Lift terasa sunyi. Hanya terdengar dengungan halus dari mesin dan detak jantung Lara yang semakin keras di dadanya. Ia berdiri sedikit kaku, berusaha menjaga jarak dari Leon tanpa terlihat canggung, meski ada rasa tegang yang tak bisa ia kendalikan. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah pria itu yang berdiri tenang di sebelahnya, dengan tatapan mata fokus pada angka-angka di atas pintu lift yang menunjukkan lantai demi lantai yang terlewati.
“Lara, kamu mau turun di lobi atau lantai tiga?” suara Leon memecah keheningan, nadanya ringan, tetapi cukup untuk membuat Lara sedikit tersentak.
“Oh, tidak, Pak. Saya ke lantai tiga dulu, ada yang harus saya sampaikan ke Cantika,” jawab Lara, suaranya terdengar ragu-ragu, sedikit gugup.
Leon tertawa kecil, membuat jantung Lara berdebar lebih kencang. “ini sudah di luar jam kerja, jangan panggil saya ‘Pak’.”
Lara semakin salah tingkah. Senyum kecil Leon yang tulus namun menawan itu membuatnya merasa semakin grogi. Sebelum ia sempat membalas perkataan Leon, lift tiba-tiba berhenti, pintunya terbuka di lantai tiga.
Dengan perasaan gugup, Lara melangkah keluar dari lift. Namun, betapa terkejutnya ia saat mendapati Leon juga keluar dari lift, berjalan di sisinya menuju arah yang sama. Mereka berjalan berdampingan, dan jantung Lara berdetak semakin cepat hingga langkahnya menjadi sedikit ragu.
Tanpa sadar, Lara kehilangan keseimbangan, langkahnya terselip di lantai. Sebelum sempat bereaksi, tubuhnya miring ke depan, terhuyung. Namun, secepat kilat, tangan Leon meraih lengannya, menarik tubuhnya agar tidak terjatuh. Namun, saking mendadaknya, Leon sendiri kehilangan keseimbangan. Dalam satu gerakan refleks, Leon menarik Lara ke arah dirinya, hingga mereka berdua terjatuh bersama.
Tubuh Lara terhempas, namun bukannya membentur lantai, ia justru jatuh tepat di atas dada Leon. Pria itu berhasil menahan tubuhnya, sehingga Lara tidak terluka.
Keduanya terdiam sejenak dalam posisi yang begitu dekat. Nafas Lara memburu, sementara Leon menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, dan Lara dapat merasakan hangatnya napas Leon di wajahnya.
“Maaf… saya…” Lara tergagap, mencoba menarik diri.
Namun, Leon hanya tersenyum, tangannya masih memegang erat lengan Lara, perlahan melepaskannya. “Tidak apa-apa,” katanya lembut. "Sepertinya, kita sama-sama butuh lebih berhati-hati, ya?"
Leon bangkit dan sejenak duduk di lantai, menenangkan diri sejenak.
Wajah Lara terasa panas. Ia segera berdiri, membenahi pakaiannya dengan cepat. “Terima kasih, Pak, maksud saya, terima kasih, Leon.”
Leon bangkit perlahan, matanya masih tertuju pada Lara dengan pandangan yang hangat. “Haha, masih aja, tidak perlu terlalu formal, Lara.”
Lara hanya bisa mengangguk malu, menunduk dan berusaha menenangkan dirinya. Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, dan tubuhnya sedikit gemetar. Namun, ia mencoba untuk tetap menjaga ketenangan. “Oh, ya,” lanjut Leon, mencoba mengubah topik, “Aku tadi belum sempat bilang. Aku juga mau ke ruangan Cantika, rencananya mau antar dia pulang. Tadi pagi kan kita berangkat bareng, dia nggak bawa mobil dong, jadi aku mau antar pulang setelah dia selesai urusan kantor. Tadi pagi sempat aku bilang juga kalau nanti aku yang antar pulang.”
Lara menunduk sedikit, merasakan rasa canggung yang tak kunjung hilang setelah kejadian tadi. Ia berharap percakapan ini bisa berlanjut dengan lebih lancar, meski hati dan pikirannya bergejolak.
Namun, sebelum Lara bisa memberikan tanggapan, dari kejauhan terdengar suara Cantika memanggil, dan keduanya menoleh bersamaan.
