Share

2 Kepergian Faraz

Aku sedang melihat Zidni bersujud di lantai berdebu di Rumah Jurnalis kami. Dia bersujud lama sekali, seakan pusaran waktu terhenti saat ia bersujud. Aku memerhatikannya dengan setengah tertegun, setengah melamun, setengah memikirkan Faraz dan setengah merasa gila.

“Kamu tidak sembahyang, Ra?” tanya Tara. Aku menggeleng.

“Tuhanku sudah mati,” ujarku. Tara tertawa sumbang.

“Turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Tuhan kita begitu Maha Segalanya, kenapa dia bisa mati kalau dia disebut Tuhan?”

“Kalau Tuhan tidak mati, dia tidak akan membiarkan makhluk–Nya tercerai berai menjadi hamburger di jalanan,” ujarku lagi, aku meremas tanganku sendiri, sedikit gemetar 

karena udara sore yang mendadak dingin.

Aku memalingkan wajahku dari memandangi Zidni yang sudah bangun dari sujudnya dan mengakhiri sembahyangnya. 

Tara hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kini sudah berada di posisi Zidni tadi, memulai sembahyangnya. Sedang Zidni menuju ke tempatku duduk.

“Setidaknya jika kamu tidak sembahyang, jangan mengotori pikiran orang yang masih bersembahyang,” tegur Zidni. Ia lalu menarik kursi di dekatku dan malah duduk di depan perapian. Aku mulai memikirkan kata-kata pedas apa yang seharusnya meluncur keluar dari 

mulutku.

“Aku ingin bertanya sekarang, apa tujuan kamu sembahyang? Apakah dia memberimu nilai ketika kamu menyembahnya? Apakah dia butuh sujud-sujudmu itu? Apakah dia peduli atas apa yang terjadi di dunia yang kita tinggali sekarang ini?” tanyaku 

akhirnya setengah sinis.

“Dia peduli, Ra. Waktu selalu berjalan maju dan tidak pernah berjalan mundur. Dia, hanyalah soal waktu.”

Perkataan Zidni tidak kumengerti.

Aku benci pada Tuhan, jika dia masih ada. Dia begitu kuat, dia tidak butuh apa pun, dia maha segalanya, dia maha bijaksana, dia menyayangi semua makhluknya, dia selalu ada di mana-mana, dia mengatur segalanya. Tapi, dia hanya diam saja melihat semua pembantaian ini.

Zidni bilang semua ini adalah pelajaran bagi manusia. Jika tidak ada kejadian atau kisah, mustahil manusia bisa belajar banyak hal. Hikmah bisa didapat setelah kejadian atau 

kisah tersebut. Yang aku tidak mengerti, pelajaran apa yang bisa diambil dari cerita pembantaian di negeri ini?

Tuhan, jika dia memang ada, menciptakan satu makhluk, bernama manusia. Manusia ini menjadi orang-orang yang bersuku-suku dan bahkan berbangsa-bangsa. Orang-orang ini atau manusia-manusia ini menjadi bagian dari suku-suku mayoritas dan suku-suku minoritas. 

Orang-orang dari suku-suku mayoritas dan suku-suku minoritas ini semuanya beragama.

Dan manusia-manusia yang diciptakan Tuhan ini perlu saling membunuh demi alasan membela agama, membela suku dan menciptakan apa yang disebut dengan kedamaian. Aku selama ini berlindung dibalik kerudung hijau agar tidak segera dimusnahkan. Aku membenci 

diriku sendiri.

“Ikut aku.” Zidni membuka pintu Rumah Jurnalis kami dan dari tatapannya dia memintaku untuk kali ini menurut padanya. Aku melangkah menuju pintu dan berjalan mengikutinya. Kami berjalan di keremangan senja, terasa jauh sekali kami berjalan, lalu Zidni berbelok ke jalan bersemak yang tidak pernah kutahu sebelumnya, aku mulai merasa tidak tentram.

“Ke mana?” tanyaku.

“Sebentar lagi sampai,” info Zidni. Aku akhirnya memilih diam. Beberapa langkah kemudian, aku melihat sebuah bangku taman menghadap ke sebuah pemandangan lampu-

lampu kota yang mulai berkilau dari kejauhan, dari atas tempat ini aku bisa melihat sebagian kecil ibukota. Aku tidak tahu ada tempat semacam ini di dekat Rumah Jurnalis.

Zidni membuka suara, dia memandang ke kejauhan tanpa menatapku.

