Share

Part 13

Hampir semua terapi yang disarankan oleh orang-orang terdekat kami jalani, namun, kami belum juga dikaruniai momongan seperti yang selalu aku panjatkan dalam doa. Sepertinya Sang Maha Rahim belum mengabulkan doa-doa kami.

Aku juga tidak mau memaksa Mas Akmal untuk menjalani terapi setiap minggunya, sebab aku tahu semua itu pasti akan menyakiti hatinya. Kuterima suratan takdir jika memang kami tidak jua dikaruniai buah hati. Toh, banyak anak yatim yang bisa kami angkat atau sekedar kami santuni.

Dan ternyata, inilah balasan dari semua kesabaran serta keikhlasanku menerima semua kekurangan Mas Akmal. Dia menghianatiku, membagi cinta dengan Dewi yang notabene adalah adik iparnya sendiri. Perih, sakit hingga meresap ke dalam pori-pori.

Sudahlah, mungkin jodohku dengan Mas Akmal hanya sampai di sini. Aku juga bersyukur karena Allah segera menunjukkan siapa Mas Akmal sebenarnya.

Hari semakin beranjak sore. Kesunyian membungkus rapat rumah yang sudah aku tempati selama hampir lima tahun ini.

Aku mengambil bangku, menurunkan semua pigura yang menggantung di dinding dan meletakkannya di dalam gudang.

Barang-barang Mas Akmal yang masih tertinggal di rumah pun aku masukan ke dalam kardus dan kubuang di tong sampah sedang jam tangan bermereknya kuletakkan di laci karena masih laku dijual dan bisa buat tambah-tambah uang belanja.

Semua kenangan tentang dia aku hapus walaupun hati ini belum sepenuhnya mampu melupakan dirinya. Rasanya tidak semudah itu menghilangkan jejak cinta yang terjalin lebih dari tujuh tahun itu.

Memijat-mijat pelipis yang terasa sakit, dahiku mengernyit, batinku bertanya-tanya kenapa Mas Akmal harus pakai kontrasepsi ketika menggauli Dewi sedang dirinya sudah divonis mandul oleh dokter saat itu. Apa Papa Surya juga ikut andil dalam masalah ini?

Ya Allah, andai saja Dewi tidak mengunci rapat-rapat mulutnya, kalau saja perempuan laknat itu mau buka suara, pasti diri ini tidak menerka-nerka seperti ini. Sepertinya harus diadakan pertemuan antara aku, Dewi, Papa juga Mas Akmal supaya masalah ini jelas dan aku tidak selalu hidup dalam naungan prasangka.

Selesai sholat isya, aku mendatangi rumah papa dan menemui laki-laki berusia lebih dari setengah abad tersebut. Riak wajah Papa tiba-tiba berubah ketika aku sudah ada di depan pintu rumahnya yang terbuka. Alisku bertaut ketika melihat ada siluet hitam di kamar Papa. Seperti dia tidak sendiri di rumah ini.

“A–ada apa, Efita?” tanya mertua tergagap.

“Enggak, Pap. Fita Cuma mau minta tolong sama Papa, tolong bilangin Mas Akmal sama Dewi kalau Fita mau bicara sama mereka. Sama Papa juga ya, Pap. Besok Fita tunggu di kafe daerah Kemang!” kataku dengan intonasi sangat lembut sebab biar bagaimanapun Papa tetap orang tuaku.

“Iya, Fit. Besok Papa sampaikan.”

“Terima kasih, Pap.”

“Sama-sama!”

Aku segera beranjak pergi dari rumah papa karena tidak mau ada fitnah karena statusku sekarang bukan lagi menantunya.

Sesuai janji aku datang ke sebuah kafe di daerah Kemang pukul delapan malam. Kafe malam itu sedang ramai sekali pengunjung. Ada pertunjukan musik juga sedang digelar di tempat itu, dan aku terus memandangi penyanyi berambut panjang serta memakai anting yang sedang menyayangi di atas panggung. Lagunya pas sekali dengan suasana hatiku saat ini.

Sandiwarakah selama ini

Setelah sekian lama kita telah bersama

Inikah akhir cerita cinta

Yang selalu aku banggakan

Di depan mereka

Entah di mana kusembunyikan rasa malu

Kini harus aku lewati

Sepi hariku

Tanpa dirimu lagi

Biarkan kini kuberdiri

Melawan waktuku

Untuk melupakanmu

Walau sakit hatiku

Namun aku bertahan

By: Glenn Fredly, Akhir Cerita Cinta.

