Ken langsung memacu mobilnya menuju rumah sakit. Napasnya memburu agar kakinya melangkah cepat. Meskipun hari itu ia tidak profesional, keluar dari rapat sebelum waktunya. Namun, harga dirinya menyangkut masa depan pernikahannya di ujung tanduk. Ia sudah menyadari kesalahannya. Itulah Kenapa Naira semalaman mendiamkannya. Apalagi ia tahu betul Naira selalu jujur dengan ekspresi wajahnya. Rasanya seperti terkena benda tumpul, nyerinya tak langsung terasa. Hanya luka memar yang akan muncul setelah beberapa waktu. Ken tahu, ini ulah papanya. Wilson bertindak cepat mengambil langkah pelimpahan kekuasaan tanpa persetujuannya. Langkah kaki Ken terhenti di depan pintu ruang ICU, ia mengintip dari balik kaca, Naira sedang mengobrol dengan William yang sudah bisa duduk tegak. Ken meraih daun pintu hendak membukanya. Namun, Ia menahan kakinya. Tiba-tiba, rasa bersalah berbaur dengan kegelisahan menghinggapinya. Ia urung mendorong pintu itu. Tubuhnya membelakangi kaca pintu tersebut. Napasnya
"Um, tidak ada. I'm ok, hehe .." Ken mengkerutkan keningnya. Ia seperti melihat Naira sedang berbohong padanya. "Baiklah, aku tak akan memaksamu. Tapi, kalau kau berubah pikiran, aku siap mendengarkan masalahmu," ucapnya, dibiarkan kali ini. Ia pun kembali menyalakan mobilnya melaju sampai tiba di apartemen. Sesampainya di apartemen, mereka langsung berganti pakaian masing-masing tanpa ada obrolan yang keluar sepatah kata pun. Sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, Naira beberapa kali mengecek ponselnya. Ken, masih memantau ekspresi Naira yang masih datar dari sejak perjalanan. Ia berusaha untuk menahan dirinya bertanya kembali. Namun, rasa tak ingin di abaikan berusaha merangseknya. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk bertanya basa-basi saat Naira hendak mematikan lampu kamarnya."Kau mau kubuatkan susu?" Naira menggeleng tak acuh. "Malam ini, aku hanya ingin beristirahat, Ken," jawabnya singkat tanpa menoleh ke arah Ken. "Oh, oke. Tak apa. Kau bisa tidur duluan," balas
"Nai, Nai ...bangun," Dua kali panggilan Irene menyetuh bahunya. Ia masuk ruang ICU, saat Naira dan William tertidur pulas. Ruang ICU semakin malam terasa hening dan dingin. Irene membawakan hoodie pesanannya tadi siang. Naira pun terbangun dalam pendar mata yang masih samar. Ia mengucek kedua bola matanya dan menyahut, "Ren, kau sudah datang? Jam berapa ini?" Suaranya sedikit serak. Irene menunjukkan layar ponselnya yang menyala. "Sudah pukul sepuluh, apa kau tak mau pulang? Dimana suamimu?" tanya Irene beruntun. Naira menguap sambil meregangkan tubuhnya. Lalu melirik ke arah William yang masih terpejam. Ia meraih hoodie dari tangan Irene dan langsung memakainya. "Aku belum menghubunginya dari jam tujuh. Mungkin sedang di jalan. Lebih baik, kita bicara di luar saja. Aku takut membangunkannya," ajak Naira bangkit dari kursinya dan keluar diikuti Irene dari belakang. Tampak lorong mengarah ICU cukup lengang. Satu dua dokt
"Hari itu, tepat saat Aozora melahirkanmu, seorang pria asing datang membawa sebuah kado besar. Dan aku sedang menangisi ibumu atas kepergiannya yang terlalu cepat. Dia menghampiriku sedikit memberi hormat dengan wajah datar dan pucat. Saat itu, aku tak peduli siapa yang datang. Aku hanya menatapnya sambil lalu. Namun, sebelum ia pamit pergi, ia mengatakan ada sebuah titipan dari atasannya bahwa hadiah persalinan sudah ada di rumah ibumu. Lalu, ia memberikan satu koper berisi uang ke hadapanku. Katanya, itu untuk biaya hidupmu selama tujuh tahun. Dan posisiku hanya termangu membisu. Pria itu seperti terburu-buru saat ponselnya berdering. Dan tanpa berkata lagi, ia pergi meninggalkan kita tanpa penjelasan. Koper itu hanya tergeletak di atas nakas rumah sakit tanpa sempat kusentuh hari itu," tutur Roselina mulai bercerita tentang masa lalu ibunya Naira. Suaranya yang tenang, namun masih terdengar rasa kesedihan yang mendalam di wajahnya. Naira menghela napasnya perlahan. Ia tahu, baru k
Mentari mulai naik ke atas kepala. Sinarnya menembus jendela-jendela kaca rumah sakit. Lorong-lorong yang ramai dipenuhi langkah kaki tergesa. Ken dan Naira berada di sana untuk keluar sejenak menghirup udara. Setelah beberapa jam menyaksikan kembalinya kesadaran William dari komanya, keduanya beralih sejenak di sebuah taman sekitar rumah sakit tersebut. Naira duduk di antara deretan kursi kayu berwarna putih. Ia menyandarkan punggungnya sambil menghela napas panjangnya. Seakan penantian panjang penuh kesabaran itu akhirnya tak sia-sia. Ken, ikut duduk di sampingnya membawa jus buah dalam kemasan gelas plastik cup. "Minumlah, kau butuh meregangkan otot sarapmu itu," ujar Ken, menyodorkan satu minumannya, dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Naira menerimanya dan langsung menyedot jus itu dengan cepat. Ken melirik cara minum Naira, ia terkekeh melihat Naira menikmatinya secara terburu-buru. "Sepertinya kau sedang balas dendam, ya?" kelakarnya masih terpingkal-pingkal. Garis senyum
"Kenapa kalian harus menikah? Hah?!" protes Laura sesenggukan. "Kenapa kalian memaksa hubungan palsu menjadi sebuah pernikahan? Apa caramu mendapat uang dengan harus menikah?!" Laura terus berbicara keras seolah kalimat terakhir itu ditujukkan untuk Naira. Ken dan Naira saling bertukar pandang. Mereka menyaksikan luapan kemarahan Laura yang sudah tak terbendung. "Aku tak habis pikir! Kau sampai menarik hubungan kerjasama dengan ayahku untuk sebuah hubungan baru yang palsu! Demi uang! Demi kekuasaan! Apa aku tak tahu dasar hubungan kalian, hah?!" Ken dan Naira hanya berdiam tanpa menyelanya. Mereka sadar betul, Laura sedang meluapkan emosinya. Namun, Ken tak suka drama Laura yang terus mengungkit hubungan barunya. Ia tak suka Laura ikut campur setelah dirinya menyatakan 'selesai, lalu pergi.' Bagi Ken, semua sudah berakhir. Tak ada lagi obrolan panjang tentang bagaimana untuk kembali. Karena ia sadar betul sebelum Laura benar-benar pergi, bukankah tanda-tanda 'lost interest'-nya sud