"Permisi Pak, maaf mengganggu." Sekretaris Ken masuk ke ruangan kerja Ken.
"Ya, masuk. Ada apa Keisya?" jawab Ken masih fokus bekerja. Di meja itu terpampang papan nama bertuliskan Kendrick Wilson, CEO. "Pak, gawat!" Keisya mencoba memberi tahu Ken sesuatu tapi terhenti, ragu-ragu. "Lanjut, Kei." Ken mencoba santai. "Be-begini, ada hal yang tidak mengenakkan untuk Pak Ken dengar." Ken menaikkan kedua alisnya menunggu Keisya melanjutkan. Sementara Keisya masih saja gugup untuk menyampaikan sesuatu yang penting bagi bosnya, mengingat bagaimana bosnya selalu bertindak cepat dan lugas jika menyangkut citra dirinya. Dan itu berimbas merepotkannya. "Apakah Pak Ken sudah mengecek berita hari ini?" "Belum," jawab Ken singkat. "Um ... wa-wajah mirip Bapak, terpampang di berita gosip, tentang skandal Bapak." Keisya yang ragu-ragu akhirnya menyerahkan tablet ke tangan Ken, memunculkan satu layar informasi dengan tulisan judul yang mencuri perhatian. Ken yang masih belum menangkap maksud Keisya terbelalak saat matanya menemukan wajah dirinya sedang berpelukan mesra dalam selimut yang sama dengan perempuan yang wajahnya di sensor, sementara wajah dirinya terpampang jelas dengan judul artikel yang menggelitik, 'SKANDAL CEO TAMBANG BATU BARA TERKUAK, PEREMPUAN YANG DITIDURINYA SEDANG HAMIL.' "Pak, apa ini benar?" tanya Keisya lancang. Ken langsung terkesiap, "Apa maksudmu?!" Keisya yang sadar kesalahan mulutnya segera meminta maaf. "Siapa yang membuat berita ini?" tanya Ken menekan. Keisya yang gelagapan menggeleng. "Cepat cari tahu orangnya dan temukan semua bukti kebohongan ini. Saya minta jam tiga kamu sudah melaporkan siapa di balik penulis berita bohong ini! Satu lagi, jangan sampai pihak internal kita ada yang tahu berita ini. Kamu segera hubungi media online ini dan minta untuk di takedown!" titah Ken mengeraskan suaranya. "Saya tidak akan membiarkan siapapun, mampu merusak reputasi saya sebagai Ceo PT Golden Energy terbesar di Asia," tambahnya menaikan dagunya. Keisyapun segera undur diri meninggalkan Ken di ruangannya yang penuh amarah di dadanya. Ada rasa lega sudah menyampaikannya, akan tetapi pekerjaan barunya ini membuatnya selalu kelimpungan. Ken mengepalkan tangannya erat dan mengusap wajahnya dengan kasar. Belakangan ini, hal yang ia hindari akhirnya muncul juga ke permukaan dan menurutnya harus diberi pelajaran. "Aku akan mencarimu gadis licik. Sepertinya kau sedang main-main denganku." Ken tersenyum menyeringai, matanya tajam ke arah kartu nama yang ia keluarkan dari lacinya. *** Naira yang serius membaca setiap komentar di sebuah akun gosip yang sejam lalu ia sudah pantau, merasa cukup puas dan seperti hiburan bagi dirinya. Ia tak menyangka jika hal sepele ini akan menjadi perbincangan bagi khalayak warganet dan sebentar lagi bisa menjadi trending topik di internet. "Yes, yes, yes! Aku memang tidak salah memintanya untuk posting. Dia memang wartawan jenius. Hahaha ..." Naira merayakan kemenangannya begitu melihat banyak komentar buruk tentang Ken. Menurutnya dengan jalan ini akan menjadi pembuka jalan berikutnya. "Aku akan buat dia menghubungiku, memohon-mohon dan meminta maaf. Saat