Share

3 Faraz, Dalam Kenangan

Orang tuanya, ayah dan ibunya, serta dirinya yang masih remaja adalah keluarga pindahan dari negara Sudiya. Kakek dan nenek mereka tinggal lama di negara ini sebelum perang suku 

pecah.

Semua bermula saat ayah ibunya yang berprofesi sebagai dokter membantu korban-korban perang suku yang terluka. Lebih banyak dari suku minoritas yang terluka sehingga 

mereka memutuskan untuk merawat lebih intensif korban-korban dari luka perang suku minoritas.

Mereka berpikir, tentara yang terluka sudah akan diurus dokter dan perawat negara, sedang suku buangan hanya akan ditunggu kebinasaannya, mereka tidak punya dokter karena semua turun berperang. Sedangkan berdasarkan sumpah setia mereka, seorang dokter wajib membantu siapa saja yang terluka tanpa memandang suku atau dari mana mereka berasal.

Lalu, mereka tinggal di kediaman kepala suku Mue. Oleh karena itu, dokter-dokter mulia ini dianggap membantu suku Mue. Suku Mue termasuk suku minoritas yang sekarang sudah tidak ada lagi di muka bumi. Mereka habis dibunuh dan kampung-kampung mereka 

dibakar atas nama perang dan atas nama negara.

Sepasang dokter ini sebenarnya bukan ingin menjadi penentang kebijakan negara karena mereka sendiri adalah pendatang di negara ini. Mereka sadar betul akan hal itu. Akhirnya turun sebuah kekejaman baru dari negara, bahwa pihak asing mana pun yang membantu suku-suku minoritas, akan ikut binasa.

Mereka mendengar itu dengan sedih dan berpelukan dengan para penduduk suku Mue yang 

menangisi hidup mereka. Seorang remaja, anak mereka, segera dikirim ke keluarga suku mayoritas kenalan 

mereka agar anak mereka selamat dari marabahaya.

Sementara mereka terus bertahan dan beralih ke satu tempat ke tempat lain untuk merawat siapa saja. Identitas dan pelarian mereka yang terus membantu para korban dari suku minoritas, tidak menyenangkan negara, sehingga di suatu pagi, negara memperdengarkan dua letusan yang mengheningkan segala kegiatan.

Dua dokter mulia itu mati bersimbah darah sambil saling berangkulan.

Dua orang dokter itu adalah ayah dan ibu Faraz.

Ayah Zidni pernah dirawat ayah Faraz sehingga ia mau membantu mengangkat Faraz sebagai anak dan diberi tanda tinta permanen yang entah kenapa tidak mempan dan tidak bisa melekat di telapak tangan Faraz.

“Maka, Faraz adalah memang saudaraku. Aku mengagumi keberanian orang tuanya, 

diam-diam menentang perang memuakkan ini. Aku menyayangi Faraz karena aku tahu begitu 

berat hidup yang harus ia jalani. Aku tidak mau kita juga mati sia-sia karena perang aneh ini, Ara. Biarlah kita tetap menjadi pecundang seperti ini, menjadi jurnalis yang independen, 

yang ternyata masih dibutuhkan negara untuk menjadi jembatan untuk menyampaikan berita.

Supaya kita bisa menceritakan pada dunia apa yang sebenarnya terjadi. Kekuasaan dan keserakahan.”

Pintu menutup di depanku. Sesaat saja aku melihat Zidni mengusap matanya. 

Pandanganku sudah mengabur sejak tadi. Sungguh air mataku tidak bisa berhenti walau kerudung biru pemberian Zidni telah basah karena air mata ini.

Setelah tiga tahun berlalu, Zidni baru sanggup menceritakan semuanya padaku. Mungkin Zidni bukan orang yang paling menderita, tapi perang membuat semut pun sangat menderita.

“Pasti berat sekali untukmu, apakah kamu baik-baik saja?”

Kata-kata itu membuat jatuhnya air mataku semakin deras. Aku menatap langit-langit Rumah Jurnalis. Sinar mentari menerobos melalui celah-celah genteng. Mempertanyakan 

kenapa semua ini terjadi? Kenapa semua ini dibiarkan terjadi? Zidni tidak ingin aku terang-terangan menyatakan pembangkangan dengan tidak berkerudung saat pergi meliput.

Hanya itu yang Zidni inginkan. Kenapa aku sulit sekali memenuhi saran seseorang yang peduli pada nyawaku? 

