LOGIN"Bagaimana, Ken? Apa yang kau temukan?" tanya Andrew tergopoh-gopoh menghampiri Ken yang sedang memperhatikan putaran ulang cctv oleh petugas hotel.
Ken tidak menjawab dan memberi kode mata untuk sedikit bergeser menjauh dari petugas hotel. Khawatir petugas itu ikut menguping dan bisa jadi pembicaraan internal karena mereka tahu Ken berhubungan dekat dengan bosnya. Walaupun sebenarnya sudah menjadi hal lumrah setiap hari melihat para gadis keluar masuk hotel. Akan tetapi ini berurusan dengan citra Ken dan perusahaan ke depannya. "Saya putar dari berbagai area cctv, ada dua gadis mabuk berjalan di koridor hotel dan gadis gila itu salah satunya seperti salah masuk kamar. Nah, teman yang mengantarnya hanya membantu memapah ke arah kamar saya," bisik Ken menunjukkan putaran ulang cctv yang telah ia salin ke ponsel miliknya. Andrew yang penasaran merebut ponsel Ken dari tangannya, mengamati dengan seksama. Di video dua gadis itu terlihat tidak mencurigakan karena dari sepersekian detik setelah pelayan bar pergi, gadis itu langsung masuk dengan tubuh yang terhuyung-huyung. "Apa ini ulahmu, Ndrew? Apa kau sengaja menyewa gadis gila itu agar saya segera melupakan Laura?" selidik Ken yang menyipit, curiga. Andrew yang merasa ditodong dengan tuduhan tidak berdasar itu mengangkat kedua tangannya gelagapan. "Hey, apa maksudmu? Saya bahkan baru tahu kejadian ini karena kau menghubungiku." "Jangan mencoba mengerjaiku, Ndrew! Laura adalah masalah pribadiku! Dari zaman sekolah kita selalu bersama, sebagai sahabat hingga hari ini saya menjaga kepercayaanmu. Tapi kali ini saya mencurigaimu apalagi tampangmu yang suka berlagak polos seperti tidak tahu menahu," cecar Ken menyudutkan. "Tunggu dulu! Justru ini perlu diluruskan, kau bisa tenang dan santai dulu. Saya tahu kau patah hati, tapi saya tak akan tega menjerumuskanmu dalam masalah seperti ini. Apakah semalam kau ingat? Bisa jadi saat pelayan bar mengantar ke kamarmu, kau berbelok merayu gadis itu dan mengajaknya tidur bersama." "Semalam kau mabuk berat, Ken. Saya membantumu untuk istirahat di hotel. Saya bahkan sedikit muak saat kau meracau terus menerus memanggil mantanmu yang sudah pergi itu. Jadi, saya biarkan kau tidur di sana," jawab Andrew menjelaskan. Ken tertegun sejenak. "Nah, sekarang masalahnya, kenapa gadis itu bisa dengan mudahnya masuk kamarmu? Sementara setiap kamar ada kartu aksesnya?!" tambah Andrew mencoba membuka ingatan Ken atas kejadian semalam. "Apakah dia jin atau penyihir? Bisa masuk dengan mudahnya ke kamarmu?" Andrew menyidik balik sambil tersenyum menggoda. Ken mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat, tetapi tidak ada satu pun ingatan yang memberinya petunjuk bagaimana gadis itu bisa masuk ke kamarnya. Rasa kesal dan penasaran bercampur aduk di dadanya, terutama mengingat gadis itu mengancamnya dengan mencuri dompetnya dan pergi begitu saja. Seolah kejadian semalam akan menjadi senjata yang digunakannya di kemudian hari. "Saya akan menemukannya, saya pastikan itu. Gadis itu harus membayar atas apa yang sudah terjadi." Ken akhirnya melangkah menuju lobi dan meminta data para gadis yang masuk semalam. *** Sementara di tempat yang lain, Naira sedang menikmati guyuran shower yang membasahi tubuhnya. Ia mengusap lembut tiap bagian tubuhnya yg terkena busa sabun beraroma mawar segar. "Hari ini, aku tidak akan membiarkan sisa-sisa tempelan tubuh dari pria itu masih melekat di tubuhku! Kalau harus mengingatnya, jadi bergidik, ih ..." Naira memejamkan matanya merasa jijik pada dirinya, seketika bayangan tubuh kekar Ken melintas di pikirannya. Imajinasi liarnya mulai aktif, tapi dengan cepat ia tepis dan guyur kembali kepalanya agar segera hilang ingatan tentang tubuh Ken. Kejadian semalam coba ia lupakan, rencananya hari ini hanya ingin beristirahat sambil menikmati kopi americano untuk menyegarkan tubuh dan pikirannya. