Semuanya berkumpul di sebuah ruangan untuk makan bersama. Terlihat kehangatan yang erat antara pegawai J.D Entertainment. Sang model junior pun tertawa sumringah saat menanggapi lawakan teman semeja. Sayangnya, tidak semua orang menikmati waktu bersantap, mereka yang memihak Jinju lebih memilih untuk menarik diri dari kerumunan.
"Coba lihat itu, Ra. Dasar tidak tahu malu, dia malah cengas-cengis begitu," ucap Meta sambil menatap Violet.
"Biarkan saja, jangan kotori bibirmu dengan membicarakan wanita itu." Istri Vindra berusaha menahan geram, sekalipun hati terasa panas.
"Sumpah deh, apa yang dilihat Rendra darinya? Badannya sih oke, tapi bukan berarti dia bisa menjadi bintang. Haah, aku selalu kesal sejak melihat dia di sini."
"Sabarlah, Bos pasti memiliki alasan bagus untuk membuang Senior dan memilih si ulat."
Meta menghela napas panjang. "Ya, sudah kalau kau
"Ayo, makan," ajak Alvindra begitu bertemu sang istri di rumah.Lyra tersenyum, ia mengangguk, dan segera berlari ke kamar untuk meletakkan tasnya. Setelah itu, mereka menikmati makan malam bersama. Tak ada obrolan, selain sesekali mencuri pandang. Mengetahui hal ini, putra Malik pun bertanya, "Kenapa kau?""Aku cuma heran." Wanita berambut hitam itu meletakkan sendoknya. "Sebenarnya kamu ini pebisnis, tukang onar, atau mata-mata sih? Bisa tahu jika Axe akan datang. Benar-benar, ya.""Kau kira aku penguntit?" Vindra tersenyum. "Kebetulan orang yang kerjakan di samping mantanmu itu melapor. Jadi, aku beri tahu saja sekalian. Aku tak mau istriku terlihat muram karena melihat pria lain berjalan dengan wanita yang diukai.""Kamu khawatir padaku?" Netra Lyra berbinar."Tidak. Aku khawatir pada istriku, bukan kau."Menantu Diana menunduk. Ia paham dan tak terluka dengan sikap dingin
"Aku tak mau sok tahu, aku kan karyawan baru," balas Violet sambil memegangi kaleng soda, "tapi jika tanya pendapatku, kurasa sudah jelas.""Ah, kau berpikir begitu juga. Sudah kuduga, ada permainan di sini." Wanita berbaju putih pun menyahut, kini semuanya lanjut untuk bergunjing. Mereka tertawa, seolah rumor itu benar adanya.Pada waktu bersamaan, Lyra memegangi kepalanya yang terasa berat. Ia memeriksa lagi ponsel, memastikan jika belum ada balasan dari Jinju. Padahal, tiga pesan telah terkirim beberapa jam lalu. Hari itu putri Burhan sangat lelah, ia memutuskan untuk pulang usai pekerjaan selesai. Akan tetapi, baru saja berjalan menyelusuri koridor, tatapan dari beberapa temannya berubah.Lyra yang peka pun merasakan suatu keganjilan. Namun, ia tak berpikir keras karena mengira jika ini berkaitan dengan pembelaan yang dilakukan. Sontak dirinya mengambil tas dan masuk ke mobil yang telah menanti. Hari ini
Keesokan harinya, Alvindra dan Lyra berpapasan tanpa menyapa. Keduanya beragak tak acuh, meski sang wanita ingin mengucapkan terima kasih. Berkat plester yang semalam diberikan, kini demamnya telah sirna. Namun, tetap saja keras kepala. Dirinya sarapan sambil menatap layar ponsel, menghindari kecanggungan yang menyelimuti ruangan berlantai marmer.Di sisi lain, putra Diana juga makan dengan cepat. Ia tak ingin tertinggal rapat penting, terlebih sepuluh menit yang lalu Romi mengusik pagi dengan tiga panggilan tak terjawab. Jadilah pria berjas gold itu mengelap mulut dengan sapu tangan, lalu meninggalkan meja makan tanpa memberi salam."Nyonya, apa mau dibawakan bekal?" tanya Ayuk."Berhenti memanggilku nyonya, aku merasa sepuluh tahun lebih tua saat kalian begitu. Panggil namaku saja, aku kan lebih muda," sahut Lyra dengan enteng."Mana bisa begitu. Kami tak mungkin lancang dengan me