“Ara. Orang-orang di negeri ini sudah mulai kehilangan harapan akan adanya kehidupan damai. Tidak ada manusia normal mana pun yang tahan melihat pembantaian terjadi di sekitar mereka. Tidak ada manusia waras mana pun yang senang melihat manusia disiksa dan dibunuh. Tidak ada manusia sadar mana pun yang senang untuk saling membunuh.”

Aku memilih menunggu kelanjutan kata-kata Zidni.

“Agama masih menjadi satu-satunya pegangan hidup orang-orang yang bertahan. Agar mereka tetap bisa hidup dan memiliki harapan. Benar agama memang melahirkan harapan bagi pemeluknya. Harapan bahwa kedamaian akan tiba setelah waktunya. Tidak bisakah kamu membiarkan mereka bertahan dengan satu hal yang juga mereka harapkan 

masih tersisa?”

Aku menyimak kata-kata Zidni dan menunggu lagi apa yang hendak ia katakan.

“Bukan agama yang membuat manusia menjadi jahat tapi sebaliknya, manusialah 

yang membuat agama menjadi sesuatu yang tampak jahat.”

“Apa yang sudah aku lakukan?” aku menggeleng tidak mengerti.

“Ara, kalau sikap membangkangmu yang seperti ini terus kamu pertahankan dan selalu kamu tunjukkan, kamu hanya akan musnah seperti suku minoritas itu. Kamu hanya akan menghancurkan dirimu sendiri.” Zidni berbalik dan menatap mataku tajam. Aku terdiam 

sejenak untuk mencerna kemarahan Zidni padaku.

Lama aku harus terdiam untuk memahami maksud Zidni. Sebenarnya aku langsung mengerti maksud dari perkataannya itu, tapi aku kesulitan untuk mengeluarkan argumenku 

karena aku merasa sangat payah sebagai seorang manusia.

“Zidni, sekarang aku mengerti. Ini soal aku yang sudah lama tidak bersembahyang, bukan? Ya, aku memang sudah lama tidak sembahyang bahkan jauh sebelum kematian Faraz.” Bibirku kelu ketika mengucapkan nama itu. Seakan-akan Faraz menjadi tolak ukur waktu dan tolak ukur akan kenormalan dan kewarasanku.

“Aku tahu.” Zidni berkata dingin. “Aku tahu jauh sebelum itu, kamu tidak becus pakai kerudung, kamu liar dan kamu benar-benar pembangkang.”

“Liar?” gumamku.

Entah kenapa, aku tidak ingin marah. Biasanya aku selalu bisa marah pada Zidni tapi aku ingin kali ini aku tidak perlu marah padanya.

“Tidak bisakah aku hanya melakukan sesuatu yang kupahami?” tanyaku lirih. Aku memandang langit yang menggelap. Kerlap-kerlip mulai muncul, bintang yang katanya juga 

ciptaan Tuhan.

“Tidak sekarang, Ara, tidak sekarang waktunya! Kamu mengerti tidak?! Kalau bukan karena atas nama suku yang bisa menyelamatkan kita dari kebinasaan ini maka agama adalah 

satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan kita! Tidak bisakah kamu melihat selama ini kami 

melindungi kamu yang jarang berkerudung kemana-mana? Tidak tahukah kamu selama ini, kami selalu beralasan pada orang-orang yang bertanya, bahwa rambutmu mudah rontok dan memakai kerudung seharian di jalanan akan membuat rambutmu berhenti tumbuh dan jadi 

botak? Mengerti tidak kamu?!” bentak Zidni.

Aku mulai merasakan sakit hati. Bukan karena kata-kata Zidni dan bukan pula pada bentakan Zidni. Tapi, pada perasaan pengecut ini. Selama ini mereka melindungiku dari negara yang suka membantai ini? Aku benar-benar sudah lelah.

“Kenapa kalian tidak membiarkanku mati saja kalau begitu?” tanyaku dengan air mata yang mulai menitik.

“Maka sukumu akan habis, Ara. Berapa banyak lagi perempuan yang tersisa dari sukumu? Bahkan, dua adikmu saja tidak kembali. Ayolah, bertahan sedikit lagi saja.”

Dua puluh tahun melewati masa peperangan antar-suku bukanlah hal yang mudah, kalau kau ingin tahu. 

