Mahapatih Sura tidak menunjukan raut wajah ramah seperti biasa, malam itu ia sedang duduk disebuah kursi kayu jati di dalam Gedong Saddharma yang diterangi cahaya obor. Berkumpul diruangan itu adalah para Patih yang sedang duduk berjejer di sebelah kanan meja berbentuk persegi panjang, sedangkan disisi meja yang berlawanan, duduk dalam diam, seorang Dyaksha tua yang selalu membisikinya nasihat dan wejangan.
Siang tadi ia telah menerima surat dari wilayah perkampungan di timur, pedesaan Yawi tepatnya. Tempat dimana sebagian beras di pulau Sagara ini berasal. Patih Taksha rupanya berhasil menangkap pencuri berantai yang telah meresahkan penduduk timur selama berminggu - minggu. Sura merasa senang, tentu saja, seorang kriminal berhasil tertangkap. Namun disisi lain ia juga khawatir, ini sudah kesekian kalinya anggota Laskar mengangkap penjahat entah itu pencuri, pemerkosa, atau pembunuh dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Dahulu mereka biasanya hanya menangkap penjahat paling banyak 3 kali dalam setahun. Sesuatu jelas membuat kriminalitas di pulau mereka meningkat.
Kehadiran sosok Mada, seorang Patih termuda yang pernah dimiliki Laskar Sagara muncul dari balik pintu, membuat perhatian Sura dan semua orang beralih padanya. Mada rupanya terlambat beberapa menit. Patih itu membungkuk hormat pada Sura, dengan wajah yang tampak lebih gelap dari bayangan tubuhnya, " Salam! Mohon maaf Mahapatih atas keterlambatan saya."
Sura biasanya akan marah jika siapapun terlambat datang saat rapat, tak peduli kesatria biasa atau Patih sekalipun, tapi kali ini ia bersedia memberi sedikit kelonggaran, keberhasilan Mada menumpas perompak di wilayah Sagara telah berhasil menyelamatkan patih itu dari hukumanya. "Baiklah, karena semua sudah hadir, mari kita mulai," suaranya yang berat terdengar menggema ke seluruh ruangan. Para patih lain segera mengambil posisi tegak.
Hal pertama yang ia ingin bahas adalah penyerangan Laskar Sagara ke Uzon dan Indanao, 2 pulau kecil di wilayah perbatasan Sagara dengan Kerajaan Badahulu, pulau malang yang baru baru ini diserang para perompak Lanun. Kelompok perompak itu sudah sejak lama meresahkan para penguasa di Nusa, meski begitu tak satupun dari para penguasa lain yang sanggup membasmi orang orang jahanam itu, atau lebih tepatnya tak sudi. Mereka orang - orang cerdas di seberang lautan akan memilih untuk meminta bantuan Laskar untuk menangani masalah mereka, memanfaatkan keuntungan dari perjanjian Nalanda semaksimal mungkin.
"Ceritakanlah, Mada, tentang para perompak Lanun itu." Sura bertanya, setelah Mada mengambil tempat duduk.
Mada terdiam sesaat, terlihat jelas Patih itu sedang tidak baik - baik saja, wajahnya sedikit berkeringat dan matanya menatap kosong ke tengah meja. "Seluruh perkampungan nelayan di Uzon dan Indanao hancur tuan Mahapatih," suara Mada terdengar dipenuhi duka, gelagatnya ungguh aneh mengingat ini adalah aksi penyerangan pertamanya sebagai Patih dan ia berhasil dengan cemerlang. "Para perompak itu juga menghabisi sebagian besar penduduk, mereka yang selamat kami bawa ke Sagara dan sementara mengungsi di kota Glora."
Disebelahnya, Bahula, Patih Divisi Gada, dan pemimpin wilayah utara tiba tiba menghantam meja, sangat keras hingga meja itu terasa bergetar, "Perompak laknat menjarah sampai di wilayah Sagara! Dunia ini sudah gila!" Suaranya menggelegar bagai ombak lautan. "Kita sebaiknya tidak tinggal diam dan mengirim pasukan untuk memburu sisa - sisa dari mereka, penguasa lain telah memberikan kebebasan bagi kita untuk memburu para perompak sampai wilayah mereka. Aku bersedia melakukanya! Aku akan menenggelamkan mereka ke dalam samudera!"