itulah uang-uang datang padaku. Hahaha." Naira berdecak kagum memuji kepiawaian dirinya. Naira pun menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, berguling-guling sambil tertawa. Pikirannya mulai berimajinasi dengan rencana-rencana hebatnya. Baginya untuk kali ini menjadi penipu tak ada salahnya, demi hidup dan matinya, apapun akan ia lakukan. Dalam euforianya, ponselnya berdering. Naira yang tertawa sendirian mulai terhenti dan merespon cepat panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. "Halo, dengan saya Cle ... eh, Naira," Naira mulai menyadari saat dirinya hampir salah menyebut dirinya. "Hai, gadis licik ...bagaimana kabarmu?" Suara di ujung sana sesaat membuat Naira membisu. Wajahnya yang tiba-tiba berseri perlahan pucat. Namun, ia segera menyadarkan dirinya untuk berusaha tetap tenang. 'Oke, inilah waktunya,' batin Naira sambil menghela napas untuk menetralisir raut wajahnya. "Hai, tuan tampanku, kabarku baik Sayang. Um, sepertinya Anda sudah mulai rindu denganku, ya?" jawab Naira lembut, sedikit menggoda. "Cih! Kau terlalu percaya diri! Saya bahkan menganggapmu mimpi buruk. Jadi saya perlu memberitahumu untuk berhenti berusaha mendapatkan saya dengan caramu yang kotor dan murahan itu!" ucap Ken menegaskan. Naira yang mendengarnya menjauhkan ponselnya dari telinganya, dan memakinya dalam hati. "Tapi, sepertinya cara kotor dan murahanku, sudah cukup jitu karena bisa membuat tuan akhirnya menghubungiku dengan cepat," jawab Naira kegirangan dan terus menggoda. Di ujung sana, tangan Ken gemas mendengar suara Naira yang tertawa mengejek. Ia hanya mampu meremas jemarinya dengan keras. "Keberhasilanmu hari ini hanya sekejap nona, jadi jangan berbangga diri mampu merusak citra seseorang. Saya bukan sembarang orang yang mudah luluh dengan tipu muslihat Anda. Jadi menyerahlah dan minta maaflah sekarang. Karena saya menghubungimu hanya untuk mendengar suara tangis penyesalanmu, ga-dis li-cik!" "Oh, ya? Apa kau tidak membaca komentar-komentar warganet yang membahas tentangmu? Apakah setelah hari ini berakhir, mereka akan melupakanmu dengan mudah?" sela Naira tak kalah membalas. Ken terdiam sejenak, tak lama ia tertawa kecil, "Haruskah saya yang memberitahumu, kalau kau hanya gadis licik tapi bodoh?" "Maksudmu?" tanya balik Naira, mengernyit kebingungan menangkap maksud Ken berbicara seperti itu. "Dengar gadis licik yang nakal," Ken menekankan kata-katanya dengan suara yang lembut, "Hidup saya ini memang dikelilingi oleh banyak wanita yang menggila, tapi tak ada satu pun yang berhasil selain wanita yang saya cintai lebih dulu. Jadi Anda sadarlah dan berhenti. Karena tidak hanya Anda yang berbuat kotor dan curang, hampir semua wanita seperti itu terhadap saya untuk tujuan tertentu. Anda adalah mimpi buruk saya dan hari ini adalah mimpi buruk bagi Anda. Saya tekankan kamu, jangan berjalan terlalu jauh menghadapi saya kalau hidupmu ingin tenang, paham?!" tegas Ken mengakhiri sambungan telepon dengan Naira yang terdiam membisu. Setelah sambungan terputus, ia tersadar dan buru-buru mengecek artikel berita gosip tadi yang sudah tak ada bersama jejak-jejak komentarnya. "Ahhh... Tamatlah