Beranda / Romansa / Kontrak Cinta Si Tuan Dingin / Bab 36: Pergi dari Rumah Tuan Dingin

Share

Bab 36: Pergi dari Rumah Tuan Dingin

Penulis: Gema senja
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-18 08:34:40

“Aku mau bicara.”

Kalimat itu meluncur dari bibir Aira begitu Alvano membuka pintu ruang kerja di rumah mereka. Matanya tajam, tidak bergetar. Tapi hatinya… nyaris runtuh.

Alvano berdiri kaku. “Sekarang?”

Aira mengangguk. “Sekarang. Nggak bisa ditunda lagi.”

Ia duduk di sofa ruang kerja itu, menggenggam surat di tangannya. Kertas yang ia cetak sejak pagi, tapi baru berani disodorkan malam ini.

“Apa ini?” Alvano mengambilnya dengan alis mengernyit.

“Pengunduran diri. Sekaligus… pengakhiran kontrak.”

Butuh waktu dua detik sebelum reaksi muncul di wajah pria itu.

“Ngaco,” gumamnya. “Kamu lagi marah? Aku bilang sesuatu yang salah?”

“Bukan soal marah, Van,” ucap Aira. “Aku cuma sadar... aku terlalu berharap sesuatu yang bukan bagianku.”

Wajah Alvano menegang. “Jangan ngomong begitu. Kita masih bisa—”

“Masih bisa apalagi? Jalanin hubungan yang kita tahu cuma permainan dari awal?”

Dia berdiri, menatap Alvano dengan sorot mata yang tak pernah terlihat setegas itu. Buka
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 44: Bukan Janji, Tapi Bukti

    “Kalau kamu mau cari pelarian, bukan ke aku, Alvano,” suara Aira terdengar tegas. Tatapannya dingin, nyaris tak menyisakan sedikit pun ruang untuk harapan. Alvano berdiri terpaku di ambang pintu apartemen Aira. Sudah dua hari sejak pernyataannya di depan media. Dua hari sejak ia menolak menyentuh kata “maaf” dan menggantinya dengan satu kalimat yang mengubah segalanya. Aku mencintainya. Dia istriku. Tapi sekarang, perempuan yang ia cintai bahkan tak sudi membiarkannya masuk. “Aku nggak datang untuk minta maaf,” ucap Alvano akhirnya. “Aku datang buat nunjukkin... kalau aku benar-benar serius sama kamu.” Aira terdiam. Jantungnya berdebar. Tapi wajahnya tetap keras. “Serius? Dengan datang tengah malam, tanpa kabar, tanpa kepastian?” “Aku sudah kasih klarifikasi ke publik. Semua orang tahu kamu istriku. Aku nggak mau kamu terus dihina kayak kemarin.” “Itu bukan bukti cinta, Alvano. Itu... tanggung jawab. Karena kamu yang nyeret aku ke hidup ini.” Alvano menghela napas. I

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 43: Luka yang Belum Pulih

    “Aku mencintaimu, Aira.” Kalimat itu menggantung di udara, berat dan menggetarkan. Tapi Aira hanya diam. Pandangannya tidak bergeser dari wajah Alvano, namun tatapannya dingin—berbeda dari biasanya. “Baru sadar sekarang?” suara Aira lirih, tapi tajam seperti pisau. “Setelah semua kekacauan terjadi, setelah aku dipermalukan di depan media, baru sekarang kamu bilang mencintai?” Alvano tampak gelisah. Ia melangkah mendekat, tapi Aira mundur selangkah, menjaga jarak. “Aku tahu aku terlambat,” ucapnya pelan. “Tapi perasaanku nyata, Aira. Aku nggak bisa lagi pura-pura.” Aira menggeleng pelan. “Kamu pikir aku butuh pengakuan sekarang? Setelah kamu dorong aku menjauh? Setelah kamu bilang sendiri kalau ini semua hanya kontrak, dan cinta nggak boleh masuk ke dalamnya?” “Aku salah.” “Benar. Kamu memang salah.” Aira menarik napas panjang, berusaha menahan luapan emosinya. “Dan kamu pikir satu kalimat pengakuan bisa menyelesaikan semuanya?” Alvano terdiam. Untuk pertama kalinya, pr

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 42: Tempat Itu, dan Jawaban di Antara Hening