Sura melihat wajah Patihnya itu merah padam, nafas Bahula terdengar cepat dan mata hitamnya melotot. Sura mencoba memberikan sedikit pencerahan pada pria besar itu, "Dan kemana kau berencana mengirim pasukan itu, Bahula? Tidak ada yang tahu dimana mereka bersembunyi, atau kau bersedia membalik setiap batu dan menyelami setiap air yang ada di Nusa ini sampai menemukan kelompok mereka?"
Bahula adalah Patih terkuat di Sagara, tak hanya itu, ia memiliki tinggi yang hampir mencapai 2 meter. Namun ia juga dikenal tidak begitu cerdas. Jika saja Bahula tidak memiliki kekuatan dan ukuran tubuh sebesar itu, Sura sangat yakin akan memberhentikanya sebagai Patih, pria itu bahkan tak akan diluluskan dari pendidikan taruna.
Patih Bahula sepertinya menyadari kesalahanya dan perlahan merosot kembali ke kursi.
"Kalaupun kita mengetahui posisi musuh, mengirim pasukan keluar Sagara sangat tidak bijak tuan Patih," Dyaksha bernama Ki Sabda menyahut. Sosok sepuh dengan tubuh yang sedikit gemuk, rambutnya putih keperakan dan di cepol sementara janggut panjang keperakan menggantung dari dagunya. "Bahkan Laskar Sagara yang tidak terkalahkan harus berhati hati, beberapa kesalahan kecil dan kita akan mendapati pedang musuh ditenggorokan kita," Ki Sabda melanjutkan.
Setelah mendengar ucapan sang penasihat Sura mengangguk setuju, ia memang tidak ingin mengambil keputusan gegabah disaat seperti ini.
Diseberang meja, Patih Taksha ternyata menantang ucapan Ki Sabda tadi. "Apa yang harus kita takutkan? Mahapatih yang terhormat, musuh kita ini hanyalah perompak rendahan. Sagara hanya perlu bekerja sama dengan para penguasa lain, dan dalam sekejap orang - orang Lanun itu pasti akan musnah. Tidak, bahkan kita sendiri sudah cukup kuat untuk mengalahkan mereka!"
Sura bersedekap, ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Terkadang ia ingin kembali ke masa lalu, masa dimana ancaman terbesar mereka hanyalah kekeringan dan gagal panen, "Aku setuju dengan saran Ki Sabda. Kita tidak akan memburu sisa - sisa perompak itu selama mereka diluar wilayah Sagara, malah, sebaiknya kita berhenti memikirkan mereka untuk sementara ini."
"Bagaimana dengan para pengungsi?" Guraksha bertanya dengan nada jengkel, pria itu adalah seorang Patih dengan usia sedikit lebih tua dari Mada. Rambutnya yang hitam lurus selalu tersisir rapi dan mengkilat diminyaki, "Patih Mada yang baik hati seharusnya meninggalkan mereka semua di tempat asalnya, Glora punya banyak masalah sendiri yang harus diurus."
Udara tiba - tiba terasa semakin intens setelah Patih Guraksha selesai berbicara. Untuk sesaat tak ada patih lain yang menyanggah ataupun berbicara. Tapi Sura menyadari Mada yang perlahan membuka mulut, "Bukanya sudah tugas kita menyelamatkan mereka? Walau berada di tempat yang jauh, pulau Uzon dan Indanao masih merupakan wilayah Sagara dan hidup warganya adalah tanggung jawab kita. Mereka yang tersisa akan mati kelaparan jika aku tinggalkan di sana!" Mada terdengar tidak terima dengan ucapan Guraksha, kedua Patih itu saling menatap tajam.
