Share

Part 13

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2022-12-05 18:28:27

Hampir semua terapi yang disarankan oleh orang-orang terdekat kami jalani, namun, kami belum juga dikaruniai momongan seperti yang selalu aku panjatkan dalam doa. Sepertinya Sang Maha Rahim belum mengabulkan doa-doa kami.

Aku juga tidak mau memaksa Mas Akmal untuk menjalani terapi setiap minggunya, sebab aku tahu semua itu pasti akan menyakiti hatinya. Kuterima suratan takdir jika memang kami tidak jua dikaruniai buah hati. Toh, banyak anak yatim yang bisa kami angkat atau sekedar kami santuni.

Dan ternyata, inilah balasan dari semua kesabaran serta keikhlasanku menerima semua kekurangan Mas Akmal. Dia menghianatiku, membagi cinta dengan Dewi yang notabene adalah adik iparnya sendiri. Perih, sakit hingga meresap ke dalam pori-pori.

Sudahlah, mungkin jodohku dengan Mas Akmal hanya sampai di sini. Aku juga bersyukur karena Allah segera menunjukkan siapa Mas Akmal sebenarnya.

Hari semakin beranjak sore. Kesunyian membungkus rapat rumah yang sudah aku tempati selama hampir lima tahun ini.

Aku mengambil bangku, menurunkan semua pigura yang menggantung di dinding dan meletakkannya di dalam gudang.

Barang-barang Mas Akmal yang masih tertinggal di rumah pun aku masukan ke dalam kardus dan kubuang di tong sampah sedang jam tangan bermereknya kuletakkan di laci karena masih laku dijual dan bisa buat tambah-tambah uang belanja.

Semua kenangan tentang dia aku hapus walaupun hati ini belum sepenuhnya mampu melupakan dirinya. Rasanya tidak semudah itu menghilangkan jejak cinta yang terjalin lebih dari tujuh tahun itu.

Memijat-mijat pelipis yang terasa sakit, dahiku mengernyit, batinku bertanya-tanya kenapa Mas Akmal harus pakai kontrasepsi ketika menggauli Dewi sedang dirinya sudah divonis mandul oleh dokter saat itu. Apa Papa Surya juga ikut andil dalam masalah ini?

Ya Allah, andai saja Dewi tidak mengunci rapat-rapat mulutnya, kalau saja perempuan laknat itu mau buka suara, pasti diri ini tidak menerka-nerka seperti ini. Sepertinya harus diadakan pertemuan antara aku, Dewi, Papa juga Mas Akmal supaya masalah ini jelas dan aku tidak selalu hidup dalam naungan prasangka.

Selesai sholat isya, aku mendatangi rumah papa dan menemui laki-laki berusia lebih dari setengah abad tersebut. Riak wajah Papa tiba-tiba berubah ketika aku sudah ada di depan pintu rumahnya yang terbuka. Alisku bertaut ketika melihat ada siluet hitam di kamar Papa. Seperti dia tidak sendiri di rumah ini.

“A–ada apa, Efita?” tanya mertua tergagap.

“Enggak, Pap. Fita Cuma mau minta tolong sama Papa, tolong bilangin Mas Akmal sama Dewi kalau Fita mau bicara sama mereka. Sama Papa juga ya, Pap. Besok Fita tunggu di kafe daerah Kemang!” kataku dengan intonasi sangat lembut sebab biar bagaimanapun Papa tetap orang tuaku.

“Iya, Fit. Besok Papa sampaikan.”

“Terima kasih, Pap.”

“Sama-sama!”

Aku segera beranjak pergi dari rumah papa karena tidak mau ada fitnah karena statusku sekarang bukan lagi menantunya.

Sesuai janji aku datang ke sebuah kafe di daerah Kemang pukul delapan malam. Kafe malam itu sedang ramai sekali pengunjung. Ada pertunjukan musik juga sedang digelar di tempat itu, dan aku terus memandangi penyanyi berambut panjang serta memakai anting yang sedang menyayangi di atas panggung. Lagunya pas sekali dengan suasana hatiku saat ini.

