Share

5 Dalam Pelarian

Sepertinya Zidni sudah siap siaga jika keadaan tiba-tiba menjadi buruk. Ia membawa sebuah belati.

Aku tidak pernah tahu dan memerhatikan bahwa selama ini Zidni selalu membawa benda itu.

Ataukah baru kali ini dia membawanya? Tapi, mungkin karena aku hanyalah perempuan ceroboh yang tidak mengerti arti pentingnya sebuah senjata kecil di saat seperti 

ini.

Saat-saat dalam pelarian.

Aku masih meringkuk di bawah pohon seperti bayi kesepian yang ditinggalkan orang tuanya di dalam hutan.

Aku terus melihat kelebatan Zidni yang pergi kesana-kemari entah 

melakukan apa.

Dia terlihat jauh lebih baik dibanding semalam. Saat fajar tadi ia pun sembahyang seperti biasa, dengan sujud yang lebih lama dibanding sujud yang pernah kusaksikan di Rumah Jurnalis.

Apakah yang Zidni pinta dalam sujudnya?

Pagi menjelang siang yang begitu terik. Meski pun berlindung di bawah rimbun pepohonan, rasanya tetap saja panas.

Aku minum air sungai yang diambil Zidni dengan daun yang dilipat menjadi bentuk segitiga. Seperti topi kerucut jika dibalik. Sudah kubilang, kami memang sedang kemping tanpa membawa perlengkapan.

“Kita akan menunggu keadaanmu membaik baru kita teruskan perjalanan ke perbatasan. Menurut perkiraanku kita akan membutuhkan waktu kurang lebih dua hari dua 

malam berjalan kaki sampai ke perbatasan.”

“Apakah sebelumnya kau sudah melakukan penelitian?” setelah minum air, tenggorokanku sedikit membaik walau rasanya masih sedikit sakit.

Zidni tertawa kecil sambil memandangku. Sungguh, ia terlihat bahagia sekali saat ini sehingga ia bisa tertawa seringan bulu.

“Aku hanya membacanya di buku. Berdasarkan jarak dalam kilometer, aku mengira-ngira waktu tempuhnya dengan berjalan kaki. Jika jeep-ku masih ada, mungkin dalam lima 

sampai enam jam, kita sudah bisa sampai sana,” infonya.

Semilir angin menggerakkan dahan-dahan dan ranting di atas sana. Seperti patahan bunyinya.

Aku mendongak untuk menatapnya. Hijau dan anggun. Tidak menyangka aku bisa melihat hal seperti ini di negeri bar-bar ini.

“Di sini tidak ada binatang buas?” aku berkata pelan sambil menengok ke kanan dan ke kiri.

“Binatang apa yang masih tersisa di Malayaka? Bahkan kucing yang sekali 

bereproduksi bisa sampai lima anak kucing, sangat sulit kita temukan lagi.” Zidni berkata dengan nada miris. 

Aku terpekur. Ini adalah kawasan hutan lindung, seharusnya aku mendengar setidaknya bunyi jangkrik di malam hari atau suara monyet hutan atau suara kokok ayam di 

pagi hari.

Tapi, semua itu tidak kudapati.

Apakah mereka semua turut mati karena terkena serangan bom udara yang salah sasaran?

Apakah mereka memutuskan bunuh diri saja saat mendengar suara-suara dentuman bom dan meriam yang begitu memekakkan telinga?

Atau apakah mereka sudah turut berbaris di garis perbatasan negara untuk melarikan diri dari kekejaman negara?

Memikirkan hal itu nyaris membuatku tertawa sambil menangis.

Dahan-dahan pohon berkeriut.

Akhirnya udara mulai lumayan sejuk di sepanjang siang ini. Aku memaksakan diriku untuk bangun dari tidur udangku. Tidur meringkuk seperti posisiku tadi membuat tubuhku pegal.

Zidni sedang membuat botol minum dari bambu kering yang digergajinya dengan salah satu sisi belati yang bergerigi, selama setengah harian penuh.

Aku tidak tahu berapa lama tepatnya karena aku tidak melihat jam, tapi sepertinya Zidni lama sekali mengerjakan itu sampai aku yang masih terus terduduk lemas merasa terkantuk-kantuk.

Matahari yang tadi masih di atas kepala sekarang telah lebih condong mendekati remang senja,menandakan 

pergerakan waktu.

