Share

BAB 5: TAKSHA

3 hari telah berlalu sejak rapat terakhir para Patih, selama 3 hari pula Taksha telah menanti saat dimana ia pada akhirnya akan mengeksekusi Bapu si pencuri. Patih berambut hitam pendek dan kumis tipis itu sudah tidak sabar mengayunkan pedangnya dihadapan penduduk Yawi yang akan menyorakan namanya, dan para penjahat yang akan meringkuk ketakutan setiap mendengar namanya.

Taksha telah mengatur segala persiapan untuk memindahkan Bapu dari Madya Puri menuju Yawi, juga mengirimkan seekor elang pembawa pesan pada pasukan divisinya di sana, semua berjalan dengan baik sampai - sampai ia melupakan masalahnya dengan Patih Mada temanya.

Taksha belum pernah berbicara dengan Mada sejak perdebatan terakhir mereka di Utama Puri, ia bahkan tidak pernah melihatnya lagi sejak kemarin, sekali ia mendatangi Lyong, wakil kepercayaan Mada, namun kesatria itu mengatakan Patih nya sedang menuju kota Glora entah untuk alasan apa, sangat disayangkan jika sampai Mada mengabaikan kehormatanya dan mencari kenikmatan di tempat seperti Glora, ia tak lebih baik dari Guraksha jika hal iu sampai terjadi.

"Kakanda, pakaianmu sudah siap," seorang wanita berteriak dari salah satu kamar, suaranya terdengar begitu manis di telinga Taksha, suara yang membuatnya tenang dikala gusar dan bersemangat dikala gelisah.

Taksha perlahan bangkit dari bak mandinya yang berbahan kayu, seketika membuat air hangat di dalamnya beserta daun lidah buaya yang ia pakai untuk mengusap badan meluap membanjiri ruang mandi. Hari saat itu masih subuh, lilin - lilin di dalam rumah tempat tinggalnya di Madya Puri kini hampir meleleh seluruhnya. Taksha perlahan berjalan menuju ruangan dimana istrinya Nyi Ratna berada, masih dengan kondisi telanjang bulat dan sekujur tubuhnya yang basah meneteskan air.

Saat ia memasuki ruangan remang itu Nyi Ratna melihatnya dari atas kebawah, lalu pandanganya mengarah ke lantai yang basah setelah dilewati Taksha dan menggeleng. "Setidaknya keringkan dulu badanmu disana kanda, anak kita bisa terpeleset," ujar perempuan berambut hitam sepanjang punggung itu, mata hitamnya yang besar menatap Taksha jengkel sambil menyerahkan selembar kain untuknya mengeringkan tubuh.

"Bukan salahku, suaramu begitu membuai hingga seorang Patih Taksha sampai lupa mengeringkan badan!" Balas Taksha bercanda.

Setelah selesai mengeringkan badanya yang dipenuhi otot, Takhsa segera mengenakan pakaian yang disiapkan istrinya, sehelai batik bermotif singa khas Sagara, selendang merah yang ia lilitkan di pinggang, serta ikat kepala kain berwarna cokelat gelap yang ditambah aksesoris menyerupai mahkota sederhana, sementara disebelahnya Nyi Ratna membantun Taksha memasang beberapa perhiasan kebesaran di kedua lenganya beserta hiasan kuningan yang dijepitkan di daun telinga.

"Tidakah ini begitu cepat?" Ratna tiba tiba berbicara dengan nada murung. "Kamu baru kembali ke Madya Puri beberapa hari yang lalu, kenapa tidak biarkan kesatria lain yang melakukan eksekusi?" tanyanya.

"Aku ingin tinggal lebih lama, sangat ingin. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan tugas ini, tidak setelah semua kejahatan yang sering terjadi belakangan." Jawab Taksha tegas, ia sebenarnya merasa bersalah, ia ingin tinggal bersama keluarganya lebih lama, tapi tugas dan kewajibanya sebagai Patih tetap yang utama.

