Share

BAB 2 : MADA

Sebuah pohon beringin raksasa berdiri tegap di atas bukit, dahan dan rantingnya terbentang lebar seakan membentuk payung raksasa ditegah hamparan ilalang dan semak belukar. Saking besarnya, batang beringin itu sampai menutupi sebagian altar kuno yang didirikan di depanya. Mada sedang menikmati waktunya, duduk santai sambil bersandar di batang pohon beringin yang besarnya hampir menyamai rumah tempat tinggalnya itu.

Mada baru saja kembali dari tugas resmi keluar pulau dan bahkan belum sempat mengganti baju zirahnya yang terkena noda darah, tapi setidaknya Mada telah melepas pelindung kepala besi yang dipakai dan membiarkan rambutnya yang hitam pekat sepanjang bahu berkibar diterpa angin sepoi.

Ia menarik nafas dalam, Patih itu dapat mencium aroma khas dari dupa dan kemenyan persembahan yang diletakan pada altar disebelahnya, juga aroma dedaunan kering dan lumut yang menempel disana, bersantai di bawah naungan beringin keramat itu merupakan kebiasaanya sehabis melakukan kewajibanya sebagai kesatria Laskar Sagara.

Lokasi bukit tempat dimana beringin itu tumbuh terletak tepat ditengah pulau. Posisi yang membuat Mada hampir bisa memandang ke seantero pulau Sagara. Ia dapat melihat kota dan perkampungan dikejauhan, Hutan Vanara, dan kompleks kediaman para kesatria Laskar Sagara yang dinamai Madya Puri tepat dikaki bukit, juga tembok yang mengitari kompleks tersebut. Entah mengapa ia merasa beringin tua itu seakan memancarkan ketenangan yang selalu membuatnya betah, sesuatu yang Mada harapkan setelah 2 minggu bertempur melawan kelompok Perompak Lanun.

Keadaan tenang itu membuat pikiranya melayang ke masa lalu, Mada teringat dongeng yang sering diceritakan ayah dan ibunya sejak ia berusia 5 tahun, tentang peradaban Nusa zaman Dwi Yuga yang hilang ribuan tahun yang lalu. Dalam hati Mada bertanya - tanya apakah beringin tua ini sudah ada sejak masa itu atau pohon ini tumbuh setelah terjadinya Mahapralaya, saat kerajaan kerajaan baru mulai berdiri pada masa Tri Yuga. Ayahnya juga sering mendongeng tentang kisah - kisah heroik kesatria Laskar Sagara terdahulu. Mada tidak akan pernah menyangka 20 tahun kemudian akan menjadi bagian dari dongeng yang dia dengar sejak kecil, menjadi bagian dari Laskar Sagara.

Lamunan Mada seketika terhenti saat melihat sosok pria yang berlari kecil menanjak dari bawah bukit, awalnya Mada mengira dia akan berhenti di lapangan latihan memanah. Namun pria itu ternyata terus berlari keatas menuju ke arahnya, setelah diamati, Mada ternyata mengenali pria dengan rambut dikuncir dan menggendong busur panah berwarna merah itu. Dalam sekejap, Lyong, salah satu kesatria Laskar sampai dihadapanya.

Lyong langsung berlutut seraya menangkupkan tanganya dan memberi salam, dia kemudian perlahan mengangkat kepalanya, memperlihatkan bekas luka vertikal yang menggores mata kananya. "Salam Patih Mada, saya membawakan pesan penting dari Utama Puri," ucapnya.

Mada hendak memujinya karena tidak tampak lelah setelah berlari keatas bukit, tapi ucapan Lyong membuatnya  mengurungkan niat. "Pertama, kau tidak usah membungkuk dan bersikap formal seperti itu Lyong, Mahapatih tidak ada di sini untuk menegurmu," suara Mada terdengar berisi dan tegas.

Lyong perlahan berdiri, ia tampak menahan senyum di wajahnya, "Hamba hanyalah seorang pesuruh yang hina tuan, apalah artinya dibanding tuan Patih yang agung."

Mendengar ucapan itu Mada melemparkan tinju ke bahu Lyong seperti yang biasa ia lakukan saat pemanah Sagara itu mengejeknya. Mereka berdua kemudian tertawa kecil. Mada sudah mengenal Lyong sejak lama, mereka dulunya bergabung dengan Laskar Sagara di waktu yang bersamaan dan berakhir di Divisi yang sama saat mereka lulus menjadi kesatria seutuhnya.