Sandiwarakah selama ini

Setelah sekian lama kita telah bersama

Inikah akhir cerita cinta

Yang selalu aku banggakan

Di depan mereka

Entah di mana kusembunyikan rasa malu

Kini harus aku lewati

Sepi hariku

Tanpa dirimu lagi

Biarkan kini kuberdiri

Melawan waktuku

Untuk melupakanmu

Walau sakit hatiku

Namun aku bertahan

By: Glenn Fredly, Akhir Cerita Cinta.

“Fit, sudah lama?” sapa papa mengagetkanku.

“Oh, baru sih, Pap!” jawabku seraya menyalami tangan laki-laki itu dan mencium punggung tangannya takzim.

“Mana Dewi sama Akmal?” Papa menyisir ke seluruh penjuru ruangan.

“Belum dateng, Pap!” sahutku sembari mengenyakkan punggung ini di sandaran kursi.

Papa terus menatap wajahku, membuat diri ini menjadi canggung dan sedikit risi dengan tatapannya. Aku membuang muka pura-pura menikmati musik yang sedang perform di atas panggung.

“Maafkan kelakuan anak Papa ya, Fit!” kata papa sembari meraih jemariku.

Spontan aku menarik tangan ini karena rasanya tidak pantas seorang menantu berpegangan tangan dengan ayah mertuanya. Terlebih lagi jika ternyata tiba-tiba Mas Akmal dan Dewi datang lalu melihat kejadian ini. Pasti mereka akan berprasangka buruk terhadapku.

Sudah hampir satu jam kami duduk menunggu kehadiran dua manusia tidak berperasaan itu. Sepertinya mereka tidak punya niat untuk hadir dan bertabayyun denganku.

“Fit!” Papa memanggil namaku setelah beberapa puluh menit kami saling diam.

“Iya, Pap!” sahutku pelan, merasa sangat tidak nyaman dengan tatapan Papa.

“Setelah kamu resmi bercerai dengan Akmal, aku akan melamar kamu, Fita!” ucapnya lagi, membuat mata ini membulat sempurna. Apa dia tidak tahu hukum menikahi wanita yang pernah menjadi menantunya itu haram?

“Maaf, Pap. Saya itu menantu Papa. Kita nggak mungkin bisa menikah, Pap. Haram hukumnya!” Aku mendorong kursi dan segera bangkit meninggalkan laki-laki yang sangat aku hormati itu.

“Efita, tunggu!” Tiba-tiba dia mencekal lenganku.

“Lupakan kata-kata Papa yang tadi. Papa minta maaf!” ucapnya lagi.

“Iya, Pap. Sudah malam, Fita permisi dulu. Assalamualaikum!”

“Papa antar, kita kan satu arah!”

“Tidak usah, Pap. Saya pulang naik taksi online saja!” tolakku secara halus.

Aku benar-benar syok dengan ucapan Papa tadi. Ya Allah, sepertinya aku memang harus secepatnya menjauh dari mereka semua. Diriku harus segera menata kehidupan yang baru.

Mas Akmal, ternyata kamu benar-benar jahat kepadaku. Bahkan kamu secara terang-terangan menolak mengklarifikasi masalah ini.

Begitu sampai di rumah, aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur empuk nan nyaman serta penuh kenangan. Rasanya tubuh juga otakku perlu cukup istirahat karena terus memikirkan masalah itu.

Namun, entah mengapa malam ini aku sulit sekali memejamkan mata. Dadaku selalu saja berdebar-debar seolah sesuatu akan terjadi kepadaku.

Allahumma Inni a’udzubika minal hammi wal huzni, wal ajzi, wal kasali, wal bukhli, wal jubni, wal dhola’id daini, wa gholabatir rijali.

Ya Tuhanku, aku berlindung kepadaMu dari rasa sedih serta duka cita ataupun kecemasan, dari rasa lemah serta kelemahan, dari kebakhilan serta sifat pengecut, dan beban hutang serta tekanan orang-orang (jahat).

Kubaca doa itu berkali-kali, berharap rasa cemasku segera hilang dan diri ini segera berlayar ke samudera mimpi.