“Agama, bagaimana pun membuat kita bisa bertahan. Begitulah yang terjadi di negara ini saat ini. Kamu menganggap Tuhan tidak ada lagi. Baiklah, kalau begitu, Ra. Bisakah 

sesaat saja, anggap saja Tuhan seperti sebuah harapan. Kalau ternyata ada, itu adalah hal bagus. Lebih bagus lagi, jika ternyata Tuhan adalah harapan yang bisa terwujud. Kalau ternyata tidak ada, ya sudah, tidak masalah. Tidak semua harapan kita bisa terwujud, akan tetapi hidup harus tetap berlanjut.”

Aku memandangi lampu-lampu kota lagi. Pendar sinarnya kekuningan dan seperti sedang meliuk-liuk.

“Kamu membawa kerudungmu?” tanya Zidni.

Aku menggeleng sambil mengusap air mata. Hatiku sedih dan sakit.

Kerudung hijau itu sekarang aku simpan di lemari tertua di rumahku. Sudah lama rasanya aku tidak 

menyentuh kerudung itu karena terlalu takut bayangan Faraz akan terus menghantuiku. 

Zidni mendesah. “Sudah kuduga.” Ia mengeluarkan sesuatu dari balik saku jaketnya.

“Pakai ini,” ulurnya. Sebuah kain berwarna biru gelap menjuntai dari tangannya. Aku mengambilnya dengan sikap ragu.

“Mulai sekarang, bertahanlah dulu sampai keadaan negara ini membaik dengan memakai kerudung. Setelah itu, terserah kamu.”

Zidni berbalik lebih dahulu dan meninggalkanku untuk memakai kerudung pemberiannya. Aku melihat punggungnya yang mulai menjauh. Air mataku jatuh bercucuran 

sambil mendekap kerudung pemberiannya di dadaku. Apakah dia juga akan seperti Faraz, pergi setelah memberiku kerudung?

****

Aku percaya bahwa kemoralitasan seseorang tidak dapat diukur dari rajinnya ia bersembahyang atau berdoa.

Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk liar, sama seperti binatang, naluri dan insting membunuhnya sangat kuat. 

Sementara binatang tidak punya akal dan pikiran, manusia bisa memilih berdasarkan akal dan pikiran warasnya. Kalau manusia sudah bertindak di luar akal dan pikirannya, yang tinggal hanyalah sisi binatangnya namun tetap tidak merasa malu disebut sebagai manusia. 

Bahkan banyak kelakuan manusia yang lebih rendah daripada binatang.

Aku tidak ingin menjadi orang munafik dengan berkerudung kemana-mana tapi aku jauh dari keyakinanku terhadap agama, keyakinanku terhadap Tuhan. Aku menghormati apa yang menjadi dasar agamaku, keyakinan atas Tuhanku, maka aku tidak inginmembohonginya, bahwa saat aku mulai tidak percaya lagi pada keilahiannya, aku tidak ingin berlindung dibalik kerudungku. 

Tapi, akhirnya aku tetap menjadi bagian dari kemunafikan itu sendiri. Aku ingin selamat, maka aku masih memakai kerudung itu, aku takut cepat mati maka aku memakai 

kerudungku. Jauh di dalam hatiku, aku merasa tersiksa dengan sesuatu yang dipaksakan ini. 

Aku hanya ingin berkehendak yang bebas dengan batasanku sendiri, aku hanya ingin melakukan apa yang kumengerti. Aku tidak ingin melakukan hal yang tidak kumengerti.

Bosan dengan kemurunganku sendiri, aku memutuskan berjalan-jalan di gang-gang kota. Sebenarnya hari sudah beranjak larut dan seharusnya aku pulang saja ke rumah.

Patroli malam selalu rutin dilakukan dalam masa perang ini. Setiap warga yang keluar rumah dan berada di di luar rumah lewat dari jam sepuluh malam akan ditangkap dan dipenjara.

Aku merasa aman karena membawa kartu pers, kartu identitas yang cukup berpengaruh karena tugasku yang harus meliput berita terkadang membuatku pulang terlambat.

Aku memicingkan mata melihat ke arlojiku, jam setengah sepuluh malam.

Agak jauh di depan sana aku melihat anak kecil sedang berjongkok. Aku berjalan perlahan dan sengaja 

menuju ke arahnya, penasaran dengan apa yang dia lakukan. Semakin aku mendekat, aku melihat seorang anak laki-laki berusia lima atau enam tahun, air mata mengalir di matanya.

“Apa yang kamu lakukan di sini, adik kecil?” tanyaku sambil ikut jongkok. Anak kecil itu mendongak dan matanya yang besar memelas menatapku.