"Leon, Ka Lara, ada apa?" Cantika mendekat dengan langkah ringan. "Ah, Ka Leon, tadi kita kan rencana pulang bareng? Maaf, aku masih ada meeting sebentar lagi, baru selesai. Ka Lara, ada apa?"
Lara tersenyum sedikit canggung, menatap Cantika yang mendekat,Leon tersenyum santai. "Ini ada titipan dari ayah," katanya sembari menyerahkan file yang dia pegang.
"Ok,baik sebentar ya ka masi ada orang," jawab Cantika, menerima file itu. "Aku tinggal sebentar ya, kalian berdua nggak apa-apa, duduk dulu aja di sofa."
Lara mengangguk, merasa sedikit lega setelah ketegangan itu mereda. Lara dan Leon kemudian duduk di sofa yang terletak di sebelah jendela ruang kerja Cantika.
Saat mereka duduk berdua, suasana mulai terasa lebih tenang, meskipun Lara masih merasakan jantungnya berdebar. Begitu dekat dengan Leon, lebih dekat daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya, membuatnya merasa tidak nyaman dan sekaligus cemas. Begitu banyak pertanyaan dalam pikirannya yang belum terjawab tentang Leon, tentang Cantika, dan tentang perasaan yang terus berkembang dalam dirinya.
Leon duduk di sampingnya, sedikit lebih santai. Matanya menyapu sekeliling ruangan sebelum akhirnya kembali menatap Lara. Tersenyum tipis, ia mengingat kejadian jatuh tadi dan tertawa pelan. "Hehh," katanya sambil menggelengkan kepala, "Kok bisa ya kita jatuh seperti itu tadi? Kamu tuh terlalu gugup. Memang aku semenakutkan itu ya?"
Lara hanya bisa menunduk, wajahnya memerah lagi, meski dia mencoba menyembunyikannya. Leon melanjutkan, "Aduh, memang, aku ini kok sampai-sampai bikin kamu segitu canggungnya ya?
Lara merasa sedikit lega mendengar candaan Leon, meski masih ada perasaan canggung yang menggelayuti. Leon melanjutkan, berbicara lebih santai, “Apa perlu sekarang aku pasang muka badut dan bikin suasana lebih cair? Aku bisa loh, pasang muka-muka lucu. Hahaha."
Lara tidak bisa menahan senyum, akhirnya tertawa kecil. Ia memandang Leon, mencoba membaca ekspresi wajahnya, dan merasa lebih nyaman. “Iya sih, Leon. Eh, maksudnya Pa—eh, maaf, maksud aku Leon,” Lara terbata-bata. “Itu karena saya memang belum terbiasa aja sih. Tapi kalau boleh jujur, iya juga, kadang bapak lumayan serem kalau udah di depan meja rapat.”
“Tapi bener juga sih,” Leon melanjutkan, seolah menanggapi kata-kata Lara yang belum selesai, “Aku juga nggak bisa dipungkiri kalau saat rapat, aku agak... serius. Ya namanya juga pekerjaan, kan? Tapi, itu cuma di jam kerja aja. Di luar itu, aku bisa biasa aja kok."
Lara merasakan sesuatu yang berbeda dalam percakapan ini—sebuah kedekatan yang mulai terbentuk antara mereka, bukan hanya hubungan atasan dan bawahan, tetapi juga hubungan yang lebih akrab sebagai teman. Mungkin saja, ini adalah awal dari sebuah persahabatan yang bisa lebih mengurangi kecanggungan dalam pekerjaan mereka.
"Eh, sama Cantika juga kan aku berteman biasa," lanjut Leon, matanya menatap Lara dengan ekspresi yang lebih lembut. "Justru sepertinya umurku lebih dekat dengan kamu kan, dengan Cantika yang adik kamu saja, aku bisa berteman. Masa dengan kamu yang umurnya lebih dekat, nggak bisa?"
Lara tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaan gugup yang tiba-tiba muncul. "Ya, tentu saja bisa. Hanya saja... aku pikir kamu lebih nyaman dengan Cantika," jawabnya, menundukkan pandangannya ke meja.
Leon tertawa kecil, menggeleng pelan. "Cantika itu suka bikin suasana ramai. Kalau sama kamu, aku malah merasa bisa ngobrol lebih serius. Kita kan sama-sama kerja di bidang keuangan, jadi lebih nyambung juga."