Aku menajamkan pendengaran ketika mendengar seperti ada orang sedang mencongkel pintu kamar. Dada ini bergemuruh hebat. Jantungku berdetak kuat. Tubuhku tiba-tiba gemetar ketika pintu terbuka dan Papa berdiri sambil menatapku dengan tatapan yang sangat aneh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nurliana Sikumbang
makin seru
goodnovel comment avatar
Erma Salma
ceritanya lg seru,eh malah cerita terputus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 229 (Ending)

    Pukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 228

    Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan."Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan meng

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 227

    "Maaf, Wi. Kamu yang tenang. Kalau kamu tidak mau menyerahkan Arjuna tidak apa-apa. Mas tidak memaksa. Tapi kalau suatu saat Mas ingin mengajaknya bermalam di rumah, tolong kamu izinkan ya? Biar dia juga deket dengan Papa Surya."Mendengar nama Surya, entah mengapa ada rasa seperti termas-remas di dada Dewi. Dia ingat betul ketika pria paruh baya itu merenggut dengan paksa kehormatannya, melakukannya berkali-kali hingga akhirnya dia mengandung dan kehilangan masa depan. Selain itu, dia juga harus menjadi duri dalam daging di kehidupan rumah tangga Efita, merobohkan benteng yang telah dibangun dengan kokoh hingga hancur lebur serta rata dengan tanah.Tanpa terasa dua bulir air bening lolos begitu saja dari sudut netra perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu. Walaupun rasa benci terhadap Surya mendominasi di hati, akan tetapi dia begitu mencintai Arjuna. Apalagi Efita selalu memberinya wejangan, kalau anak adalah masa depan yang akan menjamin masa tua kita, j

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 226

    #POV AuthorEfita sedang duduk di teras sambil mengawasi Arjuna, Syabil dan Faza bermain pasir di taman depan rumah. Dia segera menoleh ke arah pintu ketika mendengar seseorang mengucap salam. Seulas senyum tergambar di bibir Akmal, sambil menatap wajah Efita yang tertutup cadar. Ada rasa rindu yang kian menggebu di dalam kalbu, karena sampai saat ini dia belum benar-benar bisa melupakan sang mantan. Cinta yang ditancapkan Efita di dinding hatinya terlalu dalam dan tidak mudah terhapuskan.Semakin dia mencoba, maka rasa itu kian terasa serta menyiksa."Kamu apa kabar, Fit?" tanya Akmal setelah dia dipersilahkan masuk oleh mantan istrinya."Alhamdulillah aku sehat. Mas Akmal sendiri bagaimana kabarnya, tumben mampir ke rumah, setelah beberapa tahun tidak pernah keliatan batang hidungnya?" "Aku pengen ketemu Juna, Fit."Efita menanggapi dengan ber oh ria. Dia kemudian memanggil keponakan kesayangannya itu dan menyuruh pr

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 225

    Setelah selesai memberikan keterangan kepada penyidik. Perawat serta polisi wanita yang mendampingi segera membawa Safina keluar dari ruangan tersebut karena harus segera kembali ke rumah sakit."Apa saya bisa bicara dengan Safina sebentar, Bu?" Ragu aku mengatakan hal itu, karena takut Safina kembali mengamuk jika aku mengajaknya berbicara."Silahkan, Pak." Kami pun berjalan menuju kursi panjang yang ada di teras kantor polisi, duduk di tempat tersebut dengan perasaan bersalah menyelimuti hati."Fin," panggilku pelan."Aku tahu apa yang ingin Mas Salim katakan sama aku," sahut Safina dengan suara parau. "Mas nggak usah khawatir. Aku tidak akan lagi mengganggu atau merepotkan Mas. Aku juga sudah ikhlas dengan pernikahan Mas dan Ning Azalia. Aku doakan, semoga kalian berdua hidup bahagia hingga maut yang memisahkan." Seulas senyum tercetak di bibir merah muda Safina walaupun aku lihat ada kabut di kedua sudut netranya.