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, tak lama terdengar suara bel pintu berbunyi. Jantung Naira tiba-tiba berdegub kencang, seperti instingnya mulai aktif dan berjaga-jaga. "Aduh, siapa ya?! Jangan-jangan orang itu sudah menemukan tempat tinggalku!" Naira menggigit bibir bawahnya, mematung, tidak segera menghampiri pintu apartemennya. Ia mulai banyak berpikir bahwa orang di depan pintu adalah orang yang dimaksud, ia harus mulai merencanakan strategi apa saja yang akan terjadi dengan beberapa pilihan di kepalanya. Mengingat kejadian semalam adalah hal pertama yang ia lakukan selama hidupnya—yang mana hanya bermodalkan keberanian dan tanpa banyak pertimbangan. Namun, saat menyadari hari ini, ada rasa kegelisahan dan rasa bersalah menyelimuti dirinya. Selama beberapa menit tubuh Naira mondar-mandir di depan pintu masih ragu untuk membukanya. Meskipun suara ketukan pintu dan bel berbunyi beberapa kali, tubuhnya tak cukup berani untuk segera menghadapinya. Sampai pada akhirnya, ia mencoba meyakinkan dirinya akan baik-baik saja dan berusaha tenang dengan beberapa kali melakukan teknik pernapasan dan pelenturan tubuhnya. "Oke, aku adalah Naira. Ya! Jangan takut! Kau Cantik, cerdas, dan seksi! Kau pasti bisa!" Naira memejamkan matanya sambil menarik daun pintu pelan-pelan. Ceklek! "Halo Nona? Kita bertemu lagi.""Irene?" "Maaf, aku datang terlambat! Aku hampir salah dengan kata sandinya. Tadi, aku sedikit sungkan begitu tuan Wilson belum juga pulang dari sana." "Lalu bagaimana dengan Papa?" "Sekarang Papa sudah di bawah. Aku membawanya setelah mengurus izin pemindahan perawatan untuknya. Dan dokter mengizinkannya karena Papa sudah membaik." "Kau sudah urus semuanya?" Irene mengangguk. "Semalam setelah kau menceritakan semuanya, aku ...jadi berpikir mungkin ini memang sudah waktunya. Dan aku sudah memesan tiketnya sejak semalam." "Bagus! Kita memang harus secepatnya pergi dari sini. Sepertinya Ken sedang menuju ke sini. Kita harus cepat-cepat pergi sebelum dia menemukan kita, Ren," sahut Naira sambil mengeluarkan selembar kertas yang s
Ken baru saja membuka matanya. Sebuah sinar dari balik jendela menyapu wajahnya. Tubuhnya terasa segar seperti menghabiskan waktu yang panjang untuk tertidur. Namun, sayup-sayup suara dari arah pintu membuat dahinya mengernyit. Suara yang ia kenal, akan tetapi cukup asing begitu nadanya tidak seperti Naira. 'Hah, dimana aku?!' Batin Ken tiba-tiba disadarkan ketika matanya mulai terbuka lebar ke arah dekorasi dan warna cat ruangan itu berbeda dari kamarnya. Ia mengucek matanya saat pintu itu terbuka. Seorang wanita yang sudah berdandan rapi berdiri disana membawa sebuah nampan makanan. "Hai ...selamat pagi, Ken," sapanya dengan suara yang lembut. Ken membelalak saat menyadari di hadapannya bukanlah Naira. Melainkan Laura yang tersenyum lebar. Sungguh bagai mimpi buruk di pagi hari, Ken menatap tubuhnya yang sudah bertelanjang dada di sebuah ruangan asing bersama Laura. "Astaga! Kenapa aku ada disini?!" gumamnya, menutupi dadanya dengan selimut. Ia melirik tajam ke arah Laura "Ap
