Jam menunjukkan pukul 09.02 pagi saat Lyra memasuki kantor agensi. Wanita itu tampak tenang menenteng tas, berjalan menuju ruangannya seolah tak ada yang terjadi. Ia bahkan menyapa dan tersenyum pada setiap orang yang ditemui. Wanita itu terlalu keras kepala untuk mendengarkan sang suami yang membujuknya agar tinggal di rumah dan beristirahat. Namun, tidak. Putri Burhan malah mengumpulkan semua tenaga dan semangat untuk bekerja begitu hari berganti, semata karena dirinya tak ingin tertinggal lebih jauh dari Violet. Apalagi hari ini ia harus menjalani pemotretan untuk iklan parfum bersama brand Amora.
"Fitting baju akan dilakukan setengah jam lagi," kata sang asisten sembari mengecek ulang jadwal Lyra."Majukan lima belas menit, aku ingin bersiap lebih awal.""Maaf, Ra. Sepertinya itu akan sedikit sulit. Aku tak yakin para penata rias akan setuju," kata wanita itu lagi."Aku hanya mau mencobanya dulu. Tak sulit melakukannya sendiri.""BPemotretan selesai tanpa ada masalah. Justru Lyra mendapat banyak pujian, termasuk dari Rendra dikenal haus akan pencapaian. Pria dengan jabatan tinggi itu tersenyum cerah, mengutarakan rasa terima kasih pada istri Vindra. Ia bahkan berkata akan ada banyak tawaran iklan yang ditujukan untuk sang model di masa mendatang. Sungguh melampaui harapan. Di sisi lain, Violet langsung meninggalkan ruang pemotretan. Ia berjalan amat cepat bak dikejar anjing liar, lantas dirinya masuk ke salah satu bilik toilet yang sepi dan berteriak. Wanita itu pun tak kuasa menahan kesal. Dirinya langsung menyobek habis gulungan tisu yang ada di sana. Namun, berberapa saat berselang, toilet yang semula tak ada orang, kini terdengar gelak tawa yang kian mendekat. "Kau lihat itu? Mukanya langsung merah melihat Lyra mendapat pujian," kata seorang wanita yang berdiri di depan cermin, mengoles lipstik ke bibirnya. "Ya, orang sepertinya pantas melihat itu. Aku tak menyangka dia berani mengulangi kejahatannya. Or
Angin berembus menggoyangkan lonceng di rumah kaca. Tak terlalu sunyi, tetapi bebas dari bising. Di sana Lyra tampak duduk menikmati morning tea ditemani seorang pelayan wanita yang berdiri di belakang. Hari itu merupakan tanggal merah, jadi sang model memilih untuk menghabiskan akhir pekan yang nyaman di rumah. Sudah lama dirinya tak merasa begitu tenang. Menikmati udara bersih yang tercampur aroma bunga. Setelah mengamati beberapa saat, pandangan Lyra pun terikat pada bunga baby breath yang diletakkan pada sebuah pot. Bunga berwarna putih itu menjadi yang paling elegan, layaknya seorang gadis polos di antara kerumunan warna. Meski putri Burhab bukanlah seseorang yang menaruh perhatian lebih pada tanaman, tetapi koleksi Alvindra tampak amat beragam, sekalipun pria tersebut hanya pernah dua kali mengunjungi rumah kaca semenjak dibangun. "Kurasa bunga di sini sayang jika dibiarkan layu," tutur Lyra pada Ayuk. Sang pelayan lantas menanggapi, "Tuan tak terlalu suka bunga.""Apa serbuk
Perjalanan pasangan tersebut cukup stabil. Vindra mengendarai mobil sportnya dengan kecepatan 70 km/jam. Namun, begitu memasuki tol luar kota, pria itu unjuk skill dengan menaikkannya hingga 110 km/jam. Tentu itu adalah sesuatu yang kurang aman. Ditambah ia harus menyalip kendaraan lain dari dua sisi, hingga membuat wanita yang duduk di samping pun berpegangan erat pada sabuk pengaman sembari memejamkan mata. "Al, ini tak baik. Sepertinya aku akan muntah." Lyra menutupkan telapak tangannya ke mulut. "Apa? Jangan muntah di sini. Kita tidak bisa menepi di jalan tol." Adik Romi pun kebingungan. Ia melihat sekeliling, tetapi tak ada yang bisa dilakukan. Vindra berinisiatif untuk menambah kecepatan, tetapi batas maksimal di jalan tol tersebut hanyalah 120 km/jam. Ditambah lalu lintas area itu sudah mulai ramai. Ia tak menyangka wanita yang biasa terbang ke negara lain untuk sekadar fashion show akan mual kala diajak menaiki kendaraan roda empat. Namun, dirinya merasa kasihan pada Lyra.
