Share

6 Kopi Pahit di Tepi Sudiya

Dalam pelarian ini, aku pernah sekali mengatakan pada Zidni, pada suatu malam entah kemarin atau kemarin lusa.

Perkataanku pada saat itu ternyata memancing diskusi yang cukup panjang tentang banyak hal. Memori-memori dari awal pertemuan kami sampai akhirnya kami berada di sini.

“Aku rindu minum kopi,” aku melentingkan ranting kecil ke dalam api unggun yang meredup.

Kedua kakiku kulipat sebatas dagu dan kemudian meletakkan kepalaku di antaranya.

Zidni berdiam diri. Agak lama. Kemudian sepertinya ia menahan napasnya sebelum mengatakan,

“Kamu tahu tidak?” aku menunggunya.

“Bedanya kopi Malayaka dan Sudiya?” tanya Zidni sambil mengembuskan napasnya yang tadi tertahan dan kemudian memandangku.

Tentu saja aku langsung menggeleng, aku belum pernah mencicipi kopi dari Sudiya.

“Aku pernah,” ujarnya seakan bisa membaca isi pikiranku. “Suatu kali aku mencicipi kopi Sudiya yang dikirimkan ke rumahku dengan cara diam-diam oleh salah satu kerabat 

Faraz di Mue.”

Waktu seakan membeku. Ingatanku pada senyum Faraz mulai terbuka lagi.

Padahal sudah beberapa hari ini aku tak lagi memikirkannya. Ia seakan tertinggal nun jauh di sana, di antara taman rindang ditemani mawar-mawar putih. Aku meninggalkan Faraz sendirian di tempat itu.

Tiba-tiba aku merasa sangat melankolis. Sudut mataku mulai tergenang, dan Zidni melanjutkan pengetahuannya mengenai kopi.

“Kopi Malayaka pahit dan kuat, kopi Sudiya lembut dan manis,” ujarnya.

“Sejak kapan rasa kopi menjadi manis?” tanyaku sambil berusaha tertawa.

“Tidak, bukan itu yang kumaksud,” jelas Zidni lagi.

“Ya, aku tahu, Zid,” aku mengusap sudut mataku. Zidni akhirnya menyadarinya. 

Sambil sesekali memandangiku, ia pun mulai bercerita.

“Kopi Malayaka tumbuh berupa semak-semak, kau tahu?” tanyanya. Aku mengangguk sambil masih mengendalikan emosi yang sulit kubendung dari dalam hatiku. 

Aku tahu tanaman kopi Malayaka seperti apa, aku pernah melihat gambarnya di buku.

“Kau sadar tidak, di tepian sungai tempat kita mandi, di sekitarnya adalah tanaman kopi?” tanyanya kemudian. Aku mengangkat kepalaku. Sungguh?

“Bodoh sekali! Aku tidak tahu!” seruku sedikit serak. Zidni hanya meringis.

“Kenapa kau tidak memberitahuku?! Kenapa kau bisa tahu bahwa semak-semak itu adalah tumbuhan kopi?!” seruku seakan memiliki semangat untuk membalikkan dunia saat 

ini juga. Zidni menahan tawanya.

“Karena aku tahu. Sayangnya saat itu, semak kopi di tepi sungai itu sedang tidak berbuah. Kalau kita menemukan beberapa biji saja buah kopi matang, kita beruntung sekali. Buah kopi yang matang rasanya manis seperti permen.”

“Benarkah?” tanyaku. Inilah akibat terkurung dalam dunia kotak dan tidak pernah keluar dari kandang kecuali untuk mencari makan, aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang 

banyak hal.

Kupikir aku sudah tahu banyak hal dari banyaknya buku-buku yang kubaca, tapi ternyata aku salah.

“Di belahan dunia yang lain, terlalu banyak untuk disebutkan ragam jenis kopi, dengan citarasa yang berbeda-beda. Aku juga ingin sekali setidaknya mencicipi kopi-kopi 

itu,” Zidni seakan sedang mengucapkan keinginannya.

“Kau pernah berburu dan merambah hutan?” tanyaku.

“Saat aku kecil, bersama ayahku,” ujar Zidni.

“Kau tahu banyak hal,” pujiku.

“Faraz tahu lebih banyak hal dibanding aku,” tatap Zidni padaku.

Aku dengan tatapan kosong membalas tatapannya.

“Katanya tanaman kopi di Sudiya bentuknya pohon bukan semak,” infonya.

