LOGIN"Halo, nona? Kita bertemu lagi." Suara berat pria berusia 50 tahunan.
'Ah,aku tahu pria ini' batin Naira, membuka pelan matanya melihat pria bertubuh kekar di depannya, wajahnya cukup sangar, sambil menjinjing sebuah tas hitam di tangan kirinya. Naira hanya tersenyum tipis, tapi pria itu membalasnya dengan wajah datar. "Bagaimana dengan janjimu, nona?" "A-ahh ...soal itu, ma-maaf bos Sam. Untuk kali ini, beri saya waktu seminggu lagi." Pinta Naira gugup, tersenyum berseri menampilkan gigi atasnya sambil mengatupkan kedua tangannya memohon. "Maksudmu? Kau mau berbohong lagi?!" tanya Pria itu yang dipanggil sebutan bos Sam, dengan suara meninggi. "Tidak berbohong bos! Tapi saya minta tambahan waktu lagi. Tolong untuk terakhir, kali ini saya minta perpanjangan waktu," jawab Naira dengan wajah memelas. "Kau tahu kan, konsekuensi atas ucapanmu barusan?" Naira Mengangguk. "Maaf nona, saya sudah tidak mau tertipu dengan Anda lagi. Kali ini kau harus menyerahkan surat kepemilikan apartemenmu yang butut ini! Sisanya baru saya tagih minggu depan." Tekan bos Sam itu hendak menerobos masuk ke dalam apartemen. Namun dengan cepat Naira menghadang dan berjongkok mengatupkan kedua tangannya di atas kepalanya yang menunduk. "Saya mohon bos, beri saya waktu. Beri saya waktu ..." Sejenak Naira terdiam berpikir mencari solusi. Ia teringat bayaran dari si 'Keparat sialan' itu belum cair. Padahal, rencana semalam sudah ia laksanakan. Kali ini ia bertekat menagih janjinya untuk mengatasi masalahnya hari ini. 'Semoga saja dia tidak menipuku juga,' batin Naira berharap. "Beri saya waktu tiga jam! Ya, tiga jam!" Naira menunjukkan tiga jarinya mendongkak ke atas tubuh pria itu. "Dalam tiga jam saya akan membayar separuh dari hutang saya dan sisanya minggu depan. Saya mohon jangan ambil apartemen milik saya satu-satunya," Naira mulai terisak. "Bos yang saya tahu, bos adalah orang baik. Karena mau meminjamkan uang sebanyak yang saya minta atas masalah saya waktu itu. Jadi, mohon ini terakhir kalinya saya meminta waktu." Bos Sam menghembuskan napasnya dengan kasar, "Bagaimana kalau kau berbohong dan mencoba kabur, menjual apartemen ini tanpa sepengetahuanku?" Naira mengatupkan bibirnya, bola matanya mengarah ke kanan dan ke kiri sambil berpikir apa yang bisa meyakinkan pria tua ini untuk percaya. "Kalau saya kabur, bos harusnya sudah tahu cara memberi pelajaran pada setiap orang yang berhutang. Saya menyadari harga satu kepala saya tak akan sanggup menutupi jumlah hutang milik saya. Jadi, saya pastikan akan menepatinya," jawab Naira lembut dengan suara sedikit parau. Bos Sam yang mendengar jawaban Naira yang terdengar menyedihkan, hanya menghela napas kasar. Ia sadar, jika orang seperti Naira ini selalu menepati setiap ucapannya walaupun selalu terlambat. "Baiklah, dalam tiga jam kau harus mengirim bukti pembayaranmu!" ucap bos Sam akhirnya mengalah dan berbalik badan meninggalkan Naira. "Terima kasih bos, terima kasih." Naira terus berucap sampai orang itu hilang dari koridor. Naira menghela napas lega. Satu masalah terlewati, tapi masalah berikutnya muncul. Naira terduduk di kursi ruang tamunya yang sempit sambil merebahkan tubuhnya sebentar. Tak lama Naira mengetik nama 'Keparat sialan' di kontaknya dan menghubunginya. "Halo, Ton? Mana bayaran atas kinerjaku semalam?!" tanya Naira menagih. Dari ujung sana terdengar balasan tertawa terbahak-bahak. Naira mengernyit, menggerutu. Ia tahu bahwa berhadapan dengan pria ini selalu bertele-tele dan menyebalkan. "Cepaatt ...saya butuh sekarang! Bos Sam tadi datang dan menagih hutangku!" lanjut Naira mulai menekan suaranya. Sementara suara di sana tak menjawab. "Antony, please... " Pinta Naira mulai menurunkan nada bicaranya. "Hey, kerjamu baru separuh, ya! Masa sudah minta bayaran," sahut pria di ujung sana dengan santai. "Ton, saya tahu soal itu. Tapi tolong untuk kali ini saya minta separuh dulu. Sisanya sesuai kesepakatan kita sebelumnya." "Hm, gimana ya?" tanya Antony, mencoba mempermainkan Naira. Naira yang sudah geram sejak tadi, hanya mampu