"Kakanda, kamu adalah penguasa wilayah timur, kamu akan sering bertugas disana, tidakah lebih baik jika kita mengajukan permohonan pindah pada Mahapatih?" pinta istrinya merajuk. "Ajak aku dan Guna anak kita tinggal bersamamu di timur, seperti keluarga Patih Jambha yang tinggal bersama di wilayah selatan." Ratna memohon padanya, permohonan yang sudah kesekian kali ia ucapkan, dan setiap mendengarnya, hati Taksha seperti tersayat. Namun jika keluarganya pindah, itu berarti Guna akan bergaul bersama anak - anak petani alih alih kesatria, sementara istrinya, ia tidak mau istrinya berada ditengah lingkungan desa dan pedukuhan yang lugu.

Tangan Taksha dengan pelan menarik bahu Ratna. Sang patih lalu memeluknya sembari mengelus punggung dan rambutnya yang tebal, Taksha dapat mencium bau minyak bunga yang merebak dari rambut istrinya itu, bibirnya lalu menciumi pipi dan kening istrinya yang sehalus sutra.

Taksha dapat membayangkan betapa ia akan merindukan Ratna setelah pergi bertugas, sejenak pikiran untuk mengajak keluarganya pindah ke timur terasa begitu menggoda tapi ia dengan cepat menepis pikiran itu. "Daerah di timur adalah tempat yang tidak pantas untuk wanita secantik dirimu, Ratna, dan Guna harus tetap disini sampai ia berusia 8 tahun, lalu akan belajar di Padepokan setelahnya, sudah saatnya putra kita menapaki jalan yang sama dengan ayahnya."

Pasangan suami istri itu terdiam sesaat, Taksha beryukur Ratna tidak mendebatnya kali ini, perempuan itu hanya diam dan cemberut. "Setidaknya cepatlah kembali, Guna akan sangat merindukan bapaknya. Anak itu memang jarang mengatakanya tapi sebagai seorang ibu, aku bisa merasakanya dari cara dia melihatmu, kanda."

Patih Taksha mengangguk, "Aku tahu dan aku bangga padanya karena mampu menahan perasaan itu didepanku. Guna benar - benar putra seorang Patih, ijinkan aku melihatnya sebentar."

Setelah melepas pelukan dari istrinya, Taksha langsung berjalan menuju ke kamar anaknya, disana, tertidur diatas ranjang kayu yang dilapisi matras berisikan bulu bulu unggas, seorang anak lelaki berambut hitam jelaga, bertelanjang dada dengan tubuh berisi dan mengenakan kain batik. Taksha mendekat dan mencium kening putranya yang ternyata membuat Guna terbangun.

"Bapak..." Guna berkata sambil menguap, "Bapak akan pergi lagi?" tanya putranya kali ini. Guna seketika terduduk kembali di ujung ranjang sambil mengusap matanya.

Taksha dapat mendengar sedikit nada kecewa dari suara anak lelakinya itu, dielusnya kepala Guna dengan sayang, "Maafkan bapak sudah membangunkanmu, nak," ujar Taksha pelan.

"Bapak akan pergi ke timur sekarang untuk menghukum seorang penjahat, jagalah ibumu selama bapak pergi," ujarnya dengan berat hati. Ia melihat Guna yang kembali mengusap mata, kali ini bukan karena kantuk tapi terlihat jelas anaknya itu sedang berusaha menahan tangis, tanpa ia sadari, tangan Taksha sudah merangkul Guna dengan erat. "Bapak akan segera kembali nak, tidak akan lama," ujar Taksha, ucapanya itu tidak hanya untuk berusaha meyakinkan Guna, tapi juga dirinya sendiri.