"Jadi temanku Lyong, apa pesan yang kau bawakan?" tanya Mada dengan wajah malas, "Aku harap ini bukan tentang perompak lagi?" Mada belum rela lepas dari ketenangan di atas bukit itu, dia baru baru ini dilantik menjadi seorang Patih dan bertanggung jawab untuk memimpin Divisi Cakra, jabatan yang membuat waktunya bersantai semakin berkurang.

Senyuman di wajah Lyong perlahan memudar. "Sayangnya ini bukan masalah perompak lagi Mada, Mahapatih akan mengadakan rapat membahas beberapa hal nanti malam."

Mada mendesah setelah mendengar kalimat itu, jika ada hal yang tidak ia sukai dari Mahapatih Sura pemimpin mereka, itu adalah kecenderunganya mengadakan rapat mendadak. Setelah beberapa detik melakukan peregangan, dan mengucapkan perpisahan pada beringin tua, Mada perlahan berjalan menuruni bukit, hal terakhir yang dia inginkan adalah kemarahan Mahapatih karena terlambat hadir saat rapat. Lyong berjalan mengikutinya dibelakang.

"Bagaimana dengan kepala orang orang Lanun itu?" Mada bertanya tanpa menoleh.

"Sudah disingkirkan, semuanya dikremasi bersamaan, kenapa pula kita harus pulang membawa kepala sebanyak itu," jawab si pemanah heran.

"Usulan dari Mpu Kanda, beliau sepertinya mendapat tekanan dari kalangan pedagang, mereka ingin bukti bahwa perompak benar benar di tumpas seluruhnya," jawab Mada seraya melihat kota Glora di kejauhan, ia mengingat saat berlabuh tadi, saat warga bersorak dan petinggi Serikat Dagang Glora di temani Mpu Kanda mengucapkan terimakasih kepada Divisinya.

"Bukanya aku ingin lancang, tapi Patih Guraksha tidak hadir saat kedatangan kita tadi. Beliau adalah penguasa wilayah barat, dan itu termasuk kota Glora, seharusnya Patih Guraksha hadir memberi kita selamat," Lyong terdengar heran, tapi Mada tidak perduli.

"Yang aku inginkan adalah ketenangan...semakin banyak petinggi yang menyambut kita semakin lama kita harus berbincang dan bersalaman," ucapnya sambil mengeluarkan tawa seiring langkah mereka yang semakin mendekati Madya Puri.

Sesampainya di Madya Puri, Mada berpisah dengan temanya, sang Patih berjalan menuju sebuah rumah khusus Patih yang tampak lebih mewah dan luas dari rumah kesatria biasa, ia masuk melewati gerbang gapura berbahan bata merah dan menyapa dua orang pengawal yang menjaga kediamanya. Sebelum memasuki pintu rumah, ia menyempatkan diri untuk mengecek kudanya di kandang halaman belakang, lalu berjalan menuju sebuah altar kecil untuk bersembahyang, dalam hatinya ia mengucapkan syukur kepada Dewata dan para pendahulu Sagara.

***

Malam itu terasa ramai seperti biasanya, para kesatria dan anggota keluarga mereka tampak lalu lalang dijalanan yang diterangi tiang - tiang obor. Madya Puri adalah kompleks hunian bagi kesatria Laskar Sagara dengan luas mencapai 15 hektare, kompleks itu dibentuk menyerupai lingkaran besar mengelilingi Utama Puri atau istana utama yang terletak ditengahnya. Bangunan dan rumah rumah di sana tampak sederhana, semuanya terbuat dari kombinasi bata dan kayu dengan atap genteng dari tanah liat.

Mada keluar dari kediamanya, ia baru saja mengganti baju zirah yang dia kenakan dengan pakaian santai para patih, kombinasi kain batik dan selendang merah yang menutupi perut hingga lutut, hiasan kepala, kalung, dan gelang yang semuanya terbuat dari kuningan. Para pria yang lahir di Sagara tidak biasa mengenakan baju, namun lebih memilih bertelanjang dada memperlihatkan tubuh mereka yang kecokelatan seperti buah sawo. Para Patih khususnya diwajibkan menyelipkan sebilah keris di pinggang, sebuah belati dengan lekuk layaknya ular yang dibuat dari logam - logam langka dan di tempa secara khusus oleh Mpu Atri sang Mantri Seni Tempa dan Pahat.