“Jangan diinjak, aku sedang mengumpulkan remah roti,” ucapnya sendu. Aku melihat ke bawah, di hadapan anak kecil itu yang baru kusadari, remah-remah roti berserakan dan aku menggeser sepatuku, secuil roti telah terinjak alas sepatuku. Aku merasa sangat bersalah. 

Anak kecil itu mengambilnya dan langsung memakannya.

“Itu kotor dan jorok,” aku berusaha menepis tangan anak itu, anak itu malah menangis. Aku panik dan bingung. Seseorang ibu membuka pintu di dekat situ dan dengan cepat datang ke arah kami.

“Masuk!” bentak ibu anak itu. Aku terkesiap. Anak lelaki kecil itu memandangku.

“Aku lapar, belum makan dari kemarin. Ibu tak memberiku makan karena katanya aku anak nakal,” sambil bergegas, anak lelaki itu berlari menuju ibunya, lalu berbelok dan 

masuk ke rumah. Sang ibu menatap mataku dengan tajam sampai aku menjadi takut.

Tapi, aku melihat hal lain, sebersit kesedihan yang disamarkan oleh tatapan matanya yang tajam.

“Jangan ikut campur urusan orang lain!” bentak ibu itu sekali lagi. Aku berdiri dan melangkah mundur. Hatiku merana. Apakah perang membuat semua orang menjadi jahat?

Seorang ibu kandung tidak akan tega membiarkan anaknya terluka sedikit pun. Aku mengingat pesan ibu itu untuk tidak ikut campur urusan orang lain dan aku pun mendesah.

Langkah-langkah serdadu dan bunyi sirine meningkahi malam yang dingin.

Aku merogoh-rogoh kantong jaketku. Tiba-tiba aku menjadi kaku dan rasanya darah berhenti mengalir di tubuhku. Mati aku. Kenapa kartu persku tidak ada di kantong seperti biasanya? 

Apakah terjatuh? Ketinggalan di Rumah Jurnalis? Dadaku tiba-tiba berdegup kencang, aku berjalan cepat, bingung untuk memutuskan apakah aku akan jujur saja pada polisi patroli atau bersembunyi.

Tiba-tiba aku melihat dan menemukan celah dan cekungan kecil di tembok yang aku lewati. Segera saja aku masuk ke sana dan menyelipkan tubuhku yang kurus. Terdengar 

langkah-langkah kaki santai yang mendekat. Mereka berbicara satu sama lain dengan nada 

pelan, tapi aku memasang telingaku baik-baik.

“Gudang senjata kita sudah kehabisan amunisi, sehingga perang terpaksa ditunda dengan alasan bahwa suku minoritas sebaiknya mempersiapkan diri dulu dengan lebih baik sebelum menghadapi kita,” ujar salah satu serdadu.

“Itu baru kabar yang lucu,” serdadu satunya menyahut.

“Negara tidak akan pernah mau menghentikan perang ini karena ingin mengubah dunia dengan menghabisi suku-suku terbuang itu.”

“Bagaimana pun sejarah memang sengaja dibuat seperti itu sebagai sebuah pelajaran.”

“Teorinya selalu seperti itu tapi kekejaman yang terjadi selalu di luar batas kemanusiaan. Menjijikkan!”

“Bukankah manusia itu memang pemangsa bagi sesamanya?”

Aku tekun menyimak, serdadu itu berjalan semakin dekat menujuku.

Tapi, ada yang mengangguku. Seperti ada yang sedang merayap di kulit tanganku yang tak tertutup jaket 

karena aku menggulung lengannya, aku hampir saja berteriak.

Laba-laba hitam berukuran sedang dengan santainya berjalan di sana. Apakah ini laba-laba mematikan atau bukan? Aku memejamkan mata menunggu laba-laba itu pergi dari tanganku.

Saat serdadu itu tepat berada di dekat tempatku bersembunyi, tepat pada saat itu pula aku merasa panas di tangan dan sekujur tubuhku.

Aku berteriak karena sentakan di tanganku. Kedua serdadu itu kaget bukan kepalang.

“SIALAN!!! SIAPA INI?!!” dan aku menjawabnya dengan berteriak-teriak kesakitan.

“Anda bersembunyi?!!” tanya serdadu itu sambil melihatku mengibaskan tanganku, mereka tidak menodongku dengan senjata sehingga walau aku kesakitan aku sedikit lega.