Tapi, kerudung adalah simbol dari agama yang diakui di negara ini. Sedangkan aku sudah sangat membenci agama ini dan bahkan aku benci karena Tuhan tidak ada.

Aku harus berlindung dibalik kemunafikan, hal-hal yang aku benci dan tidak ingin kulakukan. Zidni 

masih bersembahyang sedangkan aku sudah tidak tahu lagi apa guna sujud-sujud itu? Apa gunanya ketika Tuhan tetap diam saja membiarkan orang-orang yang sujud juga dibantai 

karena sukunya tidak sama? Aku muak sekali.

****

Berita yang kami ketik di Rumah Jurnalis sebenarnya haruslah tipe-tipe berita yang disukai pemerintah walau kami jelas-jelas menamakan diri kami jurnalis independen.

Ada beberapa jurnalis yang benar-benar bekerja untuk pemerintah dan menyebarkan propaganda serta provokasi bahwa suku ini telah habis dan suku itu sedang dibantai, bahwa kedamaian sejati akan didapat jika para perusuh di bumi Malayaka ini dihanguskan. 

Tapi, kami yang berlindung dibalik naungan payung independen nyatanya juga disokong oleh pemerintah. Semua itu hanya agar kami menyuarakan yang baik-baik soal negara dan pemerintah.

Aku sedang diceramahi Zidni kala aku menempelkan berita tambahan di dinding pusat berita. Di sana aku menyampaikan jika krisis demi krisis akan berbuntut krisis yang lain.

Rakyat semakin sulit mendapatkan makanan bahkan anak-anak mulai kelaparan dan gudang senjata negara mengalami krisisnya sendiri, kehabisan amunisi.

“Kamu pikir kamu sudah hebat dengan berita sampah seperti itu?!” tanya Zidni dengan nada keras.

Berita sampah katanya? Aku melihat sendiri dan mengalami sendiri krisis yang kualami, aku mendengar sendiri hal-hal yang kusampaikan. Dianggapnya hal itu sebagai berita sampah? Ia sungguh keterlaluan kali ini.

“Menyampaikan berita haruslah berdasarkan penilaian objektif bukan penilaian pribadi.” Zidni mengingatkanku.

“Kamu kembali saja menempelkan berita-berita di dinding, tidak perlu melakukan liputan.”

Aku yang mulanya ingin berkata-kata pedas hanya mampu terdiam. Aku meraih kunci dinding berita di atas meja kemudian aku membuka pintu Rumah Jurnalis dan membantingnya.

Aku berlari menuju pusat kota menuju dinding berita. Lokasinya cukup jauh 

dari Rumah Jurnalis, tapi aku merasa berlari secepat angin karena rasa marah.

Sesampainya di dinding berita yang tertutup kaca itu, aku membuka kacanya dengan kunci yang kubawa. Aku mencopot berita yang kutempelkan kemarin dan menyobeknya menjadi serpihan sambil menangis.

Ya, sekarang hal ini benar-benar sudah menjadi sampah! Aku benci perang ini, aku benci negara ini, aku benci dan benci pada semuanya!

****

Aku banyak membaca buku setelah aku menolak beberapa kali melakukan liputan perang, walau sekarang Zidni semakin lunak dan terus mengajakku.

Aku tidak peduli pada keadaan di 

luar selama aku masih menerima jatah makanan untuk aku dan ayahku.

“Mungkin beberapa perang lagi, setelah itu kita akan mulai meliput kesibukan pabrik roti atau kegiatan tidak penting orang-orang pasca perang.” Zidni melirikku yang tekun 

membaca halaman demi halaman buku yang kuletakkan di atas meja bundar.

“Nanti, aku pergi meliput lagi setelah taman hijau dengan air mancur jernih sudah menggantikan tempat ini,” ujarku.

“Kamu ingin berkunjung ke makam Faraz?” tanya Zidni. Ia seperti biasa mengambil jaketnya yang tergantung di belakang pintu. Aku bahkan mulai hapal tingkah lakunya bahwa 

ia akan memegangi gantungan bajunya sementara ia mengambil jaketnya.

Aku mendongakkan kepalaku.

“Ada di tempat yang kita datangi berdua terakhir kali. Jika kamu berjalan terus ke sebelah kiri, di sana ada gundukan tanah yang dinaungi pohon kayuputih. Di sanalah dia sekarang berada.”

