Home / Rumah Tangga / Kontrak Sandiwara Istri sang CEO / Bab 4 Kesepakatan di Antara Luka

Share

Bab 4 Kesepakatan di Antara Luka

Author: Rindu_Mentari
last update Huling Na-update: 2024-05-26 09:59:17

Keesokan harinya, suasana kamar rumah sakit masih dipenuhi aroma antiseptik dan keheningan yang menghimpit. Lily duduk bersandar di tempat tidurnya, menatap keluar jendela. Di luar, langit mendung menggantung rendah, seolah menggambarkan suasana hatinya yang kelabu.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pria bertubuh tegap melangkah masuk dengan tenang. Abraham, pria dengan wajah dingin dan sikap tenang yang selalu membuat orang lain merasa waspada, menghampiri Lily tanpa banyak basa-basi.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya singkat.

Lily hanya mengangguk kecil. "Aku masih hidup," jawabnya, suaranya datar.

Abraham duduk di kursi di samping tempat tidur, meletakkan sebuah map hitam di meja kecil di sebelahnya. Dengan gerakan terukur, ia mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya.

“Ini surat kontrak perjanjian kita,” katanya, menyodorkan kertas itu ke arah Lily.

Lily menatap kertas itu sejenak sebelum meraihnya. Tangannya sedikit gemetar, entah karena efek obat penghilang rasa sakit atau ketegangan yang mulai menyelimutinya. Ia membuka dan membaca isinya dengan seksama.

Tulisan di kertas itu adalah sebagian syarat yang ia sendiri ajukan pada Abraham, namun ternyata, ada poin yang Abraham tambahan di isi kontrak itu dan sangat memberatkan bagi Lily.

Isi kontrak tersebut jelas: mereka akan bekerja sama untuk membalaskan dendam pada orang-orang yang telah menghancurkan hidup mereka masing-masing. Namun, dibagian akhir dari isi kontrak perjanjian itu membuat Lily mengerutkan dahinya.

"Apa poin terakhir harus?" tanya Lily.

"Tentu saja," jawab Abraham tegas.

"Baik. Tapi...."

"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tenang saja, aku tahu batasannya," sela Abraham memotong ucapan Lily.

“Oke,” ucap Lily, suaranya tegas meski ada sedikit kepahitan di dalamnya.

Ia meraih pena yang disodorkan Abraham dan menandatangani surat itu. Sebuah tanda tangan sederhana, namun cukup untuk mengikat mereka dalam perjanjian yang kelam.

Abraham mengangguk, matanya tak lepas dari Lily.

"Mulai sekarang, kita punya tujuan yang sama," katanya. "Dan kita akan pastikan mereka membayar mahal untuk apa yang telah mereka lakukan."

Lily menatapnya, sorot matanya penuh tekad yang baru saja terbangun. Ia tahu, tidak ada jalan kembali. Luka-luka yang telah lama menganga di dalam dirinya tidak akan sembuh tanpa pembalasan ini.

Di luar jendela, hujan mulai turun, mengguratkan garis-garis dingin di kaca. Dua jiwa yang terluka kini bersatu, dan badai dendam telah mulai bergerak.

"Semoga semuanya berjalan sesuai rencana, Tuan Abraham," ucap Lily setelah hening menyelimuti ruangan itu.

Abraham hanya mengangguk pelan, wajahnya tetap dingin memancarkan aura yang mendominasi.

"Kau hanya perlu menjadi dirinya." Abraham mengulurkan tangannya kepada sang asisten pribadinya yang berdiri di sampingnya.

Asisten itu menyerahkan map biru yang kemudian di ambil Abraham.

"Kau bisa pelajari ini untuk menjadi dirinya," ucap Abraham sembari menyerahkan map biru itu pada Lily

Lily meraihnya, ia membaca sekilas isi map itu.

"Jangan khawatir Tuan Abraham. Akan aku pastikan tak akan ada yang bisa membedakan antara aku dengan istrimu itu."

"Mulai sekarang namamu berubah menjadi Marsanda."

Abraham menoleh pada asistennya, dan sang asisten itu menyerahkan map lainnya pada Lily.

"Itu semua adalah dokumen identitas milikmu."

"Lusa kita akan melakukan operasi plastik dengan dokter terbaik dunia," kata Abraham.

Lily menatap dokumen di tangannya, ia merasa ada sesuatu yang bergetar dalam hatinya. Sebuah rasa kehilangan atas dirinya dan dendam yang bercampur menjadi satu. Lily mengangguk pelan.

Abraham bangkit dan berjalan keluar meninggalkan Lily.

Malam itu, Abraham duduk di ruang kerjanya yang redup. Map hitam berisi kontrak perjanjian dengan Lily tergeletak di atas meja. Tangannya memutar gelas berisi bourbon, namun pikirannya jauh melayang, kembali ke masa lalu yang telah menghancurkannya.

Abraham adalah seorang pengusaha muda dengan ambisi besar. Ia memiliki segalanya—bisnis yang sukses, seorang istri yang ia cintai, dan masa depan yang cerah. Namun semuanya runtuh dalam satu malam.