"Apa aku seburuk itu sampai tak berhak mengkhawatirkanmu, Ra?!" tanya Axe dengan nada tinggi.Lyra yang terhimpit pun enggan mengucap sepatah aksara, ia hanya melotot ke arah pria yang dengan lancang mendekat. Darahnya kini mendidih, andai tak takut pada Tuhan, ia pasti akan mengambil vas bunga di di atas wastafel lalu menghantamkannya ke kepala mitra bicara."Jawablah, apa aku sangat buruk dan tak punya hak untuk menolong orang kucintai? Cepat jawab!"Wanita berhidung mancung itu pun mendorong dada sang mantan. "Aku semakin ingin muntah saat mendengar omong kosongmu itu. Cepat minggir!"Adik Andrian langsung menarik tangan sahabat Meta yang hendak keluar. Sebuah ciuman langsung menautkan bibir mereka. Axe telah hilang kendali, ia menjambak lembut rambut Lyra yang dicepol. Sontak wanita itu lemas seketika, air mata mengalir tanpa diminta."Jangan menangis, Ra. Aku ke sini b
Halo semuanya. Terima kasih telah membaca karya saya ini. Semoga kalian tetap suka dengan kelanjutan cerita Lyra dan Vindra. Bagaimana nih, apa kalian sudah bisa mengungkap kepribadian masing-masing tokoh? Tokoh mana yang palinh disukai? Tolong tulis di komentar agar saya juga bisa tahu, ya. Eits, penulis sangat menganjurkan untuk tidak membenci Axe. HeheSebab, di chapter mendatang, akan terungkap alasan pria tersebut membuang Lyra demi Violet. Dia sebenarnya tak sejahat itu kok (T_T). Akan hadir beberapa tokoh pendukung yang membantu menghidupkan cerita. Ingin tahu kelanjutnya? Selamat membaca, saya harap kalian tak kecewa karena adanya penguncian chapter.Oke, selamat beraktivitas dan semoga selalu sehat .... <3
Lyra dan Alvindra saling pandang. Pria bersorot mata tajam itu pun tersenyum, mengusap bibir sang istri sembari berkata, "Nah, sekarang sudah bersih. Tak ada bekas kecupan Axe lagi, 'kan? Hanya ada bekas bibirku." Putri Burhan tak menanggapi. Ia termenung lalu menarik selimut hingga ke bawah dagu. Sialnya, kini cabang pikiran semakin tumbuh menyeruak. Ia penasaran dengan perilaku baik dari penerus keluarga Grason itu. Entah mengapa bisa begitu baik, apa ia tak merasakan sesuatu saat melakukan kontrak fisik dengan orang yang sebenarnya masih asing? Dengan tatapan dingin, bagaimana bisa berusaha menjaga perasaan orang lain? Lyra masih tak mengerti dengan kejadian tersebut. Alhasil, ia memiringkan tubuh, menyandarkan kepala pada dada bidang Vindra. "Kenapa kau sangat baik, sih?" tanya Lyra. "Apa kepalamu terbentur sesuatu? Jangan-jangan kau salah makan racun tikus." Wajar kalau adik Romi tertawa. Sampai sudut matanya berair. "Kalau
Lyra berjalan sempoyongan memasuki rumah. Hari bahkan telah berganti, jam menunjukkan pukul setengah satu. Bangunan besar itu seketika tampak sepi, mencekam dengan lampu remang seolah tanpa ada penghuni. Ia pun measih tahan ketika dadanya terasa sesak. Benar, fobianya mulai kambuh. Andai tak habis minum, ia pasti sudah terkapar di lantai layaknya tikus yang disiram air. Alkohol memang memberi keberanian, tepatnya ketidakwarasan yang membuat orang melupakan sedikit rasa takut. Usai kepulangan Axe, wanita dua puluh satu tahun itu pindah, dari restoran menuju bar. Ia bahkan memesan Long Island Iced Tea yang terkanal sebagai minuman penghilang raga. Boleh dikata, Lyra ingin melupakan segalanya, walau hanya sejenak. "Cih! Hidup ini sulit sekali, sih," gumamnya bermonolog. Ia tertatih kala menaiki anak tangga. Tasnya bahkan terjatuh di lantai. Namun, tak ada keinginan untuk kembali untuk mengambil.
Selama berjam-jam, Lyra menunggu kepulangan Vindra. Bahkan masakan yang dibuat telah dingin. Siapa sangka pria pekerja keras itu akan lembur hingga menjelang Isya. Harapannya mulai sirna, gagal sudah berterima kasih. Tak ada ide lain yang terpikirkan, tetapi mendadak terdengar langkah kaki yang berat. Sontak berdiri lalu menyapa sang suami yang telihat mengundurkan dasi. "Akhirnya kamu pulang." Ia menunjukkan senyum yang manis. "Memang apa pedulimu?" Buru-buru putra Malik mengalihkan pandangan kepada pelayan. "Taruh ini di ruang kerja." "Mau makan malam bersamaku?" tawar Lyra, sungguh pantang menyerah, "aku sengaja menunggumu." "Aku kenyang, makan saja sendiri. Lain kali tak usah menunggu, kulkasnya tak digembok sehingga kau baru bisa mengisi perut saat aku sudah pulang." Padahal semalam pria maco itu menunjukkan sisi lembut. Sekarang ia kembali sedingin es