Lalu, ia berpamitan pergi ke sungai untuk mengambil air. Lama sekali Zidni pergi sehingga aku sangat khawatir ia pergi meninggalkanku begitu saja.

Aku mulai berdiri dan berjalan bolak-balik dengan sangat cemas.

Aku ingin menyusulnya tapi aku takut tersasar dan malah aku yang menghilang. Kemudian kudengar suara langkah menginjak dedaunan kering. 

Aku merasa sangat lega.

“Airnya segar sekali, kamu tidak ingin mandi?” tanyanya dengan rambut basah dan sisa-sisa air masih menetes dari rambutnya. Aku menggeleng sambil merapatkan kerudung 

biruku yang lusuh.

“Ayolah,” ajak Zidni.

“Cuci juga kerudungmu terakhir kali di air Malayaka, agar kita tidak terlalu sedih meninggalkan negara ini. Besok pagi kita akan memulai perjalanan kita,” pintanya.

Dia meletakkan bungkusan di atas tanah. Sesuatu yang dibungkus dengan daun lebar.

“Kita hanya bisa makan ini sekarang,” tatapnya padaku.

Dengan penuh rasa penasaran aku pun membukanya. Perut yang lapar sungguh tidak bisa dibohongi hanya dengan minum air.

“Bambu muda,” ujarnya. “Aku hanya tahu ini bisa dimakan karena panda terbiasa makan daun bambu. Maksudku, kita tidak mungkin makan daun bambu karena terlalu keras, jadi aku mencari ke tepian sungai untuk menemukan kuncup bambu ini. Aku akan memanggangnya sementara kamu mandi,” senyumnya mengembang.

Aku tidak bisa banyak berkata-kata setelah hari pembantaian itu, tepatnya aku menjadi agak sulit berbicara jika tidak kupaksakan.

Dan aku salut pada Zidni karena ia masih bisa bersiul-siul, mandi berendam, mengambil air minum untukku, bahkan tersenyum padaku 

seperti saat ini.

Aku hanya mengangguk, aku benar-benar lapar. Lalu, aku jadi memiliki 

sedikit semangat untuk pergi ke sungai. Zidni membantuku berdiri dan memapahku.

“Mau kugendong lagi?” tanyanya dengan wajah tak terduga.

Aku melotot padanya.

Ia tersenyum lagi.

Aku berjalan pelan dan sedikit limbung, Zidni hanya bisa menatapku.

Ternyata jarak sungai tidak terlalu jauh, tapi aku tidak bisa mendengar gemericik airnya dari tempatku tadi. Mungkinkah aku jadi tuli?

Tapi, suara Zidni selalu jelas di telingaku, menandakan telingaku masih berfungsi.

“Mandilah dulu. Jangan lupa cuci kerudungmu,” pesan Zidni sebelum berbalik.

“Kamu bawa korek api?” tanyaku sebelum dia jauh. Zidni bilang dia akan memanggang bambu muda tadi. Zidni menoleh, mengerutkan keningnya.

“Ya. Hanya belati dan korek api yang kubawa. Kamu tidak takut kutinggal sendirian, kan?” tanyanya. Aku menggeleng dan mengangguk membuat Zidni tertawa kecil.

Lalu, ia pun berjalan pergi.

Aku mencelupkan kakiku ke dalam air sungai yang sedikit kurang jernih.

Apakah di sungai ini tidak ada udang atau ikan yang bisa ditangkap?

Memikirkan hal itu membuat perutku semakin perih karena siksaan lapar.

Rambut panjangku yang kugulung, kuurai dan kupisahkan dengan jemariku.

Aku membilasnya dengan air sampai aku merasakan leherku basah. Aku ingin sekali mandi dan berendam seperti Zidni, tapi aku ngeri harus melepas semua pakaianku.

Lenganku terasa sakit dan aku menggulung lengan bajuku. Ah, rasanya perih sekali lenganku ini. Aku 

membasahinya dengan air.

Aku membasuh wajah dan menggosok tangan serta kakiku. Memar-memar di sekujur tubuhku terasa sangat perih dan dingin kala terbasuh air. Aku tidak menyangka bahwa tubuhku akan menderita lebam-lebam seperti ini.

Aku segera menyudahi mandi kilatku 

karena aku merasa sangat lapar.