Perasaan itu tumbuh amat cepat, menyeruak bagai belukar yang ditersiram hujan. Alvindra dapat merasakan debar jantung yang makin menggila tiap kali melihat Lyra. Berada di bawah nauangan satu atap membuat pria itu sulit melepas pandangan dari wanita yang mulai mengisi relung hati. Di setiap kesempatan, ia pasti akan menemui sang model untuk setiap alasan remeh, seperti memilih motif dasi atau menanyakan menu makan malam. Padahal hal seperti itu selalu diabaikan sebelum kehadiran putri Burhan. Di sisi lain, Lyra coba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia tengah membaca majalah mode sembari rebahan pada sebuah kursi panjang di dekat kolam renang. Wanita itu tak ingin terus berdiam diri di kamar, tetapi enggan untuk melangkah keluar kamar, kecuali di saat harus pergi pemotretan atau fashion show. Ditemani segelas jus jeruk dan beberapa motong pie apel, dirinya menikmati cuaca yang kala itu tak terlalu terik, sekaligus berjemur agar dirinya tetap sehat. "Nyonya, ada surat yang tiba," ka
Ruangan luas tersebut kini telah dipadati para tamu. Pada setiap meja yang ditutupi kain satin putih itu terdapat empat kursi. Sebuah vas berisi bunga lili segar diletakkan di setiap meja. Malik sengaja memilih putih sebagai warna utama untuk dekorasi. Ia hendak memberikan isyarat jika wanita yang akan bergabung di keluarga Grason merupakan seseorang yang bersih, tak memiliki keterikatan dengan perusahaan pemonopoli mana pun. Malik lantas menarik perhatian dengan mengetukkan sendok ke sebuah gelas. Para tamu yang duduk di tempat yang telah ditentukan pun terdiam dan memberi waktu bagi sang penyelenggara pesta guna berbicara. Sontak pria beranak dua itu mengucapakan terima kasih atas kedatangan para tamu. Ia berkata jika hatinya tengah sangat bahagia karena putra bungsunya berhasil melabuhkan hati dan mendapat cinta sejati. Sementara itu, Lyra yang duduk di samping Malik hanya terdiam mendengarkan pembukaan dari sang ayah mertua. Ia terus tersenyum tanpa peduli jika rahangnya mulai k
Lyra membuka netra dengan perlahan kala merasakan hangat sinar mentari mengelus pipis. Ia belum sepenuhnya sadar kala melihat sang suami tidur menelungkup di kursi sembari menggenggam tangannya. Wanita itu merasa pusing dengan perut yang bergejolak. Ia sejenak menatap wajah Alvindra sebelum membangunkan pria yang bergadang menjaganya semalaman penuh. "Ra, kau sudah bangun? Bagaimana kondisimu?" tanya adik Romi yang langsung mengkhawatirkan sang istri. "Apa yang terjadi?" tanya Lyra. "Ini salahku, harusnya aku lebih menjagamu." Alvindra mengusap kening wanita tersebut dengan tatapan memelas. "Tapi jangan khawatir, aku akan lebih memperhatikanmu mulai sekarang. Beristirahatlah dulu, akan kupanggil perawat."Lyra terbaring sambil coba mengingat apa yang semalam terjadi. Namun, efek obat bius masih tersisa dalam tubuhnya, sehingga sulit bagi sang model untuk menyadarkan diri sepenuhnya.Yang jelas, ingatannya berakhir kala memasuki balkon setelah lelah menyapa para tamu undangan. Tak l
Axe tertegun dalam diam kala menatap sang tunangan yang pergi dalam dekap amarah. Ia lantas memukul setir mobil sambil mengumpat. Tak disangka jika sekarang dia harus menjadi pria peliharaan dari wanita yang sama sekali tak dicintainya. Dulu ia mengira bahwa menukar cinta Lyra dengan kekayaan Violet adalah keputusan terbaik yang dibuat dalam hidup, nyatanya kini pria berkemeja hitam itu menyesal setengah mati. Saat kebutuhan finansialnya tercukupi, barulah Axe merasakan lubang dalam hatinya menjadi semakin parah. Padahal dulu dirinya hanya sekadar menggenggam tangan Lyra dan sesekali menempelkan bibirnya ke bibir sang mantan, tetapi itu jauh lebih mendebarkan dibanding kala menyaksikan Violet perlahan melucuti pakaian dengan wajah memerah. Axe yang otaknya dipenuhi pikiran licik pun mengira bisa memaafkan situasi. Awalnya ia berenca mengeruk harta Violet, lalu menjadikan Lyra sebagai simpanan setelah berlutut mencium kaki sang model. Dengan naif dirinya berpikir bahwa cinta Lyra yang
Axe begitu tegang saking bersemangatnya. Ia menatap Lyra yang terbaring untuk beberapa saat."Kau sungguh cantik. Kau harusnya tahu betapa sulit mendapatkanmu. Andai saja kau tidak terlalu sombong dengan kesucianmu itu, aku pasti tak akan membuangmu, Sayangku," ucap Axe sambil mengecup tangan Lyra. "Tapi ya sudah, aku berbaik hati memaafkanmu, meski kau menikahi pria lain. Jadi, sekarang buatlah aku senang. Kalau sekarang kita melakukannya pasti tak masalah, 'kan? Toh kau yang sudah masuk ke dekapan pria sialan itu pasti sudah berkali-kali memuaskannya."Axe tak lagi bisa menahan diri. Ia melampiaskan nafsunya pada wanita yang tak sadarkan diri. Seolah tak cukup bermain dengan Violet, ia teramat tega menodai Lyra. Padahal pria itu tahu benar jika sang model tak suka disentuh berlebihan. Bahkan setelah dua tahun berpacaran, mereka tak pernah bermalam di atap yang sama, walau di kamar terpisah sekalipun. Namun, Axe yang gelap mata sudah tak peduli lagi. Dari awal dirinya memang bukan pr