Kentongan kayu yang terpasang di menara balai desa mulai di bunyikan, suaranya menggema memecah langit pagi di pedesaan dan pedukuhan di wilayah timur Sagara. Matahari bahkan belum sepenuhnya terbangun, fajar baru saja datang membawa angin segar dan aroma dinginnya embun pagi, tapi penduduk telah berbondong keluar dari kediaman mereka, saling bergunjing sambil berjalan cepat menuju sang patih dan puluhan kesatria di belakangnya. Keributan pagi itu bukan tanpa alasan, Taksha sebagai Patih pemimpin wilayah timur telah memberi perintah untuk melakukan sidak dan pemeriksaan ke seluruh desa - desa dibawah kekuasaanya, dan ia tidak pernah berhenti berkuda kesana - kemari sejak subuh tadi.
Kabar terbaru tentang pohon keramat di Madyapuri telah membuat kepalanya mendidih, dan baginya semua yang terjadi adalah ulah sebuah kelompok yang diam - diam merancang sabotase dan kudeta pada Laskar Sagara, kelompok yang mengacau saat eksekusi Bapu, kelompok yang ingin ia pastikan tak bers
Aula istana yang kosong bergema nyaring seiring bayang - bayang Nattari yang bergerak kesana kemari. Langit malam itu tak menghadiahkannya bulan maupun bintang, bahkan angin tak juga bertiup melewati lubang - lubang besar yang menghadap ke luar istana. Takhta di hadapannya tegak dan kokoh, di jaga dan di kelilingi pasukan penjaga, takhta itu tampak tak bergeming dan tak bisa digoyahkan. Nattari melihat takhta itu dengan jantung yang berdebar, liukan obor terpantul dari matanya yang bergetar. Dia mengingat saat mendiang kakaknya lah yang duduk di atas takhta berhiaskan giok itu, merasakan dan memikul segala masalah dan kesulitan yang di alami Kedatuan Malingga, dan orang - orang di dalamnya. Beberapa tahun mendatang akan menjadi giliran anaknya, Balaputra II. Nattari membayangkan apakah anak lelakinya itu akan memerintah pada masa dimana keadaan sudah kembali tenang seperti dahulu, sementara itu Antari... Malam semakin larut dan larut, Nattari tak kunjung meninggalkan
"Mendekati pelabuhan Kedatuan Malingga!" seorang prajurit berteriak dari atas tiang pemantau kapal. Dari anjungan tempatnya berdiri sekarang, Mada dapat melihat formasi pegunungan Antaboga lebih dulu dari pada pelabuhan Malingga. Deru angin dan hempasan ombak membawa kapal layar yang ia tumpangi semakin dekat dan kian dekat pada bibir pantai. Pelayarannya ke Malingga nyaris tidak menghadapi hambatan apapun, kecuali mungkin kehadiran seorang penyelundup di kapalnya. Sosok asing yang entah akan mereka apakan. Tapi Mada juga menangkap ke anehan dari suara sang juru pantau di atas sana, berdiri menahan angin dengan pakaian yang berkibar, suaranya terdengar jauh lebih jelas daripada seharusnya. Seketika ia menyadari bahwa angin perlahan semakin pelan dan lambat laun, angin bahkan tak mampu mengibarkan pakaian sang juru pantau, dan jelas sekali tidak akan mampu mendorong layar kapal mereka hingga ke pelabuhan. Laut juga menjadi tenang, sangat tenang yang membuat Mada
Diwata merasa telah mendayung selamanya, perahu kayu reot yang ia duduki melaju perlahan dibawah langit yang berubah semakin gelap. Raut wajah pemuda itu terlihat tidak puas, kedua tanganya terasa nyeri, tenggorokanya meronta meminta air. Ia memang menghabiskan sebagian hidupnya di lautan sebagai perompak, membajak kapal dagang di sepenjuru Nusa, tapi ia terbiasa menjadi penindas bukan orang yang di tindas dan melarikan diri seperti sekarang ini. Kepalanya yang dibalut kain menoleh kebelakang, menatap kearah lautan yang sepi dan pulau yang baru saja ia tinggalkan. "Tak ada yang selamat," Diwata membatin. Sesaat dirinya terpikir untuk melompat dan membiarkan dirinya menjadi santapan hewan buas dari laut dalam, ia sendiri pernah melihat seseorang dicabik cabik oleh sekawanan hiu, seorang pedagang kain dari Malingga yang dengan bodoh menantang kelompoknya di lautan. Namun Diwata menepis pikiran itu, ia belum ingin mati, ia masih ingin hidup, dan pesannya har
