Perjalanan pasangan tersebut cukup stabil. Vindra mengendarai mobil sportnya dengan kecepatan 70 km/jam. Namun, begitu memasuki tol luar kota, pria itu unjuk skill dengan menaikkannya hingga 110 km/jam. Tentu itu adalah sesuatu yang kurang aman. Ditambah ia harus menyalip kendaraan lain dari dua sisi, hingga membuat wanita yang duduk di samping pun berpegangan erat pada sabuk pengaman sembari memejamkan mata. "Al, ini tak baik. Sepertinya aku akan muntah." Lyra menutupkan telapak tangannya ke mulut. "Apa? Jangan muntah di sini. Kita tidak bisa menepi di jalan tol." Adik Romi pun kebingungan. Ia melihat sekeliling, tetapi tak ada yang bisa dilakukan. Vindra berinisiatif untuk menambah kecepatan, tetapi batas maksimal di jalan tol tersebut hanyalah 120 km/jam. Ditambah lalu lintas area itu sudah mulai ramai. Ia tak menyangka wanita yang biasa terbang ke negara lain untuk sekadar fashion show akan mual kala diajak menaiki kendaraan roda empat. Namun, dirinya merasa kasihan pada Lyra.
Perasaan itu tumbuh amat cepat, menyeruak bagai belukar yang ditersiram hujan. Alvindra dapat merasakan debar jantung yang makin menggila tiap kali melihat Lyra. Berada di bawah nauangan satu atap membuat pria itu sulit melepas pandangan dari wanita yang mulai mengisi relung hati. Di setiap kesempatan, ia pasti akan menemui sang model untuk setiap alasan remeh, seperti memilih motif dasi atau menanyakan menu makan malam. Padahal hal seperti itu selalu diabaikan sebelum kehadiran putri Burhan. Di sisi lain, Lyra coba menyibukkan diri dengan pekerjaan. Ia tengah membaca majalah mode sembari rebahan pada sebuah kursi panjang di dekat kolam renang. Wanita itu tak ingin terus berdiam diri di kamar, tetapi enggan untuk melangkah keluar kamar, kecuali di saat harus pergi pemotretan atau fashion show. Ditemani segelas jus jeruk dan beberapa motong pie apel, dirinya menikmati cuaca yang kala itu tak terlalu terik, sekaligus berjemur agar dirinya tetap sehat. "Nyonya, ada surat yang tiba," ka
Ruangan luas tersebut kini telah dipadati para tamu. Pada setiap meja yang ditutupi kain satin putih itu terdapat empat kursi. Sebuah vas berisi bunga lili segar diletakkan di setiap meja. Malik sengaja memilih putih sebagai warna utama untuk dekorasi. Ia hendak memberikan isyarat jika wanita yang akan bergabung di keluarga Grason merupakan seseorang yang bersih, tak memiliki keterikatan dengan perusahaan pemonopoli mana pun. Malik lantas menarik perhatian dengan mengetukkan sendok ke sebuah gelas. Para tamu yang duduk di tempat yang telah ditentukan pun terdiam dan memberi waktu bagi sang penyelenggara pesta guna berbicara. Sontak pria beranak dua itu mengucapakan terima kasih atas kedatangan para tamu. Ia berkata jika hatinya tengah sangat bahagia karena putra bungsunya berhasil melabuhkan hati dan mendapat cinta sejati. Sementara itu, Lyra yang duduk di samping Malik hanya terdiam mendengarkan pembukaan dari sang ayah mertua. Ia terus tersenyum tanpa peduli jika rahangnya mulai k
Lyra membuka netra dengan perlahan kala merasakan hangat sinar mentari mengelus pipis. Ia belum sepenuhnya sadar kala melihat sang suami tidur menelungkup di kursi sembari menggenggam tangannya. Wanita itu merasa pusing dengan perut yang bergejolak. Ia sejenak menatap wajah Alvindra sebelum membangunkan pria yang bergadang menjaganya semalaman penuh. "Ra, kau sudah bangun? Bagaimana kondisimu?" tanya adik Romi yang langsung mengkhawatirkan sang istri. "Apa yang terjadi?" tanya Lyra. "Ini salahku, harusnya aku lebih menjagamu." Alvindra mengusap kening wanita tersebut dengan tatapan memelas. "Tapi jangan khawatir, aku akan lebih memperhatikanmu mulai sekarang. Beristirahatlah dulu, akan kupanggil perawat."Lyra terbaring sambil coba mengingat apa yang semalam terjadi. Namun, efek obat bius masih tersisa dalam tubuhnya, sehingga sulit bagi sang model untuk menyadarkan diri sepenuhnya.Yang jelas, ingatannya berakhir kala memasuki balkon setelah lelah menyapa para tamu undangan. Tak l
