Share

4 "Berbaringlah, Nak, ayah akan melindungimu."

Pengumuman yang begitu menggema saat aku terbangun. Seperti biasa, aku selalu bangun kesiangan. Suara-suara dari pengeras suara meminta kami semua berkumpul di lapangan besar di pusat kota.

Zidni datang dan mengetuk pintuku beberapa saat setelah pengumuman 

dikumandangkan. Napasnyaterdengar menderu dan keringat membanjiri wajahnya. Pasti dia datang ke sini dengan berlari.

“Kita harus pergi,” ujarnya muram dengan wajah yang kini pucat. Aku yang masih pusing karena bangun terlalu siang dan juga terlalu banyak menangis belum sanggup berkata. 

Aku berpikir, apakah kali ini pembagian jatah makanan dilakukan di lapangan bukan langsung mengambil ke gudang logistik?

“Ke mana?” mulutku membuka.

Seakan pengumuman tadi belum jelas bahwa kami semua diminta untuk berkumpul di lapangan sesegera mungkin.

“Ke negara Faraz.” Mata Zidni yang kelam menatapku. Aku lalu gemetar 

mendengarnya. Maksudnya bagaimana? Di mana itu negara Faraz?

“Di sana yang paling aman, paling dekat dengan perbatasan negara, paling bisa memungkinkan untuk kita. Kita akan diterima.”

Aku tidak dapat berpikir jernih. Bayangan seram melintasi kepalaku tanpa ampun, rumah-rumah terbakar, api menjilat-jilat dinding-dinding dan menghanguskannya dalam 

sekali lalap. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menepis pikiran burukku.

“Mereka memerintahkan semua suku untuk berkumpul di lapangan. Kita harus bergegas, pura-pura ikut barisan dan berbelok saat waktunya tepat.”

Saat waktunya tepat? Aku terus berpikir apa maksud dari perkataan Zidni? Aku memang sudah banyak membaca tentang perang.

Apakah itu berarti bahwa kami akan 

dikumpulkan di lapangan besar untuk ditembak mati?

Ini sebenarnya sudah menjadi hal yang umum dalam perang; binasakan semua yang bernyawa maka akan tercipta generasi terbaik dari yang tersisa.

Entah siapa saja yang harus tersisa itu, yang pasti bukan dari generasiku 

atau sukuku. Pemilihan suku mayoritas itu bohong belaka. Negara ingin semua rakyatnya habis menjadi abu. Seluruh kepalaku berdenyut menyakitkan.

“Ayah tinggal saja di rumah sampai kematian menjemput ayah,” suara ayah terdengar parau karena sedih, marah dan putus asa. Kakinya pasti semakin gemetar saat ini.

Aku yang mulai mengerti maksud dari perkataan Zidni, menggeleng dengan sedih. 

“Aku minta maaf pada ayah karena tidak mampu membahagiakan ayah selama ini,” ujarku sedikit kelu.

Kematianku sudah di ambang pintu. Kupikir ada bagusnya juga, aku benar-benar ingin bertemu Faraz secepatnya. Aku merindukannya setengah mati.

Jika setengahnya lagi bisa kupenuhi dengan cara aku mati, aku tentu bisa menjumpainya.

Kulihat air mata ayah berlelehan. Lalu, ia mulai jatuh tersungkur dan menangis. 

“Betapa susahnya hidup di masa peperangan. Ayah harap anak-cucu ayah bisa hidup dengan tenang, tapi ayah hanya melihat anak-anak ayah menjadi korban perang.”

Mau bagaimana lagi? Pikirku. Kita tidak bisa memilih kehidupan yang ingin kita jalani sebelum dilahirkan.

Aku selalu memimpikan rumah dengan taman-taman yang luas bak 

permadani, dihiasi bunga warna-warni dan burung-burung bertengger di dahan-dahan tanpa khawatir ditembak untuk dijadikan lauk santap malam.

Negeri yang kuhadapi kini, tidak 

menyisakan satu kecoa pun untuk melanjutkan generasi.