Nala sampai lupa berapa lama ia telah duduk bersila diatas Pendapa, bangunan tanpa dinding dengan 8 tiang - tiang kayu sebagai penyangga atap. Saat itu Nala dan teman - temanya sedang mendengar ocehan Mpu Merdah, seoarang guru sepuh yang mengajar di Padepokan Sagara, tempat pendidikan bagi para Taruna yang ingin bergabung menjadi kesatria Laskar Sagara. Nala merasa pernah mendengar pelajaran yang sama sebelumnya, kisah sejarah tentang Mahapatih Werkudara sang pembebas pulau Sagara di masa lalu dan sosok pendiri Laskar Sagara ratusan tahun yang lalu. Dalam benaknya Nala bertanya - tanya apakah mungkin usia telah membuat Mpu Merdah pikun, atau memang gurunya itu kehabisan materi untuk diajarkan. Rasa bosan membuat mata Nala menerawang dan menengok keseberang pendapa, di sana, seorang kesatria Laskar Sagara sedang berdiri seperti sedang menunggu sesuatu. Kesatria itu mengenakan zirah berbahan kulit keras sebagai atasan, kedua lenganya ter
Sebuah pohon beringin raksasa berdiri tegap di atas bukit, dahan dan rantingnya terbentang lebar seakan membentuk payung raksasa ditegah hamparan ilalang dan semak belukar. Saking besarnya, batang beringin itu sampai menutupi sebagian altar kuno yang didirikan di depanya. Mada sedang menikmati waktunya, duduk santai sambil bersandar di batang pohon beringin yang besarnya hampir menyamai rumah tempat tinggalnya itu. Mada baru saja kembali dari tugas resmi keluar pulau dan bahkan belum sempat mengganti baju zirahnya yang terkena noda darah, tapi setidaknya Mada telah melepas pelindung kepala besi yang dipakai dan membiarkan rambutnya yang hitam pekat sepanjang bahu berkibar diterpa angin sepoi. Ia menarik nafas dalam, Patih itu dapat mencium aroma khas dari dupa dan kemenyan persembahan yang diletakan pada altar disebelahnya, juga aroma dedaunan kering dan lumut yang menempel disana, bersantai di bawah naungan beringin keramat itu meru
Mahapatih Sura tidak menunjukan raut wajah ramah seperti biasa, malam itu ia sedang duduk disebuah kursi kayu jati di dalam Gedong Saddharma yang diterangi cahaya obor. Berkumpul diruangan itu adalah para Patih yang sedang duduk berjejer di sebelah kanan meja berbentuk persegi panjang, sedangkan disisi meja yang berlawanan, duduk dalam diam, seorang Dyaksha tua yang selalu membisikinya nasihat dan wejangan. Siang tadi ia telah menerima surat dari wilayah perkampungan di timur, pedesaan Yawi tepatnya. Tempat dimana sebagian beras di pulau Sagara ini berasal. Patih Taksha rupanya berhasil menangkap pencuri berantai yang telah meresahkan penduduk timur selama berminggu - minggu. Sura merasa senang, tentu saja, seorang kriminal berhasil tertangkap. Namun disisi lain ia juga khawatir, ini sudah kesekian kalinya anggota Laskar mengangkap penjahat entah itu pencuri, pemerkosa, atau pembunuh dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Dahulu mereka biasanya hanya menangk
"Ratu! Ratu!" Seorang pria berusia 50 tahun berteriak dan berlari melintasi lorong yang dinding - dindingnya dihiasi relief berbagai macam bentuk. Kain tenunan yang ia kenakan sebagai bawahan berkibar seiring langkah cepatnya sementara hiasan emas yang melubangi daun telinganya bergoyang seiring kepalanya yang celingukan. Pria itu menuju sebuah taman yang ada disebelah bangunan berbentuk stupa kemerahan setinggi 4 meter. Taman itu bermandikan cahaya dan dipenuhi tanaman bunga warna warni, terlihat jelas mereka yang tinggal istana itu benar - benar memberi perawatan yang terbaik. Maharatu Nattari Amerta melirik pria itu dari jauh. Dia mengenali sosok pria tersebut, seorang Dapunta mereka biasa memanggilnya, sebuah jabatan di Kedatuan Malingga yang berfungsi sebagai tangan kanan penguasa, Dapunta itu bernama Vishaka Amerta, yang juga adalah paman dari Maharatu Nattari. Tapi Maharatu pura - pura tidak menden
3 hari telah berlalu sejak rapat terakhir para Patih, selama 3 hari pula Taksha telah menanti saat dimana ia pada akhirnya akan mengeksekusi Bapu si pencuri. Patih berambut hitam pendek dan kumis tipis itu sudah tidak sabar mengayunkan pedangnya dihadapan penduduk Yawi yang akan menyorakan namanya, dan para penjahat yang akan meringkuk ketakutan setiap mendengar namanya. Taksha telah mengatur segala persiapan untuk memindahkan Bapu dari Madya Puri menuju Yawi, juga mengirimkan seekor elang pembawa pesan pada pasukan divisinya di sana, semua berjalan dengan baik sampai - sampai ia melupakan masalahnya dengan Patih Mada temanya. Taksha belum pernah berbicara dengan Mada sejak perdebatan terakhir mereka di Utama Puri, ia bahkan tidak pernah melihatnya lagi sejak kemarin, sekali ia mendatangi Lyong, wakil kepercayaan Mada, namun kesatria itu mengatakan Patih nya sedang menuju kota Glora entah untuk alasan apa, sangat disayangkan jika sampai Mada mengabaikan kehormatanya