Sore itu Naira bertemu lagi dengan suaminya setelah sekembalinya dari apartemen. Naira mengkerutkan dahinya begitu melihat Ken yang tak biasa pulang lebih cepat.
"Kau dari mana saja?" tanya Ken dengan wajah dinginnya. "Apa saya perlu menjawabnya?" tanya Naira balik tanpa menjawab pertanyaan Ken. "Tentu! Kata bi Mar, kemarin kau akan kembali cepat setelah urusanmu selesai. ternyata kau menginap satu malam lagi di apartemenmu," jawab Ken menekan. "Apakah di rumah ini sudah mulai ada yang peduli?!" tanya Naira sedikit menekankan suaranya, "Bukankah semua orang di sini tak punya waktu bertanya yang tidak penting?" Satu alis Ken terangkat mendengar perkataan Naira yang sedikit menggelitik. "Saya hanya penasaran. Kau hilang satu hari satu malam dan pulang seperti tak merasa bersalah. Kau pergi ke suatu tempat dan langsung lupa pulang." "Maksudmu?" tanya Naira semakin tidak mengerRuangan gedung tinggi penuh kaca di siang hari itu tampak sejuk. Mentari yang biasanya menyorot dan bergeser menuju ubun-ubun kepala seolah terhalang awan kelabu. Suara langkah kaki menghentak masuk lobi gedung itu dan mendekati dua orang staf resepsionis yang sudah berdiri siap menyapanya. Seorang pria paruh baya datang mengenakan setelan jas hitam, lalu menanyakan pada staf tersebut yang menyapanya dengan sopan. "Saya mau bertemu dengan bos Anda!" "Maaf tuan, apakah Anda sudah memiliki janji dengannya?" tanya staf wanita itu dengan nada yang sopan. "Tidak. Katakan saja padanya, saya ada di depan kantornya. Jika dia tidak mau memberi izin bahkan mengusir saya, saya pastikan akan berteriak membongkar rahasia dirinya di depan semua pegawainya," tegas pria itu menekankan membuat staf wanita yang mendengarnya sedikit tercengang dan tergagap. Wajah staf pria di sampingnya pun ikut menegang mendengar ucapan tamu itu.
Di ruang kerja Ken, Keisya menaruh pelan ponsel Ken yang tertinggal di atas mejanya karena Ken sedang terburu-buru mengadakan rapat tertutup dengan para petinggi perusahaan. Ia menyadari sudah lancang mengangkat panggilan beberapa kali dari seorang wanita yang diberi nama 'GADIS NAKALKU', membuatnya cukup terkejut meskipun harus berpura-pura bertanya karena rasa ingin tahunya. Namun, gadis dalam telepon tadi enggan memberitahukan identitasnya. Seperti sebuah hubungan rahasia sehingga Ken tak berani menyimpan nama gadis itu secara jelas. Apalagi setelah mendengar dari Andrew jika bos Ken sudah putus dengan Laura, menambah kecurigaan dan rasa penasaran dengan asmara atasannya. "Wah ...aku harus mencari tahu siapa gadis nakalnya ini, hihi," gumam Keisya mulai usil, sambil tersenyum menyeringai. "Apa aku telepon Andrew saja ya? pasti dia lebih tahu soal ini!" lanjutnya memutar bola matanya yang berbinar seolah menemukan sebuah ide brilian. Ia pun melenggang anggun keluar meninggalkan rua
Aroma kopi yang tadinya hangat kini terasa dingin di udara meja kafe. Kepergian Laura yang tergesa meninggalkan jejak keheningan yang berat, membuat Roselina semakin gelisah di hadapan Naira dan John. Ia menggigit bibir bawahnya, dilema mencengkeram hatinya ketika mengetahui orang-orang mengenalnya dengan sebutan Naira. Sementara ia mengenal sosok Naira adalah Cleopatra, keponakannya. "Nak," lirih John, matanya melembut menatap Naira, sebuah senyum tipis menghias wajahnya yang keriput. Naira yang baru tersadar dari keterkejutannya atas kepergian Laura, menoleh dengan alis terangkat, bertanya penuh kehati-hatian, "Ya, tu-tuan John?" "Apa ...saya bisa meminta nomor ponselmu?" pinta John hati-hati, sambil menyodorkan ponsel bututnya ke atas meja. "Malam itu ...saya lupa menitipkan sesuatu pada Ken, untuk ..." lanjutnya, terhenti sebentar melirik sekilas tatapan tajam Roselina padanya. "...tuan Wilson, hehehe," Tangan Naira sedikit gemetar, dengan ekspre
"Saya minta segera pergi dari sini, tuan!" pinta Roselina tegas pada John yang terus memohon di hadapannya. "Saya tidak mengerti dengan ucapanmu itu!" "Ayolah, Rose ...kau jangan terus menghindari saya, berpura-pura tidak mengerti. Saya bahkan sampai mengatakan sudah menemukannya setelah sekian lama saya bersabar menunggunya, dia benar-benar mirip adikmu!" balas John meyakinkan dengan suara yang sedikit parau. Roselina menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak! saya benar-benar tidak paham ! Kau pergi atau saya panggilkan pemilik cafe ini untuk mengusirmu?" Suara Roselina lantang dan penuh penekanan. Matanya awas melihat kembali sekitar, khawatir Naira tiba-tiba muncul di belakangnya. Pria di hadapannya yang semakin sulit ia hadapi, terus saja berbicara dengan permohonan anehnya. 'Aduh, apa yang harus aku lakukan untuk mengusir pria miskin ini pergi dari sini?! Cleo ...semoga kamu tak menemukan pria ini ...' batinnya berkecamuk. Sementara Naira yang masih bersembunyi di balik pilar, se
