“Hiyyaatt.....huppp........”. dengan cepat Bintang bergerak menghindar, tapi keempat lawannya terus memburunya seakan tak memberikan kesempatan sedikit saja kepada Bintang untuk bernafas lega.
Serangan-serangan keempat lawannya itu kian gencar dan saling berlomba-lomba, kalau saja gerakan Bintang tidak cepat dan lincah, tentu sudah sejak tadi Bintang terkena pukulan dari salah seorang penyerangnya.
“Hyattt.......Telapak Bayangan heaa.....wusshh......”
“Kora....awasss...!!!!”
“Dessss......akkkhhh.......”. terlambat bagi Kora untuk mendengar peringatan dari temannya, saat serangan maut Bintang datang menghampirinya dan terpentallah sosok Kora dengan derasnya kebelakang hingga menghantam sebatang pohon yang berada tak jauh dari tempat pertarungan itu, dan sesaat terlihat sosok Kora tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya tersungkur.
“Desss.....dess......”.tapi malang bagi Bintang, walau berhasil menyarangkan serangannya, dua serangan dengan telak berhasil menghantamnya, hingga tubuh Bintangpun terlempar dengan keras kebelakang.
“Huakkk.........”. terlihat Bintang langsung memuntahkan darah dari mulutnya seraya memegangi dadanya, sementara ketiga lawannya yang tersisa terlihat langsung mendekati sosok Kora dan salah satu dari ketiganya terlihat langsung bergerak memeriksa keadaan Kora.
“Kora tewass......!!”. ucap yang memeriksa lagi hingga mengejutkan mereka semua yang ada ditempat itu, rupanya tadi Bintang benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan pukulan Telapak Bayangannya hingga dampaknya sangat mengerikan.
“Bocah itu harus membayar dengan nyawanya......”. ucap sosok lelaki yang bersenjatakan tombak bermata ganda lagi seraya bangkit berdiri dan berjalan kearah Bintang, dan kini dia telah berdiri beberapa langkah didepan Bintang yang masih tak kuasa berdiri dari tempatnya.
“Kau harus membayar kematian sahabatku itu dengan nyawamu bocah.......”. ucap lelaki itu lagi seraya mengangkat tombaknya keudara.
“Tidak semudah itu...........”. tiba-tiba terdengar suara Bintang berucap hingga membuat terkejut lelaki yang bersenjatakan tombak bermata ganda, karena dia menyangka kalau pemuda yang ada dihadapannya sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk mengeluarkan suaranya, bahkan ;
“Telapak Bayangan heaaa......wuussshhh.......”. lelaki ini lebih terkejut lagi saat tiba-tiba saja pemuda belia yang ada dihadapannya langsung melepaskan pukulannya kearahnya, karena saat itu jaraknya begitu sangat dekat dengan pemuda itu, hingga dia tidak sempat lagi untuk menghindar, hingga ;
“Ddeeesssss.....desss.....dessss......deesss.......”. serangan beruntun dan bertubi-tubi yang dilepaskan Bintang dengan telak menghantam tubuhnya dan terlemparnya tubuh lelaki itu tanpa sempat berteriak sedikitpun dan tubuhnya tertempas ketanah dengan keras, sesaat masih terlihat tubuhnya bergerak, tapi kemudian diam, diam untuk selamanya, dia tewas dengan tubuh remuk karena dengan telak terkena hantaman pukulan Telapak Bayangan.
“Kurang ajar, kubunuh kau..... hyyaaatt ...... wuutt........”. dua belati melesat dengan cepat kearah Bintang yang saat itu benar-benar telah kehabisan tenaga saat mengerahkannya tadi untuk membunuh lelaki yang bersenjatakan tombak bermata dua tersebut, kini Bintangpun hanya dapat terkesiap melihat dua belati yang saat itu tengah menuju kearahnya.
“Bintang.......!!”. hampir bersamaan Gusti patih Setyo Pinangan dan istrinya terpekik kaget melihat maut yang sebentar lagi akan datang menjemput Bintang, tapi disaat-saat yang genting itulah, tiba-tiba ;.