memaki pria sialan yang sedang di teleponnya ini dengan suara yang tak terdengar. Ia terus menatap jam dinding di ruang tamunya yang terus berputar, melewati hampir 60 menit setelah kepergian bos Sam. Tersisa dua jam untuk menyelesaikan masalahnya. Suara di sana masih hening. Jari telunjuk Naira mengetuk-ngetuk meja, menghitung berapa detik ia menunggu jawaban pria pelit di ujung sana. Akhirnya, suara di sana terdengar helaan napas kasar, "Baiklah, karena semalam kau sudah mengirim beberapa foto menjanjikan, saya kali ini berbaik hati pada nona Cleopatra cantikku. Hahaha," balas Antony, tertawa terbahak-bahak dan langsung menutup teleponnya. Tak lama suara pemberitahuan dari salah satu m-banking di ponsel Naira berbunyi, sejumlah uang besar diterima dari Antony. Ia tersenyum lega, bersyukur kali ini Antony sedikit jinak. [Segera jalankan Plan B], bunyi pesan singkat dari Antony setelahnya. [Siap, bos!], balas Naira cepat. Ia pun segera mengirimkan sejumlah nominal uang ke bos Sam atas sebagian hutangnya dan mulai berpikir strategi untuk 'Plan B'nya atas perintah Antony. *** Tiga hari berlalu semenjak kejadian bersama Ken, Naira setiap hari mondar-mandir seperti sedang menunggu sesuatu. Secangkir kopi americano di tangan kanannya, pun masih saja tak mampu membuatnya ingin menyeruput. "Aku gak bisa seperti ini terus, waktuku tidak banyak!" Naira mengurut keningnya yang hampir setiap hari dipakai untuk berpikir. "Aneh ya, kenapa pria itu tidak mau mencariku? Sementara data dan semua kartunya ada di tanganku. Kenapa sampai hari ini tidak ada tanda ponsel berdering atau bel pintu berbunyi?! Apa jangan-jangan ia tidak peduli?!" Naira terus berbicara pada dirinya. "Haruskah aku yang lebih dulu menghubunginya? Ha ..." Tangan Naira menutup mulutnya. "Aaaahhh ...itu tidak mungkin! Itu artinya aku akan dituduh memerasnya. Eh, tapi, kalau aku tidak melakukannya?" Naira memutar bola matanya sejenak berpikir. Keheningan apartemen kecilnya menyadarkan sesuatu untuk ia bertindak. "Skandal ini harus muncul di berita! Ya. Kalau tidak, riwayatku bisa tamat. Dia bukan orang sembarangan, aku bisa lebih dulu lenyap daripada berita skandalnya. Hm," "Oke. Aku tahu orang yang bisa membantuku kali ini," Naira tersenyum menyeringai. Naira segera mengetik sesuatu di ponselnya, dan mengirimnya pada seseorang. Ia pun mengirim beberapa foto dirinya dan Ken yang tengah tidur bersama. ***"Irene?" "Maaf, aku datang terlambat! Aku hampir salah dengan kata sandinya. Tadi, aku sedikit sungkan begitu tuan Wilson belum juga pulang dari sana." "Lalu bagaimana dengan Papa?" "Sekarang Papa sudah di bawah. Aku membawanya setelah mengurus izin pemindahan perawatan untuknya. Dan dokter mengizinkannya karena Papa sudah membaik." "Kau sudah urus semuanya?" Irene mengangguk. "Semalam setelah kau menceritakan semuanya, aku ...jadi berpikir mungkin ini memang sudah waktunya. Dan aku sudah memesan tiketnya sejak semalam." "Bagus! Kita memang harus secepatnya pergi dari sini. Sepertinya Ken sedang menuju ke sini. Kita harus cepat-cepat pergi sebelum dia menemukan kita, Ren," sahut Naira sambil mengeluarkan selembar kertas yang s
Ken baru saja membuka matanya. Sebuah sinar dari balik jendela menyapu wajahnya. Tubuhnya terasa segar seperti menghabiskan waktu yang panjang untuk tertidur. Namun, sayup-sayup suara dari arah pintu membuat dahinya mengernyit. Suara yang ia kenal, akan tetapi cukup asing begitu nadanya tidak seperti Naira. 'Hah, dimana aku?!' Batin Ken tiba-tiba disadarkan ketika matanya mulai terbuka lebar ke arah dekorasi dan warna cat ruangan itu berbeda dari kamarnya. Ia mengucek matanya saat pintu itu terbuka. Seorang wanita yang sudah berdandan rapi berdiri disana membawa sebuah nampan makanan. "Hai ...selamat pagi, Ken," sapanya dengan suara yang lembut. Ken membelalak saat menyadari di hadapannya bukanlah Naira. Melainkan Laura yang tersenyum lebar. Sungguh bagai mimpi buruk di pagi hari, Ken menatap tubuhnya yang sudah bertelanjang dada di sebuah ruangan asing bersama Laura. "Astaga! Kenapa aku ada disini?!" gumamnya, menutupi dadanya dengan selimut. Ia melirik tajam ke arah Laura "Ap