Dalam perjalananya menuju Utama Puri, Mada melihat sebuah kereta kuda melaju menuju arah yang sama. Kereta dengan kompartemen kayu bercat hitam itu seketika menangkap perhatianya, ia menyadari itu adalah kereta tahanan dan Mada seketika diliputi rasa penasaran. Sang patih lalu berjalan mendekat kearah kereta hitam itu.

"Salam Patih!" Kusir kereta menyapanya seraya menghentikan laju kudanya. Mada kemudian menanyakan siapa gerangan sosok penjahat yang dia angkut, yang kemudian di balas si kusir, "Seorang pencuri beras dari desa Yawi di timur, tuan. Patih Taksha menangkapnya tadi siang atas pengaduan warga di sana."

Sesaat setelah si kusir bicara, kereta kuda itu tiba tiba berguncang, gedoran terdengar dari arah dalam kompartemen di mana pencuri itu ditahan, disusul teriakan permohonan ampun. "Saya tidak bersalah tuan! Saya tidak pernah mencuri! bebaskan saya!" Teriakan pencuri itu sangat keras dan membuat beberapa warga disana menoleh.

Seorang kesatria lain yang menunggang kuda muncul dari balik gelapnya malam, kesatria yang mengenakan baju zirah Laskar Sagara lengkap dengan tambahan pelindung lengan berwarna keemasan, dibelakangnya beberapa kesatria berkuda lain mengikuti. "Mada! Aku kira orang orang Lanun itu berhasil menenggelamkanmu!" Kesatria itu kemudian membuka pelindung kepalanya, menampakan rambut hitam pendek dan jambang hitam tebal mengelilingi wajah. Duduk diatas punggung kuda berwarna cokelat keemasan ternyata adalah Patih Taksha, pemimpin Divisi Bajra yang menguasai desa - desa di timur Sagara.

"Patih Taksha, anda tahu butuh lebih dari sekadar perompak untuk mengalahkan Divisi Cakra dari Laskar Sagara," Mada menjawab dengan nada bercanda, kedua Patih itu lalu bersalaman. Taksha adalah Patih senior yang sudah menjabat selama bertahun tahun. Cerita tentang kehebatan Taksha sebagai patih sudah tersebar di seantero Sagara, Mada bahkan menjadikan Taksha sebagai panutan semasa ia menjadi taruna.

"Sudah aku duga kau memang hebat dalam memimpin Mada, walau sedikit santai." Mada tidak tahu apa ia harus merasa senang atau sebaliknya mendengar ucapan itu, namun ia mampu memaksa dirinya tertawa yang kemudian diikuti Taksha, "Kau sebaiknya segera menuju Utama Puri, aku akan menyusul setelah mengurus tahanan ini," ujar Taksha sembari mengangguk.

Mada melihat kembali kearah kereta tahanan, "Mohon maaf, Patih Taksha, saya penasaran, siapa gerangan pencuri yang tertangkap itu."

"Kita akan membicarakanya nanti Patih Mada, saat rapat." jawab Taksha singkat yang membuat Mada sedikit heran, para Patih biasanya berbagi informasi terutama soal pelanggaran hukum dan sejenisnya.

Patih Taksha dan kereta tahanan yang di kawalnnya kembali bergerak. Mada mundur beberapa langkah untuk membiarkan kereta itu lewat, dan sekali lagi, penjahat di dalamnya menggedor dan berteriak memohon pengampunan yang membuat si kusir marah dan memaki, "Renuninglah nasibmu selagi bisa pencuri, aku tidak menjamin kau masih bernafas besok." Kusir itu lalu tertawa. Mendengar ucapan si kusir penjahat itu meraung, kali ini diselingi sedikit tangisan.

Anehnya, setelah mendengarkan lebih saksama, Mada merasa pernah mendengar suara tahanan itu sebelumnya, namun ia tidak bisa mengingat siapa.

Saat kereta tahanan itu menjauh, Mada perlahan melanjutkan perjalanan menuju lokasi rapat di Utama Puri namun pikiranya terganggu mengingat suara tahanan tadi. Kusir tadi menyebut desa Yawi, Mada dulunya menghabiskan masa kecilnya di sana sampai berusia 10 tahun, tapi ia tidak mengingat pernah mengenal satu orangpun yang kemungkinan menjadi pencuri, selain itu, desa Yawi juga dijuluki sebagai lumbung padi Sagara, sungguh mengherankan warga desa itu ada yang sampai mencuri beras ditengah lautan sawah yang ada.