Aku tersadar dari lamunanku.

“Benarkah?” aku bertanya-tanya dalam hati, apakah aku sedang serius menyimak perkataan Zidni atau aku hanya sedang mengalihkan emosi yang mendadak hendak meluap kembali.

“Tapi, bukankah kopi termasuk ke dalam tumbuhan semak?” tanyaku.

“Aku akan mencari tahu setelah sampai di Sudiya nanti,” ujar Zidni.

Ternyata begitu banyak pengetahuan yang sesungguhnya tidak kami tahu.

Bahkan tumbuhan semak kopi saja aku tidak tahu. Aku hanya bisa teori. Aku tahu cara memroses kopi sampai menjadi biji kopi yang disangrai dan siap untuk digerus lalu diseduh, tapi tidak pernah melakukannya sendiri. Aku selalu minum kopi yang sudah berupa bubuk.

“Kata ayahku kopi sangat baik menyembunyikan rasa lapar,” aku berkata setengah berbisik, tapi aku kira Zidni tetap mendengarnya.

“Ya, kopi mampu menjaga perut agar tetap merasa kenyang,” imbuh Zidni.

“Suatu hari, kau ingin membuka kedai kopi?” tanya Zidni seakan tanpa beban sama sekali saat mengatakan hal itu.

“Kedai kopi?” tanyaku seakan ragu. Zidni mengangguk.

“Seperti kedai kopi di kantin barak?” tanyaku lagi.

Zidni mengangguk lantas menggeleng,

“Tidak seperti itu, namun kurang lebih seperti itu. Kedai kopimu sendiri, milikmu.”

Aku tertawa menyambut pemikiran Zidni yang sama sekali tidak pernah muncul di kepalaku.

“Kira-kira akan seperti apa bentuknya, jika kau memiliki ide?” tanyanya seakan mengajak otakku berpikir kreatif dan imajinatif. Sudah lama aku tidak menggunakan otakku untuk hal-hal semacam itu.

“Mungkin..,” aku berusaha keras. “Aku akan menata bangku-bangku kecil dan meja bundar kecil di tengahnya,” ujarku. Membayangkan hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya.

“Lalu?” seakan Zidni ingin aku melupakan segala kesedihanku tentang banyak hal... Dan larut dalam impianku saat ini.

“…dengan vas bunga mawar putih di tengahnya,” ujarku.

“Kenapa harus mawar putih?” tanya Zidni. Aku memandanginya. Karena…

“…tidak harus, tapi agar serasi dengan bangku dan mejanya yang dicat putih,” ujarku.

“Kukira karena bunga kopi berwarna putih,” Zidni tertawa kecil.

“Oh?” aku tampak terlihat bodoh.

“Kalau begitu bukankah lebih baik pakai bunga kopi saja dibandingkan mawar?” tanyaku.

“Kalau kau petik bunganya, kau tidak akan mendapatkan biji kopi untuk kedai kopimu, karena setelah bunga baru kopi akan berubah menjadi buah,” Zidni mulai tertawa 

geli. Aku merasa tampak bodoh sekali lagi.

“Aku pasti akan mampir ke kedai kopimu,” ujar Zidni kemudian, menghiburku. Tapi, aku sedang tidak bisa dihibur. Aku secara perlahan mengusap air mataku yang terus turun.

“Kenapa kau malah menangis?” tanya Zidni, suaranya terdengar gusar.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Tubuhku lelah. Pikiranku juga lelah. Zidni hanya menatapku penuh arti dan air mataku terus berlelehan.

****

Kami berdua benar-benar sedang berdiri di ambang batas dua negara.

Di depan kawat tinggi berduri setelah berjalan dua malam tiga hari. Zidni yang teramat kelelahan susah payah 

menggali tanah untuk memperoleh cerukan di bawah pagar.

Aku membantunya dengan sisa tenaga yang hampir tidak ada.

Air mataku mengalir dalam diam dan aku merasa tubuhku telah terkoyak-koyak. 

Kami benar-benar akan melewati kawat berduri ini untuk melarikan diri.

Kami akan meninggalkan negara yang selama ini berusaha kami cintai tapi pada akhirnya cinta itu hanya menghadirkan perih dan luka.

Zidni membantu tubuhku untuk memasuki ceruk pagar. Tidak ada daya kejut dari setruman kawat berlistrik.