Setelah melepaskan dan mengucapkan selamat tinggal pada Guna, Taksha berjalan keluar menuju ruangan kecil yang tembuknya diukir dengan relief para kesatria, dihadapanya, diatas meja jati kecil, terpajang Keris Antaboga miliknya, asap wangi yang berasal dari pembakaran kayu menyan tercium semerbak diruangan itu, Taksha mendekat dan mengambil Antabogaia lalu mencabut keris itu dari warangka atau sarungnya yang diukir dan bersepuh batu mulia berwarna merah, dilihatnya bilah keris berbahan campuran logam dan batu angkasa itu mengkilat dibawah cahaya lilin sementara ulu atau pegangan Antaboga berbentuk seekor naga sesuai dengan namanya, Taksha mengangkat keris diatas kepalanya sebagai sebuah gestur penghormatan pada pembuat dan para pendahulu yang memiliki keris itu sebelumnya, lalu menyarungkanya kembali dan menyelipkanya di pinggang.

Ia berjalan menuju ruang utama, disana Ratna sudah menunggunya seperti biasa. Istrinya itu memberinya kecupan di bibir, "Semoga para dewa dan leluhur memberkatimu kakanda," ucap istrinya yang lalu memanjatkan doa sebelum ia keluar rumah.

Diluar kediaman Taksha, beberapa kesatria  pengawal tampak sudah menunggu, ia berjalan melewati halaman kearah kandang kuda dan menaiki kuda kesayanganya yang ia namai Ashva. Dalam sekejap Patih itu meluncur melewati halaman menuju gerbang rumahnya, ia terus berkuda menuju jalan utama Madya Puri diikuti para kesatria lain dibelakangnya. "Bagaimana dengan tahanan?"

Salah satu kesatria menjawab, "Sudah menunggu di gapura timur, Patih, siap berangkat menuju Yawi."

Mendengar hal itu Taksha mempercepat laju kudanya, para kesatria itu berkuda menembus jalanan berkerikil Madya Puri yang nampak tidak begitu ramai di pagi hari, beberapa orang dijalan menyingkir ketika mereka lewat sambil mengucapkan hormat pada Patih Taksha, pemandangan Madya Puri yang di penuhi rumah rumah bata dengan cepat berlalu seiring laju Ashva, dan dalam waktu singkat, kereta tahanan beserta para kesatria yang sedang menunggu sudah terlihat di mulut gapura timur. Sesampainya Taksha disana, ia langsung mengatur rombongan, Taksha dan beberapa pengawal berkuda di depan, kereta tahanan mengikuti mereka tepat dibelakang, sementara beberapa kesatria lain akan berkuda dibelakang kereta tahanan. Tepat ketika matahari mulai terang, rombongan itu berangkat menuju desa Yawi.

Perjalanan menuju Yawi biasanya akan menghabiskan waktu selama setengah hari, dan akan lebih lama jika mereka memutuskan untuk beristirahat atau mengurangi kecepatan, Taksha sudah mengantisipasi hal itu dengan meminta rombonganya menyiapkan obor dan sedikit bekal.

Beberapa jam awal perjalanan mereka tidaklah sulit, setelah menuruni dataran tinggi dimana Madya Puri berada, rombongan lalu melewati jalan utama yang meliuk diantara tebing tebing kecil nan rimbun ditumbuhi pepohonan, sebuah reruntuhan kuno berdiri diatas salah satu tebing, para Dyaksha memperkirakan bahwa bangunan itu sudah ada sejak Zaman Kuno, ketika Nusa masih berupa daratan besar dan kaum manusia hidup berdampingan bersama makhluk makhluk langit, di Zaman Baru, para pendeta Sagara menggunakan reruntuhan itu sebagai kuil pemujaan dan menempatkan sebuah altar bagi Mahadaiva diatasnya.

Taksha berhenti sejenak memandang kearah tangga batu dibawah tebing yang mengarah keatas menuju reruntuhan, salah satu kesatria bernama Wangga mendekat dan bertanya, "Jika tuan Patih ingin berdoa, kita masih punya banyak waktu sebelum mencapai pedesaan di timur."