"Maaf sudah membuatmu menunggu terlalu lama, Cleo." Roselina tiba-tibu muncul di hadapan Naira yang sudah menunggunya dari setengah jam yang lalu. Siang itu keduanya sepakat bertemu di sebuah cafe. Suasana cafe mulai ramai karena sudah masuk jam makan siang. Beberapa pengunjung duduk istirahat di sana untuk sekedar menikmati kopi dan mengisi perutnya yang kosong. "Ya, tidak apa-apa, tan, silahkan duduk," balas Naira, tersenyum mempersilahkan Roselina duduk berhadapan dengannya. Keduanya berbasa-basi dengan kesibukan terakhir sebelum akhirnya mereka bertemu. Setelah apa yang terjadi sekitar dua tahun yang lalu, mereka terpisahkan karena ada beberapa hal yang menjadi kesalahpahaman keduanya. Sebelum masuk pada inti pembicaraan, mereka pun memesan menu makan siang. Tak lama pelayanpun mengantarkan pesanan mereka. Naira mempersilahkan tantenya menikmati makanannya sambil mengobrol. "Cleo, maaf, tante sampai hari ini tak mempercayaimu kalau kau sudah menikah dengan putra teman lamaku it
Setelah sarapan selesai, William sibuk kembali merawat tanaman-tanamannya, dan mengerjakan pekerjaan lainnya. Setelah itu, ia beristirahat sejenak mengelap kaca matanya di sudut ruang tamunya, lalu memakaikannya kembali begitu menatap kalender yang terpasang di dinding. Lamat-lamat ia menghitung tanggal yang tertera dalam kalender satu bulan itu. "Huh! Dua minggu telah berlalu, aku belum menemukan pekerjaan apapun untuk mengisi waktuku selama masa pensiun," gumamnya lirih, menghela napas beratnya. Ia merenungi sulitnya mencari pekerjaan di usia segitu, apalagi memiliki riwayat sakit yang bisa kambuh kapan saja. Sementara, Naira yang sudah tidak bekerja di perusahaan Ken, hari itu ia hanya memantau beberapa laporan dari Irene, dan juga dari salah satu asistennya yang masih setia melaporkan perusahaan yang di kelola Antony di Indonesia. "Wait and see ...mari kita cek satu persatu," gumam Naira lirih, kembali ke kamarnya, menyalakan layar komp
Setelah kejadian gagalnya acara pertemuan dua keluarga Laura dan Ken, Jasmine hari itu tampak beberapa kali melihat ponselnya saat dapat panggilan telepon dan pesan dari Laura, memintanya untuk menemuinya di luar. Seperti teror di siang hari, dirinya merasa khawatir bercampur bingung menentukan sikapnya dan apa yang akan ia sampaikan pada Laura. Permintaan maafkah? Atau berpura-pura tidak tahu menahu, tapi mana mungkin? Laura yang malam itu menunjukkan sifat tempramennya di depan keluarga Wilson, sungguh membuatnya terkejut. Sedikitnya, dalam lubuk hatinya, ia merasa bersyukur acara pembahasan ulang pertunangan itu batal kembali. Karena ia akhirnya menyadari sikap dan sifat Laura memang benar-benar tak pantas untuk Ken. Kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya semakin kacau, apalagi sebelumnya tak sengaja mencuri dengar obrolan antara suaminya dan sahabat lamanya, William di paviliun. Jasmine hanya terkejut ketika tahu William ternyata suami Maladewi. Di man
Sekitar pukul sembilan pagi, Naira kembali ke apartemen miliknya. Sebelum berpisah dengan Ken, ia sudah mengabari papanya akan pulang. Ken juga mengizinkannya, dan mengantarnya sampai halte tempat Naira turun dekat apartemennya. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari kecurigaan William. Ia menemui papanya yang tengah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Senyum hangat dan rasa rindu berhari-hari tidak bertemu, membuat William terlihat antusias menyambut kedatangan putrinya. "Selamat pagi, Nak. Ayo, sarapan dulu. Kau pasti lelah beberapa hari menangani masalah perusahaanmu itu," sapa William mempersilahkan Naira duduk di hadapannya. Naira pun menerima sambutan hangat papanya dengan senyum merekah dari bibirnya. Matanya berbinar menatap banyak makanan dengan asap yang masih mengepul. "Wah ...Ini terlihat lezat sekali," ucapnya, tak sabar ingin segera menyantap. Ia pun mengambil satu sendok olahan daging campur sayur dan dimasukkannya ke mulut dengan lahap mengunyahnya. "Um, yummy
Dahi Naira mengenyit, melirik sekilas ekspresi Ken yang juga tampak termangu mendengar John mengeja namanya dengan penekanan. Dengan sedikit rasa ingin tahu, Naira bertanya kepada pria paruh baya di hadapannya, "Maaf, apa Om sedang mengingat seseorang yang dikenal?" Tersadar dari keterdiamannya, John menjawab sedikit terbata, "A-ah ...ti-tidak! Mungkin hanya pikiran saya saja yang sedang melantur. Saya hanya teringat seseorang, tetapi nama William tentu bukan satu-satunya di negeri ini." Ia menambahkan tawa yang terdengar dipaksakan. Ken menimpali, berusaha menengahi suasana kikuk di antara mereka, "Sepertinya cafe kecil ini ramai sekali sampai membuatmu sedikit gugup saat mendengar nama yang hampir kau kenal." John mengangguk kecil, lalu tertawa, "Ah, ya, sepertinya begitu. Maklum, sudah kepala lima, hahaha ... seperti ayahmu saja. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarnya, Ken?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan. Ken membalas dengan sedikit menyindir, "Baik, baik sekali. Namun, se