Tidak ada perbekalan yang perlu dipersiapkan karena semua rombongan manusia 

hanya diminta untuk berkumpul di lapangan. Aku melebarkan kerudung biru ke kepalaku. 

Mungkin ada yang perlu diumumkan dan kami perlu mendengarkan, mungkin ada pembagian jatah makanan tambahan bulan ini tapi pada akhirnya yang paling memungkinkan adalah bahwa kami akan dibunuh.

Aku sebagai jurnalis perang yang bodoh ini telah mempelajari bahwa itulah yang paling mungkin. Terlebih karena perkataan Zidni tadi, semua semakin jelas dan pasti.

Negara semakin kewalahan mengatasi keruwetan negerinya sendiri. Persediaan pangan yang semakin menipis tapi kebutuhan senjata semakin meningkat.

Masih dengan embargo ekonomi dan situasi politik negara ini yang tidak ada titik cerah untuk rakyatnya.

Aku berjalan terseok dengan sepatu usangku, mengalungkan kartu pers di leherku sebagai tanda pengenal. Mungkin itu akan bisa membantuku untuk melarikan diri.

Ayah berjalan lambat di belakangku. Aku tersenyum pada beberapa tetangga saat kami berbarengan 

keluar rumah, wajah kami sebenarnya sama suramnya tapi kami memaksakan untuk setidaknya saling membalas senyuman.

Teman sebayaku menggenggam tanganku dengan erat, seakan mengucapkan salam perpisahan lebih dini.

“Kau akan selamat. Kau jurnalis,” ujar Nabil. Nabil juga tahu kenyataan yang akan kami hadapi. Aku memandangi wajahnya yang cantik dan menyentuh kerudungnya yang kumal.

“Tidak ada yang bisa menjamin siapa pun sekarang, Nabil. Kita tidak bisa memilih, hanya bisa tunduk pada kematian.”

“Sayang sekali, padahal aku dan Zein memutuskan untuk menikah tahun ini,” ucapannya menjadi nada yang menyedihkan. Aku melirik Zein yang ada di sebelah gadis itu. 

Aku hanya bisa tersenyum dan berucap, “Semoga berbahagia, kalian berdua.”

Aku meremas tanganku sendiri saat Nabil dan Zein berjalan bergandengan tangan, erat seperti tak ingin dipisahkan sekali pun oleh kematian.

Sebuah tangan meraihku. Aku 

menoleh. Zidni menggandeng tanganku dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya menggandeng ayahku yang sudah kelelahan berjalan karena usia.

Aku sudah pasrah, aku tidak tahu harus melakukan apa agar aku tidak mati. Aku juga tidak bertanya apa rencana Zidni. Bagiku, ini semua sudah berakhir.

Rombongan orang-orang memadati jalan-jalan menuju lapangan. Kami hampir tiba di lapangan dan sedang berbaris diawasi para tentara penjaga dengan senapan siap dikokang, 

saat seseorang di depan sana tersandung yang lain dan keadaan menjadi riuh lalu terdengar 

ledakan di udara. Tembakan peringatan. Semua orang berteriak dan menjadi semakin panik. 

Zidni memutuskan agar kami bertindak cepat. Kami berbalik di dalam kerumunan. Susah payah kulakukan karena aku masih menggenggam tangan ayah danayahku sudah jatuh 

terduduk karena panik dan marah.

“Ayo, ayah, bangunlah,” ujarku di tengah keriuhan dan kerumunan manusia yang menjadi saling dorong karena semakin takut untuk lebih maju menuju lapangan raksasa. 

Ayah tidak memprotes ucapanku walau aku tahu ayah sangat lemah kondisinya akhir-akhir ini. Zidni memutuskan untuk menggendong ayahku. Sedetik aku merasa lega walau pun beban yang berat sebenarnya tetap berkumpul di dadaku.

“Orang tuamu bagaimana?” tanyaku, sungguh aku lupa menanyakan ini pada Zidni.

“Mereka akan aman dan baik-baik saja,” jawabnya tanpa merasa berat sama sekali walau ada ayahku di punggungnya.