Wangga adalah kesatria tangkas yang Taksha anggap sebagai tangan kananya, tentu saja Wangga menyadari kebiasaanya bersembahyang di reruntuhan itu setiap menuju Yawi atau sebaliknya. "Tidak untuk saat ini Wangga," jawabnya datar, Taksha merasa ia harus menuntaskan eksekusi ini sesegera mungkin, sang patih lalu menghentak tali kekang kudanya, "Larilah, Ashva." Seketika kuda cokelat itu kembali berlari, diikuti kesatria lain dan kereta tahanan dibelakangnya.

Setelah seharian melewati area yang dipenuhi tebing curam dan padang rumput yang tandus, pemandangan akhirnya berganti, saat matahari semakin tenggelam, area yang lebih subur membentang di depan mereka, cahaya jingga menyinari hamparan sawah yang berundak - undak sejauh mata memandang, air jernih yang mengalir melewati puluhan parit irigasi, kawanan burung bangau yang terbang setelah puas mencari makan di genangan air sawah, rombongan akhirnya memasuki pedesaan timur Sagara.

***

Keesokan pagi kerumunan orang berdiri melingkar di alun alun desa Yawi mengelilingi sebuah panggung kecil sederhana kayu sederhana yang sudah disiapkan Taksha dan kesatrianya, Taksha sebelumnya juga mengarahkan agar beberapa ksatria membentuk barisan untuk memberi jarak antara panggung dan masyarakat yang hadir.

"BEDEBAH!" teriak beberapa warga yang berkumpul, "PENCURI!" beberapa warga lain menimpali sambil meludah ke tanah. Sebagian dari warga tampak mengangkat alat - alat seperti cangkul dan arit yang sepertinya akan mereka gunakan nanti di sawah.

Taksha saat itu sedang berdiri diatas panggung, sedang berlutut dihadapanya adalah Bapu si pencuri. Sosok pria yang kurus kering dan memprihatinkan. Bapu bersujud serendah mungkin seakan takut pada cahaya matahari yang menyorot wajahnya. 

Ditengah sorakan warga yang bergemuruh, Taksha mengangkat tangan meminta para warga untuk diam sesaat. Alhasil umpatan terdengar dari mulut mereka berhenti, "Rakyatku! Penduduk Yawi yang tehormat, sesuai dengan pemberitahuan sebelumnya, hari ini aku Taksha akan menjatuhkan hukuman bagi pencuri beras yang merugikan kalian semua!"

Warga kembali bersorak, Taksha tidak dapat mendengar jelas sorakan mereka yang pasti semuanya berisi sumpah serapah bagi si pencuri. Sementara dibawahnya Bapu terdiam, ia sempat mengatakan sesuatu tentang permohonanan ampun, tapi itu tak berselang lama karena sedetik kemudian Taksha menendang punggungnya.Lolongan anjing desa juga terdengar dikejauahan, "Kau dengar itu?" ia berbisik pada Bapu, "Lolongan adalah pertanda baik bagi mereka yang akan mati." 

Namun Bapu hanya meringis.

Sang Patih lalu berteriak lantang pada warga yang hadir disana, "Kalian tahu hukuman bagi kriminal di pulau ini! Tidak ada pengampunan bagi penjahat pesakitan seperti Bapu, hukum Laskar Sagara akan berdiri tegak untuk selamanya dan penjahat seperti apapun akan dihukum sangat berat di Sagara yang keramat ini!"

Sorakan warga terdengar makin kencang, "Penggal dia, tuan Patih," salah satu warga meminta, dari kejauhan beberapa warga lain berbondong bondong menghampiri dan bergabung di dalam kerumunan, alun - alun desa Yawi kini penuh sesak, keadaan yang memang diharapkan Taksha, semakin banyak penonton maka semakin baik.

"Sagara adalah tanah para ksatria agung sejak ratusan tahun, dan aksimu telah mengotori pulau ini, pencuri," Taksha kembali berteriak diikuti euforia warga yang bertepuk tangan. Ia lalu perlahan menarik pedang dari sarungnya, menghasilkan suara nyaring yang memekakan telinga.