Abraham masih bisa mengingat dengan jelas wajah para pengkhianat itu. Rekan bisnisnya dan keluarga yang sangat ia percayai diam-diam merancang skema untuk meruntuhkan kepercayaan dirinya dengan membuatnya kehilangan orang yang sangat ia cintai sepenuh jiwa. Mereka menjadikan istrinya sebagai korban. Sebuah kecelakaan "tidak disengaja" merenggut nyawanya, meninggalkan Abraham dengan kehancuran yang tak tergantikan.

Sementara itu, di rumah sakit, Lily menatap jendela, membiarkan pikirannya kembali ke malam yang mengubah hidupnya. Ia adalah seorang istri yang sangat mencintai suaminya, hidupnya sangat bahagia bersama suaminya. Namun orang yang ia percaya dan cintai menghianatinya.

Suaminya berselingkuh bahkan membawa selingkuhannya pulang ke rumah dan memperkenalkannya sebagai sepupu jauh yang ternyata itu adalah istri mudanya.

Hari itu, kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya terjadi, dan ia yakin itu bukan kebetulan.

Mereka berdua memiliki satu kesamaan: rasa sakit yang membara dan dendam yang tak bisa lagi dibendung.

Keesokan paginya, Abraham menjemput Lily dari rumah sakit.

"Ada yang ingin aku tunjukan padamu," katanya singkat.

Lily, meski masih lemah, mengangguk. Dalam hati, ia tahu perjalanan ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya. Sebuah babak yang gelap dan penuh risiko, namun ia siap.

Mereka pergi ke sebuah rumah di pinggiran kota. Sebuah rumah sederhana, namun terlihat begitu sejuk dan asri. Di dalamnya, ada dinding penuh dengan foto, dokumen, dan catatan. Semua itu adalah informasi tentang orang yang akan Lily perankan.

“Kita mulai dari ini,” kata Abraham sambil menunjuk sebuah video seorang wanita cantik bersamanya.

"Aku yakin kau bisa memerankan pribadinya," ucap Abraham dengan suara serak seperti ada yang mencoba menahannya.

Lily memandangi  video itu dengan seksama. Wajah wanita itu sangat cantik dan begitu lembut tutur katanya. Pantas saja Abraham begitu mencintainya.

"Apa yang harus aku lakukan setelah ini?" tanya Lily.

"Setelah menjalani operasi kita akan tinggal bersama satu rumah," jawab Abraham.

Lily tertunduk dan diam, ia tak bereaksi apa pun atas ucapan Abraham. 

Melihat Lily hanya diam Abraham pun bertanya, "Kenapa? Kau keberatan?" 

"Jika kau berniat membatalkan kerja sama ini maka kau harus membayar kompensasinya sebesar 10 Milyar," lanjut Abraham.

Lily langsung mendongak dan membelalakan kedua bola matanya.

"Apa?! 10 Milyar?!"

"Bagaimana bisa begitu?" Protes Lily.

Abraham menyeringai, pergi meninggalkan Lily dengan segala kecemasannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 47

    Tubuh Rina membeku saat Crish jatuh tersungkur dengan kepala pecah akibat peluru yang Abraham tembakan padanya. Matanya membelalak lebar dengan mulut yang ternganga karena terkejut. Abraham dengan dingin menatap Rani. "Bawa dia!" Perintah Abraham pada anak buahnya. Dua orang anak buah Abraham menyeret tubuh Rani dengan paksa. Lily melangkah mendekati tubuh Crish yang tak lagi bernyawa. Darah menggenang di lantai kayu gudang yang lembap, menciptakan bau anyir yang menusuk hidung. Ia menatapnya tanpa ekspresi, lalu menghela napas pelan. "Seharusnya kau tahu bagaimana akhirnya permainan ini, Crish," gumamnya dingin. Abraham menyimpan kembali pistolnya, menatap Lily sekilas sebelum berbalik. "Kita harus pergi dari sini." Lily mengangguk. Namun, sebelum mereka melangkah keluar, ponsel Crish yang masih tergeletak di lantai bergetar. Nama di layar membuat Lily langsung meraih ponsel itu. Leonard. Lily menekan tombol jawab dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Kau benar-benar c

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 46

    Rani duduk diam di sudut ruangan kumuh itu, memeluk tubuhnya sendiri seolah berusaha mencari kehangatan dalam dinginnya ketakutan yang menyelimuti dirinya. Waktu terus berjalan, tetapi pikirannya masih berputar tanpa menemukan jalan keluar. "Jika aku menjalankan perintah Lily, aku akan kehilangan segalanya. Tapi jika aku menolak, dia tidak akan membiarkanku hidup dengan tenang." Matanya beralih ke amplop yang masih berada di genggamannya. Jari-jarinya mengusap permukaan amplop itu dengan ragu. Ia tahu, di dalamnya terdapat perintah Lily—perintah yang bisa mengubah takdirnya, entah menuju kehancuran atau kelangsungan hidupnya. Tok! Tok! Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Jantungnya berdegup kencang saat seorang pria berbadan tegap masuk ke dalam ruangan. Itu salah satu orang kepercayaan Lily. "Waktumu hampir habis, Rani," katanya dengan suara dingin. Rani menelan ludah. Napasnya tersengal. Ia tak punya pilihan lain selain membuat keputusan sekarang. Tapi… keputu