Zidni menutup pintu. Meninggalkanku sendirian membaca buku tentang suku-suku di negara ini. Rasanya begitu indah membaca kebiasaan dan cara hidup suku-suku ini, tulisan yang dulu kuanggap angin lalu. Aku meneruskan bacaanku.

Aku sampai pada penjelasan suku Mue yang nenek moyang mereka semuanya adalah para petani dan perambah hutan. Mereka mengubah tanah kering gersang menjadi subur, mengubah batu-batu karang pegunungan dipecah dan ditumpuk dengan tanah agar bisa ditanami buah dan sayuran. 

Mue juga yang mulai membudidayakan kopi khas pegunungan. Kopi beraroma kuat 

yang aku sukai, asam dan pahit menyatu dalam pekatnya ampas. Kopi ini tumbuh berupa semak-semak berdaun hijau lumut yang menghasilkan biji-biji kecil berwarna hijau lalu berubah menjadi merah ketika siap untuk dipetik. Kopi khas Malayaka, ditanam oleh suku yang binasa.

Aku menghela napas sejenak.

Mereka benar-benar suku yang hebat. Aku sangat berterimakasih atas kopi mereka. 

Suku yang hampir sama dengan kesuksesan suku Mue dalam bercocok tanam adalah suku Malamba. 

Suku Malamba berhasil membuat mesin penanam gandum yang efisien dan juga mesin pemanen gandum yang bisa dikendalikan secara otomatis. Seharusnya mereka bisa 

bersatu dan membuat kenyang rakyat negara.

Suku Mue sekarang sudah tidak ada lagi, mereka semua sudah binasa.

Aku merasakan kepedihan yang sama lagi. Aku teringat bahwa makam Faraz terletak di tanah terbuka yang disebutkan Zidni. Aku mengeluarkan kerudung biru pemberian Zidni, memakainya, menutup buku dan berjalan keluar di sore hari yang cerah dan panas.

Aku berdiri terpekur di hadapan makam Faraz. Setelah tiga tahun aku baru bisa mengunjunginya. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirku, semuanya terasa bisu. Apakah 

jawaban dari segala macam perang antar suku ini? Tidak lain adalah bahwa aku kehilangan 

Faraz.

Yang ironisnya ia bukan merupakan salah satu dari sekian banyak suku di negara ini. 

Ia adalah orang asing yang membawa pesan damai. Tapi, alasan membawa pesan damai tidak akan diterima di negara yang sudah porak poranda.

Aku meletakkan mawar putih di atas kuburan Faraz. Mawar putih yang kupetik dari taman yang kulalui sebelum tiba di tempat ini. Aku membaca guratan tulisan di papan 

marmer abu-abu yang mulai kusam karena panas dan hujan. Akumenyentuh kerudung biru 

pemberian Zidni. Aku berpaling dan mataku terbentur pada serumpun tanaman yang tidak kutahu namanya, bunga-bunga kecil di pucuknya bergerak kecil tertiup angin.

Lalu aku pun melangkah pergi dari persemayaman terakhir lelaki yang sangat aku cintai.

Di sini terbaring saudara terkasih kami, Faraz dari Sudiya.

****

Seumur hidupku, aku belum pernah pergi jauh dari negara ini, bahkan dari kota yang kutinggali. Karena perang, gerak anak bangsa ini menjadi terbatas. Aku ingin mengenal dunia 

selain dunia yang kutinggali ini.

Tempat di mana aku bisa mengenal cinta dari berbagai macam sudut pandang orang lain. Tempat aku bisa mengenal dan berbicara pada orang lain.

Sudiya. Seperti apakah negara tetangga tempat Faraz berasal? Apakah negara itu ramah seperti Faraz? Berbau harum seperti pohon kayuputih yang menaungi makam Faraz?Dunia begitu luas tergambar pada peta-peta yang kuamati.

Sering aku melamun membayangkan betapa indahnya negeri impianku. Hutan-hutan hijau yang hidup dan berbau harum daun dan kayu, sungai beraliran air jernih dan kau bahkan bisa melihat kehidupan di bawah sungai. Melihat hewan-hewan kecil berkeliaran, di bawah naungan awan dan langit biru berawan putih yang bergumpal-gumpal.

Melamunkan hal itu, aku merasa langit menjadi gelap. Lalu, suara menggelegar yang lama tak kudengar, mulai terdengar. Suara guntur yang 

pecah di langit. Hatiku terasa pedih dan ringan sekaligus.