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 224

    "Kenapa liatin saya seperti itu?" tanya Fahri seraya menatap menghunus ke arahku.Aku mengangkat satu ujung bibir. Sepertinya Tejo dan Fahri begitu membenci diriku, padahal antara aku dan mereka berdua tidak pernah ada urusan apa-apa. Kenal saja baru-baru ini setelah aku menikah dengan Safina dan Azalia. Tapi, entah mengapa tatapan mereka terlihat penuh dengan kebencian kepadaku.Petugas menyuruh Fahri untuk duduk, menginterogasi dia menanyakan hubungan laki-laki tersebut dengan mantan istri, walaupun Fahri terus saja berbelit-belit memberikan keterangan, malah cenderung mengelak kalau dia tidak pernah melakukan pelecehan seksual terhadap SafinaHingga akhirnya seorang wanita berhijab ungu ditemani oleh seorang perawat juga dua orang polisi wanita datang, membuat Fahri serta Tejo tercengang. Gurat ketakutan tergambar jelas di wajah keduanya."Sa--Safina?" Bahkan Tejo sampai tergagap melihat kehadiran wanita yang sudah dia nodai tersebut.

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 223

    "Insya Allah saya bersedia, Mas," jawab si wanita dengan intonasi sangat lembut serta gemetar, dan semua orang yang ada ramai gemuruh mengucap hamdalah."Alhamdulillah, berarti Bunda mau nambah mantu lagi!" seloroh Bunda Efita terdengar bahagia."Ini kenapa ujung-ujungnya jadi kaya lamaran begini?" Azalia ikut menimpali. "Cie...Bila, akhirnya bisa menikah dengan sang pujaan hati!" ledek istriku seraya memeluk adik sepupunya."Jangan ledekin aku terus dong, Mbak Lia. Aku 'kan jadi malu!" Nabila memonyongkan bibir manja. Dia persis seperti istriku ketika sedang merajuk. Semoga saja sifatnya juga sama seperti Azalia. Penyayang, bijaksana dan menghormati serta menyangi Bunda Efita tentunya."Kapan akan diadakan lamaran secara resmi, Gus. Biar saya siapkan segala keperluannya?" Bunda Efita terlihat begitu bersemangat."Tidak usah ada acara lamaran lagi, Mbak Fita. Sebaiknya langsung dinikahkan saja. Toh, mereka sudah sama-sama d

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 222

    #Part menuju ending"Astaghfirullahaladzim!" teriak kami ketika tubuh Bu Veronika ambruk ke lantai.Kepanikan mulai terlihat di wajah Dokter Fatih ketika melihat sang ibu tidak sadarkan diri. Kedua mata laki-laki itu sudah dipenuhi kabut dan tidak lama kemudian buliran-buliran air bening mulai meluncur dari balik kelopaknya meninggalkan jejak lurus di pipi."Ibu, bangun, Bu. Ya Allah. Kenapa Ibu malah pingsan seperti ini, Bu?" Dia menepuk-nepuk pelan pipi ibunya."Angkat ibu kamu, Mas. Bawa dia ke kamar tamu atau direbahkan di sofa!" perintah bunda Efita dan segera dikerjakan oleh dokter berkacamata tebal tersebut.Azalia yang sejak tadi berdiri di ambang pintu berinisiatif mengambil minyak kayu putih lalu menggosokkannya ke pelipis serta dekat hidungnya.Tidak lama kemudian mata Bu Veronika terbuka. Dia memalingkan wajah ketika melihat sang anak yang sedang duduk di sebelahnya sambil menggenggam erat jari keriputnya. "

  • Kontrasepsi di Kamar Adikku    Part 221

    "Assalamualaikum!" Kami yang sedang duduk santai di teras menoleh secara serempak ketika mendengar suara Bu Veronika mengucap salam."Waalaikumussalam!" Ummi segera beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu garasi dan mempersilahkan ibunya Dokter Fatih untuk masuk.Kali ini Bu Veronika datang tidak hanya sendiri, tapi bersama anaknya yang meresahkan itu. Sepertinya dia menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Berpura-pura ingin mengenal lebih jauh keluarga besarku, padahal sebenarnya ingin melihat istriku yang memang begitu cantik memesona dan siapa pun yang melihatnya pasti akan jatuh cinta.Dari balik kacamata tebalnya, terlihat sekali kedua bola mata Dokter Fatih membulat tanpa berkedip menatap ke dalam rumah. Aku menoleh berniat menyuruh Azalia masuk, tapi mataku dibuat memicing olehnya sebab yang sedang dia pandangi malah bukan istri, melainkan Bunda Efita. Sepertinya dokter genit tersebut terpesona dengan kecantikan wajah bunda yang tertutup niqo

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status