Share

BAB 4: NATTARI

"Ratu! Ratu!" Seorang pria berusia 50 tahun berteriak dan berlari melintasi lorong yang dinding - dindingnya dihiasi relief berbagai macam bentuk. Kain tenunan yang ia kenakan sebagai bawahan berkibar seiring langkah cepatnya sementara hiasan emas yang melubangi daun telinganya bergoyang seiring kepalanya yang celingukan.

Pria itu menuju sebuah taman yang ada disebelah bangunan berbentuk stupa kemerahan setinggi 4 meter.  Taman itu bermandikan cahaya dan dipenuhi tanaman bunga warna warni, terlihat jelas mereka yang tinggal istana itu benar - benar memberi perawatan yang terbaik.

Maharatu Nattari Amerta melirik pria itu dari jauh.

Dia mengenali sosok pria tersebut, seorang Dapunta mereka biasa memanggilnya, sebuah jabatan di Kedatuan Malingga yang berfungsi sebagai tangan kanan penguasa, Dapunta itu bernama Vishaka Amerta, yang juga adalah paman dari Maharatu Nattari. Tapi Maharatu pura - pura tidak mendengar, dia sudah mengingatkan Vishaka agar tidak menganggunya saat sedang berada di taman istana, tapi tetap saja.

Nattari berdiri ditengah halaman dengan lengan baju sutra hijau mudanya yang tersingsing, dikombinasikan dengan kain tenun bermotif rumit yang hampir menyentuh tanah basah dibawahnya. Dia baru saja selesai memetik bunga - bunga cempaka merah untuk digunakan saat persembahyangan nanti malam, juga merapikan sulur sulur anggrek yang mulai memanjang bersama beberapa orang dayang istana.

Tak berselang lama Vishaka sudah berdiri disampingnya dengan nafas tersengal sembari membungkuk, wajah pamanya itu terlihat gelisah, dahinya mengkerut, tanda lahir di pipinya tampak basah oleh keringat. Nattari memperhatikan lubang tindikan di daun telinga pamanya yang semakin besar setiap tahunya, seiring semakin besarnya anting emas yang di kenakan.

Dilihatnya Sang Dapunta yang memegang sebuah lipatan kertas di tanganya. "Hamba mendapat informasi dari mata - mata kita di Sagara, ibu ratu," Vishaka berujar.

Nattari menatapnya dingin, "Lalu?" dia berusaha menyembunyikan nada kesal dalam seuaranya. Vishaka kemudian menyerahkan kertas kecil itu padanya seraya berujar "Suryapura akan mengirimkan seorang diplomat mereka ke Sagara." Wajah Pamanya itu memperlihatkan ekspresi syok yang mau tak mau membua Nattari sedikit takut.

Tapi setelah membaca isi surat tersebut, dia malah menggeleng dan mengembalikanya ke Vishaka. "Tidak ada yang perlu kita khawatirkan, paman Vishaka, mereka mungkin hanya akan membahas perdagangan atau mungkin sekedar undangan jamuan makan, " ujarnya sembari berjalan menjauh dari Vishaka yang merupakan adik laki - laki dari mendiang Maharaja Bhanta Amerta, ayah dari Nattari dan pamanya itu telah menjadi Perdana Menteri sejak era ayahnya bertakhta.

Langkah kaki Sang Dapunta terdengar membuntuti dibelakangnya, "Dengan segala hormat hamba Maharatu, mengingat rencana kita terhadap Suryapura, pertemuan mereka dengan Laskar Sagara harus di waspadai, sangat diwaspadai malah."

"Aku tidak akan mewaspadai apapun paman, berbeda dengan Suryapura dan Kaisar mereka Rajaksa, Laskar Sagara adalah bangsa yang terhormat, aku yakin mereka akan setia pada kesepakatan Nalanda," ujar Nattari tanpa keraguan, memutuskan untuk percaya pada Laskar yang terkenal terhormat itu. Dia berusaha untuk yakin, bahwa setelah puluhan surat yang dia kirim ke sepenjuru Nusa termasuk Laskar Sagara, bahwa setelah puluhan  surat yang berisi tentang kejahatan yang Suryapura lakukan dibaca para penguasa lain, kekaisaran laknat itu akan mengakui kejahatan mereka. Dia juga berharap penguasa lain akan mendukung Kedatuan Malingga dan menuntut Kaisar Rajaksa Jayanaga atas pembunuhan adiknya.