Semua tahu Sudiya adalah negara yang ramah. Zidni membuat 

cerukan yang cukup dalam karena ia sendiri memperhitungkan tubuh tingginya harus bisa masuk ke dalam ceruk itu.

Aku merangkak dengan susah payah dan berteriak karena tubuhku 

sangat lemah. Zidni terus mendorong kakiku agar aku terus maju.

Aku menelan debu entah sudah berapa banyak. Wajahku begitu kotor dan aku mulai tidak peduli.

Zidni susah payah mendorong dirinya untuk melewati cerukan. Aku menarik tubuhnya tanpa daya dan tanpa tenaga. Aku rasa dia sebenarnya tidak membutuhkan bantuanku.

Saat kami berdua berhasil menyeberangi pagar itu, aku dan Zidni terduduk begitu lemas dengan wajah penuh debu.

Memandangi Malayaka dari balik pagar. Rasanya yang ada 

hanya sunyi.

Zidni menyentuh tanganku dan kami bergandengan tangan lalu menangis 

bersama entah untuk alasan apa.

Kami harus terus berjalan tersaruk-saruk untuk sampai ke pos penjagaan dan meminta perlindungan dan bantuan.

Dengan langkah tertatih dan terseok-seok namun juga berisi harapan baru, aku mengikuti langkah Zidni yang sering sekali tersandung dan tersandung 

membuat ia mengaduh.

Saat ia beristirahat dan melepas sepatunya, aku melihat jempolnya 

membengkak dan berdarah. Aku mendengarnya semakin mengaduh kesakitan.

Keadaanku sendiri tidak jauh lebih bagus. Aku memakai sepatu usang yang semakin usang karena terus kubawa berjalan. Sol bagian bawahnya sudah terkuliti sendiri dan kakiku perih sekali karena luka.

Lenganku juga terasa semakin sakit dan seperti ditusuk-tusuk. Semua bagian tubuhku terasa sakit.

“Kita sudah sampai,” bisik Zidni dengan air mata mengering di pipinya.

Aku memandang pada kejauhan, tampak sebuah gedung kecil, mungkin itulah pos penjagaan yang 

dimaksud Zidni.

Aku berteriak parau karena merasa sangat letih. 

Aku melambai-lambaikan tangan berharap akan ada orang yang melihat kami.

Benar saja, seseorang yang sepertinya berseragam, mendekati kami dengan penuh siaga.

Ia menyandang senapan di pundaknya dan berlari-lari menuju kami.

Aku sudah tidak tahan lagi, 

aku terjatuh tak sadarkan diri ketika tentara itu tepat ada di depanku.

Aku mulai siuman saat aku merasakan nyamannya alas tidurku. Aku melihat ke sekiling dan aku tertidur di atas kasur busa tipis.

Aku merasakan lenganku yang terasa ketat, dan aku melihat luka lenganku sudah terbebat perban. Aku melihat kedua telapak kakiku yang juga terbalut perban.

Aku beranjak bangun. Aku mendengar suara Zidni yang sedang berbicara menggunakan bahasa internasional dengan para tentara itu.

Mungkin pembicaraan sudah lama sekali berlangsung, karena aku mendengar bahwa tentara itu mengabarkan esok pagi kami akan dijemput dan dibawa ke kota.

Aku memaksakan diri untuk bangun. Zidni menoleh ke arahku. Saat aku tanpa bicara dan langsung membungkuk di depan tentara yang berbicara dengan Zidni, tentara itu 

tersenyum penuh dengan rasa simpati.

Aku melihat ke bawah dan mendapati jempol kaki Zidni yang terbalut perban. Aku menarik napas panjang.

“Nona, selamat datang di Sudiya. Ini secangkir kopi untuk Anda.” Seorang serdadu menegurku dan menerbangkan lamunan sesaatku.

Aku ingin sekali menangis meski pun aku tidak tahu alasannya. Aku menerima kopi dalam cangkir berbahan stainless dengan tangan 

gemetar.

“…,” aku mencoba menggumamkan sesuatu seperti ucapan terima kasih yang sangat ingin kulontarkan tapi lidahku kelu.

Serdadu itu hanya tersenyum seakan memahami kebisuanku.

Cangkir ini terasa hangat di tanganku, uap kopi mengepul dari dalamnya. Aku sangat merindukan minuman ini.

“Harum,” ucapku pada serdadu itu dengan bahasa internasional. Serdadu itu tertawa dan mengacungkan jempolnya. “Terima kasih.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status