Suamiku Selalu Ingin Bercerai

Suamiku Selalu Ingin Bercerai

last updateLast Updated : 2025-09-18
By:  Fachra. LOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
5Chapters
9views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Istriku menerima perceraian ini begitu saja. Tanpa kata, tanpa syarat. Dia yang begitu mendambakan aku di masa lalu, kini berdiri dengan berkas perceraian tanpa penyesalan sedikit pun. Aku pikir itu adalah trik yang ia mainkan untuk menarik ulur perasaanku. Tapi setelah aku mengetahui yang sebenarnya, Apakah terlambat untuk mencintainya?

View More

Chapter 1

Bab 1 Negatif

Aku duduk di kursi tunggu rumah sakit dengan tangan mengepal di atas pangkuanku. Udara di ruangan ini terasa dingin, mungkin karena pendingin ruangan atau mungkin karena hatiku sendiri yang semakin membeku.

Di depanku, seorang perawat berjalan melewati lorong, menyerahkan amplop hasil tes kepada pasien lain. Aku menelan ludah, menunggu namaku dipanggil. Jantungku berdegup kencang, meskipun di dalam hati aku tahu jawabannya mungkin masih sama.

“Aria?”

Suara perawat itu terdengar lembut, tapi tetap saja membuatku tersentak. Aku bangkit, mengambil amplop itu dengan tangan sedikit gemetar.

“Terima kasih,” ucapku, sebelum kembali duduk. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka kertas di dalamnya. Aku sudah melalui ini berkali-kali, tapi entah kenapa kali ini rasanya lebih menyesakkan.

Perlahan, aku membuka lembaran hasilnya. Mataku langsung tertuju pada bagian yang paling penting.

Negatif.

Lagi.

Dunia di sekitarku seakan memudar. Suara-suara samar dari pasien lain di ruang tunggu berubah menjadi dengungan latar yang tak berarti. Aku menggigit bibir, menahan sesuatu yang mendesak keluar dari dalam dadaku.

Tiana—Ibuku, buru-buru merebut kertas itu dari tanganku.

Matanya melotot, itu seperti akan keluar dari kelopaknya.

“Apa? Negative lagi?!”

Suaranya begitu tinggi di depan banyak orang, itu seperti sedang menelan jangiku mentah-mentah.

“Bagaimana ada orang yang begitu tidak berguna sepertimu?” Lagi, dia membentakku tanpa tahu malu.

Aku hanya menunduk. Rasanya telingaku sudah menebal. “Maaf,” ucapku lirih.

“Tiga tahun kau menikah dengan Aditya, tapi sampai sekarang kau belum hamil juga? Apa susahnya, sih?”

Susah sekali, Bu … andaikan kau tahu itu.

Bahkan meskipun usia pernikahan kami puluhan tahun, jika Aditya tidak pernah menyentuhku, bagaimana aku bisa hamil?

Selama perjalanan, aku hanya diam, menyandarkan kepala ke sisi. Ucapan Aditya tiga tahun lalu masih begitu jelas di kepalaku.

“Berani sekali keluarga Ginanjar menipuku! Meskipun aku menikahimu, aku bersumpah seumur hidupmu kau akan mati dalam kesepian!”

Aku menarik napas dalam-dalam. Setelah berlalu tiga tahun sejak Aditya mengatakan itu di depan mataku, rasa sakitnya masih sama.

“Jika memang kamu tidak bisa hamil, setidaknya cari wanita lain yang bisa mengandung anak untukmu. Setidaknya Aditya akan mengingat kebaikanmu.”

Suara Ibuku rendah, tapi terasa tajam sampai menusuk telinga. Aku merasa seseorang sedang meremas-remas jantungku di telapak tangan mereka. Sakit.

Aahh ….

Aku mendesis pelan, menggigit bibir bawahku lebih kuat.

Rasa sakit ini, rasa sakit yang sama yang selalu menyerangku. Seperti ada ribuan paku yang menusuk-nusuk kepalaku.

Aku tahu ada yang salah dengan tubuhku, tapi semakin ke sini, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahan ….

“Aria, kau dengar, tidak?”

“Aku … aku akan memikirkannya nanti.”

Untunglah mobil berhenti. Aku segera melompat turun, masuk kehalaman rumahku. Ah, mungkin lebih tepatnya rumah Aditya.

Langkahku mulai goyah. Dunia seperti berputar dalam pandanganku.

Sedikit lagi.

Kuseret kaki ini sekuat tenaga. Jari-jariku mencengkeram apa pun yang bisa aku pegang. Ada obat yang sudah diresepkan Dokter Herlambang di meja kamar. Sebisa mungkin aku harus menelan obat itu sebelum kesadaranku lenyap.

Tapi ini sakit sekali ….

Tolong ….

……

TING!

Ponselku ….

Suara dering tadi membangunkanku. Mataku mengerjap pelan. Masih ada rasa berat di kepalaku saat aku mencoba menegak.

Apa ini?

Kenapa ada darah saat aku mengusap hidungku?

Ini … ini sangat banyak! Hampir menodai setengah dari bantal yang aku tiduri. Apa yang terjadi?

Tiba-tiba sudah malam. Berapa lama aku pingsan?

“Aria, jika kau mulai mimisan, cepat datanglah padaku, ya?”