Aku disambut dengan aroma sesuatu yang dibakar dengan api. Rasanya aku masih tidak bisa melihat api yang menyala-nyala tapi aku paksakan untuk bersikap baik-baik saja. 

Zidni hanya melihatku sekilas saat aku menjemur kerudungku di salah satu ranting pohon kecil yang menjuntai.

“Rambutmu basah,” komentarnya.

Aku melirik padanya tanpa mengatakan apa-apa. 

“Aku belum pernah melihat perempuan dengan rambut basah sebelumnya,” gumamnya, namun kata-kata itu jelas sekali di telingaku.

Aku terus diam saja karena tidak memahami maksudnya.

Lalu, Zidni mengundangku untuk duduk disebelahnya.

“Makanlah,” ujarnya. “Rasanya lumayan.” Zidni bergumam.

Aku mengambil satu bonggol pucuk bambu muda yang menghitam karena dibakar. 

Aku menggigitnya pelan-pelan. Rasa pahit sedikit menggelitik kemudian muncul rasa manis yang samar. Benar, rasanya lumayan.

Aku lalu mengunyahnya dengan semangat.

Zidni pun memberiku satu bonggol lagi.

“Nanti akan kucari lagi untuk bekal kita besok. Aku juga berharap menemukan pisang atau nanas atau apalah,” ujar Zidni.

Ia memandangiku yang mengunyah bambu muda.

Aku pura-pura tidak peduli dan hal itu kuanggap tidak begitu menggangguku.

Lalu, kudapati Zidni tersenyum samar.

Aku balas memandanginya, Zidni menaikkan alisnya, sebagai ganti kata 

tanya.

Aku hanya menggelengkan kepala untuk menjawabnya.

Hari beranjak sore dan aku bertekad menemani Zidni dalam mencari perbekalan kami.

Aku tidak mau sendirian.

Sebenarnya tidak perlu ada yang dipersiapkan dalam perjalanan kami, kami hanya perlu terus berjalan. Itu karena kami memang tidak membawa apa-apa.

Zidni terpaksa mengorbankan 

bajunya untuk membawa pucuk bambu dan buah pisang setengah matang yang kami temukan 

sore kemarin.

Lalu, bungkusan kecil itu, ia panggul di bahunya. Botol air bambu buatannya, diikat dipinggang. Jadilah, Zidni bertelanjang dada dan memintaku untuk berjalan di 

depannya.

****

Dalam hidup ini, aku pernah sekali merasa begitu cantik. Rambutku ikal panjang dan mayang, dijalin oleh tangan ibuku menjadi kepangan yang begitu liat dengan pita biru muda. 

Aku memakai gaun berenda-renda selutut dan memakai sepatu baru mengkilap. Itu adalah saat usiaku delapan tahun, saat masa anak-anak dan sekolah terasa begitu menyenangkan. 

Aku berlari-lari kecil menuju sekolah dengan gaunku dan memamerkannya pada semua orang.

Aku ingat serius dan tekun mengikuti pelajaran Sejarah dan kata perang bukan sesuatu yang asing karena pada masa itu negaraku sudah mulai berperang.

Pada masa itu aku berharap kehidupan menjadi baik dan tenang, tidak suram dan tidak ada suara gemuruh dari kejauhan, tidak terdengar suara dentuman bom dan tidak dibayang-bayangi soal penjarahan di toko-toko yang selalu terjadi saat perang pecah.

Mungkin ibuku pergi bukan karena sakit tapi karena depresi memikirkan kapan usainya perang.

Aku pikir depresi bukanlah penyakit.

Hari-hari yang kulalui tanpa kasih sayang seorang ibu membuatku tidak begitu memiliki hati yang lembut dan aku begitu keras kepala.

Aku tidak banyak memiliki teman karena menurutku semakin banyak memiliki teman, maka mereka akan 

semakin menyusahkan.

Lihatlah, ibu, aku masih hidup walau penderitaan selalu bersamaku. Aku masih bernapas walau aku sungguh tidak apa-apa kalau aku cukup mati saja.

Mengapa manusia yang ingin mati dipaksa untuk tetap hidup sementara orang yang tidak ingin mati justru mati lebih dulu?

Apa itu takdir? Sesuatu yang tidak dapat diubah ketetapannya, sesuatu yang amat mutlak, kata Zidni.