Hujan pertama mulai turun. Setelah sekian lama cuaca selalu panas dan cerah, hujan turun sore ini. Butiran air bercampur debu meluncur turun dari jendela kaca. Tanpa sadar, 

lama sekali aku memandangi siluet Zidni melalui jendela kecil di Rumah Jurnalis.

Aku melihatnya sedang berada di luar rumah dan menengadahkan tangan merasai air hujan. 

Rasanya aku ingin ikut bergabung dengannya. Merasakan titik-titik air hujan menyentuh tanganku. Apakah rasanya masih sesejuk dulu? Hujan air di negeriku berubah menjadi hujan 

darah, telah sekian lama.

Aku mengalihkan pandanganku ke meja bundar, ada plastik berisi entah apa yang tergeletak di atasnya. Aku penasaran dengan isinya. Juna melirikku yang memeriksa isi 

kantong plastik itu. Kacang tanah goreng? Aku mengerutkan keningku.

“Buat kamu, bawalah pulang,” ujar Juna.

“Dari?” tanyaku. Kacang almond panggang sudah sejak lama tak pernah kumakan. 

Kacang tanah sebagai penggantinya pun semakin langka karena para petani penghasil kacang terbaik dari Mue dan Malamba sudah binasa.

“Zidni. Kita masing-masing dapat satu plastik,” info Juna lagi. Aku hanya 

mengangguk-angguk lalu tiba-tiba teringat siluet tubuhnya baru saja.

Aku menghela napas. Tidak pernah heran Zidni bisa sering mendapatkan hal seperti ini. Ia banyak memiliki 

kenalan dan kurasa kacang ini didapatkan juga dari kenalannya.

Lumayan, kacang ini bisa ditumbuk dan ditambah madu untuk dijadikan selai makan roti. Aku tersenyum membayangkan betapa senangnya ayahku nanti.

****

“Kitab suci yang pernah kuyakini, ada salah satunya yang membahas strategi dan taktik dalam berperang dalam ayat yang demikian panjang-panjang dan mendetail. Itu berarti perang sudah berlangsung sejak sangat lama, berabad-abad yang lalu. Itu artinya agamaku mengijinkan pemeluknya untuk berperang. Apalagi perang dalam hal membela agama. 

Agamaku mengijinkan manusia untuk saling membunuh dan bertahan hidup, terutama bertahan sekuat tenaga demi membela agama. Apakah lantas karena itu, kita yang beragama 

demikian harus selalu benar dan harus selalu memenangkan pertempuran? Benarkah perang 

ini dalam usaha membela keutuhan negara dan agama? Benarkah kehancuran suku-suku bisa 

memperbaiki tatanan negara? 

Kenapa agama perlu dibela? Jika Tuhan Maha Segalanya, maka Dia yang akan turun tangan sendiri. Ah, lupa. Manusia yang menciptakan agama sementara Tuhan menciptakan 

keyakinan. Pantas saja manusia bertindak di luar batas, karena manusia sendirilah yang menciptakan agama, manusia adalah Tuhan bagi agamanya sendiri.

Manusia yang sekarang bukan lagi menuhankan Tuhan akan tetapi menuhankan agama yang adalah ciptaan manusia itu sendiri. Sungguh sulit dimengerti. Sama-sama manusia namun sering menyebut diri mereka sendiri berbeda dari yang lain hanya karena persoalan suku, ras dan agama.

Lihatlah anak itu, yang menangis saat remah-remah roti yang ingin dimakannya malah kuinjak dengan telapak sepatuku. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa melihat 

kesuraman di wajahnya. Kesuraman yang tergambar di wajahnya sama dengan kesuraman di negeri ini.

Perlahan mataku sesak karena gumpalan emosi dan dadaku ikut sesak karena gumpalan kemarahan saat kulihat kucing yang kurus kering terkapar di sudut jalan, kelaparan 

menunggu mati. Aku juga tidak punya makanan, haruskah dia kuberi kertas yang kubawa? 

Bagaimana caranya memaksa kucing makan kertas?

Perang atas nama negara dan agama ini hanya menyisakan kesedihan dan kelaparan. 

Sudahilah saling membunuh sesama, bukan karena jutaan siksa yang akan kau dapat-jika kau masih percaya kehidupan setelah di dunia. Tapi, karena perang ini tidak berguna.

Perang ini tidak ada gunanya selain mengurangi jumlah populasi manusia.

Nyalakan sisi manusiamu, padamkan sisi buasmu, menunduklah dan hormatlah pada bumi, jangan menandak dan menantang langit, siapa tahu langit akan roboh menimpamu.