riwayatku!" ucap Naira lesu, tubuhnya tersungkur di pinggir ranjangnya bersamaan bunyi pesan masuk muncul di pop-up ponselnya. [Saya tunggu Anda minta maaf. Datangi saya, sebelum saya ambil jalur hukum.], bunyi pesan dari nomor tak dikenal. Tak lama, pesan masuk lagi mengirim sebuah alamat. Saat itu Naira masih belum menyadarinya. ***"Um ...maaf Nai, aku belum beritahumu. Tapi besok sore kau akan segera tahu," ujar Ken, tersenyum paksa. "Maaf ...aku melibatkanmu demi meminta bantuannya," bisiknya di telinga Naira. Naira memicingkan matanya. "Kalian membuat kesepakatan berdua, tapi setelahnya melibatkanku?!" protes Naira mencurigai keduanya. Ken dan Andrew saling bertukar pandang, mengangkat alisnya untuk siapa yang akan menjelaskannya duluan. Naira melipat tangannya di dada. "Kalau begitu, aku tak perlu ikut menepati. Karena aku tak terlibat sebelum—" "Um, bukan gitu, Nai ..." potong Ken cepat meraih tangannya. Matanya menunjukkan keraguan yang tertahan. Ken menelan salivanya yang sempat tercekat. Ia kembali melirik Andrew yang mengangkat tangan mengartikan, 'tak mau tahu! Itu urusan kalian'. Dan Ken akhirnya terpaksa memberitahunya hari itu. "Nai ...sebenarnya ...aku meminta tolong padanya, untuk mengetahui keberadaan tuan John. Andrew menyanggupinya asal ...permintaan pertamanya disanggupi begitu kau juga
Garis senyum Andrew terukir, meskipun sedikit perih akibat luka sayatan di lengannya. "Aku hanya sedikit membantu masalah Ken saja. Sekarang, Aku tidak apa-apa. Hanya ...luka sedikit saja. Hehe ..." "Kau serius?!" Suara Irene sedikit cemas. "Ya ...kau tak perlu khawatir, masalah ini sudah teratasi," sahutnya menenangkan. "Bisakah aku ke sana?" "Tak perlu, satu jam lagi aku kembali ke kota, kok. Kau baik-baik di sana, ya." "Ta-tapi—" "Kau sedang teleponan dengan siapa?" Ken tiba-tiba menepuk bahu Andrew dan duduk di sampingnya setelah dokter polisi pergi. Ia melirik sekilas wajah Andrew yang seperti tertangkap basah dan panggilan itu pun berakhir begitu saja ketika Irene ikut mendengar suara Ken datang menyapa Andrew. "Ba-bagaimana kondisi tuan John?" tanya Andrew sedikit gugup mengalihkan pembicaraan. Ken mengangkat alisnyanya sambil menghela napas. "Sudah di bawa paramedis ke rumah sakit kota. Hanya saja traumanya cukup terlihat." Andrew mengangguk-angguk kecil. "Sy
Dua pria keluar ke arah ruangan depan, mengintip di balik tirai yang menghalangi jendela. Dan satu temannya menjaga John. Naira tengah berdiri sendiri di depan bangunan rumah kosong, menenteng koper berisikan uang sebagai pancingan dari rencana Ken sebelumnya. Di balik pohon besar dan tumpukan limbah tak jauh di sana, polisi sudah berjaga dengan senpi di tangannya. Sementara Ken dan andrew mulai menyelinap masuk ke dalam ruangan John di sekap, mengacungkan senpi ke hadapan pria yang berjaga di sana. "Angkat tanganmu!" serang Andrew melangkah hati-hati berkeliling mendekat ke arah John. Ken berganti posisi berdiri di balik punggung Andrew. Pria itu pun hendak menyeru memanggil teman-temannya, akan tetapi Andrew menggertaknya untuk diam jika ingin selamat. Namun, satu orang dari arah lain rupanya mengetahui keberadaan mereka yang menyelinap. Saat penjagaan Ken lemah, pria itu masuk dengan cepat mengalungkan pisau lipat ke arah leher Ken dan mengancam Andrew untuk melepaskan kawannya. A