"Kesepakatan itu telah berusia ratusan tahun ibu ratu, zaman telah berganti," jawab Vishaka. "Tuduhan kita terhadap Suryapura juga tidak terlalu kuat ibu ratu, dan sejauh ini rencana kita menuntut Suryapura hanya didukung oleh Badahulu. Jika Suryapura dan Laskar Sagara bekerja sama, kita sebaiknya mundur sementara."

Langkah Nattari berhenti, mata hitamnya menyipit menatap kearah Kartawirya yang kini menunduk, bibirnya tampak semakin tipis menahan amarah, "Suryapura telah membunuh adiku, ADIKU!"

"Apa menurutmu paman kita harus diam saat mereka membunuh seorang putri dari wangsa Amerta? Darah dari pemimpin Malingga yang agung?" Tanya Sinha menghardik.

"Jika para penguasa lain menolak berpihak, maka Malingga akan bergerak sendiri, jika kata - kata tidak mempan, kita akan memakai senjata, dan paman akan membantuku menjadikan itu kenyataan!" bentaknya larut dalam amarah.

Skandal kematian adiknya, Dyah Amerta memang menghebohkan jagad Nusa beberapa bulan yang lalu. Maharatu Nattari ingat betul saat membaca sepucuk surat dari Suryapura yang menyatakan bahwa istri kaisar mereka meninggal akibat penyakit jantung, tapi Dyah adinknya tidak pernah menderita penyakit jantung atau penyakit berbahaya apapun sejak lahir, ditambah kesaksian salah satu pelayan adiknya, Midah, yang berhasil menyelinap keluar dari Suryapura mengatakan bahwa sebelum Dyah Amerta meninggal diabsempat muntah darah dan mimisan hebat. Mengingat dan membayangkan itu saja membuat darah Nattari mendidih.

"Tentu saja tidak, Maharatu. Suryapura pantas diberi pelajaran, perbuatan mereka terhadap Dyah Amerta sungguh terkutuk," Vishaka membalas sambil tertunduk lesu, "Hanya saja, jika perang dengan Suryapura terjadi, jika Laskar Sagara benar - benar berada di pihak Suryapura, izinkan saya untuk melakukan tindakan pencegahan, dan juga, ada baiknya kita merekrut prajurit tambahan, armada tempur kita sekarang tidak cukup kuat untuk mengalahkan mereka dalam pertempuran terbuka."

Pandangan Nattari kini menerawang jauh kearah angkasa, semua hal terasa semakin rumit baginya dalam memerintah Malingga, jika saja kakaknya tidak menghilang 15 tahun lalu, dia tidak akan berada di posisi seperti sekarang, namun putra pertama ayahnya dan pewaris takhta utama Malingga memutuskan untuk menyepi dan bertapa di hutan yang letaknya entah dimana, ia tak habis pikir betapa egoisnya kakak laki - lakinya itu. Keadaan sedikit membaik setelah Sinha menikah dengan suaminya, pangeran Wirata putra Prabu Godayana dari kerajaan Badahulu. Namun suaminya itu meninggal 5 tahun yang lalu, semenjak saat itu praktis hanya pamanya yang senantiasa membantunya menjalankan roda pemerintahan.

Pamanya adalah sosok yang lebih berpengalaman, lebih bijak, Vishaka pasti lebih tahu apa yang baik dan apa yang buruk bagi Malingga, setelah mengingat hal itu rasa bersalah muncul di hatinya, "Lakukan sesukamu paman, apapun yang menurutmu terbaik, jika paman pikir kita butuh pasukan tambahan, maka rekrutlah para pria pemberani dari seluruh Malingga, jika itu emas yang dibutuhkan, maka aku pastikan Kedatuan akan menyediakanya." 

Nattari kemudian berbalik dan kembali berjalan menjauh, meninggalkan pamanya yang kini tidak berusaha membuntuti, menuju bangunan utama yang berbahan batu bata dan paras dengan bagian atapnya berbentuk menyerupai kubah yang semakin meninggi pada area tengah.

