Lyra membuka netra dengan perlahan kala merasakan hangat sinar mentari mengelus pipis. Ia belum sepenuhnya sadar kala melihat sang suami tidur menelungkup di kursi sembari menggenggam tangannya. Wanita itu merasa pusing dengan perut yang bergejolak. Ia sejenak menatap wajah Alvindra sebelum membangunkan pria yang bergadang menjaganya semalaman penuh. "Ra, kau sudah bangun? Bagaimana kondisimu?" tanya adik Romi yang langsung mengkhawatirkan sang istri. "Apa yang terjadi?" tanya Lyra. "Ini salahku, harusnya aku lebih menjagamu." Alvindra mengusap kening wanita tersebut dengan tatapan memelas. "Tapi jangan khawatir, aku akan lebih memperhatikanmu mulai sekarang. Beristirahatlah dulu, akan kupanggil perawat."Lyra terbaring sambil coba mengingat apa yang semalam terjadi. Namun, efek obat bius masih tersisa dalam tubuhnya, sehingga sulit bagi sang model untuk menyadarkan diri sepenuhnya.Yang jelas, ingatannya berakhir kala memasuki balkon setelah lelah menyapa para tamu undangan. Tak l
Axe tertegun dalam diam kala menatap sang tunangan yang pergi dalam dekap amarah. Ia lantas memukul setir mobil sambil mengumpat. Tak disangka jika sekarang dia harus menjadi pria peliharaan dari wanita yang sama sekali tak dicintainya. Dulu ia mengira bahwa menukar cinta Lyra dengan kekayaan Violet adalah keputusan terbaik yang dibuat dalam hidup, nyatanya kini pria berkemeja hitam itu menyesal setengah mati. Saat kebutuhan finansialnya tercukupi, barulah Axe merasakan lubang dalam hatinya menjadi semakin parah. Padahal dulu dirinya hanya sekadar menggenggam tangan Lyra dan sesekali menempelkan bibirnya ke bibir sang mantan, tetapi itu jauh lebih mendebarkan dibanding kala menyaksikan Violet perlahan melucuti pakaian dengan wajah memerah. Axe yang otaknya dipenuhi pikiran licik pun mengira bisa memaafkan situasi. Awalnya ia berenca mengeruk harta Violet, lalu menjadikan Lyra sebagai simpanan setelah berlutut mencium kaki sang model. Dengan naif dirinya berpikir bahwa cinta Lyra yang
Axe begitu tegang saking bersemangatnya. Ia menatap Lyra yang terbaring untuk beberapa saat."Kau sungguh cantik. Kau harusnya tahu betapa sulit mendapatkanmu. Andai saja kau tidak terlalu sombong dengan kesucianmu itu, aku pasti tak akan membuangmu, Sayangku," ucap Axe sambil mengecup tangan Lyra. "Tapi ya sudah, aku berbaik hati memaafkanmu, meski kau menikahi pria lain. Jadi, sekarang buatlah aku senang. Kalau sekarang kita melakukannya pasti tak masalah, 'kan? Toh kau yang sudah masuk ke dekapan pria sialan itu pasti sudah berkali-kali memuaskannya."Axe tak lagi bisa menahan diri. Ia melampiaskan nafsunya pada wanita yang tak sadarkan diri. Seolah tak cukup bermain dengan Violet, ia teramat tega menodai Lyra. Padahal pria itu tahu benar jika sang model tak suka disentuh berlebihan. Bahkan setelah dua tahun berpacaran, mereka tak pernah bermalam di atap yang sama, walau di kamar terpisah sekalipun. Namun, Axe yang gelap mata sudah tak peduli lagi. Dari awal dirinya memang bukan pr
Alvindra mengemudikan sendiri mobilnya, menerjang gelap malam tanpa tujuan. Bisa saja dirinya pulang, tetapi mengingat musuh bisa sampai menyentuh orang-orangnya, ia tak merasa bisa melindungi Lyra di sana. Wanita tersebut masih terlelap di kursi belakang. Hanya tertutupi sebuah selimut dan jas Vindra. Pria itu merasa dadanya dihantam palu tiap kali melirik ke arah real vision, kaca spion mobil dalam. Ia tak tahu bagaimana harus menjelaskan ketika sang istri bangun nanti. Setelah lama berjalan tanpa arah, Alvindra pun menentukan tujuan. Ia tak ingin Lyra bangun dalam kondisi terbungkus selimut seperti itu. Akhirnya, ia pun menuju sebuah rumah di Sanfaros, wilayah kecil di pesisir. Rumah tersebut adalah hadiah dari mendiang ibunda kala dirinya berumur 14 tahun. Saat itu, istri pertama Malik membawa Vindra ke sana setelah Diana memasuki kediaman Grason, tepat di hari ulang tahun si bungsu. Hanya dengan melihat rumah tersebut dari luar, Vindra merasa napasnya kian terasa berat. Tak dis