“Serrr........wussshhhh........”. sesosok bayangan muncul dihadapan Bintang dan langsung melepaskan pukulannya kearah kedua belati yang saat itu tengah melesat cepat kearahnya, satu gelombang angin yang cukup dasyat menggebrak kearah kedua belati tersebut hingga membuat kedua belati itu langsung terpental balik kearah pemiliknya, tapi dengan mantap kedua belati itu ditangkap oleh pemiliknya kembali.
Kini kedua lawan Bintang tampak menatap kearah sesosok tubuh yang kini berdiri dengan gagah dihadapan Bintang, kedua-duanya tampak memandang dengan tatapan berkerut, karena mereka tidak mengenali sosok lelaki yang berusia cukup tua yang tadi telah menolong Bintang.
“Kakang Randu......”. terdengar Gusti patih Setyo Pinangan menyebutkan sebuah nama dengan wajah berubah ceria. Lelaki yang kini berada dihadapan Bintang, hanya tampak sedikit berpaling menatap kearah Gusti patih Setyo Pinangan, lalu kemudian pandangannya yang tajam kembali mengarah kearah kedua sosok yang kini berada dihadapannya.
“Siapa kau......berani sekali kau ikut campur urusan kami ha ???”.
“Namaku Randu, orang yang ingin kalian bunuh ini masih keluargaku......jika kalian ingin membunuhnya, langkahi dulu mayatku..”. ucap lelaki itu dengan suara datar dan dingin, dinginnya sikap lelaki yang ada dihadapan mereka, membuat kedua sosok yang masih tersisa ini saling pandang satu sama lain.
“Sebaiknya kalian tinggalkan tempat ini atau aku terpaksa harus mencabut sumpahku untuk tidak membunuh lagi.......”. tiba-tiba kembali terdengar sebuah suara yang begitu menggelegar dengan hebat ditempat itu, anehnya lagi suara itu seperti datang dari berbagai arah penjuru tempat itu.
“Membelah Suara 4 Penjuru Angin......”. ucap kedua lelaki dan perempuan ini mengenali ajian suara yang baru saja mereka dengar, dan keduanya tahu hanya tokoh-tokoh tataran atas dunia persilatan saja yang memiliki ajian Membelah Suara 4 Penjuru Angin yaitu sebuah ajian yang mampu bergema di 4 penjuru angin hingga membingungkan lawan yang menghadapinya untuk menebak dimana arah asal suara tersebut berasal.
“Apa yang harus kita lakukan nyi.....?”
“Aku tidak tahu, sepertinya tidak mungkin kita dapat membunuh Gusti patih Setyo Pinangan beserta keluarganya itu sekarang......belum lagi orang sakti yang tak terlihat wujudnya yang harus kita hadapi kali ini, tapi lelaki yang ada dihadapan kita itupun belum tentu orang sembarangan....... bisa-bisa kita sendiri yang akan jadi korban....” “Aku setuju dengan pendapatmu nyi, sebaiknya kita kembali ke Gusti patih Ranang dan kita katakan saja kita telah berhasil membunuh Gusti patih Setyo Pinangan beserta keluarganya......”. maka tanpa diperintah lagi, kedua-duanya segera melesat pergi meninggalkan tempat itu. Melihat kedua lawannya pergi meninggalkan tempat itu, lelaki yang berwajah tenang dan dingin ini segera tampak berbalik dan berjalan menuju kearah sosok seorang pemuda yang tidak lain adalah Bintang yang tampak sudah tidak sadarkan diri. Lelaki tua ini tampak sejenak memeriksa keadaannya. “Bagaimana keadaannya kakang......?”. terdengar ucapan Gusti patih Set
