Lembah Bambu terlihat berdiri dengan anggunnya, terlihat jelas dikejauhan, sejauh mata memandang hanya pohon-pohon bambu yang terlihat tumbuh lebat dilembah itu, nama Lembah Bambu sudah cukup dikenal oleh masyarakat awam terlebih oleh orang-orang dunia persilatan, karena siapa yang tak kenal dengan majikan Lembah Bambu yang namanya begitu tersohor di delapan penjuru angin, SIGILA TUAK. Sebuah nama tua yang begitu disegani lawan maupun kawan. Bahkan nama Sigila Tuak dianggap sejajar dengan nama-nama besar seperti 3 Datuk dan sesepuh Raja Penidur yang saat ini menjadi tokoh yang tak terkalahkan didunia persilatan khususnya ditanah Jawa.
Kebesaran nama Sigila Tuak pulalah yang membuat nama Lembah Bambu begitu terkenal di rimba persilatan, hingga tak sembarang orang yang berani menjejakkan kakinya dilembah itu kalau benar-benar tidak memiliki urusan yang penting dengan Sigila Tuak, karena Sigila Tuak paling tidak suka tempatnya dirambah atau didatangi oleh orang.
Sementa
Bintang tak menunggu lama, jarak yang harus ditempuh ke Lembah Obat cukup jauh perjalanannya, karena itu dengan untuk mempersingkat perjalanannya Bintang menggunakan aji Mambang Bayunya. Tapi tentu saja saat melewati beberapa desa Bintang harus kembali berjalan seperti biasanya. Dua hari sudah berlalu semenjak Bintang meninggalkan Lembah Bambu dan selama 2 hari itu pula Bintang beberapa kali berpapasan dengan orang-orang dari Perkumpulan Pengemis yang ternyata saat ini memang tengah ada dimana-mana, hal inilah yang membuat keyakinan Bintang semakin bertambah kalau memang ada sesuatu yang tengah terjadi saat ini di Perkumpulan Pengemis. Dan hari ini langkah Bintang tiba disebuah desa yang terlihat cukup ramai penduduknya. Dan seperti desa-desa sebelumnya yang telah dilewatinya, kali inipun Bintangpun dapat melihat betapa banyaknya para pengemis yang ada didesa itu. Langkah Bintang terhenti saat tiba didepan sebuah warung yang terlihat cukup ramai pengunjungnya.
“Apakah dia Satria. ?”. batin Bintang lagi mencoba untuk meyakinkan dirinya. Sementara itu pemuda belia berambut putih itu tak sadar kalau saat ini ada seseorang yang terus memperhatikan gerak-geriknya yang tengah memilah-milah beberapa daun untuk dimasukkan kedalam bakul yang dibawanya. Hingga langkah pemuda ini terhenti saat dihadapannya ada dua buah kuntum bunga besar yang berbeda warna, yang satu tampak berwarna hitam pekat sedangkan yang satu lagi berwarna merah darah, berkali-kali tangan pemuda ini terlihat berpindah-pindah dari kuntum bunga yang merah, tapi kemudian berpindah lagi ke kuntum bunga yang hitam, dari sikapnya jelas sepertinya pemuda belia ini tengah bingung untuk memilih. “Yang hitam hanya untuk membuang racun yang sudah menyatu dalam darah tapi akibatnya bisa sangat fatal, sedangkan yang merah untuk menetralkan racun yang ada didalam tubuh...”. tiba-tiba saja sebuah suara mengejutkan pemuda belia ini, dengan serta merta wajahnya berpaling. Dan ke
“Sudah lama sekali aku ingin berjumpa denganmu Bintang, dan untungnya shang Hiang whidi masih memberikan umur padaku untuk bertemu denganmu”. ucap sikakek berwajah merah ini lagi, ucapannya kali ini terdengar begitu tegas dan penuh wibawa. “Dia adalah Sigila Tuak Bintang”. ucap kakek Benua memperkenalkannya sahabatnya itu. “Oh... terimalah sembah hormat saya kek, sudah lama sekali saya juga ingin bertemu dengan kakek”. ucap Bintang lagi seraya menjura hormat pada sosok Sigila Tuak yang hanya terlihat tersenyum-senyum sendiri. “He he he...! mimpi apa aku semalam Benua, bisa mendapat juraan hormat seorang pendekar besar seperti muridmu ini”. ucap Sigila Tuak lagi tertawa, Bintang hanya tersenyum kecil mendengar hal itu. “Sudah, sudah, bicaranya nanti saja, sebentar lagi malam akan datang, ayo kita kembali ke gubuk”. ucap kakek Benua lagi mengingatkan mereka, mereka merekapun segera kembali menuju ketempat kediaman kakek Benua. ***
“Tekadnya untuk menolong sesama membuatnya dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu pengobatan, dia ingin menolong orang-orang yang menderita.”. ucap kakek Benua lagi, mendengar apa yang dijelaskan oleh kakek Benua dan kakek Sigila Tuak yang diam-diam mengagumi Satria. Bintang dapat membayangkan bagaimana menderitanya diusia semuda Satria harus kehilangan kedua orangtuanya, kehilangan tempat sandaran dan kurangnya mendapatkan kasih sayang dari orangtua. “Oh ya, mungkin kau perlu melihat ini Bintang ?”. ucap kakek Benua tiba-tiba saja, seraya meraih sebuah gulungan surat dari balik pakaiannya dan menyerahkannya kepada Bintang. Bintang segera membukanya dan membaca isi surat tersebut dan sesaat setelah selesai membaca surat itu terlihat perubahan diwajah Bintang dan kemudian tatapan Bintang beralih kearah sosok pemuda yang masih berendam didaam kolam kecil yang ada dihadapan mereka. “Dia adalah Rama Anggada Putra Dewa Pengemis, ketua Perkumpulan Pengemis”. ucap kakek
