pernah mereka raih di bangku sekolah, hancur berkeping tak bersisa. Tapi cinta? Masihkah ada? Masihkah sama?

“Mengapa kau mengucapkan cinta dan bersedia rujuk jika tidak mencintaiku lagi, Arini.” Ilham menatap Arini intens.

“Karena menunjukkan diri kita masih berstatus istri itu melindungi diriku dari paman mesummu," jawab Arini tersenyum miring.

Ilham terkesiap. Ya, Arini benar, lebih baik menunjukkan diri pada khalayak bahwa mereka baik-baik saja.

Daripada harus berurusan dengan manusia sekelas bejatnya Rian. Karena itu, mau tidak mau Arini mengiyakan ajakan Meli yang memintanya untuk datang ke acara penting ini.

Karena setiap tahun Jansen Kamandanu akan membagikan lima puluh persen harta keuntungan perusahaan untuk anak dan cucunya. Meskipun tidak menyetujui dan tidak menyukai Meli menikah dengan Ronald.

Kamandanu masih memberikan hak Ronald sebagai anak.

Hal itu juga yang membuat Arini meradang tapi tidak memperlihatkan kepada keluarga Penang. Rasa sakit yang tak terceritakan. Arini mengingat dengan jelas tiap detail cerita Lian sang paman pasca perceraiannya dengan Ilham, bahwa keluarga Kamandanu hutang kelicikan dengan keluarga mereka.

Lubuk hati Arini paling dalam ia tidak lagi bisa mendeskripsikan apa sebenarnya yang terjadi pada hatinya.

Ada sesuatu kesumat mengakar setelah Lian sang paman menceritakan pada Arini kisah harta dan kematian kakek Arini.

"Pokoknya kita rujuk Arini, aku tidak tahan. Aku merindukanmu," ucap Ilham masih terus merongrong penasaran.

Bukankah pandangan Arini pada layar komputer di butik itu, dan tangisan kerinduannya menandakan cinta itu masih sama. Lalu, mengapa sekarang berubah? Ilham bersenandika, bingung dengan sikap Arini yang kerap berubah-ubah.

Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan mantan istrinya.

Sedangkan Arini berpikir dengan dunianya—sesuatu telah mengubah cinta menjadi dendam. "Begitu mudah mengatakan rindu. Apa dia tidak sadar selama ini menyakitiku." Begitu pula yang ada di pikiran Arini. Bukan hanya Ilham, tapi, seluruh keluarga kecuali Ronald dan Meli. Karena dua sepasang itu tidak mengetahui apapun perihal kejadian yang ada di hati Arini mengenai Kamandanu di masa lalu, yang mengakibatkan kesumat mengakar.

"Baiklah Ilham, aku terima tawaranmu, kita akan kembali rujuk, jika memang semua bisa diperbaiki kenapa tidak! Tapi, saratnya tentu saja kau harus menunggu aku bermalam, satu ranjang, beradu peluh bersama Burhan," ucap Arini tenang.

Ilham terdiam, Arini bosan dengan ulah keluarga Ilham, dulu hatinya tidaklah seperih ini, mengenang ayah yang sudah meninggal. Warisan perusahaan yang diambil dengan begitu licik oleh keluarga Jansen Kamandanu. Semua yang diceritakan sang paman membuat Arini melancarkan rencana perhitungan dengan keluarga suaminya itu.

Meli adalah satu-satunya orang yang mencintai Arini dengan tulus.

Tapi semua tidak akan bisa kembali normal. Talak tiga yang sah meski tanpa ucapan, begitu tajam bagai siluet silet menancap. Meluwak luka yang bertahun-tahun telah sembuh di hati Arini. Demi cintanya pada Ilham, ia menyampingkan kesumat yang pernah hadir.

Luka dalam yang berdarah, terbebat kering, kini menguap kembali bernanah. Aromanya mematikan sel. Ia membenci cinta.

“Jansen membagikan keuntungan perusahaan untuk anak cucunya. Yang ia ambil itu harta ayah kami, kakek kamu, Arini. Jansen orang jahat.” Kalimat demi kalimat paman Lian bermain di rungunya. Ilham yang duduk di sebelah Arini mengerut.bingung.

Pandangan mata sang mantan istri kosong. "Kamu melamun, Sayang?”

“Bukannya aku udah bilang akan rujuk. Jangan mempertanyakan hal yang tidak perlu kamu tanyakan,” ucap Arini tegas. Ilham terkesiap, namun mampu menetralisiir suasana, Ilham menganggap Arini hanya butuh waktu untuk tenang.

“Terimakasih. Aku akan berusaha membuat kamu jatuh cinta berkali-kali lagi. Eh, malam ini ... kamu sangat cantik, sayang," rayu Ilham lagi.

"Selamat malam semuanya, Nenek dan Kakek sudah hadir. Harap semua tenang." Suara lantang bernada arogan, berdentang dari pengeras suara setiap sudut jauh terdengar. Mata Arini tidak lepas memindai tajam. Sorotnya berubah beringas. Keping hatinya hancur berantakan.

"Sabar Arini, tenanglah. Jadikan lelaki di sampingmu kelimpungan untuk kembali, dan suka rela melakukan apa saja demi dirimu," bisik sudut hati wanita cantik itu penuh kesumat dendam. Bara semakin menyala saat dua manusia berambut putih namun tetap berwibawa, naik ke atas kursi kebesaran. Napas Arini tertahan. Berusaha menetralkan diri. Untuk tidak terlihat sakit di dadanya.

"Kamu juga tidak kalah tampan dari apapun, kurasa karena itu Mira sangat terpesona," bisik Arini sarkas.

"Arini!" Ilham terkejut mendengar jawaban mantan istrinya itu.

"Hmm. Ada apa?" tanya Arini tidak memindahkan matanya dari kursi kebesaran.

"Bisakah kita tidak membahas Mira saat bersua, aku hanya dijebak, percayalah!"

"Lalu kita harus membahas apa? sosok Muhallil impoten itu? sepertinya menjadi istri dari lelaki itu sungguh ide cemerlang darimu, sebab tidak akan ada wanita yang berminat, siapa yang mau dengan pria dingin?"

"Maafkan aku."

"Untuk?"

"Semuanya."

"Terlambat!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erna Wati
wadoh koinnya banyak bgt kak ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status