Kalung dan hiasan emas yang ia kenakan bergemerincing selagi sang ratu berjalan, beberapa dayang istana berpakaian kain tenun yang disampirkan dari pundak kanan ke pinggang membungkuk ketika Nattari melewati mereka. Dia hendak mencari anak sulungnya, Balaputra Amerta dan berencana untuk memintanya belajar seni mengolah negara dari seorang Dyaksha kedatuan. Dalam saat - saat genting seperti ini sudah waktunya putranya itu mempersiapkan diri jika hal buruk terjadi. Bersiap menjadi seorang pewaris.

Setelah berjalan melewati bagian lorong luar istana yang dihiasi tanaman menggantung, Nattari lalu menuju aula utama dimana sebuah takhta keperakan bercokol di ujung ruangan, beberapa pengawal terlihat sedang berjaga disana memegang tombak dan perisai bergambar kepala kerbau berwarna jingga. Nattari kemudian berbelok menuju bagian sayap lain di dalam istana tersebut, menaiki tangga kayu yang membawanya di salah satu ruangan di lantai atas. Tanganya lalu mengetuk pelan sebuah pintu kayu hitam yang menghalangi, suara lembut terdengar dari dalam yang menyuruhnya masuk. Nattari membuka pintu, ruangan itu berbentuk bulat sempurna, dengan beberapa lubang persegi di tembok yang berfungsi sebagai saluran udara, tirai - tirainya terbuka membiarkan cahaya mentari merangsek dan menyinari sosok Midah, seorang pengasuh tua yang dengan cekatan berdiri dan memberi hormat.

"Ibunda!" Seorang anak perempuan berteriak manja kearahnya, anak itu sangat mirip denganya, sama - sama bermata cokelat, dan nemiliki rambut sepanjang punggung. Anak itu bernama Antari Amerta, anaknya bungsunya yang rupanya sedang belajar bersama Midah, gadis berusia 7 tahun itu berdiri dan berlari memeluknya dengan erat, untuk sesaat Nattari seakan dapat melupakan apa yang terjadi di taman istana tadi.

Maharatu melihat sekelilingnya, si sulung, putra mahkota Balaputra Amerta tidak ada di ruangan tersebut, Balaputra seharusnya ada disana, bersama dengan seorang pengajar yang seharusnya mendidik putranya dalam hal sastra.

"Antari putriku, apa yang sedang kamu buat, nak?" Nattari bertanya halus, ia melihat anak perempuanya yang berbalik untuk mengambil sehelai kain dengan satu tanganya yang kecil, sementara tanganya yang lain mengambil sebuah canting tembaga.

"Midah mengajariku cara mencanting, lihat!" putrinya berujar sambil menunjukan hasil karyanya, motif teratai dengan kombinasi warna merah muda dan ungu yang terlukis diatas kain berwarna putih, tidak buruk untuk seorang anak yang berusia 7 tahun.

"Tuan putri melakukanya dengan sangat baik, Maharatu," ujar Midah bangga,  "Sepertinya tuan putri kita memiliki tangan seorang seniman." Midah sepertinya melakukan tugas nya dengan baik, wanita tua itu adalah pelayan loyal keluarganya, terutama pada adiknya Dyah Amerta yang sudah tiada, saking dekatnya dia dan Dyah, saat adiknya menikah dia bahkan mengajak Midah untuk tinggal bersama di Suryapura. Namun semenjak kepergian majikan lamanya Midah selalu nampak murung dan tertekan. Nattari senang melihat keceriaan mulai kembali di wajah pelayan tua itu.

"Antari, kamu tahu kakakmu dimana?" tanya Nattari sembari mengelus kepala anak perempuanya pelan, ia teringat tujuanya datang kesana.

Putrinya itu menggeleng, "Kak Bala bilang dia pergi bermain gasing ibunda," Antari menjawab polos. Setelah mengucapkan kata itu Antari seketika terdiam dan menunduk. 