Tapi, jika takdirku mati kenapa Zidni malah menyelamatkanku? Takdir 

menuntut kita untuk tidak menyerah pada nasib.

Apa pula itu nasib? Adalah sesuatu yang kau upayakan, berdasarkan apa yang kau usahakan dan kau perjuangkan, ada variabel tertentu 

yang mungkin terkait dengan nasibmu sehingga menentukan hasil takdirmu, dan takdir ada di ujung usaha manusia.

Ah, sungguh memusingkan. Aku benar-benar tidak mengerti.

Aku menoleh ke belakang dan bertatapan dengan Zidni.

Aku merasakan kelelahannya dan dia hanya balik menatapku sambil terus berjalan. Lalu, aku kembali berjalan dengan tambahan rasa kikuk.

Tatapannya semakin sulit kuartikan karena ia hanya menatapku balik 

tanpa berkata apa-apa.

Kenapa kamu menyelamatkanku?

Kenapa kamu tidak membiarkan aku mati?

Kenapa kamu harus menyusahkan diri sendiri demi aku?

Mungkin aku ingin menanyakan hal itu tapi mungkin aku juga tidak akan pernah menanyakannya.

Aku lebih memilih tidak mengetahui 

jawabannya daripada aku harus menanggung perasaan harus berterimakasih karena sejujurnya aku sudah lama ingin mati. Tapi, Zidni memaksaku untuk terus hidup.

****

Rasanya sudah jauh sekali kami berjalan tapi mungkin perjalanan ini sama sekali belum ada 

seperempatnya.

Tubuhku mulai sangat panas karena kalori yang terbakar dan bajuku basah karena keringat yang membanjir.

Lenganku masih sakit. Aku melihat kulitku yang selama ini sedikit bersisik kini mengkilap dan berkilau. Anehnya aku merasa bahagia melihatnya.

Kerudung biruku kulipat dan kubebat di lenganku untuk mengurangi rasa sakit dan perih. Bawah celana panjangku mulai kotor karena debu.

“Berhenti dulu, Ra. Aku mau sembahyang.” Zidni menaruh dan membongkar perbekalannya. Ia harus memakai bajunya untuk sembahyang.

Ini ketiga kalinya kami berhenti. Aku langsung menelentangkan tubuhku yang lelah di atas tanah.

“Pakai ini,” aku melepas bebatan kerudung di lenganku dan menyerahkannya pada 

Zidni. Zidni tertegun.

“Untuk alas sembahyangmu,” ujarku lagi. Zidni menerimanya tanpa berkomentar.

Lelah sekali rasanya dan aku merasa mengantuk karena angin semilir yang menerpa wajahku.

Aku melihat sekilas Zidni sembahyang dan ingin memejamkan mata sejenak.

Beberapa saat kemudian, aku mengerjapkan mataku dan aku mulai menyadari keberadaanku.

Aku terkejut karena sekelilingku begitu gelap. Aku beranjak bangun dan melihat punggung Zidni di depanku. Ia sedang memanggang sesuatu lagi.

“Sudah bangun?” tanya Zidni. Aku merasa malu karena menghambat perjalanan ini.

“Kenapa tidak membangunkan aku?” tanyaku sambil duduk disampingnya.

“Kamu terlalu lelah. Tidak apa-apa perjalanan kita menjadi tiga hari, kan?” tanyanya sambil mengulum senyum.

Aku menurunkan bahuku lemas. Bahkan kami sendiri tidak tahu 

jarak yang kami tempuh. Zidni hanya mengira-ngiranya saja, bukan?

“Pisang bakar tanpa mentega,” Zidni mengulurkan satu tusuk pisang bakar.

Aku menerimanya dengan malu.

“Tidurmu tidak lelap. Kamu terus berteriak-teriak selama tidur,” info Zidni sambil memakan pisang bakar panas. Asap mengepul dari dalam mulutnya.

Aku membuka kulit pisang yang gosong di sana-sini sambil berpikir.

“Aku meneriakkan apa?” tanyaku.

“Banyak hal,” Zidni tersenyum dalam keremangan malam. Aku menjadi takut untuk bertanya lebih lanjut.

Benarkah aku segila itu sehingga harus berteriak saat tidur?

Aku memakan pisang bakar yang sangat lezat ini dengan tenang. Zidni mengulurkan botol minumnya.