Jangan jadi manusia jahat. 

Jangan jadi manusia tamak.”

Selembar kertas terhampar di atas meja di hadapanku. Ini adalah tulisanku yang kuketik menjelang dini hari karena keresahanku. Saat aku membacanya lagi, aku yakin tulisan itu tidak akan pernah ditempel di dinding berita karena tulisan harus selalu melalui persetujuan 

Zidni. Dan jenis tulisanku, selalu termasuk dalam tulisan yang terlarang untuk diterbitkan. 

Tulisan itu hanya akan berakhir di sini saja, di mejaku sendiri. Aku memandangi kertas di 

hadapanku dan mendesah amat panjang.

****

Pemicu. Menurut cerita ayah kala aku masih remaja dulu, perang dipicu karena tidak adilnya perlakuan negara terhadap suku minoritas.

Seperti misalnya, jika kamu berasal dari suku Sendang, Kireng, Zandai yang letaknya sangat jauh dari pusat kota, akses mereka untuk menempuh pendidikan dan pelayanan kesehatan amat sangat terbatas.

Atau jika letak geografisnya subur dan landai dengan ngarai yang indah seperti yang dimiliki mayoritas tempat tinggal Lau, Halasi, Mue maka negara akan menetapkan pajak yang tinggi untuk apa pun barang yang mereka miliki dari mulai pajak rumah, barang 

berharga dan perhiasan hingga centong nasi. 

Belum lagi, jika suku-suku dari Mahenai, Matena, Juntai, Jagara yang sama cerdasnya dengan suku-suku mayoritas dalam usaha mereka di bidang apa pun, ini menjadi ancaman 

bagi pemerintah karena mereka suku minoritas. 

Perang terjadi karena dipicu oleh negara sendiri. Mereka tidak suka diprotes dan diberi saran oleh rakyatnya. Rakyat minoritas ini menjadi semakin gerah karena protes 

mereka dianggap angin lalu dan mulailah salah satu suku melakukan tindakan makar pertama, membakar kantor perwakilan negara di wilayah Juntai.

Berita aksi itu cepat menyebar ke kota-kota dan desa-desa suku lainnya. 

uku Maurice mengecam tindakan makar tersebut dan menyarankan negara untuk mengambil tindakan represif terhadap para provokator.

Kemudian suku Juntai, kali ini 

dibantu suku Jagara balik mengutuk Maurice sebagai suku yang sombong karena mereka merasa paling berhak menghakimi suku lainnya.

Juntai dan Jagara menuntut pemerintah berlaku adil sebelum rakyat yang ditindas akan melakukan pergerakan secara lebih masif. 

Tidak suka diancam, negara memberikan pengumuman mengejutkan, bahwa siapa 

pun suku yang melakukan tindakan brutal dan protes terhadap negara akan dibungkam dengan cara pemerintah.

Semakin ruwetlah situasi dan kondisi. Mulai banyak rapat terselubung antar pimpinan suku satu dengan lainnya. 

Suku-suku minoritas mulai bergabung karena pengumuman negara yang 

mengguncang mereka. Sebagian dari suku menyarankan agar Juntai dan Jagara berhenti melakukan upaya pemberontakan.

Orang-orang di suku Juntai dan Jagara, sebagian menyetujui tindakan makar, sebagian lagi ingin mundur saja daripada mereka habis dibantai, 

sebagian lagi tidak bisa memutuskan apa-apa.

Suku-suku lain yang awalnya berkeberatan dengan tindakan dari suku Juntai dan Jagara, diam-diam memiliki dendam tersendiri terhadap negara yang memerlakukan mereka 

dengan tidak adil selama ini.

Mereka bahkan mulai mendengar isu bahwa suku-suku minoritas sebaiknya dibumihanguskan dan negara hanya akan memiliki suku-suku terbaik 

saja. Terbakarlah hati mereka karena isu yang entah darimana bermula dan darimana asalnya itu, tapi selanjutnya negara mulai menyambut baik perang saudara yang memang sudah 

terpicu itu.

Karena pemerintahan memang didiami oleh suku-suku mayoritas, maka semakin bulat pula keputusan yang bisa dibuat pada saat itu; bahwa suku minoritas memang perlu binasa.

