“Sa—Saya baru pertama kali melakukan pekerjaan ini, Tuan. Maaf,” ucap Yura kala berhasil mengendalikan desiran aneh tersebut.
Namun, dia kembali menegang saat merasakan tubuh pria itu mendekat dari belakang.
Dua tangan lelaki itu menelusup di pinggang rampingnya, terasa berotot dan kekar saat kulit mereka bersentuhan.
Pikiran Yura berkelana.
Seperti apa lelaki berjuluk Tuan Gin itu?
Sebelumnya, dalam bayangan Yura, pria itu begitu tua. Rambut putih, kulit keriput dan tubuhnya kurus kering, seperti kakeknya dahulu. Namun sepertinya dugaan itu terlalu jauh.
Meski tak bisa melihatnya, Tuan Gin yang berada di belakangnya saat ini sepertinya jauh berbeda.
Karena tak mungkin bila seorang pria tua memiliki postur tubuh kekar yang terasa masih bugar. Yura menebak saat dada bidang lelaki itu menempel pada punggungnya.
Ah, siapapun orang itu ia hanya berharap bahwa kegiatan mereka ini akan usai secepatnya!“Siapa namamu?”
“Saya .... Yura.”“Yura .... Perempuan bersuami yang ingin menjual tubuhnya padaku. Apa aku salah?” Sebuah kecupan di pundak telah mendarat mengakhiri sebuah kata yang belum sempurna menjadi kalimat. Yura kesulitan menebak apa yang akan lelaki itu lakukan selanjutnya. Sungguh ini adalah pertama kali Yura melakukan hal aneh semacam ini.Yura menggeleng. “Tu—tuan benar. Saya .... Sudah bersuami.”“Lalu kenapa kau memilih menyerahkan dirimu padaku?”Yura menggigit bibirnya, merasa gelisah. “Su—suami saya sedang koma di rumah sakit. Saya butuh uang untuk membayar tagihan bulan ini dan biaya perawatan. Saya ..., saya butuh uang itu.”Mendengar itu juga Tuan Gin melepas pelukan. Lalu membalikkan tubuh Yura hingga berhadapan dengannya. Dua buah daging lembut berlapis lipstik merah itu diusap dengan ibu jarinya. “Berapa biaya yang kau butuhkan?”“Empat ratus juta, Tuan,” jawab Yura yang masih berdiri di tempatnya.“Empat ratus juta itu tidak seberapa bagiku, tapi apa yang akan aku dapatkan? Hanya bercinta satu malam?" Tuan Gin dengan nada skeptis. "Kau pikir aku pria bodoh?"Yura menelan ludah, hatinya berdegup kencang. Semua harapan dan kepercayaan kepada Tuan Gin tiba-tiba hancur. Hanya beberapa saat yang lalu, ia yakin akan mendapatkan uang yang dibutuhkan. Tetapi sekarang, semuanya tampak semu."Madam mengatakan Tuan bersedia memberikan saya empat ratus juta jika melayani Tuan malam ini," jawab Yura kemudian."Aku belum menyetujuinya. Aku hanya mengatakan akan membayarmu bila aku telah sepakat dengan apa yang akan kau lakukan padaku."Yura bergeming, otaknya belum mampu berpikir. Di sisi lain hatinya gelisah. Jika kesempatan ini gagal maka dimana lagi ia akan mendapatkan uang sebanyak itu? Belum sempat Yura menjawab, Tuan Gin berdeham lagi."Kita saling membutuhkan, bukan? Kau butuh uang dan aku butuh pelampiasan. Bagaimana kalau .... Aku akan memberimu berapapun uang yang kau butuhkan bahkan hingga suamimu sembuh tetapi dengan syarat yang harus kau penuhi."“Memangnya saya harus melakukan apa, Tuan? Syarat apa yang harus saya penuhi?”
Jujur saja wanita berambut cokelat itu tergiur dengan penawaran yang baru saja diberikan.
Uang tak terbatas sampai suaminya sembuh, siapa yang tidak mau menerimanya? Tentu ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.
Setidaknya, bila menerima tawaran itu, Yura akan memiliki biaya untuk pengobatan suaminya dalam beberapa waktu ke depan, dengan begitu ia akan ringan untuk melunasi hutang-hutang yang telah menggunung di beberapa tempat.
Walau imbalan yang harus diberikan tampaknya tidaklah ringan...
Hanya saja, ucapan pria itu selanjutnya membuat Yura tersentak. “Kau harus menjadi istri kontrakku.”
"A--apa?"