Nattari baru saja hendak keluar dan memarahi Balaputra, saat tiba - tiba suasana berubah, hembusan angin dingin yang menusuk bertiup menerbangkan tirai - tirai  dan membekukan ruangan. Midah dengan tanggap berlari menutup setiap tirai yang ada, namun firasat Nattari mengatakan angin itu tidak datang dari luar. Suasana terasa tidak normal, jantungnya berdegup kencang, sementara Midah tampak gemetar entah karena kedinginan atau ketakutan atau keduanya. Ruangan bulat itu mendadak berubah remang seakan hari telah mendekati waktu senja, Nattari dapat mendengar lolongan anjing liar diluar istana Malingga menandakan ada yang tidak beres, sangat tidak beres.

Antari tiba - tiba menjatuhkan kain dan canting yang ia genggam, menciprati kain lain dengan lilin cair yang hangat, putrinya tiba tiba mematung, wajahnya memucat, dia dibantu Midah dengan cekatan memegang  putrinya tapi Antari seketika kolaps. "Midah! Panggilkan para tabib istana! Juga Pendeta Ghana, cepat!" Dia berteriak dan melihat pelayan tua itu berlari keluar ruangan.

Nattari mengguncang dan memeluk tubuh putrinya terusmenerus, "Kembalilah Nak," ia berbisik, "Jangan pergi terlalu jauh." Tanganya merasakan keringat dingin yang mulai mengucur di tubuh putrinya. Beberapa menit kemudian para tabib datang membawa air dan obat obatan, dibelakang mereka seorang pendeta bernama Ghana berlari terpogoh - pogoh.

Ghana duduk bersila disebelah Antari, ia adalah pendeta utama kerajaan, sosok tua dengan rambut panjang yang dicepol pada bagian atas sementara bagian bawah dibiarkan terurai, warna rambutnya seperti langit mendung dan diselingi banyak uban, ia juga memiliki jenggot panjang bergelombang di dagunya yang kurus.

"Tuan putri," pendeta itu berujar pelan sambil memegang dahi putrinya sementara tanganya yang lain membentuk simbol - simbol mudra yang hanya dimengerti oleh kalangan pendeta, ia lalu menutup matanya seraya memanjatkan mantra dari bahasa Nusa kuno, "Ong usadha hyang embang..."

Nattari tidak memahami arti mantra tersebut, tidak ada yang mengerti kecuali kaum pendeta di Nusa, namun beberapa saat kemudian tubuh Antari tiba - tiba bergetar hebat, putrinya mengerjapkan mata dan seketik terbangun dengan nafas tersengal - sengal, gadis itu menatap orang orang sekelilingnya bingung.

"Tuan putri!" ujar pendeta Ghana, pria tua itu kini telah berhenti mengucap mantra dan menjauhkan tangan keriputnya dari dahi Antari, pendeta itu lalu mengusap dahinya sendiri yang berkeringat dengan jubah kain kuning tua yang ia kenakan. Setelah mengatur nafas, pendeta Ghana bertanya, "Kali ini, mimpi tuan putri seperti apa?"

Antari mengerjapkan mata cokelatnya dan perlahan berdiri dengan Nattari yang masih memegang tangan mungilnya. Para tabib berusaha memberinya air yang sudah berisi ramuan herbal, "Aku tidak haus!" Antari terdengar membentak, yang membuat Maharatu memberi isyarat menyuruh para tabib dan Midah pergi, sehingga di ruangan hanya tersisa dirinya, Antari, dan pendeta Ghana.

"Ibu tidak akan percaya aku mimpi apa," ujar Antari terdengar antusias. Sang Maharatu menoleh melihat ke arah pendeta untuk meminta arahan yang lalu dibalas anggukan, "Kalai begitu beritahu ibu dan kakek pendeta tentang mimpimu barusan, Nak," pintanya dengan perasaan gelisah.

Antari Amerta anaknya memang memiliki kondisi yang unik, para pendeta istana menganggapnya sebagai berkah dari para Dewa kepada Kerajaan Malingga. Terkadang putrinya dalam waktu yang tidak menentu, dan dalam keadaan yang acak, terkadang kolaps dan mulai 'bermimpi', namun berebeda dengan mimpi pada umumnya, mimpi putrinya merupakan kilasan - kilasan tentang masa depan. Menurut para pendeta putrinya memiliki bakat sebagai seorang Juru Tenung, sosok manusia yang mampu melihat dan menerawang masa depan, mengintip apa yang direncanakan para Dewa pada dunia manusia.