    “Aku gila,” gumam Aira sambil memandangi pantulan dirinya di kaca etalase minimarket. Ia berdiri di seberang bangunan tua yang kini sudah berubah jadi galeri pameran resmi milik perusahaan Alvano. Tempat pertama kali mereka bertemu. Tempat ia dulu datang hanya untuk wawancara, tanpa tahu bahwa hidupnya akan jungkir balik sejak hari itu. Aira mengecek jam tangannya. Tujuh lewat lima menit. “Kalau dia serius, dia akan menunggu,” bisiknya. Dengan napas yang terasa berat, Aira menyeberang. Setiap langkahnya seperti mengoyak sisa-sisa harga diri yang tersisa. Tapi bukan karena ia menyerah—melainkan karena ia mulai berani jujur pada dirinya sendiri. Ia membuka pintu kaca galeri perlahan. Ruangan itu sepi, hanya diterangi lampu-lampu gantung yang lembut. Dan di tengahnya—berdiri seorang pria dengan jas hitam elegan, memunggunginya. “Alvano.” Pria itu berbalik. Matanya—mata yang biasanya dingin dan tak terbaca—kali ini tampak penuh emosi yang disembunyikan terlalu lama. “K

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 41: Permintaan yang Tak Terduga

    “Aira… boleh aku bicara sebentar?” Suara itu datang dari arah pintu ruang istirahat kantor, lirih tapi cukup membuat Aira menoleh cepat. Langkahnya sempat terhenti, matanya membulat saat melihat siapa yang berdiri di sana—Alvano. Pria yang selama ini selalu bersikap tenang dan dominan itu kini tampak berbeda. Wajahnya lelah, rambutnya agak berantakan, dan matanya... begitu kosong. “Aku sibuk,” jawab Aira cepat, berusaha mengabaikan debar jantungnya sendiri. “Kalau soal proyek, bicaralah dengan manajer tim.” “Bukan soal kerjaan,” sahut Alvano cepat. “Ini tentang kita.” Aira menghela napas. “Nggak ada ‘kita’, Tuan Alvano. Yang ada hanya kontrak, dan kontrak itu sudah selesai.” Ia melangkah hendak pergi, tapi Alvano menahan pergelangan tangannya. “Sebentar saja, kumohon.” Aira diam. Untuk pertama kalinya, pria itu memohon. Tak ada nada perintah, tak ada sikap dingin yang menyebalkan. Yang ada hanya ekspresi rapuh dan sorot mata penuh luka. “Apa lagi yang ingin kamu bicara

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 40: Bukan Lagi Tentang Kontrak

    Tok. Tok. Aira terdiam. Suara ketukan itu terdengar pelan tapi tegas. Siang itu, Bandung diguyur hujan. Rumah kontrakan mungil tempatnya berlindung dari dunia terasa lebih dingin dari biasanya. Siapa yang datang siang-siang begini? Aira mengenakan hoodie lusuh dan menyeret langkah ke pintu. Ia tidak berharap siapa-siapa. Bahkan Dinda, satu-satunya yang tahu tempatnya, sudah ia peringatkan agar tidak membocorkan apa pun. Saat pintu terbuka, Aira membeku. Alvano berdiri di ambang. Basah kuyup. Nafasnya naik turun. Matanya merah, entah karena dingin atau karena... menangis? "Aira." Nama itu meluncur dari bibir Alvano seperti doa. Aira buru-buru menutup pintu. Tapi Alvano menahan dengan telapak tangan. "Tunggu." Aira mendongak, menatapnya dengan mata tajam. "Apa lagi? Mau bawa aku balik ke rumah itu? Kontrak kita sudah selesai." "Aku tahu." "Nah, kalau tahu, kenapa masih datang?" "Aku ke sini bukan karena kontrak." Suara Alvano berat, tapi jujur. Aira bisa mend

  • Kontrak Cinta Si Tuan Dingin   Bab 39: Saat Semua Terlambat

    “Alvano, fokuslah! Tanda tanganmu meleset lagi!” Suara sekretarisnya terdengar kesal. Kertas-kertas dokumen berserakan di atas meja, beberapa bahkan belum dibaca. Alvano hanya diam, menatap kosong ke arah jendela kaca kantor lantai atas yang menghadap langsung ke langit Jakarta yang kelabu. Sejak Aira pergi, ia seperti kehilangan arah. Hari-harinya penuh rapat yang tak ia mengerti, keputusan yang ia tunda, dan malam yang ia habiskan sendiri di ruang kerjanya. Ia tidak pernah menyangka bahwa kehilangan seseorang bisa membuatnya lumpuh. Dulu, ia percaya cinta hanya akan melemahkan. Sekarang, ia tak bisa tidur tanpa suara Aira yang menggerutu karena cerealnya habis. Ia tak bisa makan tanpa mengingat bagaimana Aira mencuri ayam goreng dari piringnya diam-diam. Dan yang paling menyakitkan… ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Pintu ruangannya terbuka tiba-tiba. Alvano tidak menoleh. Tapi langkah kaki yang terburu-buru membuatnya menengok juga. Matanya menyipit saat melihat soso

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status