Laba-laba itu entah sudah lari kemana setelah memberikan sengatan panas di tangan kananku. Aku memegang pergelangan tanganku yang digigit laba-laba.

“Tolonglah, saya tersesat dan baru saja saya tersengat laba-laba,” ujarku pasrah. Panas sekali sengatan ini. Dua serdadu patroli itu saling berpandangan.

“Anda akan mendapat perawatan kalau ikut dengan kami,” ujar salah satu dari mereka.

****

Aku dibebaskan karena aku berhasil membujuk para petinggi serdadu untuk mengecek Rumah Jurnalis dan bertanya pada Zidni tentang aku yang bergabung dalam Rumah Jurnalis. 

Zidni menjemputku dan membawakan kartu persku dengan wajah murung. Saat melihat 

perban di tanganku dia hendak membuka mulutnya tapi ditahannya lagi.

“Disengat laba-laba,” kataku. Ia mendelik dengan wajah bingung.

“Ceritanya panjang,” ujarku masam.

****

Rumah Jurnalis ini tampak begitu gagah terlihat dari luar. Rumah ini tidak seperti rumahku yang hanya berbentuk kotak, ini adalah rumah dengan bentuk biasa dan normal, berbatu-bata ekspos, beratap genteng dengan celah-celah kecil, tanpa plafon, sehingga angin tetap dapat 

masuk saat cuaca panas.

Aku pergi ke rumah ini seminggu setelah kedua adikku tidak kembali ke rumah. Aku berdiri dengan canggung saat aku melihat Zidni untuk pertama kalinya.

“Ada yang bisa kami bantu, Nona?” tanyanya dengan nada dingin. Lalu, aku mula-mula menanyakan apakah ia mengenali wajah-wajah adikku di suatu tempat ketika mereka 

pergi meliput. Zidni memegangi selembar foto yang merangkum ayah, aku dan adik-adikku. 

Ia menatapnya lama. Aku berharap banyak dari perenungannya yang begitu lama hanya untuk memandangi selembar foto. Ia pun menggeleng.

Lalu, seseorang muncul di belakang Zidni.

“Siapa?” tanya orang itu dengan wajah sedikit pucat dan berkeringat.

“Kita kedatangan tamu.” Aku menjabat tangan Faraz yang hangat.

Mata kami bertatapan. Setelah lelah menjalani kehidupan di masa perang suku ini, menatap mata Faraz 

yang bening benar-benar bagaikan menemukan oase di padang pasir yang tandus. Mata itu benar-benar memberiku sebuah harapan.

“Mari kita duduk dan berbicara. Siapa nama Nona?” ajaknya dengan ramah, hingga aku hampir lupa apa tujuanku kemari.

Aku duduk di sekitar meja bundar kokoh terbuat dari kayu Mahagoni. Aku tahu jenis kayu itu karena aku anak dari suku pekerja yang biasa bekerja kasar seperti pembuat perabot atau kuli angkut.

“Aku Ara,” ujarku. Ingin rasanya aku tidak perlu menyebut nama belakangku.

“Sayana,” aku menatap wajah Faraz lalu Zidni. Zidni lalu mengangguk.

“Baiklah, Ara. Memang banyak orang-orang pergi tak kembali selama perang ini. Aku tahu ini berat bagimu dan bagi kita semua. Maukah kau minum teh dulu dan makan roti 

panggang buatanku?” Faraz menggenggam tanganku begitu tiba-tiba sehingga aku sedikit terkejut.

Matanya begitu jernih dan aku melihat warna kebiruan di sana.

Aku memberanikan diri membuka genggaman tangan itu dan melihat telapak tangan kiri Faraz. Lalu, ia pun tertawa renyah.

“Sulit memang tidak mengetahui dengan suku mana kamu sedang berbicara. Pasti kamu takut kamu sendiri bahkan tidak pernah pulang ke rumah,” ujarnya sambil menuju ke 

belakang, mungkin ke arah dapur.

“Kami tidak bisa membantu banyak saat ini, tapi, kalau kami melihat atau 

menemukan informasi keberadaan kedua adikmu, kami pasti akan langsung memberitahu.” 

Zidni berkata sambil meletakkan kembali selembar foto yang kuberikan ke atas meja.

Aku tidak tahu itu suatu bentuk penolakan halus atau bagaimana.

“Aku sudah melapor ke polisi negara tapi mereka juga berjanji yang sama 

denganmu,” keluhku.