Senyum mengejek terukir di wajah Guraksha yang lalu disusul tawa kecil, "Dan aku juga mengurus banyak warga kelaparan di Glora dan desa lain di barat kawanku yang naif, jika saja kau tidak menyadarinya. Apakah Patih penguasa wilayah lain ada yang bisa menampung mereka? Aku yakin kalian semua mendukung keputusan Patih Mada?" Guraksha menebarkan pandangan pada Patih lain disekelilingnya, tapi tidak ada yang bersuara. "Atau mungkin Madya Puri bersedia?" Tatapan Guraksha kini beralih menantang Mada.
"Tentu saja, besok aku--" Mada berusaha mengatakan sesuatu namun Sura memilih memotongnya. "Kau tidak akan melakukan apapun terhadap mereka besok Mada!" Ujar Sura setengah berteriak, ia melihat ke arah Mada yang menunduk menatap meja.
"Aku sendiri yang akan mengurusnya, mereka akan mendapat tempat tinggal di sekitar hutan Vanara, sudah waktunya kita mengembangkan daerah tertinggal itu," Sura lalu melihat kearah seorang Patih tua disebelah Bahula. "Patih Jambha! Kau dan aku akan ke selatan besok," ia berkata tegas disusul anggukan Patih bernama Jambha itu, seorang tua yang sudah berusia lebih dari 70 tahun, dengan pengalaman memerintah yang tidak bisa diragukan.
Sura kemudian mengalihkan pembicaraan mereka dan menanyakan tentang pencuri yang berhasil ditangkap Taksha, topik yang membuat Patih Mada bergerak tampak tak nyaman di kursinya.
"Penjahat itu ditangkap basah saat mencuri beras di desa Yawi, Mahapatih," ujar Taksha yang kemudian melirik waspada kearah Mada yang membuat Sura curiga, kedua Patih itu selalu memiliki hubungan yang baik, setidaknya dari apa yang Sura amati selama ini, "Warga Yawi melaporkan pencurian beras yang telah terjadi berkali kali dan menyebabkan kerugian besar, pencuri itu bernama Bapu," Taksha melanjutkan ucapanya dengan hati - hati. Sura tadinya tidak menyadari arti lirikan Taksha, namun dengan ini ia sekarang mengerti, ia juga seketika paham apa yang mengganggu pikiran Mada sejak tadi, tidak ada orang yang akan duduk tenang ketika keluarga mereka terancam hukuman berat.
Patih Mada berdiri seketika, "Ini pasti salah paham Patih Taksha! Anda pasti salah tangkap!"
Sura tak pernah melihat Mada berteriak seperti itu pada Patih lain.
Mada menatap bergantian kearah Taksha dan Sura dengan sorot mata memohon, "Bapu adalah orang yang mengasuh saya, dia orang baik, anda pasti salah tangkap!"
"Aku sendiri yang menangkapnya saat hendak mencuri Mada!" Taksha kini ikut berdiri, "Apa menurutmu aku salah tangkap? Aku?" Taksha mendekatkan dirinya kearah Mada, situasi terasa semakin tegang ditambah tangan kedua Patih yang menyentuh gagang keris masing masing.
Ruangan itu hening mencekam selama beberapa detik, kedua Patih belum melepaskan gagang keris mereka, sementara Gurakhsa dan Bahula menonton dengan antusias. Patih Jambha berdiri berusaha menengahi, "Jangan biarkan amarah mengendalikan kalian, anak muda!" teriak si Patih tua namun Mada dan Taksha tidak menghiraukanya.
Ki Sabda sang Dyaksha menatap Sura, tatapan yang ia sadar apa maksud dibaliknya. Dengan terpaksa Sura berdiri dan menegur dengan nada yang agak mengancam, "Duduklah Taksha! Dan kau Mada! Kau tentu paham kedudukan hukum suci Sagara, Bapu pamanmu tertangkap basah saat mencuri dan kejahatan sekecil apapun akan dihukum sesuai tradisi kita, dan kau tahu sendiri bagaimana tradisi kita, penolakan yang datang darimu akan dianggap sebagai penghianatan!"