Axe tertegun dalam diam kala menatap sang tunangan yang pergi dalam dekap amarah. Ia lantas memukul setir mobil sambil mengumpat. Tak disangka jika sekarang dia harus menjadi pria peliharaan dari wanita yang sama sekali tak dicintainya. Dulu ia mengira bahwa menukar cinta Lyra dengan kekayaan Violet adalah keputusan terbaik yang dibuat dalam hidup, nyatanya kini pria berkemeja hitam itu menyesal setengah mati. Saat kebutuhan finansialnya tercukupi, barulah Axe merasakan lubang dalam hatinya menjadi semakin parah. Padahal dulu dirinya hanya sekadar menggenggam tangan Lyra dan sesekali menempelkan bibirnya ke bibir sang mantan, tetapi itu jauh lebih mendebarkan dibanding kala menyaksikan Violet perlahan melucuti pakaian dengan wajah memerah. Axe yang otaknya dipenuhi pikiran licik pun mengira bisa memaafkan situasi. Awalnya ia berenca mengeruk harta Violet, lalu menjadikan Lyra sebagai simpanan setelah berlutut mencium kaki sang model. Dengan naif dirinya berpikir bahwa cinta Lyra yang
Axe begitu tegang saking bersemangatnya. Ia menatap Lyra yang terbaring untuk beberapa saat."Kau sungguh cantik. Kau harusnya tahu betapa sulit mendapatkanmu. Andai saja kau tidak terlalu sombong dengan kesucianmu itu, aku pasti tak akan membuangmu, Sayangku," ucap Axe sambil mengecup tangan Lyra. "Tapi ya sudah, aku berbaik hati memaafkanmu, meski kau menikahi pria lain. Jadi, sekarang buatlah aku senang. Kalau sekarang kita melakukannya pasti tak masalah, 'kan? Toh kau yang sudah masuk ke dekapan pria sialan itu pasti sudah berkali-kali memuaskannya."Axe tak lagi bisa menahan diri. Ia melampiaskan nafsunya pada wanita yang tak sadarkan diri. Seolah tak cukup bermain dengan Violet, ia teramat tega menodai Lyra. Padahal pria itu tahu benar jika sang model tak suka disentuh berlebihan. Bahkan setelah dua tahun berpacaran, mereka tak pernah bermalam di atap yang sama, walau di kamar terpisah sekalipun. Namun, Axe yang gelap mata sudah tak peduli lagi. Dari awal dirinya memang bukan pr
Alvindra mengemudikan sendiri mobilnya, menerjang gelap malam tanpa tujuan. Bisa saja dirinya pulang, tetapi mengingat musuh bisa sampai menyentuh orang-orangnya, ia tak merasa bisa melindungi Lyra di sana. Wanita tersebut masih terlelap di kursi belakang. Hanya tertutupi sebuah selimut dan jas Vindra. Pria itu merasa dadanya dihantam palu tiap kali melirik ke arah real vision, kaca spion mobil dalam. Ia tak tahu bagaimana harus menjelaskan ketika sang istri bangun nanti. Setelah lama berjalan tanpa arah, Alvindra pun menentukan tujuan. Ia tak ingin Lyra bangun dalam kondisi terbungkus selimut seperti itu. Akhirnya, ia pun menuju sebuah rumah di Sanfaros, wilayah kecil di pesisir. Rumah tersebut adalah hadiah dari mendiang ibunda kala dirinya berumur 14 tahun. Saat itu, istri pertama Malik membawa Vindra ke sana setelah Diana memasuki kediaman Grason, tepat di hari ulang tahun si bungsu. Hanya dengan melihat rumah tersebut dari luar, Vindra merasa napasnya kian terasa berat. Tak dis
Kicau burung terdengar menyambut suasana pagi. Angin berembus dengan pelan, sementara langit teduh ternaungi awan. Kala itu Lyra tengah duduk bersila dengan rumput liar sebagai alas. Di bawah pohon kelapa, ia melamun sambil menatap kosong ke arah ombak. Bahkan sebelum surya bersinar terang, ia telah sendiri di sana. Perasaan lelah dan sakit hati bercampur menjadi satu. Ia lantas bangkit, berdiri di tepi tebing lalu memejamkan mata. Sementara itu, jari Alvindra menggerayangi kasur. Matanya langsung terbuka lebar begitu tidak merasakan ada orang di samping, ia langsung gelagapan mencari Lyra. Disusuri setiap ruangan, tetapi tak ada siapa pun di sana. Dalam panik, ia keluar ke arah teras. Begitu menemukan sang istri, ia langsung berlari ke arahnya. "Mau apa kau, Cantik?" tanya Alvindra sambil mendekap erat Lyra dari belakang. Ia tahu benar jika dibiarkan sendiri lebih lama, sang model bisa saja melompat. "Kau mau membuang nyawamu begitu saja sebelum melihat musuhmu