Lara mengangkat alisnya, terkejut mendengar ucapan Leon. "Oh, begitu ya? Aku kira selama ini kamu lebih suka ngobrol santai daripada bicara soal pekerjaan."
"Santai boleh, tapi aku juga suka pembicaraan yang lebih mendalam” Leon berkata sambil tersenyum, membuat suasana di antara mereka menjadi lebih hangat.
Lara terdiam, kata-kata Leon mengguncang pikirannya. Ada rasa cemburu yang tak terduga ketika Leon menyebut nama Cantika dengan santai, seolah kedekatan mereka begitu alami. Mengalihkan pandangannya ke luar jendela, Lara mencoba menenangkan diri, namun pertanyaan-pertanyaan terus menghantui: Apa sebenarnya tujuan Leon mendekati keluarganya?
Saat itu Lara pun mengingat sejak menemukan dokumen rahasia tentang kematian orang tua Leon, Lara merasa ada sesuatu yang ganjil. Di balik sikap ramah dan sopan Leon, ia merasakan niat tersembunyi, seolah pria itu menggali kebenaran yang belum terungkap. Apakah ini tentang balas dendam? pikir Lara. Ataukah ada hal lain yang lebih dalam, sesuatu yang bahkan Leon sendiri belum sepenuhnya ketahui?
"Kak Marisa nggak banyak bicara lagi. Dia cuma melirik ke arah Indra, yang waktu itu lagi sibuk telepon di sudut ruangan. Setelah teleponnya selesai, mereka berdua langsung pergi buru-buru. Ibu nggak sempat nanya lebih jauh."Marina mengusap matanya dengan punggung tangan, seolah ingin menghapus kenangan pahit itu. "Tapi ada satu hal yang nggak pernah Ibu lupa, Leon. Waktu mereka berdua mau keluar pintu, Kak Marisa sempat berhenti, balik badan, dan lihat ke arah aku. Dia bilang, 'Jaga Leon baik-baik ya.“"Kenapa Ibu nggak tanya lagi waktu itu?" suara Leon hampir berbisik, menahan emosi yang mulai menguasainya."Ibu terlalu takut, Leon. Situasi waktu itu sudah kacau sekali. Orang-orang di sekitar kami juga mulai saling curiga. Ibu cuma tahu, Kak Marisa pergi karena ada yang masih belum beres dengan Ayah kamu dan Ariatama Marten itu."Suasana hening. Hanya terdengar detak jam di dinding yang semakin menguatkan tekanan di ruangan itu."Dan sejak malam itu... mereka nggak pernah pulang la
Marina termenung sejenak, matanya menatap jauh ke depan, mengingat masa lalu yang penuh dengan kenangan dan perasaan yang tertinggal. Leon memperhatikan dengan seksama, menunggu dengan sabar saat ibunya memulai cerita yang sudah lama terpendam."Iya, Nak... Jadi, yang kakak kandung ibu itukan ibu kandung kamu, dan ibu kamu adalah keluarga ibu satu-satunya pada saat itu," Marina mulai bercerita dengan suara pelan, namun penuh makna."Sebenarnya, ibu nggak banyak cerita tentang mereka karena, tentu rasanya sangat menyakitkan. Tapi seiring berjalannya waktu, melihat kamu yang sudah seperti sekarang ini, luka ibu mulai terobati."Marina menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang kembali mengemuka."Ibu kandung kamu, Kak Marisa, itu orangnya sangat cerdas. Dia berani kuliah, sedangkan ibu aja nggak bisa, kalau ayah kamu, ibu nggak begitu dekat. Ibu banyak berada di rumah orang tua kamu waktu itu, hanya untuk mengasuh kamu saat ibu dan ayah kamu pergi bekerja, tapi kami nggak banyak ng