Bahkan guru-guru dan dokter-dokter sukarelawan yang pasti berasal dari suku mayoritas, yang selama ini ditugaskan negara mendiami tempat suku-suku minoritas oleh negara mulai ditarik satu-persatu. Digantikan dengan pengiriman tentara penjaga perbatasan dengan alasan untuk menjaga keamanan.

Selanjutnya, para tentara itu diperintahkan untuk membunuh siapa saja yang ada di suku minoritas, setelah ada komando dari pusat.

Saat aku kecil, saat ayah mendengar deru pesawat di kejauhan, ayah sering memintaku untuk bersembunyi di dalam lemari kayu Mahagoni buatannya yang kuat dan 

hampir-hampir kedap suara. A

ku bertanya kenapa? Ayah menjawab dengan apa adanya, 

“Negara kita sedang perang, Nak. Perang itu artinya satu sama harus lain saling membunuh untuk bertahan hidup. Perang berarti juga bahwa kapan saja, pesawat tempur bisa 

menjatuhkan bom dan meledakkan rumah-rumah dengan alasan salah sasaran.”

Aku sepenuhnya tidak mengerti akan maksud dari kata-kata ayah. Tapi, aku 

merasakan sendiri bahwa aku merasakan kesuraman sejak aku kecil.

Aku pikir karena rumah-

rumah kami berupa kotak; rumah dari suku-suku mayoritas yang memang paling banyak tersisa karena itulah yang diinginkan negara.

Semua rumah dari suku mayoritas berupa kotak, hanya cat temboknya saja yang berbeda untuk menandai tiap suku. Maurice berwarna biru 

tua, Majama dindingnya berwarna coklat tua, Malamba berwarna hijau tua, Galari merah tua dan Karda kuning tua.

Sayana, sukuku, entah karena tidak beruntung atau bagaimana, mendapatkan warna abu-abu hampir hitam.

Kupikir karena cat tembok rumah ini yang membuat segalanya suram. Atau kepergian ibuku saat aku masih remaja dan aku harus kerepotan mengurus kedua adik lelakiku.

Tapi, ternyata bukan karena itu semua.

Semua kesuraman ini karena perang, karena nafsu untuk membunuh sesama yang begitu kuat. 

Kesuraman ini tidak lain tidak bukan disebabkan hati-hati manusia yang telah lama mati.

Bahkan, hari-hari telah begitu jauh berlalu, aku sudah semakin tua, adik-adikku belum kutemukan dan mereka tidak juga kembali. Perang masih menyisakan hal-hal pilu untuk 

kuingat.

Aku pikir dengan bergabung di dunia jurnalis seperti ini, aku akan semakin tabah dan semakin kuat menghadapi kenyataan perang, tapi aku merasakan nyaliku semakin menciut.

Suatu waktu, saat aku usai meliput dan hendak beranjak pulang, aku tidak sengaja melihat korban yang kepalanya terbelah karena pedang. Darah mengucur dari bilah kepalanya 

dan aku bahkan tidak bisa berkedip menatapnya. Jantungku berdegup kencang, tapi aku berusaha tetap kuat untuk dapat mengenali wajahnya.

Aku terpaku hanya untuk melihat tanda di telapak tangannya. Apakah dia salah satu dari adikku? 

Dia memiliki lambang suku yang sama seperti telapak tanganku. Lututku lemas dan aku berusaha berlari sekencang-kencangnya, aku begitu terpukul melihat mayat itu sekaligus 

bersyukur bahwa itu bukan salah satu dari adik lelakiku.

Kenyataan itu membuatku marah 

pada diriku sendiri. Dia dari sukuku, mati sia-sia karena negara, tapi aku malah bersyukur di atas kematiannya.

Pemuda-pemuda dari suku mayoritas memang dipaksa berperang oleh negara.

Kecuali mereka memiliki alasan cukup kuat seperti memiliki pekerjaan atau cacat. Kedua adikku pengangguran, mereka sebenarnya tentu lebih memilih bekerja ketimbang berperang.

Kedua adikku memilih kabur beberapa hari sebelum paksaan itu datang. Ayahku dipukuli oleh 

aparat negara, karena jika kami ketahuan berbohong dan menyembunyikan kedua adikku, 

hukuman akan menimpa aku dan ayahku. 

Beberapa minggu setelah itu, aparat negara selalu rutin mengunjungi rumah kami dan tidak pernah menemukan keberadaan adik kami sampai aku melaporkan pada mereka bahwa adik-adikku benar-benar menghilang dan aku pun sedang berusaha untuk menemukan 

keberadaan mereka dan mencari tahu keadaan mereka.