“Tidak ingin memberitahuku?” tanyaku lagi. Aku meminum dua teguk air dari dalam botol bambu.

Zidni menggumam.

“Kau banyak memanggil ayahmu, ibumu, nama kedua adikmu. Aku rasa kau benar-benar merindukan mereka,” terdengar desahan Zidni.

Aku terus mengunyah pisang bakarku.

“Kau yang sekarang lebih lembut,” gumamku aneh.

“Apa?” Zidni menoleh padaku.

“Pisang ini rasanya lembut,” ujarku lagi. Zidni hanya tersenyum lagi.

Senyum yang aneh bagiku. Aku tidak dapat mengartikannya makanya aku anggap senyumnya aneh.

Dulu, aku jarang melihat Zidni tersenyum. Atau aku saja yang tidak pernah memerhatikannya? Lagi 

pula untuk apa aku memerhatikannya?

Sekarang, aku yang merasa aneh dengan diriku.

Aku memikirkan sudah berapa lama pelarian yang kami lakukan? Sudah berapa lama sebenarnya waktu yang kulalui di Malayaka? Berapa usiaku sekarang?

Benarkah dunia yang kuhadapi di Malayaka telah berakhir sekarang? Lantas, apa yang kini mesti kuhadapi? 

Seharusnya aku sudah gila sekarang.

Tapi, aku masih bisa makan pisang bakar bersama Zidni saat ini. Itu artinya aku masih manusia waras yang perlu makan untuk melanjutkan hidup, perlu minum untuk tetap hidup.

Aku merasa tenang dan lega, seakan semua sudah berakhir.

****

Aku pernah membaca buku mengenai macam-macam batas sebuah negara yang berseberangan dengan negara lainnya.

Tidak jarang kedua negara saling bertikai dan berselisih mengenai batas wilayah negara mereka. Oleh karena itu, batas negara harus dibuat sejelas mungkin. 

Walau begitu, aku tetap tersenyum saat mengetahui ada batas negara yang hanya berupa tanda plus di lantai sebuah kedai terbuka.

Sehingga jika kau sedang duduk di kedai tersebut dan salah satu kakimu tidak sengaja ‘menyeberang’ ke lantai di sebelah tanda plus, maka kakimu sudah berada di negara tetangga.

Ada yang berbicara dengan kerabatnya di balik pagar pembatas sehingga kau bisa mengirit biaya sambungan telepon internasional.

Bahkan ada pula yang menggunakan pagar pembatas sebagai net bola voli sehingga kau bisa menyelenggarakan kompetisi voli tingkat internasional.

Atau ada dua negara dengan batas negara terletak di badan jalan atau sebatas garis tulisan di jembatan yang sama.

Sudiya dan Malayaka memiliki batas negara yang sangat biasa.

Dipisahkan oleh pagar kawat berduri, dari pelintiran dua kawat panjang yang dalam jarak tertentu, diselingi puntiran potongan kawat tajam agar sulit dilompati atau dilalui.

Setidaknya bajumu atau tubuhmu 

akan tersangkut kawat tajam jika kau terlalu ceroboh melewatinya.

Aku tidak tahu apakah kami akan bisa melewati pagar pembatas itu, tapi Zidni terus berupaya menumbuhkan semangat hidup untukku dan aku hanya berusaha menghargainya.

Bahkan Zidni yang kuat pun sudah mulai berjalan dengan terseok-seok, apalagi aku yang sangat lemah ini.

Aku sudah mulai terserang halusinasi berlebihan karena teramat lelah. 

Aku seperti berjalan sambil tertidur. Berjalan seperti orang mabuk dengan badan limbung ke sana-kemari.

Lenganku terasa semakin sakit. Aku mendengar suara air terjun dan kemudian aku berlari cepat lalu aku tersandung.

Zidni membiarkan aku terjatuh dengan mulut mencium tanah. Aku menangis setelahnya. Zidni hanya duduk kelelahan disisiku menunggu tangisku reda.

Air kami sudah habis semalam dan kami sudah melewatkan dua malam dalam perjalanan kami.

Apakah kami benar-benar tahu apa yang kami tuju sebenarnya? Kami 

benar-benar kehausan, kelaparan dan tubuh kami begitu letih sehingga otak kami tidak mampu lagi untuk diajak berpikir.

Sampai kapan perjalanan ini akan kami tempuh?