Kami sudah melewati penjaga yang sedang sibuk merapikan barisan. Entah apakah kami akan berhasil atau tidak setelah kusadari bahwa kami memang tidak akan pernah berhasil.

“Hei! Arahnya ke sana!” teriak penjaga itu sambil mengacungkan ujung senapannya pada kami bertiga. Terpaksa kami berbalik arah lagi saat itu juga.

“Celaka. Kita jadi diawasi,” keluh Zidni. Dan, begitulah. Kami memang ditakdirkan untuk mati.

Kami semua berbaris memasuki lapangan.

Cuaca panas dan gerah. Debu-debu 

beterbangan dan angin meniupkan bau anyir yang kubenci.

“Suku Maurice berbaris di sini!” perintah penjaga yang berbaris, memberikan jalan pada suku yang disebut. Mereka, pemuda-pemuda gagah dan para gadis-gadis yang cantik berbaris rapi dengan tenang dan mulai memasuki tempat yang sudah ditentukan.

Selanjutnya suku Galari pun diminta untuk berbaris di sisi suku Maurice. Sebenarnya kami sendiri tidak tahu untuk apa kami dikumpulkan. Tapi, kemungkinan terbesarnya adalah untuk ditembak mati, atau kabar terbaiknya adalah bahwa kami akan menerima bantuan makanan dan obat-obatan.

Aku menunggu sukuku dipanggil. Tapi, para tentara penjaga sekarang sedang sibuk mengatur arus masuk suku-suku lain ke lapangan, agak jauh dari posisi suku Maurice dan 

Galari.

Tidak ada lagi penyebutan nama suku. Dadaku semakin bergetar karena takut dan ngeri. Aku masuk ke bagian suku-suku yang bercampur itu, suku-suku yang namanya tidak 

dipanggil.

Aku menoleh ke belakangku dan semakin sedikit orang-orang yang belum masuk ke lapangan. Ayah ada di sebelahku.

Kami kini sudah menghadap pada tentara-tentara yang sudah berbaris rapi di depan sana. 

Aku melihat ke wajah-wajah suku Maurice dan Galari yang terlihat gelisah. Aku samar-samar menemukan wajah Tara di sana. Aku tidak ingin melihat wajah Zidni yang juga ada di sana.

Aku tahu dia terus-terusan menatapku dari tempatnya. Aku merasa sangat marah padanya karena dia peduli padaku di saat-saat seperti ini.

Sedangkan, Juna, ada tidak jauh 

dari jarak pandangku, di dalam lapangan ini.

“Terima kasih karena sudah berkumpul pada hari ini,” suara bariton menggelegar terdengar dari pengeras suara. Komandan perang Jendral Bani Maurice memimpin perhelatan ini.

“Tanpa membuang waktu, kami minta untuk yang saling memiliki ikatan 

persaudaraan untuk saling mengaitkan jemari tangan. Untuk mengingatkan bahwa perjuangan 

kita belum berakhir, saudara-saudara,” suara-suara riuh terdengar meningkahi suara komandan yang keras membahana. Aku menggenggam tangan ayahku yang kurus.

Kami semua saling menggenggam tangan. Tidak ada hal mencurigakan yang terjadi di hadapan kami, para tentara yang berbaris dengan senjata siaga tidak bergerak sedikit pun pertanda mereka tidak sedang akan menembakkan peluru-peluru mereka.

“Dan kami minta semuanya tenang untuk menerima hadiah dari negara berupa kebaikan untuk kita semua…”

Belum selesai kalimat itu kudengar, nyata kudengar tembakan di sekelilingku, lalu teriakan dan lengkingan menyedihkan. Napasku menjadi berat, aku melihat ke kiri dan kanan dengan kebingungan.

Orang-orang jatuh bergelimpangan dan kami otomatis berteriak dan 

berjongkok sesegera mungkin. Tapi, keadaan kami tidak diposisikan untuk bisa berjongkok. 

Aku terus mendengar suaratembakan. 