Sura berusaha agar telihat senetral dan setenang mungkin, ia memaksa agar raut marah tidak terlihat di wajahnya, dua orang Patih yang saling menantang di dalam Gedong Saddharma disaat seperti ini hanya akan merugikan Laskar Sagara.
Mada perlahan kembali terhempas ke kursinya, pemuda itu tampak jelas sedang kebingungan.
"Mada, sifat manusia berubah seiring waktu, kau hanya mengenalnya saat masih anak anak dan itu sudah belasan tahun yang lalu," ujar Sura mencoba membuat Patih itu mengerti.
"Baiklah, Mahapatih saya paham." Suara Mada terdengar parau, ia tertunduk lesu diatas kursi. "Namun saya mohon berikan keringanan hukuman baginya, bagaimanapun Bapu adalah pengasuh saya dulu."
Taksha mendengus, "Tidak, kau belum paham Patih Mada, sekali lagi, hukum Laskar Sagara berada diatas perasaan sentimen mereka yang hidup di dalamnya, tanpa pengecualian. Apa kata masyarakat jika Patih mereka kedapatan mendukung dan menaruh rasa prihatin pada seorang penjahat?"
Mahapatih Sura menyadari kebenaran dibalik ucapan Taksha.
Ki Sabda bergerak gelisah diatas kursi sambil mengelus janggut di dagunya, "Patih Taksha sempat mengatakan, pelaku mencuri berkali - kali kan? Kalau begitu, Mahapatih jelas paham hukuman apa yang paling tepat, keringanan mungkin bisa diberikan jika Bapu ini hanya melakukan kejahatan sekali dalam hidupnya, tapi kenyataan tidak berpihak padanya."
Sura melihat kembali ke arah Mada yang masih terdiam, mulutnya tertutup rapat, jika saja ia dalam posisi terlentang, orang pasti akan menganggapnya sebabagai mayat. Apa yang dikatakan Taksha dan Ki Sabda memang benar, hukum Sagara adalah mutlak dan sebagai Mahapatih ia harus menjadi teladan dan memberi peringatan pada penjahat lain diluar sana, terlebih, Sura tidak ingin diingat sebagai Mahapatih pertama yang mengabaikan hukum dan tradisi mereka, "Aku sudah membuat keputusan, pencuri itu akan dihukum mati, eksekusi akan dilaksanakan 3 hari lagi di desa Yawi, masyarakat akan menyadari bahwa Laskar Sagara tidak akan memberi ampun bagi tindak kriminal yang mengotori pulau ini, Patih Taksha yang akan memimpin eksekusinya."
Tidak terdengar adanya protes di ruangan itu, tidak dari sang Dyaksha, tidak dari para Patih, bahkan tidak dari Mada, Sura hanya berharap patih muda itu mengerti bahwa keputusan inilah yang terbaik bagi semua orang, "Jika semua setuju, mari kita akhiri pertemuan ini," ia lalu berdiri, "Demi Nusa!" ucap Sura lantang.
"Demi Nusa!" Yang lain mengkuti, tak terkecuali Mada meski suaranya terdengar hampa.
Para Patih kemudian perlahan keluar dari Gedong Saddharma, Mada yang berjalan paling belakang tiba - tiba menghentikan langkahnya dan berbalik, "Mahapatih, izinkan saya untuk pergi ke Glora selama beberapa hari, Bapu memberi saya tanggung jawab untuk mengabarkan kematianya pada anak perempuanya yang berada disana."
Tanpa berpikir panjang Sura mengangguk, disisi lain ia merasa Patih itu juga butuh beberapa hari untuk berduka, "Wasiat dan pesan terakhir tetap harus dihormati, bahkan dari seorang pencuri seperti Bapu, pergilah ke Glora dan bawakan kabar kepada anaknya, Mada." Dengan itu, Mada beranjak pergi meninggalkan ruangan yang kini sepi itu, bayangan Mada tampak meliuk diterangi cahaya obor saat pemuda itu berjalan keluar.