Ucapan Dokter Herlambang waktu itu …?

Ya, aku mengingatnya. Apa artinya penyakitku semakin parah?

Kuraih ponsel di sisi bantalku, kunyalakan layarnya.

[Jangan lakukan apa pun]

[Aku tidak akan pulang malam ini]

Dua pesan itu dikirim Aditya barusan. Aku hanya bisa menghela napas, meletakkan kembali ponselku.

Memang apa yang bisa aku harapkan? Aditya hampir tidak pernah pulang setelah kami menikah. Rumah ini, selain aku, tidak ada siapa pun di sini.

Aditya benar-benar mewujudkan sumpahnya padaku.

…..

Aku duduk di atas kursi pemeriksaan, meremas jemariku sendiri. Cahaya putih di ruangan ini terasa terlalu terang, menusuk mata. Aku berusaha mengatur napas, tapi kepalaku masih terasa berat sejak tadi pagi. Mungkin aku harus terbiasa—karena aku tahu ini tidak akan membaik.

Pintu terbuka. Dokter Herlambang melangkah masuk, membawa sebuah map cokelat di tangannya. Pria berusia lima puluhan itu selalu terlihat tenang, tapi kali ini ada sorot khawatir di matanya. Dia menutup pintu, kemudian berbalik menatapku sebelum akhirnya duduk di kursinya.

"Aria," panggilnya pelan. Aku bisa merasakan sesuatu yang tidak beres hanya dari cara dia mengucapkan namaku.

Aku mengangguk sedikit, mencoba tersenyum, seolah itu bisa membuat suasana lebih ringan. "Bagaimana hasilnya, Dok?"

Dia menghela napas panjang, membuka map, dan memperhatikan hasil tes labku. Aku bisa mendengar jarum jam berdetak di ruangan ini, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat.

"Kondisimu memburuk," katanya. "Tekanan hematoma di otakmu meningkat. Jika ini dibiarkan, risikonya semakin besar."

Aku sudah menduga ini, tapi tetap saja ... mendengar kepastian itu langsung dari mulutnya terasa seperti pukulan yang menghantam dadaku.

"Aku masih bisa bertahan, kan?" Aku memaksakan tawa kecil. "Maksudku ... aku masih baik-baik saja, hanya sedikit sakit kepala dan pusing. Tidak separah yang dokter bayangkan."

Dokter Herlambang menutup mapnya perlahan, lalu menatapku lekat-lekat. "Aria, ini bukan soal 'masih bisa bertahan' atau tidak." Suaranya lebih serius kali ini. "Setiap kali kamu menunda operasi, kamu sedang mengambil risiko. Kondisi ini bisa berubah dari 'masih bisa bertahan' menjadi koma dalam hitungan hari. Bahkan hitungan jam."

Jantungku mencelos. Aku mengalihkan pandangan, menatap lantai. Aku tahu ini serius. Aku tahu dia tidak bercanda.

Tapi ... operasi itu bukan sesuatu yang bisa kulakukan begitu saja.

Aku menggigit bibir. "Operasi itu ... butuh biaya yang tidak sedikit, Dok." Suaraku terdengar lebih lirih dari yang kuinginkan. "Dan aku ...."

Aku tidak sanggup melanjutkan kalimat itu.

Dokter Herlambang terdiam sejenak, lalu bersandar di kursinya. "Aria, aku tahu kamu punya banyak hal yang kamu pikirkan. Tapi nyawamu yang jadi taruhannya di sini. Aku sudah mencoba menunda ini selama mungkin, tapi sekarang aku tidak bisa lagi membiarkanmu terus begini."

Aku mengepalkan tangan. Nyawaku yang jadi taruhannya? Seolah-olah aku tidak sadar akan hal itu. Seolah-olah aku tidak terjaga setiap malam, bertanya-tanya berapa lama lagi aku bisa bertahan sebelum akhirnya tubuhku menyerah.

Aku menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahu. "Aku ... akan mencari cara," bisikku. "Aku akan mencari uangnya, Dok."

"Aria—"

"Aku akan baik-baik saja," potongku, memaksa senyum. "Aku masih bisa menahannya."

Dokter Herlambang mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Aria, ini bukan soal seberapa kuat kamu bertahan. Ini soal fakta medis. Aku tidak ingin suatu hari nanti aku menerima kabar bahwa kamu ditemukan pingsan di jalan, atau lebih buruk ...."

Aku menegakkan punggung, menolak membiarkan tubuhku terlihat lemah. "Aku mengerti, Dok. Tapi aku tidak punya pilihan lain."

Dia terdiam lama sebelum akhirnya berdiri. "Aku akan memberikan resep obat sementara untuk mengurangi tekanan di kepalamu. Tapi ini tidak akan menyembuhkanmu, hanya mengulur waktu. Aku ingin kamu berjanji padaku, Aria—jangan menunda ini terlalu lama."

Aku menggigit bibir, lalu mengangguk pelan.

Dokter Herlambang menghela napas, kemudian menulis sesuatu di resepnya. "Kamu keras kepala," gumamnya. "Tapi aku harap keras kepalamu tidak membuatmu menyesal nanti."

Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, jauh di lubuk hatiku ... aku juga takut.

Sangat takut.

***

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
5 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status