Zidni tertawa hampir menangis.

Wajahnya menengadah ke langit. Aku mengikutinya memandang langit. Air-air kecil jatuh entah dari atas pohon ataukah dari langit.

“Hujan?” tanyaku begitu kering. Zidni mengangguk.

“Aku berdoa sepanjang perjalanan ini agar perjalanan ini diberkahi, agar kita tidak perlu merasa kehausan, agar Tuhan berbaik hati menyuruh malaikat–Nya untuk menurunkan 

hujan-Nya…” Zidni jatuh terduduk lesu.

Aku masih menatap langit yang mulai menjatuhkan air-air dalam ukuran yang lebih besar dari sebelumnya.

Aku rasa kali ini Tuhan benar-benar ada. Air hujan ini terasa begitu berharga.

Wajah kami terangkat dan mulut kami menganga, bukan, bukan karena kami angkuh, tapi kami sedang mengemis demi hilangnya dahaga.

Sesuatu yang sejuk membasahi tenggorokanku. 

Aku lagi-lagi mengingat siluet tubuh Zidni saat hujan pertama turun di Rumah Jurnalis.

Aku merasakan pelupuk mataku basah, entah itu karena air hujan atau air mata. Aku merasa begitu 

sedih dan patah hati.

“Betapa baiknya alam raya…,” gumamku hampir tersedak. Zidni di sebelahku memejamkan matanya.

Deras hujan mulai membasahi tubuh kami. Kami serasa sedang dimandikan oleh ibu pertiwi, dibersihkan dari debu-debu dunia.

“Setiap menatap ke luar jendela dan saat itu turun hujan, aku selalu berpikir bahwa Tuhan pasti sedang sedih…”Ucapan Zidni membuatku tertegun.

Aku mengusap wajahku yang basah.

Aku kembali membayangkan saat di Rumah Jurnalis. Jadi, itukah yang dirasakannya saat hujan turun kala 

itu? Bahwa Tuhan sedang bersedih?

Tapi, untuk apa Tuhan bersedih? Apakah Tuhan bisa bersedih? Lalu, apakah hujan adakah perwujudan dari air mata Tuhan?

Air hujan terus membasahi kami, tanpa kilat dan guntur yang terkadang menakutkan. 

Hanya air dan hanya hujan yang terasa begitu tenang.

Kami berdua merasa segar dan merasa hidup kembali, haus dan lapar kami menjadi semakin tersamarkan.

Setelah hujan mereda, kami melanjutkan perjalanan. Tidak mengapa dengan tubuh dan baju yang basah, kami merasa terlahir kembali, begitu segar dan bersemangat walau 

rasanya tubuhku juga terasa semakin sakit.

****

Aku dan Zidni harus mengunyah dedaunan yang kira-kira bisa kami makan untuk menghalau 

rasa lapar dan haus.

Air hujan yang ditampung di botol bambu buatan Zidni, sudah habis 

sejak beberapa jam yang lalu.

Aku mengunyah daun arbei hutan dengan sangat pelan-pelan tapi tetap saja aku merasa langit-langit mulutku terluka semakin parah dan menjadikannya seperti sedang 

terbakar.

Bibirku sendiri sudah terlalu kering, pecah-pecah dan terluka. Kenapa pada saat seperti ini arbeinya tidak berbuah banyak?

Kenapa ulat sutra suka sekali makan daun arbei? 

Rasanya bahkan tidak enak.

Wajah dan kulitku sudah pasti menghitam karena gosong terpanggang matahari.

Aku sungguh tidak sanggup lagi berjalan, aku lebih baik mati saja sekarang.

Lututku selalu gemetar setiap aku melangkah, pinggangku sakit, lenganku sangat perih, mataku mengantuk, bibirku perih, tenggorokanku sakit, kepalaku berdenging dan berdenyut karena panas.

Aku seperti ketel yang sedang mendidih dan lama tidak diangkat lalu mulai mengering.

Aku rasa sebentar lagi aku akan meledak. 

Setelah begitu putus asa dan aku semakin jauh tertinggal di belakang Zidni, aku terduduk lemas di atas tanah.

Aku berbaring dan tidak ingin bangun lagi selamanya.

Lalu, kudengar Zidni meneriakkan namaku jauh di depan sana.

“Ara Zaid Sayanaaa!!!”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status