Aku paksakan melihat ke depan menuju arah datangnya tembakan. Tentara di depan hanya diam.

Aku terus memandang ke sekeliling. Aku baru menyadari bahwa di sekeliling lapangan ini ada pohon-pohon kamuflase. Dari sanalah muncul asap-asap dan timah panas. 

Aku bergidik ngeri. Aku menghadapi maut! Orang-orang yang telah tertembak terjatuh di sekitarku, ayahku mengerang dan berteriak-teriak.

Aku tidak berani melihat pada ayahku, ia masih menggenggam tanganku, aku 

palingkan wajahku agar tidak melihat ayahku. Aku malah mendapati Zidni yang menutup kedua wajahnya dengan tangan. Aku bertaruh bahwa dia sedang menangis.

Aku paham di detik-detik terakhir kematianku bahwa hanya Maurice dan Galari yang akan bertahan. 

Mereka suku terbesar di negara ini. Mereka orang-orang paling berpengaruh. Tentara-tentara 

yang sudi berperang kemudian dicap suku Maurice dan Galari, apa pun asal suku mereka sebelumnya. Aku merasakan tanganku tertarik ke bawah, aku tidak sanggup melihat, tapi ayah memaksaku untuk jatuh telentang.

Ayahku merintih-rintih karena luka tembak di di perutnya dan aku merasakan perih di sekujur tubuhku.

“Berbaringlah, Nak, ayah akan melindungimu,” ujarnya tenang walau napasnya mulai berhenti dan tinggal satu-satu. Aku akhirnya menangis tak tertahankan. Tembakan terus 

terdengar seiring kami roboh satu-persatu.

“Ayah, oh ayah,” aku menggelengkan kepalaku.

“Lari setelah keadaan aman, cepat berbaringlah,” aku tidak bisa menolak keinginan terakhirnya. Aku membaringkan diriku di atas mayat lain lalu memejamkan mata, mungkin 

untuk terakhir kalinya.

Ayahku menimpa tubuhku. Aku merasakan berat tubuhnya, dengan 

napas yang mulai tidak ada. 

Aku diam dan memejamkan mata. Pura-pura mati dengan kematian ayah di atas tubuhku. Mataku begitu basah oleh darah dan air mata.

Aku baru merasakan rasanya mengeluarkan air mata darah. Aku sungguh ingin mati tapi ayah begitu yakin aku akan selamat dari peristiwa ini. Aku menguatkan diriku di tengah teriakan demi teriakan.

“Zeiiiin,” aku mendengar itu. Aku terus memejamkan mata, itu suara Nabil. Lalu, tembakan lagi dan suara Nabil pun menghilang. Aku seharusnya mengajaknya tidur 

bersamaku seperti ini, tapi sudah terlambat sekarang.

Aku semakin menangis, menunggu 

berakhirnya tragedi ini walau aku tidak tahu berapa lama lagi karena masih banyak orang-orang yang siap menyambut mati.

Aku mendengar orang-orang yang malah merangsek maju sambil berteriak-teriak, menyambut sendiri kematian mereka.

Senja mulai hadir. Aku bertahan dengan tubuh diam tak bergerak sampai semua badanku terasa kesemutan. Aku bahkan hampir saja tertidur. Betapa aku merasa sangat hina.

Aku masih hidup. Aku benar-benar masih hidup. Masih ada suara rintihan di sana-sini tapi aku tidak sanggup membuka mata.

“Bakar semua.”

Suara dingin menggema. Aku tercekat. Mereka akan membakar tempat ini! Orang-orang seperti bergegas menyiramkan sesuatu ke seputar lapangan. Aku paksakan wajahku 

melihat.

Orang-orang dari suku Maurice dan Galari. Mereka dengan kompak memutari lapangan dengan wajah sulit terbaca. Oh, tidak! Aku tidak mati karena peluru tapi aku akan 

dijadikan daging panggang.

Aku paksakan diri untuk bergerak. Aku mendorong sedikit tubuh ayahku pelan-pelan sekali. Aku takut membangunkannya. Aku merasa payah karena aku ingat ayah sudah mati.