"Hukumanmu sudah ditetapkan, sama seperti penjahat lain pada masa lalu atau pada masa yang akan datang, perbuatan kriminal dalam bentuk apapun akan dibayar nyawa!" Taksha berbicara tegas, ia lalu perlahan mengangkat pedang, "Inilah kesempatan terakhirmu berbicara pencuri, adakah yang ingin kau ungkapkan?" tanya Taksha dengan pedangnya mengambang tepat diatas leher Bapu.

Bapu tampak pasrah dan memejamkan mata, pipinya basah oleh air mata namun dia tidak mengeluarkan ucapan apapun, Bapu tidak berusaha membela diri seakan sadar bahwa apapun yang dikatakanya tidak akan merubah apapun. Namun ia sepertinya berubah pikiran disaat - saat terakhir dan mulai berbicara, "Tuan Patih, dan warga Yawi," ia memulai dengan suara serak keluar dari mulut keringnya. 

Bapu perlahan mengangkat kepalanya dan duduk tegak menghadap para warga. "Saya telah mengakui perbuatan dan menerima apapun hukuman yang dijatuhkan pada diri saya yang hina ini," ucapnya sambil mengedarkan pandangan keseluruh warga

"Akan tetapi, ada hal lain yang harus saya katakan," ujarnya lagi.

Warga berhenti mencemooh. Taksha mengangkat alis, ia penasaran apa yang akan dikatakan seseorang yang segera mati dihadapanya ini?

"Saya tidak merencanakan semuanya sendiri!" Bapu tiba - tiba meraung, para warga kaget dan seketika saling berbisik.

Pencuri itu lalu melanjutkan dengan sisa - sisa suara yang masih dimilikinya, dan air mata yang deras mengalir di wajahnya, "Saya tergabung dalam sebuah organisasi, organisasi kami yang merenca--"  seketika Bapu tercekat, ia berusaha berbicara namun ada yang aneh, ia tampak seperti orang yang tercekik dan megap megap mencari udara

Para kesatria melihat satu sama lain dalam kebingungan, yang mau tak mau membuat Taksha bertanya - tanya. Dari posisinya berdiri sekarang, Taksha tidak dapat melihat apa yang terjadi pada Bapu dengan jelas, namun yang membuatnya terkejut adalah pencuri itu yang tiba tiba berteriak kesakitan dan jatuh tengkurap. Taksha perlahan menyarungkan kembali pedangnya, dan berjongkok memegang tubuh Bapu yang kini tak bergerak, disusul beberapa kesatria juga mulai menaiki panggung. Taksha menjadi curiga dan membalik tubuh pencuri itu, dan kecurigaanya bertambah saat melihat wajah si pencuri yang kini lemas tak berdata itu.

Sesuatu yang tak pernah ia duga terjadi dihadapanya, sesuatu yang gelap, licik, dan membuat darahnya mendidih.

Bapu telah tewas, tapi tidak dengan pedang Taksha, mulut pria itu menghitam dan mengeluarkan busa putih, matanya membelalak mengeluarkan darah dari ujungnya, darah juga mengalir keluar dari hidungnya, sebuah benda kecil seperti duri mencuat dari leher Bapu yang membiru, sebuah senjata yang tidak awam di Sagara, sebuah senjata yang digunakan para pengecut.

Taksha menyadari apa yang sedang terjadi "Racun! kesatria Sagara! periksa seluruh warga yang hadir, seseorang telah dengan berani menembakan sumpit beracun dihadapanku!" teriaknya terdengar bagai auman singa. "Seluruh warga yang hadir dilarang ada yang meninggalkan alun - alun! Wangga, kau bawa beberapa kesatria untuk menutup akses keluar!" 

Wangga yang berdiri disebelahnya mengangguk dan beranjak pergi bersama beberapa kesatria lain, warga yang hadir mulai berteriak panik dan saling mendesak satu sama lain, tapi Taksha tidak peduli, matanya menyurusi setiap bangunan yang ada disekitar namun semuanya terlalu jauh untuk menembakan benda sekecil sumpit bambu, jarak yang paling ideal hanyalah dari dalam alun - alun, cepat atau lambat si pelaku akan tertangkap.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status