Walau aku selalu memilih membicarakan hal lain ketika ayah menyinggung keberadaan kedua adikku, aku sendiri tidak dapat membendung kerinduanku pada dua lelaki yang begitu mengisi hidupku dulu. Dendra dan Dendri selalu menjadi saudara yang penurut 

dan tidak pernah protes jika perut mereka tidak terlalu kenyang dalam sehari. 

Aku ingin menatap wajah dan mata mereka yang teduh dan menyejukkanku di kala 

hidup terasa begitu berat. Kala menatap mereka, aku seperti menatap diriku sendiri.

Aku menemukan paras cantikku di wajah kedua adikku. Paras kebanggaan yang kini telah 

memudar dan semakin memudar seperti harapan pertemuanku dengan mereka.

Aku meredam tangisku dengan mengigit bantal yang kumal dan bau. Hidup tidak terasa seberat ini ketika 

mereka berdua ada di sini.

****

Salah satu kemampuan yang harus dan wajib dimiliki oleh seorang jurnalis adalah keahlian 

dalam memotret. Faraz mengajariku cara menggunakannya dan memberitahuku semua 

teknik-teknik dasar dalam memotret.

Tara juga tidak ketinggalan memamerkan keahliannya 

dalam membidik sebuah objek, Juna yang telaten juga terus mengajariku setelah kepergian Faraz.

Hanya satu orang itu yang tidak pernah mau bersentuhan denganku. Aku juga tidak butuh bantuannya, aku sudah bisa memotret sekarang.

Saat Faraz sudah pergi ke dunia lain, kamera yang biasa digunakannya seakan menjadi milikku. Aku membawanya setiap pergi meliput, terkadang memotret apa yang 

kusenangi sampai membuat Zidni berkali-kali memarahiku dan mengingatkanku agar menghemat negatif film.

Kalau terlalu cepat habis, bisa jadi pemerintah pusat akan memotongnya dari gaji bulanan kami. Terkadang aku merasa Zidni terlalu berlebihan dalam semua hal.

Aku sering memegang lama kamera Faraz, bagaimana ia mengambil objek dengan benda itu, bagaimana ia memerlakukan kamera itu, bagaimana ia melepas roll film dengan 

begitu hati-hati.

Saat-saat ia selesai meliput dan masuk ke kamar gelap untuk mencetak hasil 

foto, adalah saat-saat yang sering kunantikan. Aku sering mengikutinya diam-diam dan masuk diam-diam. Faraz hanya membiarkanku dan tersenyum penuh arti saat aku berdiri di belakangnya.

“Kita harus hati-hati, di sini kita berhadapan dengan cairan kimia, tidak boleh banyak bicara, tidak boleh menghirup udaranya, tidak boleh memegang benda sembarangan tanpa 

sarung tangan. Ini, pakai maskermu.” Faraz mengulurkan penutup hidung dan mulut.

Aku menerimanya sambil mengangguk. Lalu, Faraz akan memulai pekerjaannya, menuang cairan kimia ke dalam wadah, menyiapkan kertas cetak. Aku mengamatinya dari belakang 

punggungnya.

Lama sekali ia akan berdiri saja sebelum akhirnya mengambil kertas dari dalam wadah dengan menggunakan pinset besi lalu menggantung dan menjepitnya di seutas tali yang melintang di hadapannya.

Kemudian aku akan mendekat, berdiri di sampingnya dan melihat hasil fotonya sama-sama. Aku selalu mengagumi bidikannya.

Ini adalah foto yang bisa menggambarkan kedua 

kubu yang sebenarnya tidak ingin berperang namun akhirnya terpaksa berperang karena terdesak oleh keadaan.

Kedua suku tersebut sudah saling maju untuk menyerang, tapi Faraz berhasil menangkap momennya, momen di mana gambar ini bisa bercerita bahwa ada keraguan besar pada kedua suku tersebut. Aku menjadi sedih melihatnya.

Faraz begitu sempurna, mahir dalam banyak hal dan selalu membuatku merasa dialah lelaki terbaik yang ada di dunia.

“Selalu bagus,” pujiku. “Begitu sempurna,” lanjutku dengan nada yang tidak terdengar riang.

“Karena sarung tangan yang kemungkinan mengandung bahan kimia berbahaya, aku 

jadi tidak bisa memeluk bahumu.”