Hanya saja kali ini sedikit berbeda, serangan yang dilancarkan oleh Sigila Tuak, selain sangat cepat dan penuh tipuan, gerakan kakek Sigila Tuak yang sempoyong seperti orang yang sedang mabok itu sungguh sulit untuk diduga kerarah mana serangan yang akan dilancarkan oleh kakek Sigila tuak, untung saja Bintang memiliki aji Tatar Netra dan jurus Kijang Kelana yang bisa mengimbangi semua itu. Keringat tampak sudah membanjiri tubuh keduanya saat kedua-duanya saling melompat mundur kebelakang setelah bertarung hampir selama puluhan jurus, baik Bintang dan kakek Sigila Tuak terlihat sama-sama mengambil nafas untuk meredakan kelelahan mereka. “He he he...! sudah kubilang kau sudah terlalu tua untuk bertarung dengannya Wanaya.”. sebuah tawa terkekeh terdengar diiringi dengan mendekatnya sesosok kakek dengan mengenakan batok kelapa kering dikepalanya. “Bukan aku yang tua, tapi memang muridmu yang kelewat hebat Benua”. ucap kakek Sigila Tuak lagi ikut
“Fuuhhh...”. terdengar helaan nafas panjang dari bibir pemuda yang tengah berendam dikolam kecil itu, dari sikap duduknya, jelas pemuda itu tengah melakukan tapa brata, entah sudah seberapa lama hal itu dilakukannya, yang jelas ke-4 orang yang tengah menunggunya terlihat sudah tidak sabar. Ke-4 sosok itu tak lain adalah Kakek Benua, Kakek Sigila Tuak, Bintang dan Satria. Tak seberapa lama kemudian terlihat sang pemuda sudah mulai membuka kembali kedua matanya. Kini pemuda itu dapat melihat dengan jelas bagaimana ke-4 sosok yang tengah berdiri dihadapannya dan juga saat itu tengah menatap kearahnya. “Bagaimana keadaanmu sekarang Rama. ?”. kakek Benua angkat bicara terlebih dahulu seraya mendekati sosok pemuda yang disebut kakek Benua dengan sebutan Rama. “Sudah cukup baikan kek, terima kasih”. ucap pemuda itu lagi berusaha tersenyum walau dengan agak dipaksakan. “Jangan berterima kasih padaku Rama, aku dan ayahmu sudah bersahabat saja lama, jadi untuk
Beberapa hari kemudian, keadaan Rama Anggada semakin membaik, luka diwajah dan disekujur tubuhnya sudah mulai sembuh, dan tenaganyapun sudah mulai pulih, semua ini tentu berkat perawatan Satria yang secara telaten dan teliti mengobati Satria siang dan malam. Dan pagi itu dia dapat bernafas dengan lega bahkan sudah bisa mengenakan pakaiannya kembali, hari itu bersama-sama mereka sarapan pagi, Rama sudah bisa mengenali siapa-siapa yang ada bersamanya, terlebih Bintang, karena selama beberapa hari ini Bintanglah yang selalu menemaninya bicara dan membangkitkan kembali semangatnya untuk tetap bertahan hidup. Nama besar Bintang tentu sudah sering didengarnya, tapi selama beberapa hari ini bersama Bintang, Rama baru mengetahui kalau Bintang bukan saja seorang pendekar yang memiliki nama besar, tapi juga sangat bersikap dewasa dan banyak memberikan petuah-petuah yang sangat mendukung semangat hidupnya kembali, hal inilah yang membuat Rama Anggada begitu amat menghormati Bintang.
Setelah memesan makanannya, Bintang kembali mengedarkan pandangannya kearah rombongan para pengemis yang kebetulan duduk tak jauh dari tempat duduknya dan Bintang berusaha mempertajam pendengarannya tapi sayang riuhnya suara yang ada didalam warung itu membuat Bintang tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang tengah dibicarakan oleh rombongan para pengemis itu, hingga tak lama kemudian pesanan Bintangpun akhirnya datang. Sebelum sempat menikmati hidangan yang dipesannya, tiba-tiba saja pandangan Bintang dapat melihat sosok lelaki tua yang tadi diketahuinya sebagai pemilik perahu baru saja memasuki warung tersebut dan sekali lagi sangat disayangkan keadaan warung itu sudah penuh oleh pengunjung hingga tidak ada lagi tempat kosong. “Aduh ki londot, semua tempat sudah penuh. ?”. ucap sang aki pemilik warung lagi terlihat menyambut kedatangannya. “Ah, tidak apa-apa ki lanut, aku senang melihat kemajuan warungmu sekarang..” “Bagaimana dengan usaha perahu penyebe