Kicau burung terdengar menyambut suasana pagi. Angin berembus dengan pelan, sementara langit teduh ternaungi awan. Kala itu Lyra tengah duduk bersila dengan rumput liar sebagai alas. Di bawah pohon kelapa, ia melamun sambil menatap kosong ke arah ombak. Bahkan sebelum surya bersinar terang, ia telah sendiri di sana. Perasaan lelah dan sakit hati bercampur menjadi satu. Ia lantas bangkit, berdiri di tepi tebing lalu memejamkan mata. Sementara itu, jari Alvindra menggerayangi kasur. Matanya langsung terbuka lebar begitu tidak merasakan ada orang di samping, ia langsung gelagapan mencari Lyra. Disusuri setiap ruangan, tetapi tak ada siapa pun di sana. Dalam panik, ia keluar ke arah teras. Begitu menemukan sang istri, ia langsung berlari ke arahnya. "Mau apa kau, Cantik?" tanya Alvindra sambil mendekap erat Lyra dari belakang. Ia tahu benar jika dibiarkan sendiri lebih lama, sang model bisa saja melompat. "Kau mau membuang nyawamu begitu saja sebelum melihat musuhmu
Malam itu terlalu larut, tetapi tak ada dari Alvindra maupun Lyra yang bermikirkan soal istirahat. Keduanya teramat fokus pada satu sama lain. Wanita itu dapat merasakan bebas yang menghimpit dadanya begitu putra Malik makin mendekatkan diri ke arahnya. Mendadak pria yang biasanya kalem dan cuek itu menatap Lyra dengan penuh hasrat. Wajahnya sampai memerah seiring gairah yang bergejolak mengoyak kesabaran. "Nona, kukatakan padamu. Aku menahan diri sampai mau gila, tapi kau terus memojokanku. Kupikir jantungku akan meledak saat mengetahui pria lain memperlaukanmu dengan sangat biadab, padahal aku saja takut menggores satu helai rambutmu. Kuakui hubungan kita tak terlalu bagus di awal, tapi sekarang aku sungguh tak bisa melepaskanmu. Aku orang yang posesif. Sekali kau berkata 'iya', maka meski kau lari ke ujung dunia, aku pasti akan mencarimu dan mengembalikanmu ke dalam dekapanku. Jadi, Ra, berhentilah di sini jika kau tak ingin melihat aku memenjarakanmu dalam cintaku."Bukannya menj
Axe perlahan membuka mata usai tak sadarkan diri. Pria itu tengah bersantai di sebuah kapal pesiar sembari ditemani seorang gadis centik kala dirinya dibekuk anak buah Vindra. Dengan paksa ia diturunkan dari kapal yang baru saja hendak memulai keberangkatan. Walau mengundang keributan, orang-orang yang telah mengucap sumpah setia pada putra Malik tak gentar sama sekali. Mereka membawa paksa pria yang terus berontak itu. Hingga akhirnya tak ada pilihan, selain menyumpal mulut Axe dengan kain yang telah dilapisi obat tidur. Axe yang baru tersadar pun sejenak bingung mendapati kakinya tergantung, sementara kepalanya berada di bagian bawah. Ia berusaha berteriak, tetapi bibirnya tertutup lakban setebal satu senti. Ia juga kembali menggeliat, berpikir jika ikatannya bisa dilepas dengan mudah. Akan tetapi, tentu usaha tersebut tiada membuahkan hasil sama sekali. Justru tubuhnya terasa sakit dan lemas karena menggunakan tenaga yang besar. Dirinya tahu kalau sedang diculik, tetapi ruangan te
Vindra melanjutkan perjalanan tanpa rasa menyesal sedikit pun. Ia tak pula sedih, tetapi beban di hatinya telah berkurang. Pria tersebut buru-buru membersihkan diri dan menyemprotkan banyak sekali parfum. Sementara seluruh pakaian yang dikenakan untuk eksekusi Axe telah dibakar tanpa sisa. Ia hanya ingin segera berdamai semua kejadian buruk tersebut dan hidup dengan tenang bersama orang yang dikasihi. Sayang, waktu berlalu lebih cepat dari yang diperkirakan. Vindra tersenyum kala tiba di teras. Semenjak kematian sang bunda, baru kali ini ia merasa benar-benar lega mengingat ada sosok yang menanti di rumah. Ia lantas mengetuk pintu, menunggu dengan sabar hingga pelayan menghampirinya. Sontak Lyra yang mengekor pun menyambut kedatangan sang suami, walau tanpa ada senyuman di sana. "Kukira kamu tak akan pulang," kata Lyra yang telah cemas sejak terbangun sendirian. Pria itu lantas mengecup kening sang istri dan menjawab, "Tentu saja aku harus pulang untukmu. Memangnya kau tak senang?"