Mimpi mimpi Wulan, seringkali terbalut gambaran gambaran yang terkesan abstrak, namun pada akhirnya terhubung dengan apa yang akan terjadi pada masa mendatang, Nattari ingat suatu waktu anaknya kolaps masuk ke alam 'mimpi', di dalam mimpi itu ia mengaku melihat seseorang yang menangis di atas awan, beberapa hari kemudian hujan badai menerpa wilayah Malingga. Pernah juga mimpinya tentang burung elang jambul pembawa pesan yang terbang membawa tulang di cakarnya, beberapa bulan kemudian seekor elang yang membawa pesan kematian Dyah datang dari Kekaisaran Suryapura.

Antari membuka mulutnya, "Aku bermimpi siang hari yang sangat panas ibunda, aku sedang berdiri di taman. Aku merasa sangat panas, sinarnya terlalu terang," ujarnya sambil melihat kearah celah jendela yang sedikit tidak tertutup oleh tirai. "Disana aku juga lihat ular ular kecil berkaki memenuhi taman, banyak sekali ular kecil, sangat banyak." putrinya mengakhiri.

Mendengar itu Nattari terkesiap, ia melihat putrinya dengan bingung lalu menggendongnya, dalam hati ia bertanya tanya apa gerangan arti mimpi tersebut. "Midah!" ia memanggil, pelayan itu lalu muncul dari balik pintu, "Anaku, sebaiknya kamu kembali ke kamar ya nak, Midah tolong temani putriku sementara," ujarnya sambil menyerahkan putrinya ke gendongan Midah. Antari mengangguk patuh dan mereka berdua beranjak meninggalkan ruangan.

Disebelah sang ratu, pendeta Ghana terlihat bingung, "Ular yang berkaki?" pendeta itu tampaknya bertanya pada diri sendiri, ia memang selalu menjadi yang paling antusias untuk memecahkan makna mimpi Antari, "Ini sudah yang kesekian kali, apa menurut anda tidak apa - apa?" ujar Nattari terdengar tegang, ia khawatir, walau para pendeta mengatakan kemampuan putrinya adalah anugerah, tapi ia sendiri tidak tahu harus menganggap kemampuan putrinya ini sebagai kelebihan atau kekurangan. Bagaimana jika Antari tidak pernah terbangun saat bermimpi? Bagaimana jika Ghana atau pendeta lain tidak ada ditempat untuk membacakan mantra dan mengembalikan kesadaranya? Bagaimana jika putrinya itu kolaps saat berada di pertemuan penting dan sejenisnya?

Sang pendeta menjawab dengan tenang, "Saya rasa tuan putri melaluinya dengan baik Maharatu. Dulu putri anda akan sakit setiap mengalami gejala itu, tapi seiring waktu berlalu efeknya perlahan berubah menjadi rasa lelah, dan sekarang Putri Antari bahkan menolak diberi minuman dan tidak lagi terlihat kepayahan, kemampuanya pastilah sudah berkembang."

"Tapi tetap saja, tidak bisakah itu disembuhkan?" tanya Nattari setengah berharap, dia merasa lebih baik memiliki seorang putri yang normal daripada calon peramal yang menggumamkan kilasan masa depan pada orang - orang.

Ghana menggeleng, "Sayangnya saya tidak bisa banyak membantu, ilmu tenung adalah sesuatu yang gaib, itu adalah bentuk komunikasi para dewa dengan manusia yang dipilih mereka," ujar sang pendeta. "Dalam sejarah Nusa setelah Mahapralaya, setelah memasuki zaman yang baru, jumlah Juru Tenung yang terlahir semakin sedikit, dan terus berkurang seiring generasi berjalan." Ghana melihat kearah kearah pintu dengan waspada, ia lalu memainkan manik - manik kalung rudraksha dilehernya, sesuatu yang biasa pendeta itu lakukan saat berpikir, "Seumur hidup saya hanya mengenal 2 orang yang memiliki kemampuan tenung, seorang pertapa tua di pulau Bunian, yang kedua adalah tuan putri kita. Antari Amerta."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status