Kuning keemasan memancar diufuk fajar, seakan-akan menandakan kalau sebentar lagi sang mentari akan segera menampakkan dirinya di ufuk timur sebagai pertanda dimulainya kehidupan diatas muka bumi ini. Satu demi satu terdengar suara cicit burung yang saling bersahut-sahutan dari dahan ke dahan semakin menambah indahnya pagi itu. Di sebuah bukit yang tampak berdiri dengan tegarnya dari kejauhan, sepanjang mata memandang bukit itu tampak begitu dipenuhi oleh pepohonan yang tumbuh menjulang tinggi seakan ingin mencakar langit, hingga kalau pada siang hari, kerimbunan dan ketinggian pohon tersebut mampu memberikan bayangan keteduhan pada bukit itu, hingga tak heran banyak orang-orang awam maupun orang-orang persilatan yang memberikan nama sebagai Bukit Bayangan terhadap bukit itu. “Hyattthiyattt”. tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari atas puncak Bukit Bayangan, kian lama kian semakin terdengar jelas suara tersebut dan bila kita melihat lebih dekat, ternyata diata
Keesokan harinya, seperti yang telah direncanakan, Dewa Tanpa Bayanganpun segera berangkat menuju ke Lembah Obat, tempat kediaman sahabatnya Peramal 5 Benua. Dengan mengandalkan aji Mambang Bayunya, Dewa Tanpa Bayangan mampu mencapai Lembah Obat hanya dalam dua hari saja, padahal bila menunggangi seekor kudapun paling tidak baru 4 hari baru bisa sampai ke Lembah Obat. Sosok kakek Dewa Tanpa Bayangan melesat dengan kecepatan tinggi menaiki Lembah Obat, dari wajahnya jelas terlihat kalau kakek itu sudah tidak sabar lagi untuk segera bertemu dengan sahabatnya itu. Tak seberapa lama kemudian, diapun tiba dipuncak Lembah Obat. Dipuncak Lembah Obat, berdiri sebuah gubuk tua yang terlihat begitu amat sederhana, seorang kakek tampak tengah asyik menjemur dedaunan kering yang sepertinya akan diramunya menjadi obat, tapi pendengarannya yang tajam membuat sikakek tiba-tiba saja menghentikan pekerjaannya, tubuhnya segera berpaling kearah jalan setapak yang menuju langsu
Dua sosok bayangan terlihat berkelebat dengan cepat menaiki sebuah bukit, keduanya tampak berkelebat beriringan satu sama lain, bila menilik sosok penampilan keduanya, mereka berdua tak lain adalah Benua alias Peramal 5 Benua dan Baruna alias Dewa Tanpa Bayangan. “Kenapa tempatmu ini kau beri pagar bayang-bayang Baruna”. ucap Benua diantara kelebatan mereka. “Untuk jaga-jaga saja Benua, saat ini muridku yang menjadi patih kerajaan Karang Sewu itu telah menjadi incaran orang-orang yang ingin membunuhnya”. ucap Baruna lagi. “Yah, begitu kehidupan disebuah kerajaan Baruna, siapa yang lebih suka menjilat, dialah yang akan memangku jabatan tinggi”. ucap Peramal 5 Benua lagi, keduanya terus berkelebat menaiki bukit yang ada dihadapan mereka. Tak lama kemudian, keduanya segera tiba dipuncak Bukit Bayangan, dimana terdapat sebuah bangunan tua yang cukup besar. “Bintang... Bintang”. ucap kakek yang berlengan tunggal terlihat memanggil-manggil nama tersebut ser
“Berhasil!!”. ucap kakek Benua dan kakek Baruna hampir saja berteriak girang melihat keberhasilan Bintang menyeberangi sungai tersebut. Dan tanpa menunggu lagi kedua-duanya segera keluar dari persembunyian mereka, diseberang sungai Bintang tentu saja terkejut melihat kehadiran kedua kakek tersebut. “Kakek”. ucap Bintang dengan wajah gembira. “Ayo Bintang menyeberanglah gunakan aji Mambang Bayumu itu”. ucap kakek Baruna lagi dan Bintang terlihat menganggukkan wajahnya dan ; “Serrrrr...”. kini dengan mulus Bintang berhasil berkelebat diatas air sungai tersebut dan berhasil tiba ditepian sungai tersebut dengan sempurna. “Kakek”. Bintang langsung menjura hormat pada sosok kakek Baruna yang kini sudah berada dihadapannya. “Bangunlah cucuku”. ucap kakek Baruna lagi mengangkat tubuh Bintang, lalu kemudian pandangan Bintang beralih kearah sesosok kakek yang berada disebelah kakeknya. “Oh ya Bintang, perkenalkan ini adalah sahabat kake