Tenggorokan Yura terasa kering. Sebenarnya, tidak masalah jika Rama berkenalan dengan putrinya. Tetapi, bukan itu yang menjadi kekhawatirannya. Semua itu tergantung dengan tanggapan Gin. Bagaimana pun juga, pria itu yang bisa menentukan keputusannya."Berikan saja, Sayang. Biarkan Pak Rama mengenal putri kita." Gin menyahut dari arah belakang. Entah kapan pria itu kembali, kini Gin sudah berdiri di sampingnya."Tapi—""Aku tidak keberatan. Tidak ada salahnya," sahut Gin kembali.Yura kemudian mengangguk dan memberikan Raya kepada mantan suaminya. Rama tampak berbinar melihat Raya dalam pangkuannya. Pria itu bahkan tersenyum sendiri.Sebagai mantan istri, Yura paham betul bahwa semenjak pernikahan mereka dulu, Rama selalu mendambakan kehadiran seorang anak. Namun, harapan mereka pupus kala mendapatkan hasil pemeriksaan medis yang menyatakan bahwa Rama tak bisa memiliki keturunan.Yura berharap, kehadiran Raya bisa sedikit mengobati rasa sakit Rama.Cukup lama Rama menimang Raya. Hingga
Sosok itu adalah Rama. Pria yang pernah menjadi suaminya selama kurang lebih lima tahun. Orang yang pernah ia perjuangkan dengan segenap jiwa dan raganya.Yura sudah tidak peduli padanya. Bahkan, dia tidak ingin tahu tentang apa yang dilakukan lelaki itu, hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rama kembali saat ini, di rumah mertuanya sendiri. Dan, Yura melihat perubahan yang sangat besar.Wajah Rama tampak lebih tua dan badannya sedikit kurus. Kumis dan jambangnya terlihat lebih lebat. Penampilannya pun jauh berbeda dengan pertemuan terakhir mereka dahulu. Ia sempat tak percaya bahwa orang yang kini berdiri di hadapannya ini adalah Rama. "Salam kenal, Bu Shinta." Yura menyapa Bu Shinta terlebih dahulu, kemudian mengarahkan padangannya kepada Rama. Ada kecanggungan yang kentara saat Yura bertatap muka dengan Rama, ia tampak ragu saat ingin menyapanya. Demikian halnya dengan Rama yang terlihat menelan ludahnya kasar. Untungnya, interaksi kaku mereka terbaca oleh Bu Shinta. Wanita
Suasana kediaman utama sore hari ini sedikit lebih ramai dari biasanya. Ketika Gin dan Yura sampai di sana, beberapa mobil jasa angkut berada di sana membawa beberapa paket barang. Gin bertanya kepada beberapa satu asisten rumah tangga yang berjaga di sana dan mereka mengatakan bahwa barang yang dibeli oleh sang ayah adalah lukisan yang secara khusus telah dipesan sejak berbulan-bulan lalu."Kenapa Ayah membeli banyak lukisan?" tanya Yura ketika sudah menjauh dari para asisten rumah tangga. "Maksudku, tumben sekali pesan sebanyak ini. Biasanya hanya satu atau dua untuk ganti properti kantor."Ya. Memesan lukisan bukan sesuatu yang tabu di keluarga Satwika. Sebagai menantu, Yura kerap membantu Wira atau pun Gin mencarikan seniman untuk membeli atau membuat lukisan. Namun, untuk kali ini, tampaknya Wira mencari tanpa bantuannya. Bahkan Gin, putranya sendiri, tidak tahu-menahu tentang ini.Gin yang sedang menggendong putrinya juga mengamati keadaan sekitar selama beberapa saat. Kemudian
Beberapa minggu setelah kepergian Sarah.Mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang, Yura mematikan kompornya dan segera berlari ke lantai atas untuk memeriksa. Saat membuka pintu kamar ruang bayi, tubuhnya sejenak terpaku ketika menemukan Gin sedang menimang putrinya.Wanita itu menghela napas panjang. Sejak tadi, ia sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Saking sibuknya, sampai lupa dengan Raya. Namun, ketika kembali di sini, ia justru dibuat kagum dengan sikap sang suami. Pria itu bahkan belum berganti baju, masih mengenakan handuk mandi untuk menutupi tubuhnya.“Kenapa wajahmu tampak tegang seperti itu?” tegur Gin dengan suara beratnya."Ah, tidak, aku hampir lupa kalau meninggalkan Raya. Aku pikir kau masih mandi atau siap-siap, tapi ternyata kau sudah di sini."Gin hanya merespon dengan sebuah tawa pelan. "Apa aku tidak boleh menimang putriku sendiri?""Bukan seperti itu, Gin. Aku hanya terkejut saja," tutur Yura usai menggeleng sebagai respon.Gin kembali menarik kedua sudut
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-