"Hari yang buruk Mahapatih, sepertinya masalah terus saja berdatangan," Ki Sabda berujar menghadap Sura, "Menghukum pencuri itu adalah keputusan terbaik saat ini, ya, Patih Mada mungkin tidak berkenan, namun ratusan warga lain di Yawi akan senang mendengarnya, "Ki Sabda lalu mencangkupkan tangan layaknya sedang berdoa, matanya nampak terpejam sesaat.
Seorang kesatria lain tiba tiba mengetuk pintu lalu masuk kedalam ruangan, Sura mengenalinya sebagai orang yang bertugas menjaga menara komunikasi yang sekaligus menjadi kandang elang elang pembawa pesan. Kesatria yang baru hadir itu kemudian menunduk dan memberikan salam kepada Sura, "Mahapatih Sura, seekor elang jambul datang membawa pesan dari Suryapura," ucapnya seraya menyerahkan sebuah gulungan kertas, kesatria itu kemudian mohon pamit.
Sura mendekat kearah obor lalu membaca gulungan itu, ia tak percaya apa yang tertulis di dalamnya, "Kau benar Dyaksha, hari yang buruk." Ia menyerahkan gulungan itu kepada Ki Sabda yang kemudian membaca dengan suara pelan,
'Yang terhormat Mahapatih Sura dari Sagara, pelindung Nusa, dan pemimpin Laskar Sagara. Seperti kabar yang tersiar, ketegangan sedang berlangsung antara Kekaisaran Suryapura dan Kedatuan Malingga yang dipimpin Mahratu Nattari Amerta, kami berharap Laskar Sagara, selaku penyeimbang kekuatan di Nusa bersedia hadir ditengah dan memberikan jalan keluar terbaik bagi Suryapura dan Malingga. Kami mengirimkan seorang diplomat bernama Rakabima yang akan memohon kebijaksanaan Laskar Sagara.
- Kaisar Suryapura, Rajaksa Jayanaga, Jayanaga II '
Mahapatih Sura berdiri dan berjalan mondar mandir ditengah gemeritik suara obor, ia sudah memprediksi saat seperti ini sejak lama, layaknya gunung berapi yang hendak meletus akan memberi tanda berupa gempa, begitu juga para penguasa Nusa, tanda tanda itu sudah ada sejak lama, sabotase, persaingan dagang, hingga baru baru ini para penguasa menolak menumpas perompak di wilayah mereka sendiri dan menyimpan tenaga pasukan mereka, "Berapa lama sampai utusan mereka sampai?" tanya Sura.
Ki Sabda menggerakan jarinya berusaha untuk menghitung, "Jika angin mendukung, kurang lebih 2 bulan lagi, Mahapatih." Dyakhsa itu lalu meraba - raba jenggot panjangnya, "Ketegangan yang terjadi diantara Malingga dan Suryapura disebabkan oleh kematian misterius permaisuri pertama Kaisar Rajaksa yang juga adik dari Maharatu Nattari Amerta penguasa Malingga saat ini."
"Aku tahu itu Ki Sabda, bahkan pedagang keramik di Glora pun tahu hal itu," sahut Sura. "Mendiang permaisuri Dyah Amerta yang tewas mendadak di dalam istana Suryapura."
Ki Sabda lalu berdiri dan berjalan dengan tanganya terlipat di punggung, "Saya khawatir keadaan akan semakin memburuk, jika Malingga dan Suryapura memutuskan berperang, maka Badahulu pasti akan membantu Malingga, mengingat suami Maharatu mereka merupakan darah daging Raja Godayana Sadewa dari kerjaan Badahulu."
"Disisi lain Suryapura memiliki kekuatan militer yang cukup besar, terutama setelah penaklukan Chandrapura 50 tahun yang lalu." Mahapatih Sura dengan muram menimpali.
Sura masih ingat kejadian 50 tahun yang lalu itu, peperangan antara Suryapura dan Chandrapura yang juga disebut sebut Perang Matahari dan Bulan, Laskar Sagara turun membantu di pihak Suryapura saat itu, Mahapatih yang menjabat sebelum Sura beranggapan bahwa Chandrapura telah melakukan pelanggaran perbatasan dan menyerang Suryapura tanpa deklarasi perang, setelah perang itu berakhir, keturunan Raja Chandrapura dan loyalis mereka hampir habis tak tersisa, sisa sisa bangsawan dan pejabat mereka lalu menerima tawaran Suryapura untuk menyatukan kedua kerajaan dibawah panji - panji Suryapura.