Faraz mengacungkan kedua tangannya ke udara. Aku lantas tersenyum dan tersipu malu. “Aku mengerti apa yang kau rasakan saat melihat foto itu,” imbuhnya.

“Benarkah?” tanyaku.

“Kapan semua ini berakhir? Kenapa hal-hal menyedihkan harus kita abadikan dalam bentuk sebuah gambar? Apakah semuanya akan terasa lebih mudah saat kita menatap foto seperti ini? Bukankah seharusnya kita melakukan sesuatu untuk menghentikan perang ini? 

Tapi, apakah kita sekuat itu? Apakah kita memiliki kemampuan untuk mengubah keadaan?”

Tak terasa, air mataku meleleh mendengarnya. Faraz melepas sarung tangannya dan memeluk bahuku. Aku sangat mengerti, aku bahagia bersama Faraz di sini, di antara perang 

ini yang seakan tidak akan pernah ada habisnya.

Tapi, aku juga merasakan, betapa semu kebahagiaan itu sekarang, kapan saja salah satu dari kami bisa mati.

Betapa sedihnya saat salah satu dari kami harus merasa kehilangan dan merindukan yang tidak pernah bisa 

kembali. Bagaimana kami akan melewati semua itu? Perang saja sudah begitu sulit kami lalui 

apalagi di tambah kehilangan seseorang yang membuatmu kembali bernyawa.

Setelah Faraz akhirnya pergi, aku harus menghadapi kenyataan tentang apa yang kupikirkan pada saat itu.

Aku menjadi semakin takut untuk berpikir, khawatir hal-hal yang 

kupikirkan akan menjelma menjadi kenyataan.

Aku memegang erat kamera di tanganku, aku tidak boleh menangis saat ini, aku sedang bekerja. Aku beringsut dari tempat dudukku dan 

menuju kamar gelap.

Aku harus mencetak hasil foto hari ini. Aku sengaja membeli satu roll film sendiri dengan uangku, aku tidak mau mendengar omelan Zidni atas tindakanku terhadap properti Rumah Jurnalis.

Aku mengamati dalam-dalam hasil foto yang kubidik, separuhnya adalah foto-foto liputan, separuhnya lagi hasil foto yang sepenuhnya hanya milikku.

Aku melepas sarung tanganku sambil mataku mengamati foto. Aku memotret makam Faraz dengan mawar putih di atas kuburnya, bunga-bunga mawar putih yang menguncup di sekitar taman rumah Faraz 

yang baru.

Mawar putih ini selalu setia berbunga, sudah sekian lama waktu berlalu namun aku selalu bisa meletakkan setangkai mawar putih sebagai pertanda kedatanganku ke makam

Faraz.

Aku memotret landscape pemandangan dari atas bukit. Aku juga memotret bangku di bukit itu, mengingatkanku pada saat Zidni memberikanku kerudung biru.

Mataku beralih pada foto liputanku kemarin dan hari ini. Aku baru menyadari bahwa aku memotret sesuatu yang mengerikan. Entah kenapa, aku sendiri lupa kenapa aku harus mengabadikan sesuatu seperti ini.

Seorang anak yang tangannya berdarah, air mata menggenang di pipinya yang menghitam, memegang sebuah batu dengan tatapan nanar ke 

depan. Ini bukan saat perang, aku kemarin meliput kericuhan di depan kantor pemerintahan. 

Rakyat terus berdemo meminta perang agar dihentikan dan negara dipulihkan keadaannya. 

Aku ikut berlari saat petugas melemparkan bom asap yang memerihkan mata, napasku tersengal-sengal.

Seorang anak menjadi korban lagi hari ini. Aku baru menyadari saat melihat ke bagian bawah, lutut anak itu bersimbah darah, sepertinya terkena tembakan salah sasaran dari 

petugas atau entahlah. Aku menutup mulutku dan menahan tangisku.

Kenapa aku memotret 

hal seperti ini? Apa yang ada di pikiranku kemarin? Aku menangis di depan foto yang membuatku tiba-tiba kehilangan kekuatan ini. Begitu menyiksa sehingga membuat napasku 

kembali tersengal-sengal.

Pintu kamar gelap terbuka dan aku melihat siluet Zidni di ambang pintu.

Tangisku semakin deras dan usahaku untuk meredam tangis dengan menutup mulutku semakin terasa 

sia-sia saja. Aku memuaskan tangisku hingga aku kelelahan. Zidni menutup pintu kamar gelap dan meninggalkanku begitu saja.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status