Setelah beberapa menit berjalan melewati jalanan yang diaspal dengan bebatuan dan kerikil, Mada akhirnya sampai di Utama Puri, pusat pemerintahan Laskar Sagara. Kompleks istana itu tidak terlalu megah jika dibandingkan dengan istana yang ada di kerajaan lain.

Utama Puri terdiri dari bangunan atau Gedong yang terpisah sesuai kegunaan dan fungsinya masing masing yang hampir semuanya berbahan batu paras putih dan terpahat dengan indah dilengkapi tiang penyangga berbahan kayu jati, areal itu dikelilingi tembok setinggi 10 meter berbentuk persegi dengan akses masuk berupa gapura putih yang di pahat dengan ukiran berbentuk harimau.

Mada berjalan melewati gapura tersebut dan berpapasan dengan beberapa penjaga yang langsung memberi hormat, "Mahapatih dan pejabat lain menunggu di Gedong Saddharma."

Mada mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada para penjaga itu lalu berjalan menuju, Gedong Saddharma, sebuah bangunan ditengah Utama Puri yang dikhuskan untuk pertemuan dan rapat.

Perjalananya terhenti ketika melihat Patih Taksha yang baru keluar dari Gedong Yama yang merupakan sebuah penjara bawah tanah di pojok Utama Puri. Patih Taksha nampaknya telah menempatkan penjahat tadi di bawah sana. Mada merasa bimbang, sesuatu mendorongnya untuk mengunjungi Gedong Yama tersebut, tingkah Patih Taksha sebelumnya membuatnya sedikit curiga, tapi disisi lain ia juga tidak ingin terlambat menghadiri rapatnya. Pada akhirnya rasa penasaran mengalahkanya.

'Aku hanya akan menengok dan segera kembali,' pikir Mada, ia memutuskan bersembunyi dibalik batang sebuah pohon kepuh besar, menunggu hingga Patih Taksha menuju Gedong Saddharma lokasi rapat mereka. Saat Patih Taksha sudah menghilang dari pandangan, Mada bergegas menuju penjara itu, ia mendapati dua orang pengawal sedang berjaga di gerbang masuk yang dengan mudah dapat dilewati Mada karena jabatan yang dimilikinya.

Mada masuk kedalam area Gedong Yama, sebuah ruangan yang kosong dan hanya diterangi oleh dua buah obor. Langkahnya lalu menyusuri tangga yang terletak tepat di ujung ruangan dan mengarah langsung menuju ruangan bawah tanah yang terasa lembab. Sang Patih berusaha mengacuhkan bau apak disekelilingnya, matanya memeriksa dan melihat beberapa kurungan besi yang mengkarat saling berhadapan, ia melihat semuanya kosong kecuali satu kurungan.

Di dalam kurungan sempit itu Mada melihat seorang pria meringkuk membelakanginya, orang itu tampak tua dan kurus, "Si pencuri," ucapnya dalam diam.

Mada mendengar pencuri itu menangis tersedu, dilihat dari posturnya ia merasa tidak mengenali pencuri tersebut, sampai saat tiba tiba pencuri itu membalikan badan, menatap lurus kearahnya, lalu melotot.

"Mada, kaukah itu !?" pencuri itu berteriak, orang tua itu membelalak seketika, ia lalu bangun dan mencoba merangkul Mada namun jeruji besi menghalangi niatnya.

Setelah diperhatikan lebih lama , Mada akhirnya tersadar, sosok mengenaskan itu adalah paman Bapu, seorang juragan padi di desa Yawi, pria itu adalah sahabat orang tuanya, dan orang yang mengasuhnya semenjak ayah dan ibunya meninggal.

Paman Bapu terlihat sangat berbeda dengan orang yang dia kenal bertahun tahun lalu, ia tak habis pikir bagaimana seorang juragan beras sepertinya, berakhir di dalam kurungan Gedong Yama. Rasa bingung melanda pikiran Mada, bagaimana bisa seorang yang dulunya terhormat dan mulia berakhir menjadi pencuri. Ia ingat masa lalu saat bermain di persawahan milik Bapu, saat Bapu mengajarinya membajak sawah, saat ia dan anak perempuan Bapu yang bernama Lani bermain bersama.

"Apa yang terjadi padamu paman? Bagaimana keadaan Lani? Kau memiliki sawah yang luas, tak mungkin kau mencuri beras kan?" Mada memberondongnya dengan pertanyaan, yang hanya dibalas dengan gelengan kepala Bapu.

"Ceritakan padaku kejadian sebenarnya paman, aku akan berusaha meminta pengampunan pada Mahapatih." Mada berujar dengan panik, ia ingin membantu pamanya itu.