Aku berusaha merangkak pelan-pelan. Ada suara langkah. Aku kembali menjadi patung. Tubuh ayahku sudah jatuh ke tanah. Aku menyesal dengan tindakanku.

Seharusnya aku tunggu sampai keadaan benar-benar aman. Lalu, aku mulai mengutuki diriku sendiri 

karena berlindung di balik tubuh ayah yang sudah jadi mayat.

Dan menyadari bahwa tidak 

ada kata aman. Setelah aku berhasil bangkit, mereka akan segera menembakku.

Api kulihat mulai menjilat-jilat tepi lapangan yang tersulut. Suara rumput kering dimakan api membuatku ngeri.

Tendangan kaki membuatku terganggu.

“Ara!” bisik sebuah suara. Aku membuka mataku dan wajah itu semakin menunduk. 

“Oh, Ara,” air mata Zidni menetes di wajahku. “Kita harus cepat! Tempat ini akan dibakar,” napas dan suara Zidni lalu menderu, ia melirik ke sekitarnya dan memperkirakan hitungan 

ketika para tentara penjaga sedang lengah.

Aku tidak bisa bicara walau aku ingin membuka mulutku. Jadi, aku pasrah saja saat Zidni mengangkat tubuhku dan berlari secepat yang ia 

bisa, meninggalkan lapangan.

Aku sudah tidak bertenaga sama sekali dan Zidni membawaku 

lari demikian kencangnya.

Ada tentara penjaga yang melihat kami dan tentara penjaga itu mulai mengejar kami. 

Aku ingin memperingatkan Zidni tapi suaraku tidak mau keluar.

“Zidni, berhenti, Zidni!” Oh, kenapa suaraku tidak mau keluar? Kami akan ditembak!

Aku ingin berteriak!

“Berhenti!”

Langkah Zidni kemudian terhenti dan berbalik. Aku yang tergolek di gendongan Zidni dan sudah tidak berdaya memaksa menatap mata tentara penjaga itu.

Menantang timah panas yang akan ditembakkan pada kami berdua. Aku bersitatap dengan tentara yang memicingkan matanya menatapku. Kemudian ia tampak lebih terkesiap dibanding aku. Matanya yang tadi memicing kini ganti melotot.

“P-pergi segera!” ia meneriakkan perintah yang tidak kumengerti sambil mengibaskan tangan dengan mata seperti ketakutan. Ia membiarkan kami pergi? Begitu saja?

Zidni tidak berpikir dua kali, ia segera berlari menuju kegelapan malam, membelah pohon-pohon seakan 

ia punya mata infra merah untuk menentukan ketepatan langkahnya.

Zidni berlari sekencang mungkin, aku seperti sedang dibawa terbang dan berlari. Zidni terus berlari dan berlari seperti angin. Sekilas terbayang wajah kedua adikku, Dendra dan Dendri. 

Wajah tentara yang tadi itu seperti wajah Dendra. Aku tersenyum dengan mata terkatup, mereka masih aman dan selamat.

Lalu, aku berpikir lagi, apakah mereka ikut menembaki saudara-saudara mereka sendiri? Tiba-tiba hatiku terasa seperti hancur diremas-

remas dan dicabik-cabik.

Aduhai, sungguh sakit sekali rasanya.

Dalam gendongan Zidni, aku merasa sudah mulai tidak bernyawa. Aku memukul-mukul lengan Zidni tanpa daya karena aku merasa begitu lelah walau Zidni yang berlari bukan aku.

Lalu, Zidni mulai berhenti berlari dan menurunkanku. Ia pasti sangat kelelahan.

“Sepertinya sudah aman. Kita ada di hutan lindung sekarang. Semoga patrolinya tidak sampai sini untuk sementara waktu.” Zidni begitu terengah-engah. Ia menyandarkanku pada sebuah batang pohon besar.