Sementara di rumah sakit, Naira masih menunggu William hingga langit menggelap. Hampir seharian, Naira menatap beberapa kali layar ponsel di sakunya tak berbunyi. 'Apa dia masih marah padaku?' Naira membatin begitu pikirannya tertuju pada Ken yang tak mengabarinya sama sekali. Helaan napas panjangnya terasa menjadi teman bagi peralatan rumah sakit yang terus berbunyi. Wajah keriput William juga tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sampai kapan? tanyanya dalam hati. Sampai kapan ia berada di sana? seakan-akan setengah hidupnya dihabiskan tidur di rumah sakit. Bukankah dunia ini sangat sibuk? Mengapa hanya ada dirinya yang merasa sendirian? Naira menyalakan layar ponsel kembali. Tangannya mengetuk beberapa kalimat pesan untuk Ken. Akan tetapi, ia kembali meragu lalu menghapusnya, dan mengetik ulang hingga beberapa kali. Tak lama, tiba-tiba satu pesan muncul di atas layar dari sebuah nomor baru. Naira tak langsung membukanya. Namun, sedikit
"Kau mau kemana, Ken?" tanya Naira untuk pertama kalinya setelah semalaman keduanya saling mendiamkan satu sama lain. Pagi itu, Naira sedang menyiapkan keperluannya untuk kembali ke rumah sakit menjenguk William. Sementara Ken sudah bersiap bukan dengan pakaian kerjanya. Ia hanya memakai kemeja hitam yang cukup santai. "Aku pergi sebentar. Hari ini kau akan diantar sopir Mama kalau mau menjenguk papamu," ucapnya acuh, sambil menatap layar ponselnya seperti sedang membaca sebuah pesan. Naira menghela napas dalamnya. "Baiklah," balasnya pasrah tak mau mendebat lagi. Ken pergi tanpa mengatakan kalimat pergi kemananya untuk pertama kalinya dalam pernikahan mereka. Seperti membalik sebuah piring kosong, sikap Ken seakan sedikit dingin setelah perdebatan semalam yang membuat Ken seolah tak mau memperpanjang masalah, lalu pergi dengan sikap dinginnya yang dulu ia kenal untuk pertama kalinya. Naira pun berangkat menuju rumah sakit. Sementara Ken mengemudi mobil ke arah sebuah cafe unt
Pagi dingin menyelimuti tubuh yang terbalut selimut tebal berwarna hitam putih. Hujan kali ini membasahi hati Naira yang masih terbaring menatap papanya setelah tiga hari masuk ruang ICU. Kali ini, ia tak perlu menjenguknya ke tempat rumah sakit yang berbeda. Sejak malam kejadian, Ken menepatinya memindahkan William setelah mendapat perawatan intensif. Namun, hatinya sedikit teriris. Papanya masih tak sadarkan diri. Sementara hari ini, hari terakhirnya dirawat. Ia akan keluar dan kembali ke apartemen bertemu dengan Ken dan keluarga Ken yang entah kesambet apa, tempo hari Jasmine dan Cath tiba-tiba menyapanya dengan baik. Sejak pemberitaaan mengenai kehamilannya yang sudah diketahui keluarga besar, Ken berencana akan mengadakan acara perayaan pernikahan mereka yang dulu dirahasiakan. Ken juga menginginkan acara itu sebagai tanda bukti keseriusannya pada Naira selama hampir tiga bulan ini. Ya, satu minggu lagi genap tiga bulan sesuai janji pernikahan kontrak itu berakhir. Kali ini, Ken
"Tawamu terdengar mencurigakan, Ken? Apa kau sedang menyembunyikan hal lain dariku?" "Apa?! Ti-tidak! Bukan apa-apa, hanya saja tuan Fred adalah sahabat Papa dan juga tuan William yang kumaksud sepuluh tahun yang lalu." Naira membelalak. "Ja-jadi ..." "Ya, beliau juga ada di sana pada hari itu. Dan beliaulah, yang membantu permodalan perusahaan Papa dan juga—" Tiba-tiba suara ponsel Naira berdering, menghentikan kalimat Ken yang sempat terputus. Naira menatap layar, Irene meneleponnya. "Halo, Ren, ada apa?" "Nai, gawat! Papa mengeluarkan busa di mulutnya. Aku melihat ada banyak obat berserakan." "Apa?! Astaga! Kau cepat hubungi ambulans, aku akan menyusul ke sana!" seru Naira yang di setujui Irene di ujung sana. Ia pun buru-buru hendak turun, namun rasa nyeri di perut menghantamnya kembali. "Nai? Ada apa? Apa yang terjadi dengan papamu?" Ken ikut khawatir. "Papa, Ken ...Papa ...! Sepertinya Papa overdosis. Aku harus segera ke sana!" "Ah, ya Tuhan ..." Ken mengusap k