“Fit, sudah lama?” sapa papa mengagetkanku.

“Oh, baru sih, Pap!” jawabku seraya menyalami tangan laki-laki itu dan mencium punggung tangannya takzim.

“Mana Dewi sama Akmal?” Papa menyisir ke seluruh penjuru ruangan.

“Belum dateng, Pap!” sahutku sembari mengenyakkan punggung ini di sandaran kursi.

Papa terus menatap wajahku, membuat diri ini menjadi canggung dan sedikit risi dengan tatapannya. Aku membuang muka pura-pura menikmati musik yang sedang perform di atas panggung.

“Maafkan kelakuan anak Papa ya, Fit!” kata papa sembari meraih jemariku.

Spontan aku menarik tangan ini karena rasanya tidak pantas seorang menantu berpegangan tangan dengan ayah mertuanya. Terlebih lagi jika ternyata tiba-tiba Mas Akmal dan Dewi datang lalu melihat kejadian ini. Pasti mereka akan berprasangka buruk terhadapku.

Sudah hampir satu jam kami duduk menunggu kehadiran dua manusia tidak berperasaan itu. Sepertinya mereka tidak punya niat untuk hadir dan bertabayyun denganku.

“Fit!” Papa memanggil namaku setelah beberapa puluh menit kami saling diam.

“Iya, Pap!” sahutku pelan, merasa sangat tidak nyaman dengan tatapan Papa.

“Setelah kamu resmi bercerai dengan Akmal, aku akan melamar kamu, Fita!” ucapnya lagi, membuat mata ini membulat sempurna. Apa dia tidak tahu hukum menikahi wanita yang pernah menjadi menantunya itu haram?

“Maaf, Pap. Saya itu menantu Papa. Kita nggak mungkin bisa menikah, Pap. Haram hukumnya!” Aku mendorong kursi dan segera bangkit meninggalkan laki-laki yang sangat aku hormati itu.

“Efita, tunggu!” Tiba-tiba dia mencekal lenganku.

“Lupakan kata-kata Papa yang tadi. Papa minta maaf!” ucapnya lagi.

“Iya, Pap. Sudah malam, Fita permisi dulu. Assalamualaikum!”

“Papa antar, kita kan satu arah!”

“Tidak usah, Pap. Saya pulang naik taksi online saja!” tolakku secara halus.

Aku benar-benar syok dengan ucapan Papa tadi. Ya Allah, sepertinya aku memang harus secepatnya menjauh dari mereka semua. Diriku harus segera menata kehidupan yang baru.

Mas Akmal, ternyata kamu benar-benar jahat kepadaku. Bahkan kamu secara terang-terangan menolak mengklarifikasi masalah ini.

Begitu sampai di rumah, aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur empuk nan nyaman serta penuh kenangan. Rasanya tubuh juga otakku perlu cukup istirahat karena terus memikirkan masalah itu.

Namun, entah mengapa malam ini aku sulit sekali memejamkan mata. Dadaku selalu saja berdebar-debar seolah sesuatu akan terjadi kepadaku.

Allahumma Inni a’udzubika minal hammi wal huzni, wal ajzi, wal kasali, wal bukhli, wal jubni, wal dhola’id daini, wa gholabatir rijali.

Ya Tuhanku, aku berlindung kepadaMu dari rasa sedih serta duka cita ataupun kecemasan, dari rasa lemah serta kelemahan, dari kebakhilan serta sifat pengecut, dan beban hutang serta tekanan orang-orang (jahat).

Kubaca doa itu berkali-kali, berharap rasa cemasku segera hilang dan diri ini segera berlayar ke samudera mimpi.

Aku menajamkan pendengaran ketika mendengar seperti ada orang sedang mencongkel pintu kamar. Dada ini bergemuruh hebat. Jantungku berdetak kuat. Tubuhku tiba-tiba gemetar ketika pintu terbuka dan Papa berdiri sambil menatapku dengan tatapan yang sangat aneh.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nurliana Sikumbang
makin seru
goodnovel comment avatar
Erma Salma
ceritanya lg seru,eh malah cerita terputus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status