“Orang tua kandung Leon ya, Bu.” Jawaban itu keluar dari mulut Leon dengan nada datar, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya. Namun, matanya tak bisa menyembunyikan sorot yang lebih dalam, seolah ada lapisan perasaan yang sulit dijangkau. Pandangannya melayang ke jendela, pikirannya dipenuhi berbagai hal yang belum terungkap, seperti pintu-pintu tertutup yang menanti untuk dibuka.Leon tersenyum lembut, menatap ibunya penuh syukur tanpa banyak kata, seperti biasa—ia selalu tenang dan tidak banyak bicara. Dalam diamnya, Leon tahu bahwa inilah tempat ia selalu ingin kembali.“Kamu sudah makan, Nak? Ibu sudah masak banyak, semuanya makanan kesukaan kamu,” kata Marina dengan wajah penuh antusias. “Ayo, kita makan.”Leon tersenyum hangat. “Iya, Bu, nanti. Leon ganti baju dulu,” ucapnya sambil menatap ibunya dengan penuh rasa sayang. “Tapi... Leon masih ingin di sini, Bu... masih ingin ngobrol sama Ibu. Besok pasti Ibu sudah sibuk lagi di toko, seperti biasanya. Ini mumpung toko tutup, Ibu
Leon berbaring perlahan di atas tempat tidur, ingatan itu muncul kembali, bersama dengan satu nama yang sejak dulu terus membayangi pikirannya Ariatama Marten. Ingatan bagaimana dia mengetahui dan mulai masuk ke Perusahaan Marten Energy***Sore itu, langit terlihat mendung. Di toko bunga bertuliskan “Melati Florist,” papan bertuliskan closed sudah terpasang lebih awal dari biasanya. Barulah sore itu, papan tersebut menggantung, menandakan toko tersebut tutup. Marina, sang pemilik toko, berjaga di ruang tamu rumahnya yang mana halaman rumahnyalah dia buat menadi toko bunga itu dan terdapat taman bunga dengan banyak bunga segar.Sesekali, Marina keluar ke jalan, menengok kanan dan kiri, berharap yang ditunggu telah sampai. Namun, belum ada tanda-tanda. Berkali-kali ia memeriksa ponselnya, berharap ada notifikasi kabar perjalanan yang dinanti namun belum juga ada. Satu-satunya orang yang sedang ia tunggu adalah Leon, anak sambungnya—anak kandung kakaknya yang ditinggalkan oleh ibu dan
Leon menghentikan langkahnya, lalu berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan milik Lara. "Apa? Direktur Keuangan?" dengan senyum tipis. "Ambil aja,"Lara tampak terkejut. "Kamu serius?"Leon mengulurkan tangannya ke arah Lara, matanya menantang. "Deal ya."Lara menatap tangan Leon sejenak sebelum akhirnya menerima uluran itu. "Oke," jawabnya singkat, menggenggam tangan Leon dalam kesepakatan.Setelah itu, Leon berdiri tegak kembali, menghela napas ringan. "Kayaknya aku mau istirahat sebentar. Kamu mau istirahat juga atau tetap di sini? Kalau mau istirahat, aku siapin kamarnya."Lara menggeleng kecil. "Aku di sini aja. Tiduran di sofa juga nggak apa-apa kan?"Leon mengangguk pelan, nada setengah bercanda tetap ada dalam suaranya. "Hati-hati loh, nanti ada petir lagi."Lara mengangkat alis, bibirnya membentuk senyum tipis. "Petir? Sereman tawon deh kalau tiba-tiba nongol, kan di sini banyak bunga."Leon tertawa kecil. "Ya makanya, yaudah masuk kamar aja, lebih aman."Lara mengerutkan a
Suara petir yang keras kembali menggema di langit, mengguncang keheningan ruangan. Lara sedikit tersentak, tangannya tanpa sadar bergerak ke dada, mencoba menenangkan degup jantungnya.Leon memperhatikan reaksi itu, lalu tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak refleks seolah ingin melindungi. Namun, dia menghentikan dirinya di tengah jalan, menyandarkan tubuh kembali ke kursi dengan ekspresi datar, menyembunyikan niat awalnya.“Kamu takut petir?” Tanya Leon, nada suaranya tenang, tapi ada sedikit keisengan yang tersirat.Lara memutar bola matanya dengan santai, meski bibirnya mengerucut sesaat. “Emang siapa di dunia ini yang nggak takut petir? Atau kamu berani? Ada petir begini, terus kamu samperin?”Leon tersenyum kecil, seperti terhibur oleh jawaban itu. “Kurang kerjaan banget nyamperin petir,” balasnya, nadanya setengah bercanda.Lara mendengus pelan, tapi kali ini tatapannya berubah lebih tajam. “Tapi bukankah kesepakatan yang kita buat ini, Leon, sama saja seperti petir? Berbah