Sekitar setengah sepuluh, matahari mulai bergerak melaju menuju atas kepala. Ken berangkat bersama Andrew menuju lokasi para penyandera. Sesuai janji, Ken akan mengirimkan sejumlah uang itu ke rekening mereka. Akan tetapi, Ken memiliki rencana lain agar para penyandera itu dapat tertangkap tangan para polisi yang sudah dihubungi sebelumnya. Sementara, Naira berada ikut dalam satu mobil polisi. Mengikuti arahan Ken dan Andrew, polisi akan datang setelah mereka mulai memastikan keberadaan John sesuai dengan titik yang Andrew dapatkan. Setibanya di sana, Ken dan Andrew bergerak pelan dan hati-hati. Di belakang saku Andrew, sebuah senpi jenis Glock-17 sudah tersangkut rapi sebagai jaga-jaga jika terjadi sesuatu. Mereka berdua menyelinap masuk ke sebuah bangunan tua yang sudah tak berpenghuni. Ruangan kumuh, kotor dan debu menempel di setiap sekat dinding. Beruntung sekat tersebut memuluskan keduanya melangkah mendekat ke arah target. Sekitar lima meter ke arah utara, terdengar sayup-sa
Ken segera melajukan mobilnya setelah mendapat file salinan dari Andrew setengah jam yang lalu. Tubuhnya bergerak cepat menuju apartemennya untuk segera menjemput Naira yang sudah menunggunya di sana. Matanya melirik tajam ke arah berkas itu. Satu sudut bibir naik begitu ingatannya kembali saat Andrew mengatakan, "Yes! Ketemu!", kedua kaki Ken langsung melompat dari sofa dan menyeret tubuhnya mendekat di belakang Andrew yang fokus menatap layar monitor berbentuk salinan cctv tempat titik sinyal nomor penyandera tersebut. Dalam sebuah rekaman itu, mereka menyaksikan bagaimana John di keluarkan paksa dari taksi yang membawanya semalam oleh dua orang bertopi hitam di pinggir jalan. Namun yang lebih mengejutkan, begitu sopir taksi itu meminta ampun, tangan John terlihat memberi lambaian yang membuat kepala sopir itu langsung manggut-manggut. Entah apa yang mereka lakukan, namun sikap aneh itu justru mencurigakan. Di tempat lain, Naira mondar-mandir di ruang tamu. Ponsel di tangannya te
Esok paginya, Ken datang menemui Andrew di ruang kerjanya. Andrew yang sedang teleponan dari semalam, terkesiap begitu Ken datang tiba-tiba. Ia mengucek matanya sekali lagi memastikan yang datang adalah sosok Ken. "Ndrew! Saya butuh bantuanmu!" ucap Ken terburu-buru duduk menghadapnya. "Hei, tunggu! Kenapa kau main terobos ke ruang kerjaku, hah?! Apa kau tak punya waktu bersama istrimu di pagi hari?!" sungut Andrew merasa ditodong tiba-tiba. "Sorry, ini mendesak! Kau harus bantu saya kali ini!" Dahi Andrew mengernyit. "Tidak mau! Baru saja minggu lalu kau menyuruhku. Lalu sekarang, pagi-pagi buta sekali kau mengganggu privasiku!" tampiknya memutar kursinya, membelakangi Ken. "Tolonglah ...saya masih ingat kok, hutang permintaanmu minggu lalu. Kali ini, tambah jadi dua ya?" Ken mengatupkan kedua tangannya di dada begitu Andrew spontan mencebik. "Hm, kalau begitu, saya minta kau pulang kembali untuk menepati hutang minggu lalumu itu!" usir Andrew menutup diri. "Tidak bisa,