Sementara di rumah sakit, Naira masih menunggu William hingga langit menggelap. Hampir seharian, Naira menatap beberapa kali layar ponsel di sakunya tak berbunyi. 'Apa dia masih marah padaku?' Naira membatin begitu pikirannya tertuju pada Ken yang tak mengabarinya sama sekali. Helaan napas panjangnya terasa menjadi teman bagi peralatan rumah sakit yang terus berbunyi. Wajah keriput William juga tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sampai kapan? tanyanya dalam hati. Sampai kapan ia berada di sana? seakan-akan setengah hidupnya dihabiskan tidur di rumah sakit. Bukankah dunia ini sangat sibuk? Mengapa hanya ada dirinya yang merasa sendirian? Naira menyalakan layar ponsel kembali. Tangannya mengetuk beberapa kalimat pesan untuk Ken. Akan tetapi, ia kembali meragu lalu menghapusnya, dan mengetik ulang hingga beberapa kali. Tak lama, tiba-tiba satu pesan muncul di atas layar dari sebuah nomor baru. Naira tak langsung membukanya. Namun, sedikit
"Kau mau kemana, Ken?" tanya Naira untuk pertama kalinya setelah semalaman keduanya saling mendiamkan satu sama lain. Pagi itu, Naira sedang menyiapkan keperluannya untuk kembali ke rumah sakit menjenguk William. Sementara Ken sudah bersiap bukan dengan pakaian kerjanya. Ia hanya memakai kemeja hitam yang cukup santai. "Aku pergi sebentar. Hari ini kau akan diantar sopir Mama kalau mau menjenguk papamu," ucapnya acuh, sambil menatap layar ponselnya seperti sedang membaca sebuah pesan. Naira menghela napas dalamnya. "Baiklah," balasnya pasrah tak mau mendebat lagi. Ken pergi tanpa mengatakan kalimat pergi kemananya untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka. Seperti membalik sebuah piring kosong, sikap Ken seakan sedikit dingin setelah perdebatan semalam yang membuat Ken seolah tak mau memperpanjang masalah, lalu pergi dengan sikap dinginnya yang dulu ia kenal untuk pertama kalinya. Naira pun berangkat menuju rumah sakit. Sementara Ken mengemudi mobil ke arah sebuah cafe unt
Pagi dingin menyelimuti tubuh yang terbalut selimut tebal berwarna hitam putih. Hujan kali ini membasahi hati Naira yang masih terbaring menatap papanya setelah tiga hari masuk ruang ICU. Kali ini, ia tak perlu menjenguknya ke tempat rumah sakit yang berbeda. Sejak malam kejadian, Ken menepatinya memindahkan William setelah mendapat perawatan intensif. Namun, hatinya sedikit teriris. Papanya masih tak sadarkan diri. Sementara hari ini, hari terakhirnya dirawat. Ia akan keluar dan kembali ke apartemen bertemu dengan Ken dan keluarga Ken yang entah kesambet apa, tempo hari Jasmine dan Cath tiba-tiba menyapanya dengan baik. Sejak pemberitaaan mengenai kehamilannya yang sudah diketahui keluarga besar, Ken berencana akan mengadakan acara perayaan pernikahan mereka yang dulu dirahasiakan. Ken juga menginginkan acara itu sebagai tanda bukti keseriusannya pada Naira selama hampir tiga bulan ini. Ya, satu minggu lagi genap tiga bulan sesuai janji pernikahan kontrak itu berakhir. Kali ini, Ken
"Tawamu terdengar mencurigakan, Ken? Apa kau sedang menyembunyikan hal lain dariku?" "Apa?! Ti-tidak! Bukan apa-apa, hanya saja tuan Fred adalah sahabat Papa dan juga tuan William yang kumaksud sepuluh tahun yang lalu." Naira membelalak. "Ja-jadi ..." "Ya, beliau juga ada di sana pada hari itu. Dan beliaulah, yang membantu permodalan perusahaan Papa dan juga—" Tiba-tiba suara ponsel Naira berdering, menghentikan kalimat Ken yang sempat terputus. Naira menatap layar, Irene meneleponnya. "Halo, Ren, ada apa?" "Nai, gawat! Papa mengeluarkan busa di mulutnya. Aku melihat ada banyak obat berserakan." "Apa?! Astaga! Kau cepat hubungi ambulans, aku akan menyusul ke sana!" seru Naira yang di setujui Irene di ujung sana. Ia pun buru-buru hendak turun, namun rasa nyeri di perut menghantamnya kembali. "Nai? Ada apa? Apa yang terjadi dengan papamu?" Ken ikut khawatir. "Papa, Ken ...Papa ...! Sepertinya Papa overdosis. Aku harus segera ke sana!" "Ah, ya Tuhan ..." Ken mengusap k







