Share

Part 12

“Sudah ketemu, Bang. Abang ke taman depan pengadilan Agama saja!” Aku dengar perempuan berpakaian serba hitam itu berbicara dengan seseorang di ujung sambungan telepon.

Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki berkemeja merah hati menghampiri kami, dan aku seperti mengenal pria tersebut. Tetapi di mana?

“Terima kasih, Ukhti!” ucapnya sambil membungkuk.

Ya, sekarang aku ingat. Dia laki-laki yang tidak sengaja menabrakku di depan gapura komplek.

“Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih sama Mbak. Kalau Quina tidak bertemu dengan Mbak, saya nggak tahu deh, apa yang bakal terjadi kepada Quina!” ucap Ummi Saquina.

“Sama-sama, Mbak. Ya sudah, saya permisi dulu. Sudah siang, assalamualaikum!” Aku memutar badan meninggalkan mereka.

“Bunda!” Tiba-tiba Saquina kembali memanggilku dengan sebutan itu. Dia menangis tersedu serta meronta-ronta ingin ikut denganku.

“Bunda, ikut!” rengeknya pilu.

Aku menoleh, menitikkan air mata dan menghampiri gadis kecil itu kembali.

“Apa saya boleh menggendong Quina sekali lagi?” pintaku sambil menyeka air mata yang terus saja luruh membasahi pipi.

Laki-laki bertubuh tinggi besar tersebut menurunkan putrinya dan membiarkan gadis kecilnya berlari ke arahku kemudian memelukku.

“Quina mau ikut Bunda?” ucapku sembari mencium pipi Saquina dan dibalas anggukan olehnya.

“Maaf ya, Ukhti. Sepertinya dia terlalu rindu sama ibunya, jadi dia mengira kalau Ukhti ini adalah ibunya. Soalnya dia hanya melihat sang ibu di album foto saja, dan kebetulan baju yang Ukhti kenakan sama persis dengan baju almarhumah istri saya!”

“Iya, Mas. Nggak apa-apa kok. Saya juga langsung jatuh cinta sama Quina,” jawabku.

Kami berempat jalan bersisian menuju parkiran. Wanita berhijab panjang yang dipanggil ummi oleh Saquina juga ternyata adiknya pria yang memperkenalkan dirinya bernama Kenzo itu.

Aku mendudukkan Saquina di kursi belakang kemudi ketika kami sudah sampai di mobil milik Mas Kenzo, memasangkan sabuk pengaman sambil mengatakan kalau lain kali aku akan menemuinya lagi.

“Mbak Efita, boleh minta nomor hapenya?” tanya adiknya Mas Kenzo seraya mengulas senyum kepadaku.

“Boleh, Mbak!” jawabku kemudian menyebutkan sebelas digit nomor ponselku.

Aku melambaikan tangan kepada Saquina ketika Mas Kenzo menyalakan mesin kendaraan roda empatnya dan membunyikan klakson.

Dan, aduh, aku lupa menanyakan nama adiknya Mas Kenzo. Ya Allah, Efita. Kok kamu malah kenalannya Cuma sama ayah Saquina. Tepuk jidat.

Melirik arloji berwarna silver yang melingkar di lengan kiri, ternyata sudah pukul satu siang. Bergegas diri ini memesan taksi online dan lekas pulang karena belum melaksanakan ibadah salat zuhur.

Taksi online yang aku tumpangi melewati depan toko elektronik milik Mas Akmal. Aku menoleh ke sebelah kiri ingin melihat apakah mantan suamiku berada di toko tersebut ataukah tidak. Dan ternyata, dia sedang berada di toko, tertawa renyah dengan para pelanggannya dan yang paling menyesakkan dada, ternyata ada Dewi juga di tempat tersebut.

Kutekan dada yang terasa sakit. Mengatur nafas, mencoba menepis rasa cemburu yang selalu mendera hati ketika melihat laki-laki yang pernah menorehkan cinta di sanubari itu bersama adikku. Aku harus segera melupakannya. Dia sudah bukan lagi milikku dan aku juga tidak boleh mencintai seorang makhluk melebihi rasa cintaku kepada Sang Pencipta.

Taksi yang aku tumpangi berhenti tepat di halaman rumah. Aku menghela nafas, mencoba menguatkan diri serta melupakan apa yang baru saja diri ini lihat karena yakin setelah hujan badai pasti akan ada pelangi nan indah berwarna-warni.

“Mbak Fita baru pulang ya?” sapa Bu Hilma yang sudah sejak tadi berdiri di depan rumahku.

“Iya, Bu. Habis jalan-jalan biar nggak sumpek di rumah terus!” jawabku sembari mengulas senyum.

“Saya tadinya mau main ke rumah Mbak Fit sama teh Icha. Eh, aku ketok-ketok pager sampeane nggak nyaut. Ternyata pergi toh?”

“Iya, Bu. Ya sudah, saya masuk dulu Bu. Mau salat zuhur.” Membuka pintu pagar lalu segera menutupnya kembali.

“Habis salat saya main ya, Mbak. Kita rumpi-rumpi dikitlah!” teriak Bu Hilma.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka 01:30 siang. Bergegas diri ini mengambil wudu, menjalankan ibadah salat zuhur dan bermunajat kepada Allah, meminta kekuatan hati serta keteguhan iman.

Tiba-tiba senyuman manis bidadari kecil yang aku temui di taman tadi kembali menghiasi anganku.

Ya Allah, bahagia rasanya kalau bisa memiliki seorang anak. Selama ini aku mengesampingkan keinginanku memiliki anak karena tahu Mas Akmal tidak bisa memberikannya, tidak mau menunjukkan keinginan hatiku di depan dia karena tidak mau menyakiti perasaan laki-laki yang teramat kucintai itu.

“Menurut hasil pemeriksaan, tidak ada masalah dengan kesuburan Bu Efita. Justru masalah kesuburan itu ada pada Pak Akmal,” ucap dokter kala itu, pelan serta hati-hati.

Aku melirik ke arah Mas Akmal yang terlihat begitu syok.

“Pak Akmal menderita varikokel atau pembengkakan pada pembuluh darah vena dalam skrotum. Hal itulah yang membuat Bapak serta Ibu sulit memiliki keturunan,” imbuhnya lagi.

Air muka Mas Akmal tiba-tiba saja berubah. Matanya sudah dipenuhi kaca-kaca, namun dengan sekuat tenaga ia menahan agar air mata itu tidak jatuh di depanku ataupun dokter.

“Aku pasrah, Fit. Kalau kamu mau ninggalin aku, aku ikhlas!” kata Mas Akmal sembari mengusap wajah kasar ketika kami keluar dari ruangan dokter.

“Tidak, Mas. Aku tidak akan ninggalin kamu. Aku akan setia mendampingi kamu sampai kapan pun,” sahutku seraya menggenggam jemarinya untuk memberikan kekuatan.

“Tapi aku nggak bisa memberi kamu keturunan, Efita. Kamu tidak akan bahagia hidup bersama aku!”

“Mas, percayalah. Tidak bisa memiliki keturunan bukan akhir dari segalanya. Lagian itu baru vonisnya dokter, kan. Apa kamu tidak percaya dengan kun-Nya Allah?”

Mas Akmal menatapku sendu. Bibirnya terkatup dan bergetar. Aku tahu ini berat baginya, dan pasti dia merasa terbebani dengan semua masalah ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status