Bapu terdiam dan tampak hancur, dia kemudian berbicara dengan suara yang menyayat, "Aku kehilangan hartaku dalam perjudian nak, aku mempertaruhkan dan kehilangan segalanya."

Mada tidak menyangka akan mendengar hal itu, bagaimana mungkin? Paman Bapu yang dia kenal dahulu merupakan seorang yang baik hati, orang tua Mada dahulu bekerja di sawah Bapu dan selalu memperlakukan mereka dengan baik, ia lalu menggenggam tangan Bapu, "Katakan bahwa kau tidak melakukan pencurian itu paman Bapu, tatap aku! Aku bisa membantumu keluar dari sini."

Pria tua itu melepaskan tangan Mada, dan berbalik, "Aku memang melakukanya, nak," ujarnya sembari menunduk, "Aku sudah melakukan banyak hal tak terpuji selama ini."

Keheningan hadir sesaat Gedong Yama, Bapu termenung, dia tampak sudah pasrah dengan keadaan, sesaat kemudian ia membuka mulut lalu berbicara dengan pelan, sesuatu yang membuat Mada kehilangan rasa iba, "Aku juga menjual Lani pada para penyamun di kota Glora," ucap Bapu lirih, air matanya mengucur deras.

Seketika perasaan Mada bak tersambar petir, Lani? Dijual pada para penyamun? Ingatan perlahan membanjiri kepala Mada, ia mengingat Lani temanya, sebagai gadis manis yang mewarnai masa kecilnya, gadis dengan wajah bulat yang selalu kotor oleh lumpur sawah dan mata cokelat berbinar.

Lani suka menyanyi, Mada ingat gadis itu selalu bernyanyi riang mengikuti irama seruling yang dimainkan Mada saat ia mengembala sapi dulu. Mada tidak percaya apa yang di dengarnya, ia perlahan bergerak mundur, rasa marah menumpuk dalam hatinya, ia lalu memalingkan badan berusaha menenangkan amarah, "Mengapa paman? mengapa kau sampai menjual Lani?"

"Aku tak punya pilihan saat itu nak, aku jatuh miskin, aku..." Bapu terus berbicara, namun Mada sudah diliputi amarah, ia menatap tembok gelap dihadapanya dengan intens, tanganya terkepal erat.

Sang Patih lalu berjalan menaiki tangga dengan langkah berat, dia berniat meninggalkan Bapu sebelum suara lirih Bapu menghentikanya, "Nak, tolong sampaikan permintaan maafku pada Lani, tolong sampaikan penyesalanku nak, dia ada di kota Glora," ujar paman Bapu penuh penyesalan, dari balik penjara itu Bapu bersujud menyentuh lantai yang becek.

Mendengar ucapan itu membuat Mada berhenti sejenak, pikiranya berkecamuk, ia tidak tahu apa yang harus ia rasakan, perlahan Mada mendapati dirinya melangkahkan kakinya kembali menaiki tangga, keluar Gedong Yama dan menembus malam yang bermandi cahaya bulan menuju Gedong Saddharma.

Setelah memasuki pintu gebyog, sebuah pintu dari kayu jati yang berukir di Gedong Saddharma, ia mendapati beberapa Patih antara lain, Guraksha, Jambha, Taksha, dan Bahula, sedang duduk berjejer disebuah meja kayu yang memanjang, sementara duduk dengan tenang disisi lain meja, adalah seorang Dhyaksa, sosok sepuh berpakaian serba putih yang menghabiskan hidup mereka menimba ilmu nun jauh di Nalanda, kaum mereka ditunjuk sebagai penasihat para penguasa di Nusa sejak ratusan tahun lalu.

Lalu diujung meja, duduk disebuah kursi yang tampak lebih besar dari kursi lainya, sesosok pria berambut gondrong keperakan  dengan usia sudah 60 tahun tapi memiliki kondisi fisik yang seakan menolak fakta itu, tubuhnya bugar dan masih dipenuhi otot. Matanya berwarna kelabu dengan sorot yang tajam menatap kearah Mada, pria itu mengenakan mahkota keemasan yang menutupi sebagian kepalanya, sementara tubuhnya hanya dihiasi beberapa kalung dan gelang berbahan emas yang terpasang di lengan dan tangam. Kain batik dan selendang berwarna merah terlilit menutupi perut hingga lututnya yang penuh luka. Sosok itu adalah Mahapatih Sura, penguasa Sagara dan pemimpin para Patih.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status