Aku merasakan kedamaian seketika. Aku tahu ini pasti pohon Mahagoni. Rasa nyaman ini selalu aku rasakan saat aku bersembunyi di lemari Mahagoni buatan ayah.

Aku benar-benar kesulitan bicara, aku mencoba menggerak-gerakkan mulutku tapi yang terasa hanya kering dan rasa terbakar. Apakah aku kehilangan suaraku? Bau gosong 

yang tajam terasa teronggok di depan hidungku. Menyengat, anyir, bau hangus yang tak biasa membuat perutku mual.

Mungkin selamanya aku tidak akan pernah bisa lagi makan daging panggang. Aku mengaduh dalam diam.

Zidni memegang dahiku.

“Astaga, kamu demam, Ara.” Aku hanya mengangguk lemah, berusaha 

memberitahunya bahwa aku tidak bisa bicara saat ini. Mulutku sulit sekali untuk kubuka, tapi 

tetap kupaksakan bicara. Benarkah suaraku telah hilang? Aku terus memaksakan diri.

Akhirnya yang muncul adalah suara serak hampir seperti gesekan daun kering.

“Kita pelarian,” ucapku sedikit tersengal. Zidni mengangguk. Bahkan dia yang sudah menggendongku sambil berlari kencang tidak tampak letih sama sekali.

Napas Zidni masih memburu karena kelelahan, keringat membasahi wajah, tubuh dan bajunya. Selain itu, dia terlihat sangat baik. 

“Tapi, sementara kita aman karena tentara penjaga meloloskan kita,” ujarnya dengan nada yang sedih. Aku ingin berkata bahwa tentara penjaga yang membebaskan kami adalah 

adikku. Tapi, pikiranku seolah mati.

“Aku melihat Juna mati,” suaraku masih serak. Zidni mengangguk. Wajahnya terlihat sedih sekali. “Zein juga. Nabil juga. Ayah juga…” aku berusaha menelan ludahku yang tidak ada dengan susah payah.

“Tara juga ikut tertembak…,” bisik Zidni.

“Mereka semua… mati?” aku menatap tak percaya pada kegelapan. Semua orang yang kukenal mati? “Mereka semua?” mulutku menganga.

“Sudah, sudah, tidak perlu diingat lagi,” air mata Zidni menggenang lagi.

Aku tidak bisa ikut-ikutan menangis. Aku meremas kerudung biruku yang sudah bercampur tanah dan 

darah.

Di tengah segala duka bertubi-tubi ini, aku bersyukur Zidni tidak pergi meninggalkanku. Hatiku semakin terasa sangat perih.

“Kamu sudah tahu bahwa akan ada pemilihan suku itu, kan?” tanyaku. Zidni hanya mengangguk. Aku mencoba menabahkan hati. Berarti orang tua Zidni selamat.

“Kita tidak bisa lagi tinggal di negeri seperti ini. Aku berjanji akan mendapatkan suaka untuk kita di negara Faraz,” ujarnya sambil mengelap keringat dingin di dahiku dengan kerudungku sendiri, maksudku kerudung pemberiannya.

Lalu, ia beringsut dan merangsek ke 

pohon satu lagi di dekat kami, menyandarkan kepalanya di pohon itu.

“Beristirahatlah, turunkan demammu dengan tidur. Aku ingin mencari sumber air setelah beristirahat sejenak,” ujarnya sambil memejamkan mata.Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Zidni karena telah sudi membawaku kemping di alam Malayaka yang indah. Pengalaman yang sungguh tidak akan pernah 

terlupakan. Aku tertawa kecil dan pelan. Lalu, aku terdiam.

Semenit kemudian aku mulai 

merintih-rintih karena luka, lapar dan terutama perasaan sangat sedih begitu menghujam ulu hatiku.

“Ara…” Zidni berkata seperti memohon. Lalu, aku terdiam dan mencoba memejamkan mata juga. Aku tetap merintih-rintih dan Zidni mulai membiarkanku.

Aku melihat kobaran api menyala-nyala di depan mataku dan ayahku tersenyum melambaikan tangannya padaku. Apakah itu neraka?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status