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 45 Pilihan Terakhir Untuk Rani

    Lily melangkah pelan memasuki bangunan reyot yang hampir roboh. Bau busuk menyengat menyambutnya, tetapi ia tak terganggu sedikit pun. Di sudut ruangan yang lembap dan gelap, Rani terduduk dengan tubuh penuh luka. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kotor, dan pakaiannya compang-camping. Ia hampir tak terlihat seperti wanita angkuh yang dulu merampas segalanya dari Lily. "Lama tak bertemu, Rani." Suara lembut Lily menggema di ruangan sunyi itu, namun ada nada dingin di dalamnya. Rani mengangkat wajahnya dengan susah payah. Matanya nanar, penuh ketakutan dan kepasrahan. "Lily…" suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Tolong… aku… aku tak bisa lagi." Lily tersenyum samar dan berjalan mendekat, lalu berjongkok di depan Rani. "Tolong?" ia tertawa kecil. "Kau tidak ingat bagaimana dulu aku memohon padamu? Bagaimana aku hampir mati karena permainan kotor yang kau lakukan?" Rani menggeleng lemah, air matanya jatuh satu per satu. "Aku salah… aku menyesal… aku bersedia menebus sem

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 44

    Rani menatap bayangannya di cermin mobil. Wajahnya sudah sempurna dengan riasan halus yang menonjolkan kecantikannya. Gaun merah elegan yang membalut tubuhnya seakan menjadi senjata terakhirnya untuk menghadapi Abraham. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu… Ini sama saja dengan menggali kuburnya sendiri. "Abraham tak mudah didekati, apalagi disentuh," gumamnya sambil menatap gedung bertingkat tempat pria itu berkantor. Tangannya sedikit gemetar saat membuka pintu mobil. Ia sadar, sekali ia melangkah masuk, maka ia tak akan bisa mundur lagi. Langkah demi langkah ia tempuh dengan hati berdebar. Para karyawan yang lalu lalang di lobi meliriknya sekilas, tetapi ia mengabaikannya. "Aku harus melakukannya. Jika aku ingin bertahan, aku harus membuatnya percaya." Sesampainya di depan ruang utama, ia menarik napas panjang sebelum berbicara kepada sekretaris Abraham. "Aku ingin bertemu dengan Tuan Abraham," ucapnya dengan senyum yang ia paksakan. Sekretaris itu menatapnya denga

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 43

    Rani mundur selangkah, ponselnya hampir terjatuh dari tangannya. Napasnya tersengal, jantungnya berdetak kencang. "Tidak... ini tidak mungkin," bisiknya ketakutan. Ia dengan cepat menutup semua tirai apartemennya, lalu berlari ke pintu untuk memastikan kuncinya masih terpasang. Ia bahkan menekan tubuhnya ke pintu, seolah-olah itu bisa melindunginya dari ancaman yang terasa semakin nyata. Notifikasi ponselnya berbunyi lagi. "Jangan buang waktu, Rani. Aku menunggumu." Rani menggeleng, menggigit bibirnya untuk menahan kepanikan. Crish benar-benar serius. Dia masih bisa menjangkaunya, bahkan saat ia berpikir sudah aman. Tangannya mulai berkeringat saat ia mencoba berpikir jernih. Pilihan apa yang aku punya? Jika ia menolak, Crish pasti akan terus memburunya, mungkin lebih dari sekadar ancaman. Tapi jika ia menuruti perintahnya, itu berarti ia harus berhadapan dengan Abraham dan Lily lagi. Dua pilihan, dan keduanya sama buruknya. Ia mendongak, menatap bayangannya di cermin

  • Kontrak Sandiwara Istri sang CEO   Bab 42

    Crish dibawa pergi oleh anak buah Abraham, tapi bahkan saat borgol terpasang di tangannya, seringai puas masih menghiasi wajahnya. Ia dilempar ke dalam mobil, namun sebelum pintunya ditutup, ia menatap Abraham dengan penuh arti. "Kau terlalu percaya diri, Abraham," katanya. "Jangan berpikir bahwa menyingkirkanku akan membuat hidupmu lebih mudah. Karena bahkan di balik jeruji, aku masih bisa menyentuh Lily." Abraham mengepalkan tangannya. "Kau menyentuhnya sekali lagi, dan aku pastikan kau tidak akan pernah melihat dunia luar lagi." Crish tertawa. "Kau pikir aku perlu menyentuhnya sendiri? Dunia ini penuh dengan orang-orang yang bisa dibayar, Abraham. Kau tahu itu lebih baik dariku." Abraham tidak berkata apa-apa lagi. Ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menutup pintu mobil, lalu mobil itu melaju, membawa Crish ke tempat di mana dia seharusnya berada—penjara. Namun, perasaan tidak nyaman mulai mengusik Abraham. Lily duduk di ruang kerja Abraham, menatap keluar jend

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status