“Tunggulah, mereka mungkin akan pulang segera.” Zidni beranjak menuju pintu dan mengambil jaketnya yang tergantung di balik pintu. Aku mengetengahkan ide bahwa 

sebaiknya foto adikku disimpan di sini.

“Ya, aku taruh lagi di meja karena Faraz belum melihatnya. Aku pergi dulu.”

Lalu, pintu rumah pun tertutup. Faraz keluar dari arah dapur membawa nampan dengan teko kembung putih, satu cangkir dan satu piring berisi roti panggang dengan taburan 

kismis. Tawanya mengalun merdu.

“Dia sudah pergi? Zidni selalu sibuk dengan urusannya.” Faraz tertawa. Mempersilakan aku meminum teh yang ia buatkan untukku. Sebenarnya aku lebih suka kopi. 

Tapi, sepertinya di sini tidak ada persediaan kopi, sejauh yang aku amati. Cangkir-cangkir 

kosong di ruangan ini tidak menyisakan aroma kopi. 

Aku tersenyum kikuk. Faraz tersenyum dengan sempurna membuat hari-hariku yang 

kelam perlahan mulai sirna.

Sebulan kemudian, aku kembali pergi ke rumah ini. Kali ini aku berkenalan dengan satu orang lelaki lagi, yaitu Tara. Tidak ada jurnalis perempuan, mereka lebih suka di rumah dan membantu pekerjaan rumah ketimbang meliput jalannya perang.

Aku juga berpikir begitu. Akan lebih mudah bertahan hidup jika aku terus bertahan saja di rumah kotakku 

bersama ayah. Ayah saat itu masih bekerja sebagai kuli angkut di gudang gandum.

Tapi, kesehatannya semakin menurun hari demi hari setelah kepergian kedua adikku.

“Belum ada kabar apa-apa dari kami.” Faraz menatapku sendu. Aku mengangguk mengerti.

“Pasti berat sekali untukmu, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Faraz menyentuh bahuku. Aku menatapnya tidak mengerti.

Ya, aku rasa aku masih baik, masih bernapas dan masih hidup. Aku tidak akan pernah menyangka bahwa di kemudian hari, perkataan itu akan 

membuatku menangis begitu putus asa, mengingat betapa lebih berat hidupnya dan dia masih sudi menanyakan keadaan orang lain dan bertanya apakah aku baik-baik saja.

Di masa sulit seperti ini, rasanya jiwa-jiwa menjadi kosong dan hampa. Tak terlebih jiwaku. Aku merasakan kedamaian ketika menatap dan ditatap Faraz. Dia tidak hanya gagah 

dan tampan, tapi juga bersuara tenang, lembut dan menentramkan.

Dia tidak seperti Zidni yang dingin dan angkuh. Mereka berasal dari suku yang sama, setidaknya begitulah yang aku tahu awalnya, tapi mereka memiliki kesan yang begitu berbeda.

Ayahku mulai sakit-sakitan dan tidak bisa pergi ke gudang gandum untuk bekerja.

Aku mulai menjual perabot yang dulu dibuat ayahku untuk membeli bahan makanan. Aku sadar, aku harus mulai bekerja, aku tidak bisa lagi hanya tinggal di rumah. Ayah begitu berat 

melepaskanku bekerja karena aku adalah harapan hidup satu-satunya sekarang.

Anak-anak perempuan dari sukuku mulai semakin berkurang karena penyakit dan kelaparan sehingga 

akan sulit sekali melanjutkan generasi dari sukuku. Tapi, buatku sendiri apakah suku ini penting? Aku sendiri tidak tahu.

Aku semakin sering mengunjungi Rumah Jurnalis untuk mencari kabar dengan hasil selalu nihil. Faraz berjanji bahwa ia akan berupaya yang terbaik, dia sudah menyebar foto 

kedua adikku dan memintaku untuk menunggu kabar baik.

Tapi, kabar baik itu tidak kunjung datang setelah setahun sehingga aku mulai bosan dan lelah. Aku mulai meminta pada Faraz agar aku diijinkan untuk turut serta menjadi 

jurnalis sehingga aku sendiri bisa mencari adikku.

Siapa tahu wajah mereka tidak tampak sama lagi seperti di foto sehingga sulit dikenali. Sekali pun ada tanda suku, bisa jadi itu adalah orang lain. Aku, kakak perempuannya, yang memandikan mereka sejak mereka masih kecil, tidak akan pernah bisa lupa wajah mereka.

“Ini bukan pekerjaan yang mudah bagi perempuan, Ara,” tegur Zidni langsung. Aku terdiam saat itu.