“Apa maksud kakek, aku adalah Titisan Putra Bintang itu ?”. ucap Bintang lagi mencoba menyimpulkan apa yang telah didengarnya. Kakek Benua tidak menjawabnya, tapi kepalanya terlihat mengangguk. Bintang semakin terkejut dan tak percaya melihat hal itu, ditatapnya kakeknya kakek Baruna, lalu pamannya paman Randu, lalu kemudian romonya, Setyo Pinangan dan terakhir ibundanya yang terlihat hanya tertunduk. “Inilah rahasia besar yang ingin romo sampaikan padamu Bintang kau memang bukan putra kandung kami, aku menemukanmu saat aku menemani gusti prabu Karang Sewu berburu dihutan cadas putih dan sejak saat itulah aku dan istriku mengangkatmu sebagai anak kami.”. ucap Setyo Pinangan lagi akhirnya mengeluarkan ucapan itu, dan Bintang sendiri bagaikan mendengar suara petir yang amat keras dihadapannya. Dan Bintang semakin terkejut saat melihat tiba-tiba saja ibundanya berdiri dan berlari, dari kejauhan terdengar isak tangisnya. “Kau harus bisa menerima kenyataan ini Bin
“Aa...apa.....apa yang kau rasakan Bintang?”. ucap paman Randu ikut cemas. “Paman...aku merasakan tubuhku panas, panas sekali”. ucap Bintang lagi terlihat mencoba bertahan walau dengan tubuh menggigil dan wajah Bintang terlihat berubah pucat sepucat mayat. Tapi walaupun begitu Bintang mencoba tetap bertahan agar kesadarannya tetap utuh, dan terlihat Bintang memejamkan kedua matanya untuk menghilangkan rasa pusing dikepalanya, tapi untunglah siksaan itu tidak terjadi begitu lama, perlahan tapi pasti Bintang dapat merasakan ada satu hawa dingin dan menyejukkan yang mengaliri sekujur tubuhnya dan rasa panas yang tadi begitu mendera sekujur tubuhnya kini secara perlahan mulai sirna tertindih hawa dingin tersebut. “Bagaimana sekarang Bintang.?”. ucap kakek Benua lagi. “Rasa panas itu mulai hilang kek”. Ucap Bintang lagi setelah membuka kembali kedua matanya. “Tidak salah lagi, kau memang Titisan Putra Bintang itu Bintang, tidak salah lagi”. ucap kakek Benu
Semilir angin berhembus dengan lembut dipuncak Lembah Obat, dari puncak lembah dapat terlihat satu pemandangan hijau yang ada dikaki lembah, dimana terlihat jejeran pohon-pohon yang tumbuh dengan subur ditempat itu, berbagai macam ragam tumbuh-tumbuhan hidup dengan subur di Lembah itu. Sore itu didepan sebuah gubuk tua di puncak Lembah Obat terlihat Bintang tengah duduk berhadapan dengan kakek Benua, sosok seorang kakek bertubuh kurus renta dengan pakaian yang begitu sederhana sebuah tongkat usang terlihat dipangkuannya, dikepalanya tampak sebuah batok kelapa kering yang entah sudah seberapa lama berada diatas kepalanya, wajahnya tampak begitu lusuh, rambutnyapun sudah terlihat memutih semua. “Bintang, sebagaimana kau ketahui keberadaanku dikenal dirimba persilatan bukan karena tingginya kesaktian yang kumiliki, tapi orang-orang lebih mengenalku sebagai seorang peramal jitu dan seorang tabib pengobatan oleh karena itulah aku mungkin hanya akan menurunkan sedikit ilmu