Namun sekarang hari semakin malam, Sura mengesampingkan pikiran - pikiran itu, ia hanya ingin kembali ke tempat tinggalnya dan beristirahat bersama keluarganya dirumah.
***
"Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada
Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan
Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers
Angin meraung dari angkasa menerpa sekujur badan Mada dan mereka yang sedang sibuk di atas kapal layar. Raungan angin juga mengibarkan bendera harimau lambang kebesaran Laskar Sagara di tiang kapal tertinggi dan menghantam layar layar yang terkembang seiring kapal besar itu melaju di tengah hamparan samudra biru.Ombak saat itu cukup tinggi, air laut yang terus menerus menerjang terpantul oleh geladak kapal berbahan kayu nan keras, menghasilkan bunyi hantaman mengerikan disusul bunyi mirip hujan saat lompatan air laut berhasil menghujam dan membasahi bagian atas kapal, tempat dimana Mada sedang berdiri dan menatap horizon.Sudah sehari penuh Mada berlayar meninggalkan rumahnya di Madya Puri mengarungi lautan yang tidak menentu, berlayar menuju apa yang menurut Patih Jambha sebagai penentuan nasib kerajaan - kerajaan penghuni kepulauan Nusa. Mada tidak menyukai anggapan seperti itu, ia merasa seakan pundaknya diberi tambahan beban seberat 5 kali manusia dewasa.
Sore itu para pejabat paling penting di Kedatuan Malingga sedang berkumpul, pejabat paling penting dalam hal ini berarti Sang Ratu, Vishaka sendiri selaku Dapunta, Ki Hasta selaku Dyaksha, dan Pendeta Ghana. Menurutnya kedua nama terakhir sebaiknya di coret dari pertemuan, baginya Ki Hasta memiliki kepentingan lain selain untuk Malingga dan Pendeta Ghana tidak mengerti apapun soal politik, tapi Maharatu Nattari beranggapan lain. Pertemuan mereka kali ini hampir berakhir, mereka telah membahas sesuatu yang tak bisa dihindari yakni perihal Patih yang dikirim oleh Laskar Sagara ke Malingga, tentunya tujuan kedatangan Patih itu sudah dapat diperkirakan Vishaka. Sekarang hanya masalah apakah Kedatuan Malingga mampu menghalangi apa yang menjadi tujuan Patih itu. Ibarat sebuah ombak besar yang datang dari Sagara, apakah Malingga akan tenggelam atau mampu bertahan, Dapunta Vishaka beranggapan hanya dirinyalah yang sanggup menangani masalah itu. "Dengan begi
Peluh dingin mengucur dari tubuh Mada yang sedang tertidur pulas. Kepalanya bergerak gelisah di atas bantal yang berisikan kapuk, sebuah gambaran akan kejadian buruk yang terjadi belakangan terputar kembali dalam sebuah kilasan mimpi yang dialaminya. Kilasan tentang Bapu pamanya yang sudah tiada, memanggil - manggil namanya dan nama Lani dari balik jeruji dibawah Gedong Yama. Mimpinya lalu beralih pada saat dimana ia membantai para perompak, lalu pada warga pulau Uzon yang menyesali kematian mereka, menangisi kedatangan Mada yang begitu terlambat. Sebuah tepukan keras pada bahunya membuat mata Mada seketika terbuka, nafasnya tersengal melihat temanya Lyong berdiri di sebelah dipan tidurnya, "Mada! Bangunlah! Sesuatu yang gawat terjadi, beringin tua terbakar!" "Apa?" Setengah tubuh Mada masih tertidur. "Berdirilah! Seseorang telah membakar beringin tua di bukit! Kita harus bergegas, yang lain sedang berusaha memadankan apinya!" Lyong berteriak deng