Aku tahu Zidni sudah tidak suka padaku sejak awal. Apalagi ketika aku lebih sering mengunjungi Rumah Jurnalis hanya untuk berbicara dengan Faraz, ia selalu pergi meninggalkan kami berdua.

“Ibu meninggal saat mereka masih kecil-kecil. Aku tidak ingin kehilangan sebagian dari darahku yang juga mengalir di darah mereka. Aku harus menemukan mereka dengan aku 

menjadi jurnalis. Aku bisa dikirim ke daerah tertentu dan menemukan keberadaan mereka,” 

aku mengemukakan alasanku. Faraz hanya bergumam mendengar itu.

Entah karena pengaruh 

cuaca yang semakin gelap atau memang sikapnya tiba-tiba berubah, aku melihat wajahnya begitu murung dan merana. Lalu, ia pergi ke dapur dan meninggalkanku bersama Tara dan Zidni di meja bundar itu. Aku mulai bertanya-tanya mengenai perubahan sikapnya.

Terdengar letusan di udara. Kami semua terkesiap. Dari arah dapur, terdengar bunyi pecahan kaca, sepertinya Faraz menjatuhkan gelas dengan tidak sengaja.

“Astaga! Mereka berperang lebih awal dari waktu yang diinformasikan!” Zidni bergegas mengambil jaketnya, membuka pintu dan melihat ke kejauhan.

“Tara, Faraz! Ayo, bergegas!” teriak Zidni dari luar. Tara segera mengemasi kamera dan Faraz ikut bergegas. Aku berdiri dengan bingung.

“Aku ikut!” ujarku. Zidni langsung menentang mataku.

“Mau apa kamu ikut? Perang bukan untuk dilihat-lihat,” ujar Zidni sedikit ketus.

Faraz tersenyum tipis. Menggandeng tanganku dan mengajakku keluar dari Rumah Jurnalis.

Zidni hanya mendengus.

“Pakai ini, ya, biar aman.” Aku terkesiap ketika tiba-tiba saja Faraz mengeluarkan sesuatu dari balik saku jaketnya, selembar kerudung hijau.

“Kamu harus menurut kalau mau 

selamat. Ini milik ibuku, sudah lama ingin kuberikan, sekarang baru saat yang tepat.” Faraz tersenyum.

“Sampaikan terima kasih untuk ibumu,” ujarku membalasnya dengan senyuman. 

Aneh rasanya bisa tersenyum saat dunia begitu hitam kelam di sekelilingmu. Faraz hanya mengangguk.

Kami pulang dengan kelelahan menjelang dini hari. Perang berlangsung antara negara dan suku Zandai yang bersatu dengan suku Jagara yang jumlahnya sudah tidak memadai untuk disebut sebagai sekumpulan suku.

“Tidak sengaja aku melihat orang dari suku Mue,” ucapnya kecut, menatap Zidni.

Aku tidak mengerti apa artinya. Aku memandangi mereka yang terlihat lelah. Aku pergi ke dapur dengan sisa-sisa tenagaku untuk membuatkan kopi untuk mereka.

“Apakah masih banyak dari suku Mue yang tersisa?” tanya Zidni gusar.

“Infonya hanya suku Zandai dan Jagara yang bersatu untuk berperang.”

Aku mendengarkan itu dengan 

saksama tanpa sedikit pun mengerti apa maksudnya.

“Masih ada kemungkinan?” tanya Faraz.

“Aku harap begitu, saudaraku.” Zidni menjawab dengan nada yang sulit kuartikan. Sedih, emosi, atau marah?

Aku malah mendengar tawa Faraz yang parau. Aku membawa nampan berisi gelas-gelas kopi dengan pikiran mencari-cari.

Lambat laun, aku mulai melupakan tujuanku datang ke Rumah Jurnalis ini. Mimpi-mimpi tentang adikku yang kembali ke rumah tetap saja menghantui, tetapi bayangan bahwa 

aku akan bisa hidup bersama Faraz lebih menghantui lagi.

Aku sangat tenang hanya dengan 

menatap matanya yang bening kebiruan. Setahun bersamanya membuatku begitu menyayanginya dan ia begitu memerhatikanku.

Lalu, ia pergi begitu saja, ditembak mati. Meninggalkan aku pingsan di jalanan entah untuk berapa lama. Kata Tara aku digendongnya susah payah ke Rumah Jurnalis.

Sedang Zidni menggendong tubuh Faraz yang bersimbah darah. Aku tidak pernah bertanya langsung 

pada Zidni soal hal itu. Saat aku tersadar, aku tidak melihat Faraz, sehingga kupikir, dia masih ada di lapangan untuk meliput. Aku meremas kerudung hijauku yang terpercik noda seperti darah. Tersadar bahwa ada sesuatu yang salah.

Aku tidak bisa mengingat dengan 

detail apa yang terjadi setelah Faraz mati ditembak.

Kehilangan ibuku, adalah hal terberat dalam hidupku. Saat usiaku masih remaja dan perang mulai berkecamuk, ibu yang hidup sebagai kekuatanku, karena sakit yang berat ia pun 

pergi meninggalkanku. Sekian tahun kemudian aku tidak merasakan kepergiannya sebagai sesuatu yang berat lagi untuk kutanggung. Mungkin karena semua telah berlalu.

Kehilangan adik-adikku, walau pun kuakui ya, sangatlah berat, tapi aku masih memiliki harapan, bahwa 

mereka tetap hidup di suatu tempat dan bertahan untuk menemuiku lagi di suatu hari.

Tapi, kehilangan Faraz…

Semua ini melunturkan akal sehatku. Aku merasa berjalan seperti mayat, bernapas menghirup racun, sendi-sendi dan tulangku sakit saat mengingat mata birunya, aku bisa 

terluka saat melihat suatu benda yang berwarna hijau. Aku tidak bisa mengingat wajah penembak Faraz, ingatanku mengabur, hanya terdengar suara letusan, yang mengakhiri hidupku dan hidupnya begitu saja.

Mata biru. 

Harusnya itu menjelaskan segalanya. Zidni tidak bermata biru. Aku tidak bermata biru. Tara tidak bermata biru. Bahkan Juna, yang hadir di Rumah Jurnalis setahun setelah kematian Faraz, juga tidak bermata biru.

Kesadaran itu membuatku marah pada Zidni. Dia pernah memanggil Faraz sebagai ‘saudaraku.’ Apakah itu artinya Faraz sama sekali bukan saudaranya karena jarang sekali 

terdengar sesama saudara yang memanggil saudaranya dengan sebutan ‘saudaraku’?

Aku ingin tahu yang sebenarnya. Aku ingin bertanya mengenai segalanya tapi tentu saja bertanya segalanya tidak akan bisa membuat Faraz kembali. Yang pergi tetaplah pergi dan setelah mengetahui segala cerita mengenai Faraz, apakah perasaanku akan membaik? Dan, akukembali waras lagi? Tiga tahun sudah Faraz pergi, tapi aku masih limbung dan tidak tahu apa gunanya aku bertahan.

****

Toko-toko di masa krisis lebih sedikit yang buka. Jika perang sedang berkecamuk, maka otomatis semua toko akan tutup. Karena sepinya hari-hari, toko biasanya buka dengan jam 

malas. Jam sepuluh pagi pemilik toko baru membuka gerbang tokonya dan mereka akan tutup di jam dua atau jam tiga sore.

Akibat perang dan larangan atas aktifitas ekspor dan impor negara ini ke negara lain, inflasi meningkat menjadi dua persen, begitu berdasarkan penelitian dan catatan bank yang diwawancarai Zidni dan Juna di suatu kesempatan liputan mereka.

Negara bahkan melakukan 

embargo senjata dan ekonomi di dalam negerinya sendiri setelah mereka diembargo oleh negara-negara tetangga dan pihak perserikatan kedamaian dunia. Tidak ada yang boleh memasok persediaan senjata, bahan pangan atau pun obat-obatan ke suku minoritas dengan alasan apa pun.

Para perakit bom, merakit bola-bola perak yang bisa meledak hanya untuk 

kepentingan negara menghabisi para kaum minoritas. Bagi anak-anak, bola-bola perak itu seperti mainan. Saat terpegang atau tertangkap tangan, maka bola itu akan mekar dengan 

cantik, menghadirkan duri-duri seperti landak sebelum berbunyi bip-bip-bip dan seketika meledak.

Aku pernah menyaksikan peristiwa semacam itu suatu kali. Sungguh senjata yang mematikan. Jangkauan dan daya ledak bom itu hampir mencapai dua kilometer. Jadi, jika 

kamu ingin selamat dari bola meledak itu, kamu harus berada paling tidak minimal tiga kilometer agar tidak menjadi tuli atau buta atau bahkan setidaknya mati.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status